KISAH
KE-31
KAU ADALAH BINTANG
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#RaihlahBintang-Bintang
KAU ADALAH BINTANG
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#RaihlahBintang-Bintang
Kerinduan menggelayuti hatiku. Setahun Darul
Akhirah hanya memberi kesempatan libur sekali. Sejak masuk pertengahan Idul
Fitri, Denia belum pernah pulang hingga menjelang Ramadan. Aku mempersiapkan
kepulangannya dengan serius.
Memang aku sempat menengoknya tapi dengan waktu
sangat sebentar. Kami boleh menginap di wisma tamu secara gratis. Tapi tetap
tidak boleh mengganggu kegiatan santri. Sementara kegiatan Denia bisa dibilang
full time. Kecuali tidur dari jam sepuluh malam dan bangun jam tiga pagi. Tidur
juga harus di asrama.
Untuk memasak makanan kesukaannya, aku sudah
memulai aktifitas dapur jam dua pagi. Lepas qiyamullail, aku mengolah bahan
masakan kesukaan Denia. Kare ayam campur terong lalap. Begitu selesai, aku tata
di meja makan untuk sarapan dan juga sebagian lagi untuk makan siang.
Masih ada waktu menjelang Subuh, aku menata
kamarnya supaya rapi. Aku megganti lampu duduk yang putus. Memasang seprai,
sarung bantal dan bantal guling.
Rencana keberangkatan bakda Subuh tidak
mengalami hambatan. Ahad jam lima pagi, kami berangkat sekeluarga, Mas lukman,
Aku dan MumTazza yang masih berusia tiga tahun. Suasana pagi masih lengang. Mas
Lukman memacu kendaraan lebih cepat.
“Tazza, kita mau jemput Tante Nia, nanti kamu
bisa melihat-lihat pesantren tenpat Tante nia belajar,” Mas Lukman memang
senang berinteraksi dengan gadis kecilnya.
“Tante Nia, mau pulang, ya? Asik, Tazza punya
teman baru. Tapi Tazza pingin temen dede bayi. Seperti Kanza” Tazza yang mulai
pandai bicara mengutarakan keinginannya yang bikin kami gemas.
“Tentu, Tazza. Ummi juga pingin ngasih temen
Tazza dede bayi. Sabar, ya. Kita harus menerima berapapun yang Allah rejekikan.
Buat Abi dan Ummi anak adalah rejeki yang tak ternilai harganya.” Aku
membiasakan kalimat-kalimat tauhid pada Tazza sejak dini. Bukan karena paham
atau tidaknya. Lebih karena anak harus dikenalkan pada Allah SWT sejak masih
dalam kandungan.
“Kalau Tazza minta adik terus sepertinya kita
yang harus banyak ilmu dan makin aktif, nih, ya Mutia.” Mas Lukman mulai genit.
“Ayo, Mas Lukman mulai, nih! Bisa-bisa aku
minta balik ke rumah atau mampir hotel.” Aku tidak mau kalah degan godaan Mas
Lukman. Mas Lukman malah tertawa lucu. Aku cubit sayang lengannya yang kekar.
Tidak terasa perjalanan lebih cepat dari tiga
jam. Sekitar pukul delapan pagi, kami memarkir kendaraan di lapangan pesantren.
Tidak banyak perubahan setelah aku nengok Denia saat pembagian rapot semester
pertama.
“Assalamualaikum, Kak Mutia, Mas Lukman,
Mumtazza. Aduk keponakan Tante udah pinter apa, nih?” Denia mengagetkanku yang
baru saja mau turun sambil merapikan hijab.
“Waalaikum salam. Masyaallah, Denia sudah
siap-siap pulang rupanya?” tanya Mas Lukman. saat melihat Denia membawa tas
punggung berisi penuh.
Aku
memeluk Denia begitu keluar dari mobil. Denia makin tinggi sebatas telingaku,
sebentar lagi ia akan menyusulku.
“Tambah gembul pipi kamu, Denia.” Wajah Denia
makin cantik dan bersinar, mungkin karena keseharian yang penuh jadwal ibadah
dan belajar.
“Gimana nggak tambah besar, Kak? Disini jadwal
makan ketat, makanan harus habis dan nggak boleh jajan sembarangan. Senin Kamis
puasa tapi ada tambahan ifthar dari dapur. ” Satu per satu point bagusnya
pendidikan pesantren untuk Mumtazza.
Denia memasukkan tas punggungnya di bagasi
mobil. menggendong Mumtazza ke asrama. Aku ikuti Denia barang kali banyak
barang yang harus dibawa pulang. Sementara itu Mas Lukman mengurus perizinan
yang harus diambil dari mudabirah di ruang pengasuh.
Di kamar Denia, Aisyah Room, Santriwati sedang
sibuk bebenah barang bawaan masing-masing. Begitu aku datang, teman Denia cium
tangan semua. Rasanya penghormatan yang jarang aku dapat kecuali dari Denia dan
Mumtazza.
“Kak Mutia, ini Nuansa, santriwati dari
Subang.” Aku ingat cerita Denia tentang Asa, Masyaallah anak ini sudah melewati
masa sulitnya di pesantren. Alhamdulillah aku ikut bahagia bumi Allah dipenuhi
dengan kebaikan.
“Ini apa denia banyak piala di atas lemari
kamu?” Aku menunjuk pada piala berjajar di atas lemari Denia.
Denia menjelaskan satu persatu. Piala paling
besar dari lomba muhadharah bahasa Arab di tingkat Kabupaten. Yang coklat kecil
terbuat dari kayu, piala design cover buku online yang diadakan sebuah penerbit
buku. Yang sedang lomba cepat tepat MIPA-Agama dan Bahasa (LCC-MIPA ABA) antar
pesantren se- kecamatan.
“Sepertinya, liburan Denia kali ini akan
disibukkan dengan persiapan final lomba cepat tepat tingkat kabupaten, Kak.
Soalnya dua minggu setelah liburan Denia harus ikut lomba lagi.”
“Selama kegiatannya positif Kak Mutia siap
mendukungmu, Denia.”
“Kak, nanti mampir dulu ke took buku bisa?”
“Kamu butuh buku apa, Denia?”
Denia menyebutkan buku yang dibutuhkannya. Bank
soal matematika, fisika, kimia, biologi, Agama Islam, bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Aku langsung ingat isi dompetku. Hanya ada tiga lembar ratusan ribu.
“Sepertinya uang Kak Mutia nggak akan cukup
untuk mendapatkan buku sebanyak itu Denia. Kebetulan dompet ATM-ku tidak
terbawa. Ketinggalan di rumah.
“Nggak usah khawatir, Kak. Denia ada tabungan.
Uang saku dari Kak Mutia sisa seratus ribu tiap bulannya. Jadi denia punya
sejuta lebih.”
Aku merasa bersyukur. Anak remaja seusia Denia
bisa menyisihkan uang saku. Padahan aku hanya memberiya seratus lima puluh ribu
tiap bualnnya untuk keperluan bulanan dan jajan. Mungkin karena Denia menjadi
anggota Majelis Yatama jadi banyak yang menyayanginya.
“Denia, kamu bawa semua piala ini? Apa tidak
bakal di pajang di kantor pesantren?”
“Pesantren sudah buat duplikatnya, Kak. Jadi
ini buat di rumah biar menjadi motivasi tetangga dan saudara. Sekalian promosi
prestasi pesantren di kampung halaman.”
Aku pikir betul juga kebijakan pesantren.
Pasalnya semua penghargaan yang kuraih waktu sekolah di SMP dan SMP, tidak ada
satupun piala yang kubawa pulang. Rasanya bahan cerita dan motivasi dari
generasi ke generasi kurang bisa dibuktikan.
Setelah pamit pada wali asramanya, Ustazah
Rubiah, dan perizinan lancar, kami pulang dari pesantren jam sembilan
pagi.
Kami mampir ke toko terbesar di Jakarta. Denia memilih buku yang dibutuhkannya. Tiap kali ketoko buku aku selalu mengecek buku tulisanku yang masih beredar di pasaran. Alhamdulillah ada tiga judul buku terbaruku. Ternyata selain buku bank soal yang dipilihnya, Denia diam-diam mengoleksi novel dan buku seri motivasiku.
Kami mampir ke toko terbesar di Jakarta. Denia memilih buku yang dibutuhkannya. Tiap kali ketoko buku aku selalu mengecek buku tulisanku yang masih beredar di pasaran. Alhamdulillah ada tiga judul buku terbaruku. Ternyata selain buku bank soal yang dipilihnya, Denia diam-diam mengoleksi novel dan buku seri motivasiku.
“Tolong copet! Dompetku dicopet orang!” Denia
berteriak karena dompet berisi uang yang akan dipakainya untuk membayar buku
raib dari tasnya.
“Ada apa Denia?” Aku bergegas mendekatinya.
Sementara orang-orang dalam book store bereaksi dengan ekspresinya
masing-masing.
Sekelebat sosok pencopet itu masih bisa
dikenali denia. Bersepatu warrior hitam, celana jean biru muda, jaket kulit
hitam polos dan topi . Mas Lukman bergerak cepat melapor pada sekuriti
terdekat. Sekuriti itu memberi informasi pada semua sekuriti di mall itu
melalui handitalky.
Aku fokus pada Denia dan Mumtazza. Denia masih
lemah, Shock. Dompet itu berisi uang, kartu NISN, kartu siswa, kartu
perpustakaan dan bukti pembayaran syahriyah. Semua penting buat Denia.
“Ya Allah, apa salah hamba sampai kau uji
begini, Astaghfirullahal’adzim.” Denia
beristighfar berulang-ulang. Aku berusaha menenangkannya.
“Denia, ikhlaskan saja, biar Kak Mutia yang
membayar buku-buku itu.” Aku menuju ke mesin ATM dan menarik uang tunai satu
setengah juta. Aku bayar semua ke kasir.
Mas Lukman pergi entah kemana. Kami menunggu di book store sambil membaca buku yang Denia beli. Book store ini agak unik. Ada pojok-pojok baca membuat pengunjung makin betah. Kursi akan membuka dan bisa diduduki kalau koin infak dimasukkan. Makin banyak koin dimasukkan makin lama kita bisa duduk. Infak untuk biaya pemeliharaan dan pengganti aus.
Mas Lukman pergi entah kemana. Kami menunggu di book store sambil membaca buku yang Denia beli. Book store ini agak unik. Ada pojok-pojok baca membuat pengunjung makin betah. Kursi akan membuka dan bisa diduduki kalau koin infak dimasukkan. Makin banyak koin dimasukkan makin lama kita bisa duduk. Infak untuk biaya pemeliharaan dan pengganti aus.
Denia sudah mulai tenang dengan terus berharap
dompetnya bisa kembali. Tiba-tiba Mas Lukman datang bersama seorang remaja
dengan cirri yang Denia sebutkan.
“Subhanallah, itu pelaku yang mengambil dompet
Denia, Aku yakin, Kak.” Denia bicara padaku setengah berbisik.
“Kamu yakin? Tapi penampilannya sudah nggak
seperti yang kamu bilang, Denia.”
“Yakin banget, mungkin dia sudah ganti
tampilan! Alhamdulillah semoga hak Denia kembali, ya, Kak?”
“Kita nggak boleh ribut. Kalau ketahuan
pengunjung book store bisa ribut dan kena maki remaja tanggung itu.”
Mas Lukman mengajak kami menuju mobil, masih
bersama pencopet itu. Kami semua mengikuti isyarat dari Mas Lukman.
Di dalam mobil perbincangan kami dimulai. Ternyata Mas Lukman mendapati pencopet itu membelanjakan uang yang ada di dompet Denia di toserba di lantai satu mall ini. Mas Lukman sempat menguntit pemuda itu masuk ke toilet. Beberapa waktu ditunggu pemuda itu keluar dengan pakaian yang berbeda, tanpa jaket dan topi merah. Mas Lukman mengikuti pemuda itu ke arah toserba. Di sana dialog keduanya terjadi.
Di dalam mobil perbincangan kami dimulai. Ternyata Mas Lukman mendapati pencopet itu membelanjakan uang yang ada di dompet Denia di toserba di lantai satu mall ini. Mas Lukman sempat menguntit pemuda itu masuk ke toilet. Beberapa waktu ditunggu pemuda itu keluar dengan pakaian yang berbeda, tanpa jaket dan topi merah. Mas Lukman mengikuti pemuda itu ke arah toserba. Di sana dialog keduanya terjadi.
“Assalamu’alaikum, saya tahu kamu siapa. Tapi
jangan takut aku tidak akan mencelakaimu, asalkan kita bisa bicara baik-baik.”
Pemuda itu kaget, tapi tangannya sudah di pegang oleh Mas Lukman. Tidak mungkin
dia lari. “Tenang saja, kalau kamu lari dan saya teriak ‘copet’ kamu bakal
habis.”
Pemuda itu tidak punya pilihan lain selain
mengikuti apa yang Mas Lukman minta termasuk bersama kami di mobil ini.
“Nama kamu siapa?” tanyaku
“Rusdi, Bu.” Jawabnya pendek sambil terus
menunduk.
“Umur kamu?” lanjutku.
“Enambelas tahun.”
“Nggak sekolah?”
“Sekolah tapi saya terpaksa melakukan ini.”
“Apa alasannya, tanya Mas Lukman.”
“Saya tinggal bersama nenek yang sudah tua dan
tidak bisa mencari nafkah lagi. Saya terpaksa buat cari makan dengan cara ini.”
“Kamu melakukannya sendiri atau punya
kelompok?” Denia ganti bertanya. Pengalamannya hidup di jalan membuat
pertanyaannya agak berbeda dengan yang kami ajukan.
“Awalnya saya punya kelompok dan pimpinannya Kang
Arul. Tapi sekarang aku sudah lepas. Aku memilih operasi sendiri saja. Lebih
merdeka.”
“Kang Arul? Bisa kau sebutkan cirinya?” Denia
penasaran nama kakaknya disebutkan.
“Buat apa?”
“Kami kenal dengan seseorang yang namanya sama
dengan nama yang kau sebut itu.” Aku mencoba mencoba membantu Denia menjawab
pertanyaan Rusdi.
“ Perawakannya tinggi, usianya dua puluh dua
tahun, katanya sih kelahiran Sukabumi.”
Denia yakin itu Arul, kakaknya. Ia berusaha
menahan diri untuk tidak memperlihatkan ekspresi penasarannya. Rasa ngeri
dengan masa lalunya yang suram membuatnya enggan membuka jalan berkaitan dengan
hal itu lagi.
“Kamu benar-benar sudah lepas dengan bosmu
itu?” Pertanyaan cerdas itu Denia utarakan untuk menghindari kecurigaan kalau
dia kenal dengan Arul. Tapi buatku tujuan pertanyaannya jelas ingin tahu
keberadaan sang kakak.
“Aku sudah lama tidak tahu lagi kabarnya.”
Pemuda
itu memberikan kembali dompet Denia. Uangnya masih utuh. Denia mengambil semua
uang yang dimilikinya.
“Kak Mutia, boleh semua uang ini buat Rusdi? Nanti uang Kak Mutia yang buat buku
insyaallah Denia ganti? Semoga uang yang
tak seberapa ini berkah dan bisa sedikit membantu meringankan kesusahannya.”
Aku mengiyakan niat baik Denia. “Nggak perlu
kamu ganti Denia. Biar Kak Mutia ikut
dapat berkahnya aja.”
“Menurutku, akan sangat baik bila uang ini kamu
pakai buat modal jualan.” Masyaallah,
Denia. Aku tidak menyangka, Denia rela
mengorbankan hasil menghematnya untuk orang lain. Jiwa baik Denia makin tumbuh subur di Darul
Akhirah.
Mas Lukman meminta persetujuanku buat membagi
nomer kontak hp pada Rusdi. Aku tidak keberatan dan setuju dengan niat baik Mas
Lukman “Aku pikir kamu mencopet karena terpaksa. Ini ada nomor kontak saya.
Kapan-kapan kalau kamu sangat membutuhkan bantuan boleh hubungi nomor saya.
Semoga kamu bisa terhindar dari perbuatan buruk kamu.” Mas Lukman mengakhiri
pertemuan ini dengan nasihat baik buat Rusdi.
***
Perjuangan Denia mendapatkan bahan untuk merebut piala di LCC final memberikan pengalaman cukup mendebarkan buat kami. Terutama Denia yang hampir kehilangan kartu-kartu penting. Juga Mas Lukman yang berjuang mendapatkan pencopet itu, beruntung pencopetnya tidak membawa senjata tajam.
Perjuangan Denia mendapatkan bahan untuk merebut piala di LCC final memberikan pengalaman cukup mendebarkan buat kami. Terutama Denia yang hampir kehilangan kartu-kartu penting. Juga Mas Lukman yang berjuang mendapatkan pencopet itu, beruntung pencopetnya tidak membawa senjata tajam.
Selesai belanja buku persiapan lomba Denia di
mall, kami pulang. Hatiku kecut juga seandainya kami dianggap terlibat dengan
pencopet. Pasalnya CCTV dapat menangkap peristiwa di mall dengan jelas. Laa
haula walaa quwwata illa billah. Semoga kekhawatiranku tidak terjadi.
Sesampai di rumah, Denia merasa diperlakukan
istimewa dengan kare kesukaannya. Begitu juga saat memasuki kamar tidur.
“Kak, aku bakalan betah tinggal di kamar sambil
menyelesaikan target belajarku.”
“Denia ini hari libur. Kami terus belajar? Apa
nggak lelah, Denia?”
“Nggak, Kak. Waktunya tinggal satu setengah bulan.
Aku harus membagi target tugas mutabaah yaumiyah dan persiapan LCC.” Denia
mejelaskan padaku bagaimana menyelesaikan buku bank soal perharinya. Ada enam
buku. Tebalnya rata-rata tiga ratus halaman. Satu buku perpekan harus
dilalapnya. Belum lagi satu pekan praktis habis untuk silaturahim Idul Fitri.
Ini berarti sehari denia harus menyelesaikan enam puluh halaman buku serius.
“Terus terang Kak Mutia takut kamu kelelahan.”
“Jangan khawatir, Kak. Ini buku bagus jadi
cocok buat yang suka autodidak. Nanti kalau Denia nggak bisa atau susah buat
paham, boleh Denia tanya ke Kak Mutia?”
“Tentu Denia. Dengan senang hati.”
Sifat gigih, penuh semangat, sungguh-sungguh
dan sabar begitu melekat pada diri Denia. Semua terjadwal rapi. Sepertinya
pembiasaan selama setahun di Darul Akhirah membuat Denia makin ringan
mengerjakan hal-hal positif. Bangun malam, Tahajud, belajar, Subuh, baca
Alquran. Mandi pagi, sarapan pagi membantu aku menyelesaikan kerja-kerja rumah,
Duha, belajar hingga Zuhur. Sesekali Denia di sela belajarnya dia menghampiriku
untuk bertanya sesuatu yang sulit dipahaminya dari buku. Bakda Zuhur kailulah
atau kadang mengasuh Mumtazza. Asar, baca Quran terus belajar lagi. Maghrib ada
tugas dari pesantren untuk bakti sosial. Denia memilih menjadi pengajar di
musala dekat perumahan kami. Pulang bakda Isya, dia akan belajar hingga pukul
sebelas.
“Denia, kami akan munggahan menjelang Ramadan.
Sebaiknya kamu ikut, ya?”
“Denia bukannya menolak, Kak. Tapi kehilanga
waktu sehari, berarti Denia harus mengejar 120 halaman besok. Rasanya nggak
sanggup Kak. Mohon maaf ya. Kak?”
Aku akhirnya mengalah. Sesekali tidak munggahan
tidak mengapa. Ada waktu satu pekan selama Idul Fitri yang Denia kosongkan
untuk silaturahim selama lebaran. Pernah suatu hari Denia mengalami kelelahan.
Alhamdulillah tidak sampai dirawat. Aku segera menyediakan suplemen untuk
asupan gizinya.
Berkat hasil jerih payahnya itu, Darul Akhirah
memenangkan lomba dan akan memasuki jenjang provinsi. Rencana kegiatannya akan
diselenggarakan di Darul Akhirah sebagai tuan rumah dan sekaligus panitianya.
Selamat, Denia. Jerih payah yang tidak sia-sia.
Kau sudah mengharumkan nama pesantren hingga tingkat provinsi. Ini bagian dari
syiar pendidikan pesantren.
Ternyata nasib kita bisa berubah saat kita mau
berjuang untuk mengubahnya. Kau yang hampir kehilangan masa depan, biasa meraih
prestasi-prestasi gemilang. Semoga potensi bisa terus kau gali untuk meraih
ribuan gemintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar