Senin, 19 November 2018

Kisah Ke -32 Karena Cinta Mengubah Segalanya


Kisah Ke -32
AYAH YANG TAK BIASA
#TantanganMenulisdari Lagu
#SeriKisahDenia untuk Novel Karena Cinta Mengubah Segalanya
#SahabatKabolMenulis
#Ayah_Seventeen

Pesawat Azerbaijan mengudara Sembilan jam dari Abu Dhabi ke Berlin. Jam tanganku belum aku sesuaikan dengan negara transit. Pikirku di Berlin pasti waktunya akan berbeda lagi. Aku buka Android begitu turun dari pesawat 04.45 waktu Berlin. Untuk kedua kalinya aku menikmati suasana Berlin. Seolah reuni suasana hati.
Kami bertiga menuju costum clearance. Pemeriksaan berlangsung lancar tanpa pemeriksaan yang lama. Lumayan letih juga perjalanan lebih dari lima belas jam di pesawat.
“Bu Mutia, nyuwun pangapunten, saya duluan, sudah ada jemputan, kami langsung ke apartemen Hasna. Saya tidak akan langsung ke Poliklinik Avisena IKWK. Ada yang harus kami persiapkan dulu.” Bu Kuncoro berpamitan sambil meminta maaf tidak bisa menemaniku sampai tempat tujuan.
“Mboten dados menopo, Bu. Sebentar lagi adik saya juga akan datang. Ibu, matur sembah nuwun sampun kerso ngencangi kulo.” Aku cium tangannya. Pak Kuncoro dan Ibu memasuki mobil Porsche. Aku tahu dari cerita Denia, mobil itu yang dipakai pertemuan pertama Denia dengan Hasna.
November ini cuaca terasa begitu dingin, apalagi malam hari, Androidku sudah menunjukkan angka temperature hingga 3 derajat Celsius. Semua orang-orang menggunakan jaket tebal meskipun belum turun salju.
Aku menikmati kesendirian, berniat salat Subuh di bandara Bandar Udara Internasional Berlin Schönefeld.   Kubuka jadwal shalat dengan android Subuh (Fajr) 05:21, terbit 07:18, Zuhur 11:50, Asar 13:57, Maghrib 16:23 dan Isya 18:10.  Enam waktu yang amat penting buatku. Ini berarti saat ini masih ada waktu salat Tahajud.
Mencari sudut ruangan untuk menggelar sajadah, memakai mukena putih khas Indonesia. Mumpung masih bisa tahajud. Pesan Rasulullah, dua rakaat salat malam lebih berharga dari dunia dan seisinya. Sebagian orang memperhatikanku. Kadang tanpa sengaja bersitatap sesaat, aku berusaha tersenyum ramah. Alhamdulillah mereka membalas senyumanku.
“Es gibt einen leeren Raum, den Sie nutzen können, damit Sie sich beim Anbeten wohler fühlen.“ Seorang pria berwajah Eropa menyapaku ramah. Menunjukkan sebuah ruang kosong.
"Danke, ist das ein besonderer Ort des Gebets?"
"Nein. Sie können es jedoch so verwenden, dass es nicht gestört wird und an Personen in diesem Untersuchungsraum vorbeigeht.
Kebahagiaan buatku, baru datang ke negara asing, bertemu dengan orang yang cukup bersahabat. Untuk menghargainya aku ikuti saran baiknya.
Baru beberapa rekaat aku tenggelam dalam salat malam, Androidku berdering. Pasti dari Denia atau Mas Lukman.
“Assalamu’alaikum, Kak. Kakak sudah sampai?” Dari seberang sana suara Denia begitu renyah, ”Kak aku sudah ke bandara. Kakak ada dimana?”
Aku mengambil foto posisiku di bandara Schoenefeld. Tepat di sebelah kanan custom-clearance di pojok kiri. Bandara ini lebih kecil dari Bandara Internasional Tegel. Rasanya Denia tidak akan kesulitan menemukan aku di sini.
***
Aku merapikan sajadah dan mukena. Tiba-tiba suara nyaring yang sangat aku kenal memanggil namaku. Denia menghambur, memelukku erat. Air mata beningnya menganak sungai. Aku merasakan kebimbangan batinnya. Bagas ada di belakang Denia. Mengucapkan salam dan tersenyum ramah.
"Selamat datang di Jerman, Kak. Mohon maaf kalau kami merepotkan Kak Mutia."
"Tidak, Bagas. Urusan kalian, urusanku juga."
Kami bertiga menuju tempat parkir mobil. Bagas menarik koper yang kubawa dan menaikkannya ke bagasi mobil.
“Kita kearah mana Denia?” tanyaku. Aku tahu ini bukan arah menuju IKWK.
“Kalau kita langsung ke kediaman Syeikh Nizam, Kak Mutia nggak keberatan?”
“Tentu tidak Mutia. Justru aku berharap sejak aku memberi nomor kontak Ustazah Sakinah kamu segera ke sana.”
“O, ya, mana Biru? Tidak ikut?”
“Biru kami titipkan ke pengasuhan anak IKWK. Dia sedang kurang enak badan. Kaget dengan cuaca ekstrim pertama yang dialaminya.”
 “Kenapa baru sekarang kalian berniat ke sana?” tanyaku.
“Mbak Hasna dirawat di poliklinik IKWK, aku sama Mas Bagas memutuskan hari ini harus segera ketemu Ustaz Nizam." Denia menceritakan rencana mengunjungi keluarga Ustaz Nizam baru kemarin sore. Bagas masih saja bimbang dengan keputusannya menikahi Hasna. Sementara Denia selalu dihantui rasa bersalah, hutang janji dengan Hasna untuk memberi jawaban. Denia tak sanggup melihat kondisi Hasna yang dirawat di Poli-Avicena IKWK.
Perjalanan ke Nimah Apartemen butuh waktu lima jam lebih. Aku sebenarnya lelah, tapi aku tak ingin mengeluhkannya pada Denia. Aku fokus pada tujuan awal aku dari Indonesia. Membantu menyelesaikan masalah Bagas, Denia dan Hasna.
“Denia, bukankah pekan ini perkiraan kelahiran kandunganmu?” tanyaku hampir lupa.
“Kata dokter kemungkinan bakal mundur dua pekan. Waktu kelahiran Biru juga begini, Kak. Masih nyaman di alam rahim rupanya,” canda Denia.
Aku berbaring di jok belakang.
“Kalau aku ketiduran, jangan lupa bangunin pas Subuh ya? Subuhnya jam 05.21.”
“Sepuluh menit lagi, apa nggak sebaiknya kita persiapan Subuh dulu. Kita bisa berwudu dengan botol yang biasa Denia bawa buat wudu, Kak.” Bagas menyarankan. Memang lebih baik aku salat Subuh dulu. Kalau tidur cuma sebentar tidak akan nyaman untukku yang mengalami jetlag.
Aku masih punya wudu saat salat malam di bandara. Aku pasang sajadah setelah mengetahui arah kiblat dari android. Kali ini Bagas mengimami kami. Bacaannya bagus dan merdu, mengingatkanku pada muratal Syeikh Mishary Rashid yang sering kuputar menemaniku saat sendiri.
Selesai salat Subuh, aku terpaksa melakukan kebiasaan yang aku benci tidur lepas Subuh. Tapi aku sudah tak tahan lagi. Perjalan 551 km bukan jarak yang dekat.
“Istirahat saja,Kak, dari Map Android, aku lihat rutenya nggak sulit.” Bagas memahami kondisiku.
“Kak, kita sudah sampai.” Denia mengguncangkan tubuhku. Masyaallah betapa nyenyaknya aku. Jam di androiku menunjukkan pukul 11.10 waktu Frankfurt. Cahaya terang sudah tampak meskipun suasana mendung musim gugur membawa suasana sore tanpa cahaya matahari.
Aku menyeka muka dengan tissue basah, merapikan pakaian dan hijabku.Di depan apartemen tertulis jelas alamat apartemen ini. Bangunan dua tingkat bercat putih. Sudah banyak perubahan dibandingkan Sembilan tahun yang lalu. Pertama kali aku mengunjungi apartemen ini. Tidak ada tulisan NIMAH Hotel & Apartments. Yang ada tulisan ANNIZAM UND FAMILIENGEMEINSCHAFT GmbH. (Gesellschaft mit beschränkter Haftung) FRANKFURT, Lärchenstraße 60 A, 65937 Frankfurt am Main, Jerman. Lantai bawah sepertinya tempat usaha dan lantai atas rumah tinggal. Kesibukan sudah terasa di lantai bawah ini. Pasti Ustaz Nizam sudah membeli hotel ini dan dijadikan perusahaan komunitasnya.
“Kak, ayo, kakak yang kenal baik sama Ustazah Sakinah. Kami numpang kenal aja, ya?” Denia menarik tanganku. Lucu tingkahnya. Mengingatkanku saat dia masih awal belasan tahun.
“Sebentar Denia, aku huhungi dulu beliau, supaya nggak kaget. Apalagi kalau ternyata dia lupa sama wajahku. Kasihan jadi terkesan pelupa, kan?”
Aku mencari kontak WA-nya. Aku lupa banyak orang Jerman beralih ke SA (SayaApp). Aku beralih memakai kontak telepon. Alhamdulillah tersambung.
“Assalamu’alaikum, bisa bicara dengan Ustazah Sakinah?”
“Ye saye sendiri, ade yang bise saye bantu?” Suara lembut dengan logat Melayu yang kental.
“Saya Mutiara, Ustazah. Masih ingat dengan saya, Ustazah?”
“Mutiara dari Indonesie, ke?”
Kami langsung terlibat perbincangan akrab. Apalagi setelah aku beritahu bahwa kami sudah ada di depan Annizam GmbH. Sesosok wanita paruh baya keluar dengan baju berwarna gelap dan purdah yang istiqamah dipakainya hingga kini. Kami hanya bisa melihat matanya yang sayu.
Kami dipersilakan masuk ke halaman bekas apartemen yang cukup luas itu. Kini semua tampak lebih indah. Ada taman bermain dilengkapi ayunan, papan luncur layaknya TK di Indonesia.
Rupanya tempat ini telah disulap oleh Ustaz Nizam dan istri-istrinya menjadi komunitas muslim di Frankfurt.
Aku sengaja tidak mengutarakan permasalahan yang sedang dihadapi Bagas dan Denia. Yang ingin aku tunjukkan pada Bagas dan Denia, bagaimana rumah tangga poligami Ustaz Nizam dan istri-istrinya berjalan harmonis.
Di ruang tamu ketiga istri Ustaz Nizam menyapa dan melayani kami ramah. Air minum dan makanan bergantian mereka suguhkan. Beliau memperkenalkan kami dengan keluarga besar Ustaz Nizam. Luar biasa ada dua puluh anak yang manis dan menampakkan akhlak yang baik. Terlihat sekali kepahaman agama mereka sangat baik. Cucu keluarga ini sudah sejumlah sepuluh orang dari tiga pasangan muda mereka.
“Ini adik kedue saye namanye Ustazah Marissa. Asli orang jerman. Mualaf enam tahun yang lalu, dua tahun sebelum dinikahi Abi Nizam.”
“Freut mich, Brüder und Schwestern aus Indonesien kennenzulernen!” Ustazah Marissa berhijab rapih tapi tidak berpurdah. Cantik dan masih muda, mungkin usianya sebaya dengan aku. Waktu aku pertama datang ke Apartemen NIMAH dia belum bergabung dengan komunitas di sini. Setelah memberi kami wedang bandrek, Ustazah Marissa duduk di samping Ustazah Sakinah. Persaudaraan yang amat manis.
“Nah, yang ini adik ketiga saya. Namanya Ustazah Sayidah, dari Indonesia.” Seorang wanita sepertinya berusia di atas lima puluh tahun, namun tampak segar dan cekatan. Membawakan kami makanan khas Jerman. Ada kartoffelsalat, falscher hase, sauerkraut dan apfelstrudel.
“Ahlan wa sahlan Ukhti, Akhi. Bertemu saudara seiman dan sebangsa, bikin saya rindu tanah air. Apa kabar negeri kita? Semoga dikaruniai pemimpin yang adil dan rakyatnya makmur.” Pesan yang pas menjelang tahun politik 2019.
Ustaz Nizzam menemui kami selepas salat Duhanya. Wajah timur tengahnya karismatik, begitu teduh. Aku hanya berani melihat sekilas pada pandangan pertama, selebihnya aku lebih fokus pada ketiga bidadarinya.
“Ustazah Sofwana, adikku yang pertame, sudah mendahului kami. Beliau berpulang tiga tahun yang lalu,” ucap Ustazah Sakinah. Seakan mengerti bahwa aku ingin tahu keberadaannya. Sembilan tahun yang lalu, aku sempat kenal baik dengan beliau.
Suara azan dari androidku mengingatkan kami untuk salat Zuhur.
“Komm schon, machen wir uns bereit für das Zuhur.” Ustaz Nizzam memanggil satu-satu istri dan anak-anaknya. Luar biasa. Aku bisa melihat kualitas interaksi Ustaz Nizzam dengan keluarganya.
Kami salat berjamaah di ruang khusus di lantai tiga. Dekat dengan ruangan aula modern yang disewakan sekaligus untuk mengadakan acara antar komunitas mereka.
Salat Zuhur yang khusyuk aku rasakan di Anizzam und Familiengemeinschaft (AUF) ini. Wudu dan Salat mereka tampak rapi, bermahzab Syafi’i. Setelah salat mereka melafazkan zikir pengikat. Aku belum tahu tarikat apa yang mereka amalkan.
“Ustazah Sakinah, mohon maaf tadi wirid apa yang antum baca?”
“Oh, itu wirid tarikat kami. Pengikat yang Allah rizkikan buat kami untuk kelancaran urusan apapun. Rumah tangga, usaha, muamalah dan ibadah kami.” Ustazah Marissa memberikan buku berisi zikir khusus kumpulan ayat terpilih dari Alquran.
Selepas wirid, Ustaz Nizam memberi kuliah dalam bahasa Jerman. Semua mendengar dengan baik. Tentang iman dan persoalannya, tentang mengenal diri untuk mengenal Allah. Selama seharian kami di AUF, lima waktu kuliah seperti ini diadakan. Kadang yang memberi kuliah putra lelaki tertua atau menantunya. Uniknya lagi keluarga generasi kedua itu juga menjadi praktisi poligami.
Salat Zuhur yang cukup panjang lengkap dengan zikir dan kuliah singkat. Dari musala, kami menuju ruang makan. Kami disuguhi makan siang istimewa. Hidangan untuk lima puluh orang berikut tamu yang berkunjung. Kali ini masakan khas Sunda siap menyapa selera kami. Ustazah Sayidah yang jadi chef-leadernya. Ada lalap mentahan, slada, mentimun dan suraung. Aku sempat heran dari mana lalap ini didapat. Ayam goreng dan ikan pepes, kerupuk udang lengkap dengan sambel hijau, tempe dan tahu goreng.
Yang membuat kami makin merasa akrab dan nyaman, kami makan bersama dalam satu talam. Satu talam untuk berlima. Kami makan di atas karpet ruang makan yang cukup besar untuk lima puluh orang lebih. Jadi ingat dengan kebiasaan makan di Darul Akhirah. Diawali doa makan bersama juga saat selesai makan. Posisi makan mereka juga sama. Kaki kanan dilipat depan dada dan kaki kiri diduduki. Makan siang ini mengobati kerinduan Denia dan Bagas pada tanah air.
Selesai makan, kami diajak berkeliling melihat kegiatan di AUF. Ada sepuluh bidang usaha yang mereka kelola. Produk toileter untuk kalangan sendiri, mulai dari sampo, sabun mandi, diterjen, pasta gigi dan pewangi. Produk makanan, snack dan roti. Food court untuk mengelola makanan siap saji lengkap dengan lima set meja kursi untuk pelanggan. Di atas lantai dua gedung lokal kedua di samping kiri gedung utama ada rumah kaca sederhana. Ternyata di sana berbagai sayuran tropis di tanam dalam polibag dan hidroponik.
Ternyata AUF juga menyediakan penginapan. Free buat tamu, berbayar bagi penyewa. Kami tertidur lelap di wisma tamu lantai dua gedung utama. Tentu saja mereka menyediakan dua kamar buat kami. 
AUF adalah perpaduan dari aqidah, syariah, akhlak dan muamalah.  Dimotoro oleh seorang ayah yang bukan sekedar ayah.  Akan tetapi juga  guru,  pemimpin dan pengusaha
Glosarium:
1. Bu Mutia, nyuwun pangapunten = Bu, Mutia, saya minta maaf
2. Mboten dados menopo, Bu. = Tidak mengapa, Bu.
3. Ibu matur sembah nuwun sampun kerso ngencangi kulo. = Ibu, saya haturkan terima kasih sudah mau menemani saya selama perjalanan.
4. Es gibt einen leeren Raum, den Sie nutzen können, damit Sie sich beim Anbeten wohler fühlen. = Ada ruangan kosong yang bisa anda pakai supaya anda lebih nyaman beribadahnya.
5. Danke, ist das ein besonderer Ort des Gebets? = Terimakasih apakah itu tempat khusus salat?”
6. Komm schon, machen wir uns bereit für das Zuhur = Ayo, kita siap-siap solat Zuhur!
7. Annizam und Familiengemeinschaft = Komunitas Annizam dan Keluarga
8. Nein. Sie können es jedoch so verwenden, dass es nicht gestört wird und an Personen in diesem Untersuchungsraum vorbeigeht. = Bukan. Tapi anda bisa memakainya agar tidak terganggu lalu lalang orang di ruang pemeriksaan ini.
9. Freut mich, Brüder und Schwestern aus Indonesien kennenzulernen!=Senang bisa bertemu saudara seiman dari Indonesia.
10. Suraung(Sunda)=Kemangi
11. Kabita (Sunda) = Tertarik sangat dan menginginkan
12. Kemas=Rapih



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...