KISAH KE-34
KEPUTUSAN
#TantanganMenulisdariLagu
#SeriKisahDenia
#SahabatKabolMenulis
#AkuLelakimu_VirzhaIdol
Peugeot yang kami kendarai berpacu dengan
waktu, menuju IKWK. Ahad pagi yang cukup lengang.
Berangkat lepas Subuh. Cuaca dingin menusuk.
Androidku menunjukkan suhu tiga Celcius. Ditambah lagi dengan angin yang cukup
kencang berhembus. Rasanya tiga lapis
over-coat tidak cukup buat melawan dingin.
Aku membuka GPS untuk memandu Bagas. Sementara
Denia minta izin istirahat karena ada yang terasa dengan kandungannya. Bagas
sedikit khawatir bila tiba-tiba Denia terasa mau melahirkan di perjalanan.
Perkiraan waktu perjalanan lima jam dua puluh menit, lumayan lama.
Petunjuk dari Maps mengarahkan kami
meninggalkan Annizam und Familiengemeinschaft GmbH. (Gesellschaft mit
beschränkter Haftung) Frankfurt, Lärchenstraße 60 A, 65937 Frankfurt am Main,
Jerman.
Menggunakan jalur A5 dari Waldschulstraße,
Oeserstraße, dan Am Römerhof selama 10 mnt sejauh 4,8 km. Ikuti A5, A4, dan A9
ke Seestraße di Berlin selama 5 jam 3 mnt sejauh 539 km. Bergabung dengan jalur
A5 sejauh 41,7 km. Belok kiri supaya tetap di A5 sejauh 77,9 km, dilanjutkan
dengan jalur A7 sejauh 3,9 km.
Menggunakan dua lajur kanan untuk mengambil
jalan keluar menuju Berlin/ Dresden / Erfurt/Bad Hersfeld/A4 sejauh 550 m.
Terus ke jalur A4 sepanjang 181 km. Pada persimpangan 56a -Hermsdorfer Kreuz,
gunakan dua lajur kanan untuk mengikuti rambu A9 menuju
Berlin/Halle(Saale)/Leipzig sejauh 189 km.
Diteruskan ke jalur A10 sejauh 10,3 km. Ke arah
kanan di pertigaan untuk melanjutkan di jalur A115, ikuti rambu ke Berlin-Tegel
Flughafen/Berlin-Zentrum/Zehlendorf/Potsdam-Zentrum sejauh 27,6 km
Pada persimpangan 1-Dreieck Funkturm Gunakan
dua lajur kanan untuk mengikuti rambu A100 menuju Hamburg/Wedding sejauh 7,9
km. Tetap di Seestraße, ambil An der Putlitzbrücke ke Perleberger Str. selama 7
mnt sejauh 2,8 km. Indonesische Kultur und Weisheit Kooper Perleberger Str. 61,
10559 Berlin, Jerman.
Sepanjang perjalanan kami selalu mengkhawatirkan
kandungan Denia. Sesekali keningnya bekernyit menyembunyikan rasa sakit.
Alhamdulillah Denia kuat. Rute yang cukup melelahkan. Bagas hampir tak berhenti
dari AUF GmbH sampai IKWK, kecuali mengisi bahan bakar. Lima jam sepuluh menit.
Kami sampai sepuluh menit lebih cepat.
Sampai di IKWK, kami langsung memapah Denia
menuju Poli-Avicena IKWK.. Ruang Multazam bercat putih apel, berukuran 5x6
meter cukup leluasa.
Dokter
Zarina, spesialis kandungan, segera memeriksa kandungan Denia. Pembukaan dua.
Kontraksi sudah mulai terasa. Keringat keluar dari kening Denia. Bagas
menyekanya dengan tissue yang tersedia di klinik.
“Denia, apa yang kamu rasakan? Keringat kamu
dingin, sayang!” Bagas cemas dengan kondisi Denia yang memucat.
“Mas, Badiru biamalishaleh! Aku minta Mas Bagas
memberi keputusan untuk Mbak Hasna. Semoga itu akan meringankan kesusahanku
dalam persalinan.” Denia menatap tulus.
Aku merasakan degup jantung Bagas yang makin
kencang. Di satu sisi dia harus mengambil keputusan paling penting dalam
hidupnya. Di sisi lain ia ingin menenangkan Denia selama persalinan.
“Denia percayalah aku akan memutuskannya
sekarang. Kamu tenang dulu, jangan banyak pikiran yang berat. Kalau anak kita
sudah lahir, aku janji akan segera menemui Hasna.” Bagas kehilangan kata-kata
kecuali hal yang bisa menghibur Denia.
Dokter memeriksa tekanan darah Denia, 95/60,
cukup rendah untuk tenaga persalinan.
Bagas segera mengambilkan sari kurma dan madu
dari rumas sewa. Di suapkannya pada Denia penuh kasih. “Kamu harus kuat supaya
anak kita terlahir sehat.”
Pakaian lengkap persalinan warna biru muda
telah Denia pakai. Dokter kembali memeriksa tekanan darah, 100/80, mendekati normal.
Kontraksi makin sering, lima menit sekali. Pembukaan lima. Dokter dan seorang
bidan membantu persalinan yang selalu saja mendebarkan. Bagas dan aku
membacakan ayat-ayat permohonan di pojok ruangan. Semoga persalinan lancar.
Pembukaan 5, 6 dan 10 begitu cepat. Tanpa
penggunaan forceps, vakum, episiotomi ataupun Caesar, keponakan keduaku lahir
selamat, Bayi perempuan yang mungil dan masih merah. Panjangnya 50 cm dan
beratnya 3,5 kg.
Alhamdulillah. Kami sujud syukur di ruangan
itu.
Bagas
segera menyambut baby-nya dengan azan dan iqamah. Merdu dan mengharukan
lantunannya. Air mata bahagia mengalir bersama beban janji menemui Hasna hari
ini juga.
***
Denia pulih setelah tiga jam persalinan.
“Mas,
Kak Mutia, ayo, kita temui Mbak Hasna sekarang!”Denia masih semangat mewujudkan
obsesiku. Semangat mengikuti sunnah keluarga nabi yang selalu aku tularkan padanya.
“Kamu sudah kuat, Denia?”tanyaku sangsi,
“Sebentar aku pinjamkan kursi roda klinik, ya?”Aku mengambil kursi roda dan
menuntun Denia untuk mendudukinya.
“Denia, kamu tahu nggak, aku deg-degan.”Bagas
meraih tangan Denia dan menyentuhkan pada dada bidangnya.
“Perkembangan bagus, berarti Mas siap jatuh
cinta dan menikahi Mbak Hasna.”
“Kamu benar-benar ikhlas, sayang?” Bagas
menatap mata Denia, menyadarkan tangannya pada lengan kursi roda.
“Kalau semua sudah diniatkan untuk Allah,
apalagi suami, jiwa sendiri juga harus rela Dia ambil, Mas.”Jawaban Denia
membuat Bagas tidak mampu menahan haru. Didekapnya Denia kuat, Lutut Bagas
menyentuh lantai, seakan bersimpuh.
“Kau berhati permata, Denia. Bila suatu saat
dalam perjalanan keluarga kita ada yang keluar dari keridaan Allah. Bantu aku
untuk bisa berbuat adil, sayang!”
Denia
mengusap kepala Bagas. Kemudian, menyentuhkan kedua telapak tangannya pada rahang
tegas suami tersayang. Wajah itu selalu
menjadi yang terindah di hati Denia. Tidak ada yang lain. “Perjalanan kita masih panjang, Mas.
Perjalanan menemui Allah dan RasulNya di alam keabadian. Semoga kita bisa
menemukan tarbiyah pada keluarga sunnah yang ingin kita bangun.”
Aku merekam semua persaksian dua hamba Allah
untuk meraih cinta agung. Seakan langkah kami menuju ruang VIP-Al Marjan
menemukan kekuatannya.
