Kisah Ke-33
ANGAN KOSONG
#TantanganMenulisdariLagu
#SeriKisahDenia
#SahabatKabolMenulis
#Judi_RhomaIrama
Denia bersamaku kembali. Kepulangan ke dua libur panjang Ramadan dari
pesantren Darul Akhirah. Tidak seperti
liburan tahun lalu. Aku punya banyak
waktu untuk bersama-sama. Mengetikkan
naskahku, mencoba resep kue, membaca dan mengkritisi buku-bukuku. Bermain dengan Mumtazza. Liburan yang indah.
Tiba-tiba sore ini kompleks kami dihebohkan dengan
kerumunan warga. Riuh rendah suara
orang-orang berkomentar. Ternyata ada
penggerebekan sarang judi oleh pihak kepolisian.
Sejak menikah dengan Mas Lukman, kami tinggal
di sebuah perumahan di Kalibata.
Perumahan yang cukup unik, karena meskipun berada di tengah kota tapi
persaudaraannya cukup bagus. Kami diikat
dalam kegiatan bersama. Majelis taklim,
perkumpulan PKK, karang taruna berjalan dengan baik di sini. Penggeraknya tentu saja Mas Lukman sebagai
ketua RT.
“Ada apa ya, Kak?” Denia penasaran.
“Entahlah,
Denia. Tapi sepertinya, ada rumah yang digrebek. Beberapa waktu lalu aku mengetik surat
pengaduan ke FPI tentang maksiat di perumahan ini. Rumah
itu sering dipakai kumpul-kumpul tamu yang kami pun tidak tahu darimana
asal mereka. Mereka mengadakan pesta
perjudian lengkap dengan transaksi narkoba.”
“Wah, parah sekali. Kak Mutia kenal dengan penghuninya?”
“Kenal tapi nggak terlalu. Mereka tidak ikut aktif di kegiatan perumahan.
Sekilas saja kalau berpapasan dengan istrinya, aku suka menyapa.”
Tak urung kami keluar rumah juga buat
menghabiskan rasa penasaran. Benar saja
rumah itu digerebek polisi. Dan
tertempel pada dinding rumah itu, rumah ini disegel dan menjadi milik
bank. Nama bank swasta tertera di sana.
“Kasihan ya, penghuninya. Kemana mereka bakalan tinggal.” Denia langsung mengekspresikan empatinya.
“Buat apa dikasihani, Neng. Mereka yang mencemarkan nama kompleks
perumahan ini. Bikin bisnis judi. Bisnis maksiat yang bisa mendatangkan murka
Allah. Kami ibu-ibu DKM kompleks
perumahan ini yang melaporkannya ke FPI.
FPI menindaklanjuti prosedurnya ke polisi. Alhamdulillah polisinye tanggep. Kalau kagak, FPI yang bakalan ngegerebek rumah
itu sekalian kami ikut demo.” Bu Midah,
tetangga sebelah kanan rumah, menjelaskan panjang lebar dengan hebohnya.
Setelah melihat peristiwa sore itu, Denia
murung seakan mengingat sesuatu. Aku
tahu, pasti ada kenangan yang membangkitkan kembali memori kesedihan masa
lalunya.
“Denia kenapa murung?”
“Nggak, Kak.”
Denia menyeka air matanya.
“Kesedihan masa lalu memang kadang menyapa
kita. Tapi jangan terlalu larut. Hingga kita lupa pada nikmat yang Allah
bagi. Ingat lupa dua dan selalu ingat
dua. Lupakan banyak amal kebajikan kita
agar kita selalu merasa kurang amal.
Akibatnya kita akan terus beramal.
Lupa ujian kesusahan Allah pada kita hingga kita tidak merasa aral. Hikmahnya kita akan bisa berbaik sagka pada
Allah. Ingat dosa kita pada Allah hingga
kita berhati-hati untuk tidak mudah berbuat dan mengulanginya lagi. Yang terakhir ingatlah kebaikan dan nikmat
Allah. Maka kita akan menjadi hamba yang
selalu bersyukur.”
“Denia selalu merasa berutung bertemu Kak
Mutia.” Denia mencoba tersenyum,
melarutkan segala duka.
“Tapi kalau kamu mau bercerita, aku dengan
senang hati akan mendengarnya.”
Denia
menatapku serius. Mendekapku dan
berkata, bahwa suatu saat dia ingin bertemu dengan Arul, kakaknya. Bagaimanapun doa kebaikan selalu Denia kirim
untuk nasib baik kakak semata wayangnya.
***
“Keadaan Bibi Munah yang sudah parah, makin
terpuruk. Bukan parah karena tidak
memiliki penghasilan. Bahkan dari hasil
mengamen aku dan Kang Arul juga lumayan membantu kebutuhannya. Yang menjadi permasalahan utama, kebiasaan
buruk Mang Karna.
“Kang, kamu dari mana? Tengah malem baru pulang! “ Bi Munah untuk ke
sekian kalinya protes dengan kebiasaan Mang Karna.
“Sudah, jangan banyak tanya! Kamu tahu beres sajalah. Yang penting aku bakalan ngasih duit banyak
ke kamu!” jawaban Mang Karna tidak kalah keras dari protes Bi Munah.
“Ngasih duit banyak bagaimana? Sudah satu minggu kamu nggak ngasih uang
belanja. Aku kerepotan, Kang! Belum lagi aku harus kasih makan dua bebenyit
itu!”
“Siapa suruh kamu sok kaya. Memasukkan dua anak yatim nggak punya apa-apa
ke dalam rumah kita?”
Mereka yang ribut dan kami yang sakit
hati. Meratapi ketidakberdayaan sebagai
anak yang kehilangan dua orang tua.
Kadang terpikir ingin kembali ke kampung. Di sana masih ada Pak Kades yang baik dan
ingin mengasuh kami. Ah, kucoba
menjinakkan rayuan harapan yang menggedor-gedor keringkihan hati. Toh akhirnya
kami harus kembali ke jalanan.
“Arul, Denia, kamu harus dapetin uang lebih
banyak lagi. Mang kamu sudah nggak mau
tahu dengan keadaan kita. Malah dia
mulai menyalahkan kehadiran kalian di sini.”
Malam itu Bi Munah memanggil kami setelah makan malam yang urung
kunikmati. Pasalnya, makanan yang sudah
aku alas itu untuk Maruti.
‘Mah, males makan. Mau spaghetti aja.” Maruti menolak makanan di meja makan.
“Ya sudah, biar Denia dan Arul yang
menghabiskan makanan ini. Arul, Denia
ayo makan. Kami yang lapar setelah
seharian ngamen di jalanan, senang dengan jatah makan malam ini.
“Mamah, uang aku hilang dari kantong baju. Gimana aku bisa beli spaghetti.” Teriakan Maruti berakibat fatal. Bi Munah menyuruh kami meninggalkan meja
makan dan tidur dengan perut kosong. Sedih sekali.
Untung Bang Gofat membelikan aku sebungkus nasi
Padang. Perhatian Bang Gofat akan selalu
aku ingat. Bagaimanapun perlakuannya
padaku, kenangan baik dari sifat sayangnya padaku akan selalu ku kenang. Semoga menjadi amal yang diterima Allah
setelah taubatnya.
Buntut
dari hilangnya uang Maruti tidak hanya mengurungkan makan malam kami, tapi juga
tuduhan keji bahwa kami yang telah mengambilnya. Ya Allah, derita apa lagi yang kau titipkan
pada kami. Kesabaran apa yang masih Kau
pinta dari kami untuk membuktikannya?
Kejadian hilangnya uang itu menjadi malapetaka
buat kami.
“Siapa lagi yang mengambilnya, Mah? Pastilah dua anak tak tahu diuntung
itu.” Maruti keukeuh menuduh kami yang mencuri. Sampai kamar dan lemari kami digeledah. Kesal tidak mendapatkan uang lembaran lima
puluh ribu yang mereka cari, kami diusir untuk tidak tidur di rumah. Aku dan Kang Arul tidur di mushala.
Lebih
menyakitkan saat Kang Arul justru turut mencurigai aku. “Denia, ngaku aja
kamu. Aku nggak ngambil, berarti kamu
yang mengambilnya!”
“Kang Arul tega ya menuduh aku? Sumpah, Kang.
Kalau aku yang ngambil pasti mereka akan menemukannya di rumah ini. Kang Arul tahu sendiri aku nggak beli
apa-apa.” Aku membela diri
sejadi-jadinya.
“Siapa tahu kami serahkan ke Bang Gofat,
kekasih kamu itu.”
Aku memilih diam dan melangkah menuju mushala
kampung. Tempat satu-satunya yang bisa
menampung untuk tidur malam ini.
Baru kaki ini mau melangkah meninggalkan pintu
depan, Mang Karna datang. Mabuk. Dia mengeluarkan uang banyak dari saku baju
dan celananya. Bi Munah sangat senang
dengan uang banyak yang Mang Karna bawa.
“Akang, hebat sekali. Dari mana Akang dapat uang begini
banyak?” Bi Munah menghamburkan
uang-uang itu seperti anak kecil.
“Aku ambil uang ……di kamar Maruti buat modal
main angka…… Di ….. rumah tante
Delima. Hasilnya bisa kamu lihat
Munah…….. Lebih dari lumayan.” Mang Karna bicara begitu berat. Setengah sadar karena pengaruh minuman yang
ditegaknya.
“Kalau begitu aku mau menyerahkan modal berapa
pun asalkan bisa kembali sebanyak ini.”
Bi Munah mulai kesetanan ingin cepat kaya dengan judi.
Lebih menyakitkan, Bi Munah tahu bahwa yang
mengambil uang Maruti suaminya sendiri.
Tapi mereka tidak berusaha meminta maaf atas tuduhan keji pada
kami. Aku merasakan penghinaan pertama
sebelum mie berasa sabun tahun berikutnya.
Malam itu tetap saja kami harus tidur di
musala. Berselimut dinginnya malam
menjelang kemarau. Mengakrabi dengung
nyamuk yang beterbangan. Gigitan mereka
selalu coba kuhalau. Akhirnya lelap yang
dalam karena lelah, membuatku merelakan mereka berpesta sepuasnya.
Paginya aku dan Kang Arul pulang, menjalani
rutinitas jalanan seperti biasa. Bintik
merah di mukaku mendapat perhatian khusus dari Bang Gofat. Meskipun Bang Gofat dan Bi Munah sama-sama
jahat, Bang Gofat sempat melontarkan cacian pada Bi Munah.
“Sejahat-jahat gue. Nggak bakalan gue berjudi. Gue percaya bener nasihat Bang Haji Rhoma
Irama.” Bang Gofat menyanyikan lagu Judi
untuk menghiburku.
Judi (judi), menjanjikan
kemenangan
Judi (judi), menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong), kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong), kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
Judi (judi), meracuni kehidupan
Judi (judi), meracuni keimanan
Pasti (pasti), karena perjudian
Orang malas dibuai harapan
Pasti (pasti), karena perjudian
Perdukunan ramai menyesatkan
Yang beriman bisa jadi murtad, apalagi yang awam
Yang menang bisa menjadi jahat, apalagi yang kalah
Yang kaya bisa jadi melarat, apalagi yang miskin
Yang senang bisa jadi sengsara, apalagi yang susah
Uang judi najis tiada berkah
Uang yang pas-pasan karuan buat makan (ooo, ooo)
Itu cara sehat ‘tuk bisa bertahan
Uang yang pas-pasan karuan ditabungkan (ooo, ooo)
Itu cara sehat ‘tuk jadi hartawan
Apa pun nama dan bentuk judi
Semuanya perbuatan keji
Apa pun nama dan bentuk judi
Jangan lakukan dan jauhi
Judi
Judi (judi), menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong), kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong), kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
Judi (judi), meracuni kehidupan
Judi (judi), meracuni keimanan
Pasti (pasti), karena perjudian
Orang malas dibuai harapan
Pasti (pasti), karena perjudian
Perdukunan ramai menyesatkan
Yang beriman bisa jadi murtad, apalagi yang awam
Yang menang bisa menjadi jahat, apalagi yang kalah
Yang kaya bisa jadi melarat, apalagi yang miskin
Yang senang bisa jadi sengsara, apalagi yang susah
Uang judi najis tiada berkah
Uang yang pas-pasan karuan buat makan (ooo, ooo)
Itu cara sehat ‘tuk bisa bertahan
Uang yang pas-pasan karuan ditabungkan (ooo, ooo)
Itu cara sehat ‘tuk jadi hartawan
Apa pun nama dan bentuk judi
Semuanya perbuatan keji
Apa pun nama dan bentuk judi
Jangan lakukan dan jauhi
Judi
Aku tertawa mendengarkan
candaannya. “ Menurut Abang, Bi Munah bakal menyesal terjerat judi
nantinya?” tanyaku
“Kalau dia nggak segera
nyadar, bakal habis tuh hartanye.
Siap-siap aje semuanye bakalan dijual.”
Ternyata perkataan Bang Gofat
benar. Mungkin berdasarkan pengalaman
dia melihat bagaimana kesudahan orang yang kecanduan judi. Satu per satu barang berharga milik keluarga
Bi Munah dijual. Perhiasan, kulkas,
televisi sampai kipas angin pun dijual.
Terakhir satu-satunya peninggalan ibuku.
Sebentuk cincin yang Bi Munah ambil dari jari tanganku pun di
jualnya. Aku tidak bisa terima keputusan
Bi Munah. Bukan masalah harganya. Kenangan dan bukti kasih ibu yang membuatku
tak ingin kehilangan cincin itu.
***
Ternyata kisah sedih Denia
tidak pernah habis untuk diceritakannya padaku.
“Terus bagaimana akhirnya,
Denia? Apakah Mang Karna bisa
menghentikan kebiasaannya?” Aku
penasaran dengan akhir petualangan Mang Karna dengan judinya
“Mang Karna berhenti ketika
dia sakit. Sulit buang air kecil yang
membuatnya sakit meraung-raung tiapa kali ke toilet. Ternyata setelah diperiksakan ke puskesmas,
ginjalnya kena oleh minuman keras dan oplosan yang dibiasa ditegaknya.
Aku menarik napas
panjang. Mengambil pelajaran berharga
bahwa judi lebih membuat sengsara daripada kebahagiaan. Cukup dua peristiwa, yang dialami tetangga
perumahan dan paman Denia menjadi buktinya.
Glosarium:
1.
Aral:
tidak menerima ujian dan ketentuan allah
2.
Keukeuh:
Bersikeras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar