Senin, 19 November 2018

KISAH KE-31 Karena cinta Mengubah Segalanya



Kerinduan menggelayuti hatiku. Setahun Darul Akhirah hanya memberi kesempatan libur sekali. Sejak masuk pertengahan Idul Fitri, Denia belum pernah pulang hingga menjelang Ramadan. Aku mempersiapkan kepulangannya dengan serius.
Memang aku sempat menengoknya tapi dengan waktu sangat sebentar. Kami boleh menginap di wisma tamu secara gratis. Tapi tetap tidak boleh mengganggu kegiatan santri. Sementara kegiatan Denia bisa dibilang full time. Kecuali tidur dari jam sepuluh malam dan bangun jam tiga pagi. Tidur juga harus di asrama.
Untuk memasak makanan kesukaannya, aku sudah memulai aktifitas dapur jam dua pagi. Lepas qiyamullail, aku mengolah bahan masakan kesukaan Denia. Kare ayam campur terong lalap. Begitu selesai, aku tata di meja makan untuk sarapan dan juga sebagian lagi untuk makan siang.
Masih ada waktu menjelang Subuh, aku menata kamarnya supaya rapi. Aku megganti lampu duduk yang putus. Memasang seprai, sarung bantal dan bantal guling.
Rencana keberangkatan bakda Subuh tidak mengalami hambatan. Ahad jam lima pagi, kami berangkat sekeluarga, Mas lukman, Aku dan MumTazza yang masih berusia tiga tahun. Suasana pagi masih lengang. Mas Lukman memacu kendaraan lebih cepat.
“Tazza, kita mau jemput Tante Nia, nanti kamu bisa melihat-lihat pesantren tenpat Tante nia belajar,” Mas Lukman memang senang berinteraksi dengan gadis kecilnya.
“Tante Nia, mau pulang, ya? Asik, Tazza punya teman baru. Tapi Tazza pingin temen dede bayi. Seperti Kanza” Tazza yang mulai pandai bicara mengutarakan keinginannya yang bikin kami gemas.
“Tentu, Tazza. Ummi juga pingin ngasih temen Tazza dede bayi. Sabar, ya. Kita harus menerima berapapun yang Allah rejekikan. Buat Abi dan Ummi anak adalah rejeki yang tak ternilai harganya.” Aku membiasakan kalimat-kalimat tauhid pada Tazza sejak dini. Bukan karena paham atau tidaknya. Lebih karena anak harus dikenalkan pada Allah SWT sejak masih dalam kandungan.
“Kalau Tazza minta adik terus sepertinya kita yang harus banyak ilmu dan makin aktif, nih, ya Mutia.” Mas Lukman mulai genit.
“Ayo, Mas Lukman mulai, nih! Bisa-bisa aku minta balik ke rumah atau mampir hotel.” Aku tidak mau kalah degan godaan Mas Lukman. Mas Lukman malah tertawa lucu. Aku cubit sayang lengannya yang kekar.
Tidak terasa perjalanan lebih cepat dari tiga jam. Sekitar pukul delapan pagi, kami memarkir kendaraan di lapangan pesantren. Tidak banyak perubahan setelah aku nengok Denia saat pembagian rapot semester pertama.
“Assalamualaikum, Kak Mutia, Mas Lukman, Mumtazza. Aduk keponakan Tante udah pinter apa, nih?” Denia mengagetkanku yang baru saja mau turun sambil merapikan hijab.
“Waalaikum salam. Masyaallah, Denia sudah siap-siap pulang rupanya?” tanya Mas Lukman. saat melihat Denia membawa tas punggung berisi penuh.
Aku memeluk Denia begitu keluar dari mobil. Denia makin tinggi sebatas telingaku, sebentar lagi ia akan menyusulku.
“Tambah gembul pipi kamu, Denia.” Wajah Denia makin cantik dan bersinar, mungkin karena keseharian yang penuh jadwal ibadah dan belajar.
“Gimana nggak tambah besar, Kak? Disini jadwal makan ketat, makanan harus habis dan nggak boleh jajan sembarangan. Senin Kamis puasa tapi ada tambahan ifthar dari dapur. ” Satu per satu point bagusnya pendidikan pesantren untuk Mumtazza.
Denia memasukkan tas punggungnya di bagasi mobil. menggendong Mumtazza ke asrama. Aku ikuti Denia barang kali banyak barang yang harus dibawa pulang. Sementara itu Mas Lukman mengurus perizinan yang harus diambil dari mudabirah di ruang pengasuh.
Di kamar Denia, Aisyah Room, Santriwati sedang sibuk bebenah barang bawaan masing-masing. Begitu aku datang, teman Denia cium tangan semua. Rasanya penghormatan yang jarang aku dapat kecuali dari Denia dan Mumtazza.
“Kak Mutia, ini Nuansa, santriwati dari Subang.” Aku ingat cerita Denia tentang Asa, Masyaallah anak ini sudah melewati masa sulitnya di pesantren. Alhamdulillah aku ikut bahagia bumi Allah dipenuhi dengan kebaikan.
“Ini apa denia banyak piala di atas lemari kamu?” Aku menunjuk pada piala berjajar di atas lemari Denia.
Denia menjelaskan satu persatu. Piala paling besar dari lomba muhadharah bahasa Arab di tingkat Kabupaten. Yang coklat kecil terbuat dari kayu, piala design cover buku online yang diadakan sebuah penerbit buku. Yang sedang lomba cepat tepat MIPA-Agama dan Bahasa (LCC-MIPA ABA) antar pesantren se- kecamatan.
“Sepertinya, liburan Denia kali ini akan disibukkan dengan persiapan final lomba cepat tepat tingkat kabupaten, Kak. Soalnya dua minggu setelah liburan Denia harus ikut lomba lagi.”
“Selama kegiatannya positif Kak Mutia siap mendukungmu, Denia.”
“Kak, nanti mampir dulu ke took buku bisa?”
“Kamu butuh buku apa, Denia?”
Denia menyebutkan buku yang dibutuhkannya. Bank soal matematika, fisika, kimia, biologi, Agama Islam, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Aku langsung ingat isi dompetku. Hanya ada tiga lembar ratusan ribu.
“Sepertinya uang Kak Mutia nggak akan cukup untuk mendapatkan buku sebanyak itu Denia. Kebetulan dompet ATM-ku tidak terbawa. Ketinggalan di rumah.
“Nggak usah khawatir, Kak. Denia ada tabungan. Uang saku dari Kak Mutia sisa seratus ribu tiap bulannya. Jadi denia punya sejuta lebih.”
Aku merasa bersyukur. Anak remaja seusia Denia bisa menyisihkan uang saku. Padahan aku hanya memberiya seratus lima puluh ribu tiap bualnnya untuk keperluan bulanan dan jajan. Mungkin karena Denia menjadi anggota Majelis Yatama jadi banyak yang menyayanginya.
“Denia, kamu bawa semua piala ini? Apa tidak bakal di pajang di kantor pesantren?”
“Pesantren sudah buat duplikatnya, Kak. Jadi ini buat di rumah biar menjadi motivasi tetangga dan saudara. Sekalian promosi prestasi pesantren di kampung halaman.”
Aku pikir betul juga kebijakan pesantren. Pasalnya semua penghargaan yang kuraih waktu sekolah di SMP dan SMP, tidak ada satupun piala yang kubawa pulang. Rasanya bahan cerita dan motivasi dari generasi ke generasi kurang bisa dibuktikan.
Setelah pamit pada wali asramanya, Ustazah Rubiah, dan perizinan lancar, kami pulang dari pesantren jam sembilan pagi.
            Kami mampir ke toko terbesar di Jakarta. Denia memilih buku yang dibutuhkannya. Tiap kali ketoko buku aku selalu mengecek buku tulisanku yang masih beredar di pasaran. Alhamdulillah ada tiga judul buku terbaruku. Ternyata selain buku bank soal yang dipilihnya, Denia diam-diam mengoleksi novel dan buku seri motivasiku.
“Tolong copet! Dompetku dicopet orang!” Denia berteriak karena dompet berisi uang yang akan dipakainya untuk membayar buku raib dari tasnya.
“Ada apa Denia?” Aku bergegas mendekatinya. Sementara orang-orang dalam book store bereaksi dengan ekspresinya masing-masing.
Sekelebat sosok pencopet itu masih bisa dikenali denia. Bersepatu warrior hitam, celana jean biru muda, jaket kulit hitam polos dan topi . Mas Lukman bergerak cepat melapor pada sekuriti terdekat. Sekuriti itu memberi informasi pada semua sekuriti di mall itu melalui handitalky.
Aku fokus pada Denia dan Mumtazza. Denia masih lemah, Shock. Dompet itu berisi uang, kartu NISN, kartu siswa, kartu perpustakaan dan bukti pembayaran syahriyah. Semua penting buat Denia.
“Ya Allah, apa salah hamba sampai kau uji begini, Astaghfirullahal’adzim.”  Denia beristighfar berulang-ulang. Aku berusaha menenangkannya.
“Denia, ikhlaskan saja, biar Kak Mutia yang membayar buku-buku itu.” Aku menuju ke mesin ATM dan menarik uang tunai satu setengah juta. Aku bayar semua ke kasir.
            Mas Lukman pergi entah kemana. Kami menunggu di book store sambil membaca buku yang Denia beli. Book store ini agak unik. Ada pojok-pojok baca membuat pengunjung makin betah. Kursi akan membuka dan bisa diduduki kalau koin infak dimasukkan. Makin banyak koin dimasukkan makin lama kita bisa duduk. Infak untuk biaya pemeliharaan dan pengganti aus.
Denia sudah mulai tenang dengan terus berharap dompetnya bisa kembali. Tiba-tiba Mas Lukman datang bersama seorang remaja dengan cirri yang Denia sebutkan.
“Subhanallah, itu pelaku yang mengambil dompet Denia, Aku yakin, Kak.” Denia bicara padaku setengah berbisik.
“Kamu yakin? Tapi penampilannya sudah nggak seperti yang kamu bilang, Denia.”
“Yakin banget, mungkin dia sudah ganti tampilan! Alhamdulillah semoga hak Denia kembali, ya, Kak?”
“Kita nggak boleh ribut. Kalau ketahuan pengunjung book store bisa ribut dan kena maki remaja tanggung itu.”
Mas Lukman mengajak kami menuju mobil, masih bersama pencopet itu. Kami semua mengikuti isyarat dari Mas Lukman.
            Di dalam mobil perbincangan kami dimulai.  Ternyata Mas Lukman mendapati pencopet itu membelanjakan uang yang ada di dompet Denia di toserba di lantai satu mall ini. Mas Lukman sempat menguntit pemuda itu masuk ke toilet. Beberapa waktu ditunggu pemuda itu keluar dengan pakaian yang berbeda, tanpa jaket dan topi merah. Mas Lukman mengikuti pemuda itu ke arah toserba. Di sana dialog keduanya terjadi.
“Assalamu’alaikum, saya tahu kamu siapa. Tapi jangan takut aku tidak akan mencelakaimu, asalkan kita bisa bicara baik-baik.” Pemuda itu kaget, tapi tangannya sudah di pegang oleh Mas Lukman. Tidak mungkin dia lari. “Tenang saja, kalau kamu lari dan saya teriak ‘copet’ kamu bakal habis.”
Pemuda itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang Mas Lukman minta termasuk bersama kami di mobil ini.
“Nama kamu siapa?” tanyaku
“Rusdi, Bu.” Jawabnya pendek sambil terus menunduk.
“Umur kamu?” lanjutku.
“Enambelas tahun.”
“Nggak sekolah?”
“Sekolah tapi saya terpaksa melakukan ini.”
“Apa alasannya, tanya Mas Lukman.”
“Saya tinggal bersama nenek yang sudah tua dan tidak bisa mencari nafkah lagi. Saya terpaksa buat cari makan dengan cara ini.”
“Kamu melakukannya sendiri atau punya kelompok?” Denia ganti bertanya. Pengalamannya hidup di jalan membuat pertanyaannya agak berbeda dengan yang kami ajukan.
“Awalnya saya punya kelompok dan pimpinannya Kang Arul. Tapi sekarang aku sudah lepas. Aku memilih operasi sendiri saja. Lebih merdeka.”
“Kang Arul? Bisa kau sebutkan cirinya?” Denia penasaran nama kakaknya disebutkan.
“Buat apa?”
“Kami kenal dengan seseorang yang namanya sama dengan nama yang kau sebut itu.” Aku mencoba mencoba membantu Denia menjawab pertanyaan Rusdi.
“ Perawakannya tinggi, usianya dua puluh dua tahun, katanya sih kelahiran Sukabumi.”
Denia yakin itu Arul, kakaknya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak memperlihatkan ekspresi penasarannya. Rasa ngeri dengan masa lalunya yang suram membuatnya enggan membuka jalan berkaitan dengan hal itu lagi.
“Kamu benar-benar sudah lepas dengan bosmu itu?” Pertanyaan cerdas itu Denia utarakan untuk menghindari kecurigaan kalau dia kenal dengan Arul. Tapi buatku tujuan pertanyaannya jelas ingin tahu keberadaan sang kakak.
“Aku sudah lama tidak tahu lagi kabarnya.”
Pemuda itu memberikan kembali dompet Denia. Uangnya masih utuh. Denia mengambil semua uang yang dimilikinya.
“Kak Mutia, boleh semua uang ini buat Rusdi?  Nanti uang Kak Mutia yang buat buku insyaallah Denia ganti?  Semoga uang yang tak seberapa ini berkah dan bisa sedikit membantu meringankan kesusahannya.” 
Aku mengiyakan niat baik Denia. “Nggak perlu kamu ganti Denia.  Biar Kak Mutia ikut dapat berkahnya aja.”
“Menurutku, akan sangat baik bila uang ini kamu pakai buat modal jualan.”  Masyaallah, Denia.  Aku tidak menyangka, Denia rela mengorbankan hasil menghematnya untuk orang lain.  Jiwa baik Denia makin tumbuh subur di Darul Akhirah. 
Mas Lukman meminta persetujuanku buat membagi nomer kontak hp pada Rusdi. Aku tidak keberatan dan setuju dengan niat baik Mas Lukman “Aku pikir kamu mencopet karena terpaksa. Ini ada nomor kontak saya. Kapan-kapan kalau kamu sangat membutuhkan bantuan boleh hubungi nomor saya. Semoga kamu bisa terhindar dari perbuatan buruk kamu.” Mas Lukman mengakhiri pertemuan ini dengan nasihat baik buat Rusdi.
***
            Perjuangan Denia mendapatkan bahan untuk merebut piala di LCC final memberikan pengalaman cukup mendebarkan buat kami. Terutama Denia yang hampir kehilangan kartu-kartu penting. Juga Mas Lukman yang berjuang mendapatkan pencopet itu, beruntung pencopetnya tidak membawa senjata tajam.
Selesai belanja buku persiapan lomba Denia di mall, kami pulang. Hatiku kecut juga seandainya kami dianggap terlibat dengan pencopet. Pasalnya CCTV dapat menangkap peristiwa di mall dengan jelas. Laa haula walaa quwwata illa billah. Semoga kekhawatiranku tidak terjadi.
Sesampai di rumah, Denia merasa diperlakukan istimewa dengan kare kesukaannya. Begitu juga saat memasuki kamar tidur.
“Kak, aku bakalan betah tinggal di kamar sambil menyelesaikan target belajarku.”
“Denia ini hari libur. Kami terus belajar? Apa nggak lelah, Denia?”
“Nggak, Kak. Waktunya tinggal satu setengah bulan. Aku harus membagi target tugas mutabaah yaumiyah dan persiapan LCC.” Denia mejelaskan padaku bagaimana menyelesaikan buku bank soal perharinya. Ada enam buku. Tebalnya rata-rata tiga ratus halaman. Satu buku perpekan harus dilalapnya. Belum lagi satu pekan praktis habis untuk silaturahim Idul Fitri. Ini berarti sehari denia harus menyelesaikan enam puluh halaman buku serius.
“Terus terang Kak Mutia takut kamu kelelahan.”
“Jangan khawatir, Kak. Ini buku bagus jadi cocok buat yang suka autodidak. Nanti kalau Denia nggak bisa atau susah buat paham, boleh Denia tanya ke Kak Mutia?”
“Tentu Denia. Dengan senang hati.”
Sifat gigih, penuh semangat, sungguh-sungguh dan sabar begitu melekat pada diri Denia. Semua terjadwal rapi. Sepertinya pembiasaan selama setahun di Darul Akhirah membuat Denia makin ringan mengerjakan hal-hal positif. Bangun malam, Tahajud, belajar, Subuh, baca Alquran. Mandi pagi, sarapan pagi membantu aku menyelesaikan kerja-kerja rumah, Duha, belajar hingga Zuhur. Sesekali Denia di sela belajarnya dia menghampiriku untuk bertanya sesuatu yang sulit dipahaminya dari buku. Bakda Zuhur kailulah atau kadang mengasuh Mumtazza. Asar, baca Quran terus belajar lagi. Maghrib ada tugas dari pesantren untuk bakti sosial. Denia memilih menjadi pengajar di musala dekat perumahan kami. Pulang bakda Isya, dia akan belajar hingga pukul sebelas.
“Denia, kami akan munggahan menjelang Ramadan. Sebaiknya kamu ikut, ya?”
“Denia bukannya menolak, Kak. Tapi kehilanga waktu sehari, berarti Denia harus mengejar 120 halaman besok. Rasanya nggak sanggup Kak. Mohon maaf ya. Kak?”
Aku akhirnya mengalah. Sesekali tidak munggahan tidak mengapa. Ada waktu satu pekan selama Idul Fitri yang Denia kosongkan untuk silaturahim selama lebaran. Pernah suatu hari Denia mengalami kelelahan. Alhamdulillah tidak sampai dirawat. Aku segera menyediakan suplemen untuk asupan gizinya.
Berkat hasil jerih payahnya itu, Darul Akhirah memenangkan lomba dan akan memasuki jenjang provinsi. Rencana kegiatannya akan diselenggarakan di Darul Akhirah sebagai tuan rumah dan sekaligus panitianya.
Selamat, Denia. Jerih payah yang tidak sia-sia. Kau sudah mengharumkan nama pesantren hingga tingkat provinsi. Ini bagian dari syiar pendidikan pesantren.
Ternyata nasib kita bisa berubah saat kita mau berjuang untuk mengubahnya. Kau yang hampir kehilangan masa depan, biasa meraih prestasi-prestasi gemilang. Semoga potensi bisa terus kau gali untuk meraih ribuan gemintang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...