Belum sempat kami mengucap salam, dari luar,
Ibu Kuncoro menyapa dari belakang kami.
“Masyaallah,
Bu Mutia, wonten mriki, tho?”
“Assalamu’alaikum, Bu. Kami berniat menemui
Mbak Hasna. Apa tidak mengganggu istirahatnya?”Aku mencium tangan Ibu Kuncoro
takzim begitu juga dengan Denia.
“Tentu tidak, dari tadi dia menyebut nama Bagas
dan Denia. Ibu bingung harus berbuat apa. Obat yang diberikan tidak masuk,
kecuali yang melalui infus. Kesadarannya pun seakan tidak sempurna. Sampai saat
ini dokter belum bisa mendeteksi penyakitnya.”
“Oh, inggih, Bu, nderek nepangaken. Meniko
adik-adik kulo . Denia kalian Bagas.”
“Oh, ini yang selalu ditunggu kehadirannya oleh
Hasna. Alhamdulillah, semoga kehadiran Nak Denia dan Nak Bagas akan memperbaiki
kondisi keponakan saya.”
Kami memasuki ruangan yang lebih luas satu
setengah kali disbanding ruang bersalin Multazam yang ditempati Denia. Lengkap
dengan sofa, televisi, AC dan dipan penunggu pasien.
“Assalamualaikum, Mbak Hasna.” Denia
menggenggam lembut tangan Hasna. Air mata Denia mengalir deras. Isaknya tak
terbendung lagi. Ada rasa bersalah yang meletup-letup dari dadanya. Sebulan
lebih Denia tidak memberikan jawaban dan membiarkan saudara seiman dalam sakit
yang tampak berat.
Wajah pucat dan tirus itu beringsut, matanya
perlahan menatap kami.
“Denia, maafkan aku. Aku... rela menanggung
sendiri ….kepayahan ini. Tidak ada keharusan kamu berkorban demi aku….. Aku
hanya ingin berterimakasih atas hijrah yang kau kuatkan masa aku kuliah dulu.
Dan…..meminta maaf telah menginginkan Bagas darimu.”
“Mbak Hasna, jangan bicara begitu. Aku yang
harus minta maaf. Tidak sempurna iman seorang hamba yang tidak bisa mencintai
saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Mbak, kalau kita berada
dalam satu rumah tangga itu bukan atas permintaan Mbak Hasna. Tapi Allahlah
yang mempertemukan kita. Tidak ada daun jatuh, debu beterbangan melainkan atas
izin Dia. Kita pernah mendapat kajian itu bersama di Al Hidayah. Mbak Hasna
masih ingat?” Kalimat itu deras mengalir dari bening hati Denia, disela isak
air mata keindahan iman.
Hasna tersenyum, matanya berkaca-kaca. Tangisan
pecah di ruangan itu. Tak terkecuali aku.
“Kita akan melakukan prosesi akad secepatnya,
Mbak. Semoga semua yang membuat Mbak Hasna menderita bisa segera berakhir.”
Bu Kuncoro menelpon suaminya, untuk menjadi
wali mewakili ayah Hasna. Sementara Bagas menelpon Akhi Abdi dan Derry untuk
menjadi saksi. Denia melepas cincin pernikahan dan memberikan pada Bagas yang
melingkar di jari manisnya. Mahar yang Denia pinjamkan, nanti Bagas akan
mengantikan saat keadaan darurat ini berlalu. Denia meminta tolong aku
mengambil uang seribu euro dari lemari kamar rumah sewanya.
Bagas bersiap-siap mengucap ikrar nikah dengan
hati bergetar. Lebih hebat daripada saat menikahi Denia. Sepertinya masih ada
kecamuk hati yang belum juga sirna. Berkali-kali Bagas memandang Denia. Bagas
tidak berani menatap Hasna. Selagi akad belum terucap, batas haram itu belum
Allah halalkan.
Pak Kuncoro menjabat tangan bagas erat. beliau
mulai mengucapkan ijab dengan suara sepuhnya yang berat, “Ananda Bagaskara
Pratama bin Sulaiman Firmansyah saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan
Hasna Aulia Zahra binti Agung Gumintang dengan mas kawinnya berupa cincin emas
5 gram dan uang seribu euro tunai.
Bagas mengucap ikrar kedua yang dulu tak
terpikir akan mengulanginya hari ini. Ucapan pertama agak tersendat, diulangi
hingga yang ketiga baru berhasil. Nampak sekali Bagas grogi untuk pernikahan
poligaminya ini. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Hasna Aulia Zahra binti
Agung Gumintang dengan maskawinnya yang tersebut dibayar tunai.”
Sebuah keajaiban terjadi. Mendung yang menyaput
wajah Hasna seakan tersingkap. Wajah pucat itu berseri. Kecantikan yang
terpancar setelah prosesi akad benar-benar mengejutkan kami. Senyuman Hasna
merekah seakan terlepas dari sebuah ikatan yang kami tak bisa melihatnya.
Benarlah kiranya cerita Denia tentang gangguan gaib yang dialami Hasna. Ini
bukan mistik tapi pesan Allah begitu nyata bahwa yang gaib itu ada.
‘Alladziina yu’minuuna bialghaybi wayuqiimuuna
alshshalaata wamimmaa razaqnaahum yunfiquuna waalladziina yu/minuuna bimaa
unzila ilayka wamaa unzila min qablika wabial-aakhirati hum yuuqinuuna. ‘ Yaitu
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelummu,serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat
“Mas, perlakukan Mbak Hasna seperti saat kau
mengucapkan akad di pernikahan kita waktu itu.” Denia membisikkan sesuatu di
telinga Bagas. “Bukankah Mas minta aku selalu mengingatkan Mas Bagas untuk
berlaku adil?”
“Kamu tidak cemburu, Denia?"
Aku akan cemburu kalau Allah cemburu karena Mas
melakukan dosa. Ini ibadah, Mas, lillah, fillah, billah”
Bagas menggenggam tangan Hasna dan bangkit dari
duduknya, mengecup kening Hasna. Belajar mencintai, tulus karena Allah.
“Hasna, datanglah padaku saat engkau
menangis, ceritakan semua yang engkau mau karena aku rijalmu. Mungkin pelukku
tak sehangat senja, ucapku tak menghapus air mata.
Tapi kini aku suamimu, akulah yang akan tetap
memelukmu erat. Saat kau gulana, akulah yang akan nanti menenangkan badai, agar
kita tegar di jalan sunnah ini. Kita kan bangun keyakinan benarlah kiranya tiap
keputusan. Garis hidup ini adalah ketentuan-Nya. Dia pilih aku sebagai suamimu.
Melalui jalan yang tak biasa. Kini derita itu telah berlalu, semoga menjadi
tanda kerelaanNya.
Aku dan Denia akan tetap memelukmu erat, Agar
tetap tegar kita berjalan nanti. Aku suamimu dan Denia adalah saudara sejatimu.
Semoga cinta kita berbingkai kasih yang tak biasa.”
Aku tidak kaget dengan romantisme Bagas.
Emailnya pada Denia waktu mereka terpisah jarak, sudah sering aku baca.
Kami meninggalkan mereka bertiga. Kafe Al Auf
sudah menyediakan hidangan yang denia pesan untuk syukuran pernikahan Bagas dan
kelahiran anak kedua mereka. Semua pegiat IKWK diundang melalui grup WA. Dua
kebahagiaan Denia yang kental kurasakan.
Aku menghubungi Mas Lukman, kerinduan tiba-tiba
merayapi hatiku. Ingin segera pulang. Dari seberang sana, wajah paling indah di
hatiku itu tampak jelas. Malm hari jam tujuh waktu Jakarta.
“Assalamu’alaikum, Mas, maaf baru bisa
terhubung, nih! Mas Lukman sehat? Aku kangen pingin segera pulang.”
“Waalaikum salam. Alhamdulilah kami sehat. Sama
Mas juga kangen. Bagaimana urusan Bagas dan Denia di Jerman?”
“Berkat doa Mas Lukman, semua lancar, sesuai
harapan.” Aku mengambil video pesta syukuran kami juga bayi perempuan Denia.
Aku mencoba ambil video Hasna, Bagas dan Denia. Perlahan aku ketuk kamar VIP Al
Marjan. Mereka mempersilahkan aku masuk.
Suasana ceria dan bahagia menyelimuti ketiga
adikku itu.
“Bagas, selamat ya. Juga Hasna dan Denia. Hebat
kamu Bagas. Doakan Aku dan Mutiara segela nyusul.”
“Mas, yang namanya guru lebih hebat dari murid.
Qadarullah saja aku yang duluan. Insyaallah Mas Lukman nggak lama lagi juga
bakalan nambah.” Kami tertawa bersama mensyukuri karunia Allah yang tak pernah
bisa dihitung ini.
“Mbak Hasna sudah boleh pulang. Kata dokter
yang memeriksanya, kondisi badan Mbak Hasna sudah pulih. Tekanan darahnya
normal. Komposisi darah dari awal masuk juga normal. Praktis tanpa diagnose
penyakit serius sejak awal perawatan.” Denia menjelaskan.
"Hasna, selamat datang di keluarga kami,
barakallahu lakuma, wa baraka ‘alaykuma wa jama’a baynakuma fii khayr."
Mas Lukman mengatakan bahwa akan datang dua
orang tamu malam ini.
"Fatih mana, Mas? Aku pingin melihatnya
dan bicara sebentar. Tiga hari serasa setahun, Mas."
"Fatih masih ngaji sama Pak Ustaz.
Sebaiknya jangan dulu diganggu. Kasihan ustaz udah datang dari Tebet. Namti
saja aku video call lagi kalau ngajinya udah beres."
Video call kami berakhir dengan lambaian tangan
dan kecupm esra, meskipun hanya sebatas pada layar. Tapi seperti apa pun,
bentuk kemesraan itu menjadi ekspresi penting berumah tangga
“Denia, karena semua baik-baik saja. Aku akan
kembali ke tanah air. Kasihan kalau Mas Lukman lama-lama berdua sama Biru.
Terbayang repotnya”
“Mbak, sebenarnya aku pingin ngajak Mbak Hasna
ke Syeih Nizam. Supaya kami bisa melangkah bersama, sepahaman.”
“Bagus Denia, Kak Mutia setuju. Tapi aku rasa
tidak perlu aku damping lagi, ya?”
“Aku berterimakasih, Kak Mutia sudah banyak
berkorban buat kami.” Hasna berbicara dengan jelas,” Namung Allah ingkang saget
maringi piwales ingkang sae, kagem Mbak Mutia.” Aku serasa berada di kampungku,
Brebes. Sejak di Jakarta aku tidak pernah dipanggil ‘mbak’.
“Wis kudu mengkono iki kewajibanku, keluargo
sing paling cedak karo Denia.. “ Aku menambah akrab suasana dengan bicara ngoko
dengan Hasna.
Ada sedikit rasa iri dengan pernikahan mereka.
Takdir yang belum berpihak pada kami
Glosarium:
1. Oh, inggih, Bu, nderek nepangaken. Meniko
adik-adik kulo . Denia kalian Bagas = Oh, iya, Bu pernenalkan, ini adik-adik
saya, Denia dan Bagas
2. Namung Allah ingkang saget maringi piwales
ingkang sae, kagem Mbak Mutia.” Hanya Allah yang dapat memberi balasan dengan
yang baik.
3. “Wis kudu mengkono iki kewajibanku, keluargo
sing paling cedak karo Denia “= Sudah menjadi kewajiban saya, keluarga yang
terdekat dengan Denia.
4. barakallahu lakuma, wa baraka ‘alaykuma wa
jama’a baynakuma fii khayr = Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian, baik ketika
senang maupun susah dan selalu mengumpulkan kalian pada kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar