Senin, 19 November 2018

KISAH KE-33 (Karena Cinta Mengubah Segalanya)


Kisah Ke-33
ANGAN KOSONG
#TantanganMenulisdariLagu
#SeriKisahDenia
#SahabatKabolMenulis
#Judi_RhomaIrama

Denia bersamaku kembali.  Kepulangan ke dua libur panjang Ramadan dari pesantren Darul Akhirah.  Tidak seperti liburan tahun lalu.  Aku punya banyak waktu untuk bersama-sama.  Mengetikkan naskahku, mencoba resep kue, membaca dan mengkritisi buku-bukuku.  Bermain dengan Mumtazza.  Liburan yang indah.
Tiba-tiba sore ini kompleks kami dihebohkan dengan kerumunan warga.  Riuh rendah suara orang-orang berkomentar.  Ternyata ada penggerebekan sarang judi oleh pihak kepolisian.
Sejak menikah dengan Mas Lukman, kami tinggal di sebuah perumahan di Kalibata.  Perumahan yang cukup unik, karena meskipun berada di tengah kota tapi persaudaraannya cukup bagus.  Kami diikat dalam kegiatan bersama.  Majelis taklim, perkumpulan PKK, karang taruna berjalan dengan baik di sini.  Penggeraknya tentu saja Mas Lukman sebagai ketua RT.
“Ada apa ya, Kak?”  Denia penasaran. 
 “Entahlah, Denia.  Tapi sepertinya,  ada rumah yang digrebek.  Beberapa waktu lalu aku mengetik surat pengaduan ke FPI tentang maksiat di perumahan ini.  Rumah  itu sering dipakai kumpul-kumpul tamu yang kami pun tidak tahu darimana asal mereka.  Mereka mengadakan pesta perjudian lengkap dengan transaksi narkoba.”
“Wah, parah sekali.  Kak Mutia kenal dengan penghuninya?”
“Kenal tapi nggak terlalu.  Mereka tidak ikut aktif di kegiatan perumahan. Sekilas saja kalau berpapasan dengan istrinya, aku suka menyapa.”
Tak urung kami keluar rumah juga buat menghabiskan rasa penasaran.  Benar saja rumah itu digerebek polisi.  Dan tertempel pada dinding rumah itu, rumah ini disegel dan menjadi milik bank.  Nama bank swasta tertera di sana.
“Kasihan ya, penghuninya.  Kemana mereka bakalan tinggal.”  Denia langsung mengekspresikan empatinya.
“Buat apa dikasihani, Neng.  Mereka yang mencemarkan nama kompleks perumahan ini.  Bikin bisnis judi.  Bisnis maksiat yang bisa mendatangkan murka Allah.  Kami ibu-ibu DKM kompleks perumahan ini yang melaporkannya ke FPI.  FPI menindaklanjuti prosedurnya ke polisi.  Alhamdulillah polisinye tanggep.  Kalau kagak, FPI yang bakalan ngegerebek rumah itu sekalian kami ikut demo.”  Bu Midah, tetangga sebelah kanan rumah, menjelaskan panjang lebar dengan hebohnya.
Setelah melihat peristiwa sore itu, Denia murung seakan mengingat sesuatu.  Aku tahu, pasti ada kenangan yang membangkitkan kembali memori kesedihan masa lalunya.
“Denia kenapa murung?”
“Nggak, Kak.”  Denia menyeka air matanya.
“Kesedihan masa lalu memang kadang menyapa kita.  Tapi jangan terlalu larut.  Hingga kita lupa pada nikmat yang Allah bagi.  Ingat lupa dua dan selalu ingat dua.  Lupakan banyak amal kebajikan kita agar kita selalu merasa kurang amal.  Akibatnya kita akan terus beramal.  Lupa ujian kesusahan Allah pada kita hingga kita tidak merasa aral.  Hikmahnya kita akan bisa berbaik sagka pada Allah.  Ingat dosa kita pada Allah hingga kita berhati-hati untuk tidak mudah berbuat dan mengulanginya lagi.  Yang terakhir ingatlah kebaikan dan nikmat Allah.  Maka kita akan menjadi hamba yang selalu bersyukur.”
“Denia selalu merasa berutung bertemu Kak Mutia.”  Denia mencoba tersenyum, melarutkan segala duka.
“Tapi kalau kamu mau bercerita, aku dengan senang hati akan mendengarnya.”
Denia  menatapku serius.  Mendekapku dan berkata, bahwa suatu saat dia ingin bertemu dengan Arul, kakaknya.  Bagaimanapun doa kebaikan selalu Denia kirim untuk nasib baik kakak semata wayangnya. 
***
“Keadaan Bibi Munah yang sudah parah, makin terpuruk.  Bukan parah karena tidak memiliki penghasilan.  Bahkan dari hasil mengamen aku dan Kang Arul juga lumayan membantu kebutuhannya.  Yang menjadi permasalahan utama, kebiasaan buruk Mang Karna.
“Kang, kamu dari mana?  Tengah malem baru pulang! “ Bi Munah untuk ke sekian kalinya protes dengan kebiasaan Mang Karna.
“Sudah, jangan banyak tanya!  Kamu tahu beres sajalah.  Yang penting aku bakalan ngasih duit banyak ke kamu!” jawaban Mang Karna tidak kalah keras dari protes Bi Munah.
“Ngasih duit banyak bagaimana?  Sudah satu minggu kamu nggak ngasih uang belanja.  Aku kerepotan, Kang!  Belum lagi aku harus kasih makan dua bebenyit itu!”
“Siapa suruh kamu sok kaya.  Memasukkan dua anak yatim nggak punya apa-apa ke dalam rumah kita?”  
Mereka yang ribut dan kami yang sakit hati.  Meratapi ketidakberdayaan sebagai anak yang kehilangan dua orang tua.  Kadang terpikir ingin kembali ke kampung.  Di sana masih ada Pak Kades yang baik dan ingin  mengasuh kami. Ah, kucoba menjinakkan rayuan harapan yang menggedor-gedor keringkihan hati. Toh akhirnya kami harus kembali ke jalanan.
“Arul, Denia, kamu harus dapetin uang lebih banyak lagi.  Mang kamu sudah nggak mau tahu dengan keadaan kita.  Malah dia mulai menyalahkan kehadiran kalian di sini.”  Malam itu Bi Munah memanggil kami setelah makan malam yang urung kunikmati.  Pasalnya, makanan yang sudah aku alas itu untuk Maruti. 
‘Mah, males makan.  Mau spaghetti aja.”  Maruti menolak makanan di meja makan.
“Ya sudah, biar Denia dan Arul yang menghabiskan makanan ini.  Arul, Denia ayo makan.  Kami yang lapar setelah seharian ngamen di jalanan, senang dengan jatah makan malam ini.  
“Mamah, uang aku hilang dari kantong baju.  Gimana aku bisa beli spaghetti.”  Teriakan Maruti berakibat fatal.  Bi Munah menyuruh kami meninggalkan meja makan dan tidur dengan perut kosong. Sedih sekali. 
Untung Bang Gofat membelikan aku sebungkus nasi Padang.  Perhatian Bang Gofat akan selalu aku ingat.  Bagaimanapun perlakuannya padaku, kenangan baik dari sifat sayangnya padaku akan selalu ku kenang.  Semoga menjadi amal yang diterima Allah setelah taubatnya.
 Buntut dari hilangnya uang Maruti tidak hanya mengurungkan makan malam kami, tapi juga tuduhan keji bahwa kami yang telah mengambilnya.  Ya Allah, derita apa lagi yang kau titipkan pada kami.  Kesabaran apa yang masih Kau pinta dari kami untuk membuktikannya?
Kejadian hilangnya uang itu menjadi malapetaka buat kami. 
“Siapa lagi yang mengambilnya, Mah?  Pastilah dua anak tak tahu diuntung itu.”  Maruti keukeuh  menuduh kami yang mencuri.  Sampai kamar dan lemari kami digeledah.  Kesal tidak mendapatkan uang lembaran lima puluh ribu yang mereka cari, kami diusir untuk tidak tidur di rumah.  Aku dan Kang Arul tidur di mushala.
 Lebih menyakitkan saat Kang Arul justru turut mencurigai aku. “Denia, ngaku aja kamu.  Aku nggak ngambil, berarti kamu yang mengambilnya!”
“Kang Arul tega ya menuduh aku?  Sumpah, Kang.  Kalau aku yang ngambil pasti mereka akan menemukannya di rumah ini.  Kang Arul tahu sendiri aku nggak beli apa-apa.”  Aku membela diri sejadi-jadinya.
“Siapa tahu kami serahkan ke Bang Gofat, kekasih kamu itu.”
Aku memilih diam dan melangkah menuju mushala kampung.  Tempat satu-satunya yang bisa menampung untuk tidur malam ini.
Baru kaki ini mau melangkah meninggalkan pintu depan, Mang Karna datang.  Mabuk.  Dia mengeluarkan uang banyak dari saku baju dan celananya.  Bi Munah sangat senang dengan uang banyak yang Mang Karna bawa.
“Akang, hebat sekali.  Dari mana Akang dapat uang begini banyak?”  Bi Munah menghamburkan uang-uang itu seperti anak kecil.
“Aku ambil uang ……di kamar Maruti buat modal main angka…… Di …..  rumah tante Delima.  Hasilnya bisa kamu lihat Munah……..  Lebih dari lumayan.”  Mang Karna bicara begitu berat.  Setengah sadar karena pengaruh minuman yang ditegaknya.
“Kalau begitu aku mau menyerahkan modal berapa pun asalkan bisa kembali sebanyak ini.”  Bi Munah mulai kesetanan ingin cepat kaya dengan judi.
Lebih menyakitkan, Bi Munah tahu bahwa yang mengambil uang Maruti suaminya sendiri.  Tapi mereka tidak berusaha meminta maaf atas tuduhan keji pada kami.  Aku merasakan penghinaan pertama sebelum mie berasa sabun tahun berikutnya.
Malam itu tetap saja kami harus tidur di musala.  Berselimut dinginnya malam menjelang kemarau.  Mengakrabi dengung nyamuk yang beterbangan.  Gigitan mereka selalu coba kuhalau.  Akhirnya lelap yang dalam karena lelah, membuatku merelakan mereka berpesta sepuasnya.
Paginya aku dan Kang Arul pulang, menjalani rutinitas jalanan seperti biasa.  Bintik merah di mukaku mendapat perhatian khusus dari Bang Gofat.  Meskipun Bang Gofat dan Bi Munah sama-sama jahat, Bang Gofat sempat melontarkan cacian pada Bi Munah.
“Sejahat-jahat gue.  Nggak bakalan gue berjudi.  Gue percaya bener nasihat Bang Haji Rhoma Irama.”  Bang Gofat menyanyikan lagu Judi untuk menghiburku.
Judi (judi), menjanjikan kemenangan
Judi (judi), menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong), kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong), kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan

Judi (judi), meracuni kehidupan
Judi (judi), meracuni keimanan
Pasti (pasti), karena perjudian
Orang malas dibuai harapan
Pasti (pasti), karena perjudian
Perdukunan ramai menyesatkan

Yang beriman bisa jadi murtad, apalagi yang awam
Yang menang bisa menjadi jahat, apalagi yang kalah
Yang kaya bisa jadi melarat, apalagi yang miskin
Yang senang bisa jadi sengsara, apalagi yang susah
Uang judi najis tiada berkah

Uang yang pas-pasan karuan buat makan (ooo, ooo)
Itu cara sehat ‘tuk bisa bertahan
Uang yang pas-pasan karuan ditabungkan (ooo, ooo)
Itu cara sehat ‘tuk jadi hartawan

Apa pun nama dan bentuk judi
Semuanya perbuatan keji
Apa pun nama dan bentuk judi
Jangan lakukan dan jauhi
Judi
           
Aku tertawa mendengarkan candaannya. “ Menurut Abang, Bi Munah bakal menyesal terjerat judi nantinya?”  tanyaku
“Kalau dia nggak segera nyadar, bakal habis tuh hartanye.  Siap-siap aje semuanye bakalan dijual.”
Ternyata perkataan Bang Gofat benar.  Mungkin berdasarkan pengalaman dia melihat bagaimana kesudahan orang yang kecanduan judi.  Satu per satu barang berharga milik keluarga Bi Munah dijual.  Perhiasan, kulkas, televisi sampai kipas angin pun dijual.  Terakhir satu-satunya peninggalan ibuku.  Sebentuk cincin yang Bi Munah ambil dari jari tanganku pun di jualnya.  Aku tidak bisa terima keputusan Bi Munah.  Bukan masalah harganya.   Kenangan dan bukti kasih ibu yang membuatku tak ingin kehilangan cincin itu. 
***
Ternyata kisah sedih Denia tidak pernah habis untuk diceritakannya padaku.
“Terus bagaimana akhirnya, Denia?  Apakah Mang Karna bisa menghentikan kebiasaannya?”  Aku penasaran dengan akhir petualangan Mang Karna dengan judinya
“Mang Karna berhenti ketika dia sakit.  Sulit buang air kecil yang membuatnya sakit meraung-raung tiapa kali ke toilet.  Ternyata setelah diperiksakan ke puskesmas, ginjalnya kena oleh minuman keras dan oplosan yang dibiasa ditegaknya.
Aku menarik napas panjang.  Mengambil pelajaran berharga bahwa judi lebih membuat sengsara daripada kebahagiaan.  Cukup dua peristiwa, yang dialami tetangga perumahan dan paman Denia menjadi buktinya.

Glosarium:
1.      Aral: tidak menerima ujian dan ketentuan allah
2.      Keukeuh: Bersikeras

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...