Senin, 19 November 2018

KISAH KE-34 (Karena Cinta Mengubah Segalanya)


KISAH KE-34
KEPUTUSAN
#TantanganMenulisdariLagu
#SeriKisahDenia
#SahabatKabolMenulis
#AkuLelakimu_VirzhaIdol

Peugeot yang kami kendarai berpacu dengan waktu, menuju IKWK. Ahad pagi yang cukup lengang.
Berangkat lepas Subuh. Cuaca dingin menusuk. Androidku menunjukkan suhu tiga Celcius. Ditambah lagi dengan angin yang cukup kencang berhembus.  Rasanya tiga lapis over-coat tidak cukup buat melawan dingin.
Aku membuka GPS untuk memandu Bagas. Sementara Denia minta izin istirahat karena ada yang terasa dengan kandungannya. Bagas sedikit khawatir bila tiba-tiba Denia terasa mau melahirkan di perjalanan. Perkiraan waktu perjalanan lima jam dua puluh menit, lumayan lama.
Petunjuk dari Maps mengarahkan kami meninggalkan Annizam und Familiengemeinschaft GmbH. (Gesellschaft mit beschränkter Haftung) Frankfurt, Lärchenstraße 60 A, 65937 Frankfurt am Main, Jerman.
Menggunakan jalur A5 dari Waldschulstraße, Oeserstraße, dan Am Römerhof selama 10 mnt sejauh 4,8 km. Ikuti A5, A4, dan A9 ke Seestraße di Berlin selama 5 jam 3 mnt sejauh 539 km. Bergabung dengan jalur A5 sejauh 41,7 km. Belok kiri supaya tetap di A5 sejauh 77,9 km, dilanjutkan dengan jalur A7 sejauh 3,9 km.
Menggunakan dua lajur kanan untuk mengambil jalan keluar menuju Berlin/ Dresden / Erfurt/Bad Hersfeld/A4 sejauh 550 m. Terus ke jalur A4 sepanjang 181 km. Pada persimpangan 56a -Hermsdorfer Kreuz, gunakan dua lajur kanan untuk mengikuti rambu A9 menuju Berlin/Halle(Saale)/Leipzig sejauh 189 km.
Diteruskan ke jalur A10 sejauh 10,3 km. Ke arah kanan di pertigaan untuk melanjutkan di jalur A115, ikuti rambu ke Berlin-Tegel Flughafen/Berlin-Zentrum/Zehlendorf/Potsdam-Zentrum sejauh 27,6 km
Pada persimpangan 1-Dreieck Funkturm Gunakan dua lajur kanan untuk mengikuti rambu A100 menuju Hamburg/Wedding sejauh 7,9 km. Tetap di Seestraße, ambil An der Putlitzbrücke ke Perleberger Str. selama 7 mnt sejauh 2,8 km. Indonesische Kultur und Weisheit Kooper Perleberger Str. 61, 10559 Berlin, Jerman.
Sepanjang perjalanan kami selalu mengkhawatirkan kandungan Denia. Sesekali keningnya bekernyit menyembunyikan rasa sakit. Alhamdulillah Denia kuat. Rute yang cukup melelahkan. Bagas hampir tak berhenti dari AUF GmbH sampai IKWK, kecuali mengisi bahan bakar. Lima jam sepuluh menit. Kami sampai sepuluh menit lebih cepat.
Sampai di IKWK, kami langsung memapah Denia menuju Poli-Avicena IKWK.. Ruang Multazam bercat putih apel, berukuran 5x6 meter cukup leluasa.
            Dokter Zarina, spesialis kandungan, segera memeriksa kandungan Denia. Pembukaan dua. Kontraksi sudah mulai terasa. Keringat keluar dari kening Denia. Bagas menyekanya dengan tissue yang tersedia di klinik.
“Denia, apa yang kamu rasakan? Keringat kamu dingin, sayang!” Bagas cemas dengan kondisi Denia yang memucat.
“Mas, Badiru biamalishaleh! Aku minta Mas Bagas memberi keputusan untuk Mbak Hasna. Semoga itu akan meringankan kesusahanku dalam persalinan.” Denia menatap tulus.
Aku merasakan degup jantung Bagas yang makin kencang. Di satu sisi dia harus mengambil keputusan paling penting dalam hidupnya. Di sisi lain ia ingin menenangkan Denia selama persalinan.
“Denia percayalah aku akan memutuskannya sekarang. Kamu tenang dulu, jangan banyak pikiran yang berat. Kalau anak kita sudah lahir, aku janji akan segera menemui Hasna.” Bagas kehilangan kata-kata kecuali hal yang bisa menghibur Denia.
Dokter memeriksa tekanan darah Denia, 95/60, cukup rendah untuk tenaga persalinan.
Bagas segera mengambilkan sari kurma dan madu dari rumas sewa. Di suapkannya pada Denia penuh kasih. “Kamu harus kuat supaya anak kita terlahir sehat.”
Pakaian lengkap persalinan warna biru muda telah Denia pakai. Dokter kembali memeriksa tekanan darah, 100/80, mendekati normal. Kontraksi makin sering, lima menit sekali. Pembukaan lima. Dokter dan seorang bidan membantu persalinan yang selalu saja mendebarkan. Bagas dan aku membacakan ayat-ayat permohonan di pojok ruangan. Semoga persalinan lancar.
Pembukaan 5, 6 dan 10 begitu cepat. Tanpa penggunaan forceps, vakum, episiotomi ataupun Caesar, keponakan keduaku lahir selamat, Bayi perempuan yang mungil dan masih merah. Panjangnya 50 cm dan beratnya 3,5 kg.
Alhamdulillah. Kami sujud syukur di ruangan itu.
            Bagas segera menyambut baby-nya dengan azan dan iqamah. Merdu dan mengharukan lantunannya. Air mata bahagia mengalir bersama beban janji menemui Hasna hari ini juga.
***
Denia pulih setelah tiga jam persalinan.
            “Mas, Kak Mutia, ayo, kita temui Mbak Hasna sekarang!”Denia masih semangat mewujudkan obsesiku. Semangat mengikuti sunnah keluarga nabi yang selalu aku tularkan padanya.
“Kamu sudah kuat, Denia?”tanyaku sangsi, “Sebentar aku pinjamkan kursi roda klinik, ya?”Aku mengambil kursi roda dan menuntun Denia untuk mendudukinya.
“Denia, kamu tahu nggak, aku deg-degan.”Bagas meraih tangan Denia dan menyentuhkan pada dada bidangnya.
“Perkembangan bagus, berarti Mas siap jatuh cinta dan menikahi Mbak Hasna.”
“Kamu benar-benar ikhlas, sayang?” Bagas menatap mata Denia, menyadarkan tangannya pada lengan kursi roda.
“Kalau semua sudah diniatkan untuk Allah, apalagi suami, jiwa sendiri juga harus rela Dia ambil, Mas.”Jawaban Denia membuat Bagas tidak mampu menahan haru. Didekapnya Denia kuat, Lutut Bagas menyentuh lantai, seakan bersimpuh.
“Kau berhati permata, Denia. Bila suatu saat dalam perjalanan keluarga kita ada yang keluar dari keridaan Allah. Bantu aku untuk bisa berbuat adil, sayang!”
            Denia mengusap kepala Bagas. Kemudian, menyentuhkan kedua telapak tangannya pada rahang tegas suami tersayang.  Wajah itu selalu menjadi yang terindah di hati Denia. Tidak ada yang lain.  “Perjalanan kita masih panjang, Mas. Perjalanan menemui Allah dan RasulNya di alam keabadian. Semoga kita bisa menemukan tarbiyah pada keluarga sunnah yang ingin kita bangun.”
Aku merekam semua persaksian dua hamba Allah untuk meraih cinta agung. Seakan langkah kami menuju ruang VIP-Al Marjan menemukan kekuatannya.
Belum sempat kami mengucap salam, dari luar, Ibu Kuncoro menyapa dari belakang kami.
            “Masyaallah, Bu Mutia, wonten mriki, tho?”
“Assalamu’alaikum, Bu. Kami berniat menemui Mbak Hasna. Apa tidak mengganggu istirahatnya?”Aku mencium tangan Ibu Kuncoro takzim begitu juga dengan Denia.
“Tentu tidak, dari tadi dia menyebut nama Bagas dan Denia. Ibu bingung harus berbuat apa. Obat yang diberikan tidak masuk, kecuali yang melalui infus. Kesadarannya pun seakan tidak sempurna. Sampai saat ini dokter belum bisa mendeteksi penyakitnya.”
“Oh, inggih, Bu, nderek nepangaken. Meniko adik-adik kulo . Denia kalian Bagas.”
“Oh, ini yang selalu ditunggu kehadirannya oleh Hasna. Alhamdulillah, semoga kehadiran Nak Denia dan Nak Bagas akan memperbaiki kondisi keponakan saya.”
Kami memasuki ruangan yang lebih luas satu setengah kali disbanding ruang bersalin Multazam yang ditempati Denia. Lengkap dengan sofa, televisi, AC dan dipan penunggu pasien.
“Assalamualaikum, Mbak Hasna.” Denia menggenggam lembut tangan Hasna. Air mata Denia mengalir deras. Isaknya tak terbendung lagi. Ada rasa bersalah yang meletup-letup dari dadanya. Sebulan lebih Denia tidak memberikan jawaban dan membiarkan saudara seiman dalam sakit yang tampak berat.
Wajah pucat dan tirus itu beringsut, matanya perlahan menatap kami.
“Denia, maafkan aku. Aku... rela menanggung sendiri ….kepayahan ini. Tidak ada keharusan kamu berkorban demi aku….. Aku hanya ingin berterimakasih atas hijrah yang kau kuatkan masa aku kuliah dulu. Dan…..meminta maaf telah menginginkan Bagas darimu.”
“Mbak Hasna, jangan bicara begitu. Aku yang harus minta maaf. Tidak sempurna iman seorang hamba yang tidak bisa mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Mbak, kalau kita berada dalam satu rumah tangga itu bukan atas permintaan Mbak Hasna. Tapi Allahlah yang mempertemukan kita. Tidak ada daun jatuh, debu beterbangan melainkan atas izin Dia. Kita pernah mendapat kajian itu bersama di Al Hidayah. Mbak Hasna masih ingat?” Kalimat itu deras mengalir dari bening hati Denia, disela isak air mata keindahan iman.
Hasna tersenyum, matanya berkaca-kaca. Tangisan pecah di ruangan itu. Tak terkecuali aku.
“Kita akan melakukan prosesi akad secepatnya, Mbak. Semoga semua yang membuat Mbak Hasna menderita bisa segera berakhir.”
Bu Kuncoro menelpon suaminya, untuk menjadi wali mewakili ayah Hasna. Sementara Bagas menelpon Akhi Abdi dan Derry untuk menjadi saksi. Denia melepas cincin pernikahan dan memberikan pada Bagas yang melingkar di jari manisnya. Mahar yang Denia pinjamkan, nanti Bagas akan mengantikan saat keadaan darurat ini berlalu. Denia meminta tolong aku mengambil uang seribu euro dari lemari kamar rumah sewanya.
Bagas bersiap-siap mengucap ikrar nikah dengan hati bergetar. Lebih hebat daripada saat menikahi Denia. Sepertinya masih ada kecamuk hati yang belum juga sirna. Berkali-kali Bagas memandang Denia. Bagas tidak berani menatap Hasna. Selagi akad belum terucap, batas haram itu belum Allah halalkan.
Pak Kuncoro menjabat tangan bagas erat. beliau mulai mengucapkan ijab dengan suara sepuhnya yang berat, “Ananda Bagaskara Pratama bin Sulaiman Firmansyah saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Hasna Aulia Zahra binti Agung Gumintang dengan mas kawinnya berupa cincin emas 5 gram dan uang seribu euro tunai.
Bagas mengucap ikrar kedua yang dulu tak terpikir akan mengulanginya hari ini. Ucapan pertama agak tersendat, diulangi hingga yang ketiga baru berhasil. Nampak sekali Bagas grogi untuk pernikahan poligaminya ini. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Hasna Aulia Zahra binti Agung Gumintang dengan maskawinnya yang tersebut dibayar tunai.”
Sebuah keajaiban terjadi. Mendung yang menyaput wajah Hasna seakan tersingkap. Wajah pucat itu berseri. Kecantikan yang terpancar setelah prosesi akad benar-benar mengejutkan kami. Senyuman Hasna merekah seakan terlepas dari sebuah ikatan yang kami tak bisa melihatnya. Benarlah kiranya cerita Denia tentang gangguan gaib yang dialami Hasna. Ini bukan mistik tapi pesan Allah begitu nyata bahwa yang gaib itu ada.
‘Alladziina yu’minuuna bialghaybi wayuqiimuuna alshshalaata wamimmaa razaqnaahum yunfiquuna waalladziina yu/minuuna bimaa unzila ilayka wamaa unzila min qablika wabial-aakhirati hum yuuqinuuna. ‘ Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat
“Mas, perlakukan Mbak Hasna seperti saat kau mengucapkan akad di pernikahan kita waktu itu.” Denia membisikkan sesuatu di telinga Bagas. “Bukankah Mas minta aku selalu mengingatkan Mas Bagas untuk berlaku adil?”
“Kamu tidak cemburu, Denia?"
Aku akan cemburu kalau Allah cemburu karena Mas melakukan dosa. Ini ibadah, Mas, lillah, fillah, billah”
Bagas menggenggam tangan Hasna dan bangkit dari duduknya, mengecup kening Hasna. Belajar mencintai, tulus karena Allah.
Hasna, datanglah padaku saat engkau menangis, ceritakan semua yang engkau mau karena aku rijalmu. Mungkin pelukku tak sehangat senja, ucapku tak menghapus air mata.
Tapi kini aku suamimu, akulah yang akan tetap memelukmu erat. Saat kau gulana, akulah yang akan nanti menenangkan badai, agar kita tegar di jalan sunnah ini. Kita kan bangun keyakinan benarlah kiranya tiap keputusan. Garis hidup ini adalah ketentuan-Nya. Dia pilih aku sebagai suamimu. Melalui jalan yang tak biasa. Kini derita itu telah berlalu, semoga menjadi tanda kerelaanNya.  
Aku dan Denia akan tetap memelukmu erat, Agar tetap tegar kita berjalan nanti. Aku suamimu dan Denia adalah saudara sejatimu. Semoga cinta kita berbingkai kasih yang tak biasa.”
Aku tidak kaget dengan romantisme Bagas. Emailnya pada Denia waktu mereka terpisah jarak, sudah sering aku baca.
Kami meninggalkan mereka bertiga. Kafe Al Auf sudah menyediakan hidangan yang denia pesan untuk syukuran pernikahan Bagas dan kelahiran anak kedua mereka. Semua pegiat IKWK diundang melalui grup WA. Dua kebahagiaan Denia yang kental kurasakan.
Aku menghubungi Mas Lukman, kerinduan tiba-tiba merayapi hatiku. Ingin segera pulang. Dari seberang sana, wajah paling indah di hatiku itu tampak jelas. Malm hari jam tujuh waktu Jakarta.
“Assalamu’alaikum, Mas, maaf baru bisa terhubung, nih! Mas Lukman sehat? Aku kangen pingin segera pulang.”
“Waalaikum salam. Alhamdulilah kami sehat. Sama Mas juga kangen. Bagaimana urusan Bagas dan Denia di Jerman?”
“Berkat doa Mas Lukman, semua lancar, sesuai harapan.” Aku mengambil video pesta syukuran kami juga bayi perempuan Denia. Aku mencoba ambil video Hasna, Bagas dan Denia. Perlahan aku ketuk kamar VIP Al Marjan. Mereka mempersilahkan aku masuk.
Suasana ceria dan bahagia menyelimuti ketiga adikku itu.
“Bagas, selamat ya. Juga Hasna dan Denia. Hebat kamu Bagas. Doakan Aku dan Mutiara segela nyusul.”
“Mas, yang namanya guru lebih hebat dari murid. Qadarullah saja aku yang duluan. Insyaallah Mas Lukman nggak lama lagi juga bakalan nambah.” Kami tertawa bersama mensyukuri karunia Allah yang tak pernah bisa dihitung ini.
“Mbak Hasna sudah boleh pulang. Kata dokter yang memeriksanya, kondisi badan Mbak Hasna sudah pulih. Tekanan darahnya normal. Komposisi darah dari awal masuk juga normal. Praktis tanpa diagnose penyakit serius sejak awal perawatan.” Denia menjelaskan.
"Hasna, selamat datang di keluarga kami, barakallahu lakuma, wa baraka ‘alaykuma wa jama’a baynakuma fii khayr."
Mas Lukman mengatakan bahwa akan datang dua orang tamu malam ini.
"Fatih mana, Mas? Aku pingin melihatnya dan bicara sebentar. Tiga hari serasa setahun, Mas."
"Fatih masih ngaji sama Pak Ustaz. Sebaiknya jangan dulu diganggu. Kasihan ustaz udah datang dari Tebet. Namti saja aku video call lagi kalau ngajinya udah beres."
Video call kami berakhir dengan lambaian tangan dan kecupm esra, meskipun hanya sebatas pada layar. Tapi seperti apa pun, bentuk kemesraan itu menjadi ekspresi penting berumah tangga
“Denia, karena semua baik-baik saja. Aku akan kembali ke tanah air. Kasihan kalau Mas Lukman lama-lama berdua sama Biru. Terbayang repotnya”
“Mbak, sebenarnya aku pingin ngajak Mbak Hasna ke Syeih Nizam. Supaya kami bisa melangkah bersama, sepahaman.”
“Bagus Denia, Kak Mutia setuju. Tapi aku rasa tidak perlu aku damping lagi, ya?”
“Aku berterimakasih, Kak Mutia sudah banyak berkorban buat kami.” Hasna berbicara dengan jelas,” Namung Allah ingkang saget maringi piwales ingkang sae, kagem Mbak Mutia.” Aku serasa berada di kampungku, Brebes. Sejak di Jakarta aku tidak pernah dipanggil ‘mbak’.
“Wis kudu mengkono iki kewajibanku, keluargo sing paling cedak karo Denia.. “ Aku menambah akrab suasana dengan bicara ngoko dengan Hasna.
Ada sedikit rasa iri dengan pernikahan mereka. Takdir yang belum berpihak pada kami

Glosarium:
1. Oh, inggih, Bu, nderek nepangaken. Meniko adik-adik kulo . Denia kalian Bagas = Oh, iya, Bu pernenalkan, ini adik-adik saya, Denia dan Bagas
2. Namung Allah ingkang saget maringi piwales ingkang sae, kagem Mbak Mutia.” Hanya Allah yang dapat memberi balasan dengan yang baik.
3. “Wis kudu mengkono iki kewajibanku, keluargo sing paling cedak karo Denia “= Sudah menjadi kewajiban saya, keluarga yang terdekat dengan Denia.
4. barakallahu lakuma, wa baraka ‘alaykuma wa jama’a baynakuma fii khayr = Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian, baik ketika senang maupun susah dan selalu mengumpulkan kalian pada kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...