Kisah Ke-35
AKU MASIH
MENUNGGU
#TantanganMenulisdariLagu
#SeriKisahDenia
#SahabatKabolMenulis
#Chrisyefeatarielpeterpan-Menunggumu
Hari ini aku
yang baru saja berkeliling AUF GmbH.
Sebuah system hidup aku lihat begitu sempurna. Ekonomi, pendidikan, seni, penerbitan ada
dalam satu komunitas. Meskipun hanya
sebatas anggota keluarga dan beberapa muslim yang tinggal di Frankfurt, usaha
AUF GmbH makin besar. Aku lihat
pelanggan AUF pun tidak hanya
muslim. Muamalah yang terjalin baik
membuat warga Frankfurt di sekitar AUF menjadi pelanggan mereka. Alhamdulillah, Islam mengatur muamalah ini
dengan cara terbaik.
Islamfobia
tidak bergitu kurasakan dalam perjalan singkatku ini. Aku bersyukur. Data terakhir yang aku tanyakan pada pegiat
AUF GmbH, muslim di Frankfurt ini mencapai lebih sepuluh persen dari jumlah
penduduknya. Dengan jumlah penduduk yang
tak lebih dari tujuh ratus ribu jiwa, maka ada sekitar tujuh puluh lima ribu
jiwa.
Jamuan makan malam
kembali menyapa kami. Rasanya santapan
tadi sore baru saja turun dari lambung. Ya, kebiasaan orang Jerman bila ada
tamu, mereka akan menghidangkan semacam cake atau tart. Kami minum teh manis bersama. Mereka menghidangka dua jenis sajian. Abendbrot (roti lengkap dengan daging grill,
lapisan keju, telor dadar seukuran dengan rotinya). Semuanya masih terpisah dan kami bisa
menyusunnya sesuai selera. Hidangan yang
lain berupa makanan panas berkuah.
Semacam sup. Aku memilih sup
rasanya benar-benar yummy.
“Nachdem Sie
alle Zahnbürsten gegessen haben und nicht mehr essen, bis Sie schlafen.” Ustaz Nizam mengarahkan seluruh anggota
keluargannya. Mereka semua mengikuti apa
yang dikatakan sang ayah. Kecuali yang
menemani perbincangan kami malam ini.
Ustaz Nizam, istri-istrinya, pasangan anak dan menantu pertamanya. Kami masih terlibat perbincangan serius
ditemani makanan ringan khas Sunda.
“Unsere Familie
aus Bandung hat das alles geschickt,” Ustazah Marissa mengekspresikan
kesukaannya pada dodol cokelat produksi Garut itu. Aku jadi tertarik dengan kelegitannya yang
khas. Indonesia memang kaya raya.
Bagas mulai
bertanya tentang keluarga Ustaz Nizam dalam bahasa Jerman yang baik meskipun
logatnya masih bernuansa Jawa.
“Wenn es dir
nichts ausmacht, kami ingin tahu awal mula komunitas ini di bangun. Dan spirit apa yang mendasari pelaksanaannya?” Perbincangan serius pun berawal dari sini.
“Es werden zwei
menschliche Ziele geschaffen.
Menjadi abid, penyembah Allah SWT dan menjadi khalifah pengurus bumi
ini. Bergerak, berbuat dengan satu
cita-cita, membumikan firman Allah dan petunjuk Rasulullah SAW. Nah, untuk beribadah kita harus tahu syarat
suatutindakan, apapun itu agar bernilai ibadah.
Yang pertama niatnya harus karena Allah, bukan karena yang lain. Perkara yang dilakukan bukanlah hal yang
dilarang agama. Dalam melakukannya tidak
melanggar syariat. Selama melakukan hal
tersebut tidak sampai meninggalkan ibadah wajib. Yang terakhir hasil atau natijahnya adalah
kebaikan.”
“Berkaitan dengan
poligami, bagaimana agar ianya menjadi suatu bentuk ibadah?” tanya Denia penuh rasa ingin tahu.
“Tentu sangat
tergantung pada pelakunya. Seperti kata
Ustaz Nizam tadi niatkan karena Allah bukan karena nafsu. Bisa juga karena ingin mengikuti sunnah
Rasul-Nya. Ingin menjawab tuduhan buruk yang dilontarkan pada Rasulullah yang
memiliki istri lebih dari satu.
Selanjutnya perkara itu bukan haram.
Poligami bukan hal yang haram bahkan ada contoh dari nabi makanya ia
bernilai sunnah. Yang ketiga, dalam
pelaksanaannya tidak melibatkan perkara yang dilarang, misalnya dengan berbuat
tidak adil. Adil bukan berarti sama rata
atau sama rasa tapi memberikan sesuai keperluan dan kebutuhannya.” Kali ini Ustazah Sakinah yang menguraikan
penjelasan ibadah terkait poligami. Terasa
benar kepahaman antara suami dan istri yang saling menguatkan.
“Yang keempat,
dengan berpoligami tidak membuat ibadah wajib lainnya tertinggal. Seperti kecintaan antara suami dan istri
membuat ibadah lain terlalaikan. Semua
harus seimbang. Yang terakhir natijahnya
harus positif dan baik. Tidak boleh
berakibat pada retaknya hubungan keluarga.
Tidak boleh mengakibatkan rasa sakit pada salah satu pihak. Jadi semua harus berjalan dengan keridhoan
terutama dari semua istri-istrinya,”
Ustazah Shofwana melengkapi penjelasannya dengan gamblang. Sangat bisa kami pahami.
Perbincangan
berakhir hingga jam sepuluh malam. Kami
bersiwak kemudian berangkat tidur.
Tiba-tiba vedio call wa berdering.
Nomornya tidak aku kenal.
“Assalamu’alaikum,
Bu Mutia?” Suara Bu Kuncoro. Aku kenal wajah di layar betul android itu,
Ibu Kuncoro, yang selalu menemaniku di pesawat kemarin. Logat Solonya kental.
“Waalaikum
salam. Ada apa ya, Bu?”
“Kulo sampun
wonten Poli-Avicena. Keadaan Hasna
benar-benar memprihatinkan. Dia tidak
bisa tidur dari semalam. Hanya
bergulingan di atas dipan. Memegang perutnya
yang terasa sakit. Dokter sudah
memberinya obat penenang tapi setelah satu jam, rasa sakitnya akan kambuh
lagi. Saya sangat khawatir keadaannya.”
Aku urung
menuju ke kamar dan memanggil Denia juga Bagas, kembali ke ruang tamu. Tuan rumah sudah menuju kamarnya
masing-masing, sepi.
Bagas, Denia
dan aku. Menyimak kabar tentang
Hasna.
“Denia, tidak
maukah kamu mengurangi penderitaan ini…...
Aku sudah……. ndak tahan…...”
Suara lirih terputus putus dari ruangan perawatan itu terdengan di
androidku.
Bu Kuncoro
mengarahkan kamera pada keponakannya.
Aku sama sekali tidak mengira kondisi Hasna separah ini. Pucat dan kurus. Sangat berbeda dari wajah yang kulihat di
foto profil FB-nya. Aku bisa turut
merasakan sakit yang dirasakannya.
“Apa yang harus
saya lakukan, Bu Mutia? Sedangkan
diagnose dokter tidak menunjukkan gejala apapun. Pemeriksaan darah, urine dan USG tidak
memberi indikasi apapun.” Bu Kuncoro
cemas.
“Sabar, Bu,
insyaallah kami akan ke Avicena besok pagi.
Kami sedang berada di Frankfurt.
Lepas Subuh kami akan langsung ke IKWK..
“Denia, Bagas,
biarkan penantian ini aku bawa menghadap Allah.
Asal aku tidak lagi menjadi pengganggu kebahagiaan kalian. Bagas, tidak mungkin….kamu menikahiku tanpa
cinta…..atau hanya sebatas rasa kasihan….. Aku rela…. Aku ikhlas…..dengan penantian abadi
ini……” Terasa benar beratnya perkataan
itu. Di sela rasa sakitnya yang dalam.
Chat WA masuk
dalam android-ku
“Maaf Bu Mutia,
ini ada puisi yang Hasna tulis dua hari sebelum dirawat di Avicena. Dia minta Bagas dan Denia membacanya.”
Sebuah foto
berisi bait-bait puisi yang lara. Aku
membacanya untuk Bagas dan Denia
BIARKAN AKU TETAP MENUNGGU
Aku sendiri merasakan cinta
Mengalun indah bahasanya mengisi jiwa
Merindu kasih, kita bertiga, aku rela
Meski berawal dari raga yang memaksa
Pasrah diri pada nasib yang tersurat
Terasa begitu lama aku menunggu
Bersama puing-puing harapan yang makin pudar
Ternyata hanya aku yang
merasa
Cinta yang tak pernah terbalasi
Bila memang rindu dan cinta ini hanya milikku
Aku rela hanya menunggu
Penantian semu
Biar cinta ini berbicara dengan bahasanya
Bahwa cinta adalah sebentuk pengorbanan
Turut bahagia pada cinta
Yang kalian rasakan,
memasuki ruang angan
Aku akan terus menunggu
Karena rindu dan cinta ini hanya milikku
Karena rindu dan cinta ini hanya milikku
Punggung Denia
terguncang. Ikut merasakan lara yang terlanjur dalam. Hati perempuan bernama Hasna yang berbaring
lemah tak berdaya. Menunggu balasan
cinta walaupun hanya terbalut sepatah kata yang kadang menyakitkan. Kasihan.
Kulihat Bagas
menutup muka dengan kedua telapak tangannya.
Menahan beban perasaan di hati kecilnya.
Entah apa?
***
Lepas qiyamullail dan salat Subuh hari
berikutnya, kami berpamitan. Di sepanjang perjalanan diskusi serius menjadi
mewarnai perbincangan kami.
“Bagas jadi kabita, rasanya seru kalau punya
komunitas seperti Ustaz Nizam.” Batinku bersyukur. Bagas sudah mulai mendapat
contoh yang mungkin mengikis traumanya pada keluarga poligami.
“Tapi butuh modal besar, Bagas.” Aku memancing
sejauh mana ketertarikannya pada sistem hidup di AUF GmbH.
“Aku pikir bukan modal kuncinya, Kak. Tapi
lebih
pada kemasnya ibadah dan zikir pengikat yang mereka amalkan. Aku berniat mengamalkannya juga.”
pada kemasnya ibadah dan zikir pengikat yang mereka amalkan. Aku berniat mengamalkannya juga.”
“Jadi, Mas Bagas sudah punya jawaban untuk Mbak
Hasna?”
Bagas
menatap Denia penuh makna. Diraihnya pundak Denia. Kecupan mesra di kening
Denia Bagas hadiahkan penuh ketulusan. Meskipun tidak ada kata yang terucap aku
cukup lega dengan tanda positif ini
Di luar mobil
yang kami kendarai, daun kuning berguguran makin kerap. Seakan mereka berpacu
dengan derap cita-cita Bagas dan Denia. Mewujudkan kehidupan yang dicontohkan
Rasulullah dan ummat yang mengikutinya.
GLOSAIUM:
1. Nachdem Sie alle Zahnbürsten
gegessen haben und nicht mehr essen, bis Sie schlafen= Setelah makan semua sikat gigi dan berhenti makan sampai kalian
2. Unsere Familie aus Bandung hat das
alles geschickt=Keluarga kami
dari Bandung yang mengirim semua
3. Wenn es dir nichts ausmacht=Kalau tidak
4. Es werden zwei menschliche Ziele
geschaffen=Dua tujuan manusia
5. Kulo sampun wonten Poli-Avicena=Saya sudah ada di Poli-Avicena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar