Kisah
Ke-30
UNTUKMU, AKU AKAN DATANG
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#UsahKauLaraSendiri_KBKRS
UNTUKMU, AKU AKAN DATANG
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#UsahKauLaraSendiri_KBKRS
“Mutia, kalau benarlan Bagas itu jodoh Hasna.
Sebaiknya kamu kesana untuk memperlancar urusan Bagas dan Denia. Meskipun kita
belum ditakdirkan membangun rumah tangga poligami, minimal ada jariah kita
untuk kebaikan Bagas, Denia dan Hasna.” Mas Lukman memberi saran setelah Denia
menyampaikan kabar tentang Hasna. Tepat dua pekan setelah keberagkatan Denia.
“Pengawasan pekerja gimana, Mas?”
“Percayakan saja sama Nadila, dia gadis yang
baik dan bisa dipercaya. Bukankan dia yang membantumu di akunting?”
Kalau sudah disuruh sama Mas Lukman, rasanya
sulit dan hampir mustahil untuk menolaknya. Semoga semua administrasi bisa
lancar. Insya Allah, dua sampai tiga minggu ke depan aku bisa berangkat
menyusul Denia.
“Tapi gimana, Mas, aku tidak ada mahram di
pesawat. Kalau di Bandara Berlin aku bisa minta jempul Denia. Tapi di
pesawat….”
“Mudah nanti aku carikan mahram di perjalanan.
Pasti ada akhwat atau ibu-ibu yang sama-sama bakalan ke Berlin.”
“Mas Lukman nggak bisa ambil cuti sepekan aja?”
“Maaf, Mutia, cutiku sudah kita ambil bulan
Juni saat survey pesantren buat Mumtaza. Jadi sudah nggak bisa izin lagi.”
Aku menahan napas panjang. Hampir saja aku
ekspresikan untuk perasaan berat berpisah dengan Mas Lukman. Aku tidak ingin
beban rasa ini diketahui Mas Lukman. Toh, niatnya sangat baik.
“Bagaimana dengan Fatih, Mas. Mas Lukman
bakalan repot ngurusi sekolahnya.”
“Fatih udah besar, lebih mudah mengurusnya.
Berangkat pagi aku antar, pulangnya aku jemput. Sudah, jangan ragu!”
Hari ini juga aku mendaftar pembuatan paspor
dan visa online. Paspos dan visa yang aku punya saat mendamping Mas Lukman enam
tahun yang lalu juga sudah hangus. Alhamdulillah, dengan pendaftaran online,
semua terasa praktis. Tinggal mengentri data di web Direktorat Jendral
Imigrasi. Yang penting berkas persyaratan lengkap. Kartu Tanda Penduduk, Kartu
Keluarga, akta kelahiran dan paspor lama dan materai enam ribu.
Jadwal wawancara tiga hari ke depan. Mas Lukman
sanggup mengantarku untuk pengurusan paspor dan visa. Apalagi kantor imigrasi
sudah buka sejak pukul delapan pagi. Jadi sekalian pergi ke kantor Mas Lukman.
Kami berangkat jam setengah tujuh dari Kalibata. Kantor imigrasi Jakarta Selatan
bisa dirempuh dua belas menit dengan kendaraan pribadi. Sementara dari Kantor
Imigrasi ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan hanya sepuluh menit.
Wawancara berlangsung lancar dan aku harus
menunggu tiga hari sampai paspor selesai. Biaya pembuatanya hanya tiga ratus
lima puluh ribu.
Begitu paspor selesai aku segera mengurus visa
turis. Seperti halnya pengurusan paspor, pendaftaran visa online juga sangat
mempermudah urusan ini. Layanan web meminta berkas yang harus aku kirim. Pas
foto , formulir yang dapat diunduh di website kedutaan, rekening bank , tiket
pesawat pulang dan pergi, asuransi perjalanan dan reservasi hotel dari rumah
sewa IKWK yang sudah aku pesan online. Yang sangat penting paspor yang aku
terima hari ini.
Jawaban dari kedutaan untuk interview aku
terima dua pekan setelah pengajuan berkas online. Biaya tidak terlalu mahal,
enam puluh euro, sekitar satu juta rupiah. Izin tinggalnya selama sembilan
puluh hari. Justru yang paling mahal tikel pesawat bolak-balik yang mencapai
dua belas juta untuk maskapai penerbangan yang Mas Lukman pilih.
Syukurlah Mas Lukman menyarankanku untuk
mengurus paspor dan visa ternyata Denia membutuhkan kehadiranku. Bukan hanya
terkait dengan Hasna tapi juga menjelang kelahiran anak keduanya.
Awal Nopember, di Jerman sudah mulai musim
gugur. Aku akan merasakan udara mulai ekstrim dingin bulan ini. Aku
mempersiapkan semua terutama overcoat dan syal. Pasti akan sangat dibutuhkan
terutama di malam hari.
“Mas, maafin aku harus ninggalin Mas sama Fatih
di rumah.” Aku masih mengucapkan kalimat itu hingga beberapa saat sebelum
keberangkatan di bandara.
Sampai di bandara, Mas Lukman menepati janjinya. Mencarikan mahram selama safar. memperkenalkan aku dengan seseorang yang ternyata keluarga teman sekantornya.
Sampai di bandara, Mas Lukman menepati janjinya. Mencarikan mahram selama safar. memperkenalkan aku dengan seseorang yang ternyata keluarga teman sekantornya.
“Ibu, mohon maaf, saya nitip istri saya, Mutia
selama perjalanan ke Berlin. Saya tidak bisa mendapingi istri saya. Jadi dalam
perjalanan ini, dia berangkat tanpa mahram.” Mas Lukman begitu seriusnya
mencarikan aku mahram di perjalanan. Pak Kuncoro dan Ibu dengan nomor duduk
tepat di sampingku.
Terimakasih, Mas. Cintamu selalu kurasakan di tiap perlindunganmu.
Terimakasih, Mas. Cintamu selalu kurasakan di tiap perlindunganmu.
“Oh, dengan senang hati kami akan menemani Bu
Mutia.” Sepasang suami istri, mungkin usia mereka diatas kepala enam. Mereka
berbincang menemaniku ramah sambil menunggu pesawat tiba untuk penerbangan ke
Berlin pukul lima lewat tiga puluh lima sore.
Tidak ada penerbangan langsung Jakarta Berlin.
Pesawat akan transit di Abu Dhabi. Aku kini duduk di terminal C-3 bandara.
Suasananya nyaman dan bersih didomonasi jajaran kursi merah dan hitam. Setiap
momen aku rekam dengan rapi di buku harianku. Sebagai penulis setiap perjalanan
adalah sumber inspirasi berharga. Lengkap dengan foto penting yang kurasa bisa
menjadi tambahan informasi.
Jam lima penumpang sudah harus ada di dalam
pesawat. Aku cium tangan Mas Lukman dan memeluknya erat. Aku gendong Fatih yang
ternyata sudah cukup berat di usia sembilan tahun ini.
“Ummi jangan lama-lama, ya. Ntar kalau ada
tugas aku harus bikin repot abi terus. Kasihan Abi capek kerja. Terus cerita
yang kemarin bakal terputus, deh!” Fatih memang agak sulit jauh dariku. Sebelum
tidur dia selalu minta dibacakan buku atau didongengi.
“Fatih nggak boleh manja, ntar ummi berat mau
berangkat. Abi bisa kok nerusin dogeng yang ummi ceritakan.” Mas Lukman
berusaha menenangkan Fatih.
Rasanya berat juga perpisahan ini. Manusia
hanya bisa berharap. Semoga keselamatan selalu mengiringi tiap langkah. Aku
terus berdoa pada yang Mahakuasa, kiranya masih ada umur panjang dan
kesempatan. Kerinduan bertemu kembali orang-orang tercinta terus memenuhi ruang
rasa.
Di sela hangatnya berita kecelakaan pesawat
baru-baru ini memantik rasa takut. Akan tetapi bagaimanapun nikmat dan
perlindungan Allah SWT tetap lebih luas dari ujian dan cobaan dariNya.
Nomor urutku pas berada di samping jendela
pesawat, aku bisa melihat jelas Mas Lukman dan Fatih melambaikan tangan. Saat
pesawat berbelok aku sudah tak melihat mereka berdua.
Alhamdulillah kali ini Mas Lukman memesankan
aku tiket pesawat yang nyaman. Jenis pesawat Boeing 777-300ER. Besar dan mahal.
Tidak seperti saat kami berangkat berdua. Mas Lukman biasa memesan harga murah
sampai menengah. Mungkin karena Mas Lukman tidak mau aku merasa cemas sendiri
dengan pesawat yang kurang nyaman. Benar saja, suara mesin pesawat mahal ini
hampir tak terdengar. Semua serba lux dan dilengkapi layar monitor yang bisa
kita gunakan untuk hiburan yang kita inginkan. Bahkan dengan sistem kontroling
canggih, pilot bisa meninggalkan kemudinya setelah pesawat stabil.
Pramugari berwajah cantik khas timur tengah itu
mulai memberi penjelasan. Aku selalu berusaha mendengarkannya sebaik mungkin.
Kadang aku merasa kasihan pada pramugari. Pasalnya, mereka yang sudah sering
melakukan penerbangan, tak ambil perhatian serius. Tentang sabuk pengaman yang
harus dipakai saat take off dan landing. Tentang cara penggunaan pelampung,
pemakaian masker pernapasan saat ketinggian tertentu.
Pesawat terbang stabil setelah empat puluh
menit. Pramugari datang menawarkan makanan ada sandwich dan mie instan. Aku
memilih sandwich buat ganjal perut pengganti makan malam. Untuk minuman ada
aneka jus, air mineral, teh, kopi dan soft drink.
“Bu Mutia, mau ke Berlin dengan tujuan studi?”
tanya Ibu Kuncoro. Kami mengawali perbincangan dalam pesawat sambil menikmati
hidangan.
“Tidak, Bu. Saya mau mengunjungi adik saya di
Berlin.”
“Kalau Ibu, ada tujuan apa Ibu dan Bapak ke
Jerman?”
“Kami dapat amanah dari kakak kami untuk
menenggok keponakan kami yang sedang dirawat di poliklinik IKWK Berlin. Mas
Agung, kakak saya sudah sepuh dan kurang sehat.”
“Adik saya juga pegiat IKWK, Bu. Jangan-jangan
saya kenal keponakan Ibu.”
“Namanya Hasna.” Hampir copot jantungku
sepesawat dengan seseorang yang mugkin akan banyak berinteraksi denganku di
Berlin. Sekaligus kesyukuran yang luar biasa. Aku merasa punya banyak waktu
untuk mengetahui pandangan keluarga mereka tentang poligami.
Hati-hati aku sampaikan pengetahuanku seputar
masalah yang dihadapi Hasna. Tentang sakitnya. Tentang hubungan Bagas dengan
Hasna dan tentang adikku Denia yang bermaksud membantu Hasna keluar dari
permasalahannya.
“Wah, Bu Mutia preso kathah perkawis pruan
kulo, nggih?”
Bu
Kuncoro menambah keakraban kami dengan berbahasa Jawa, begitu beliau tahu aku
dari Brebes.
Aku merasa beruntung diajarkan ibu yang asli
Semarang, bahasa kromo inggil. Jadi aku bisa paham dengan baik bahasa halus
priyayi Solo di depanku ini.
“Kulo caket sanget kalian adik kulo. Menopo
kemawon perkawis ingkang penting, piyambaipun asring konsultasi”
“Untuk masalah poligami sebenarnya tidak asing
buat keluarga kami. Yang seringkali membuat kekhawatiran justru potensi konflik
dari pihak yang belum bisa menerimanya. Jangan sampai poligami merusak
silaturahim. Seandainya semua pihak keluarga yang terlibat, terutama
istri-istri yang lain setuju. Tidak perlu dihalang-halangi. Justru kami
berterimakasih untuk kemuliaan hati adik Bu Mutia”
Satu titik terang yang aku harap mampu
memecahkan keraguan Bagas untuk pernikahan keduanya.
Aku niat jamak takhir, menggabungkan salat
maghrib dan Isya. Untuk meyakinkan sudah masuk waktu Isya, aku salat jam
setengah delapan. Ternyata Pak Kuncoro dan Ibu juga berniat sama. Kami salat
berjamaah dalam pesawat. Jadi ingat Mas Lukman yang selalu menjadi imam salat
selama penerbangan kami.
Tidak terasa delapan jam empat puluh lima menit
pesawat akan transit di Abu Dhabi. Sabuk pesawat harus kami pakai kembali.
Transit lumayan lama dua setengah jam. Memang tidak ada penerbangan langsung
Jakarta Berlin. Pesawat akan transit di Abu Dhabi Aku manfaatkan utuk menambah
pengalaman. Aku baru kali ini transit di bandara canggih dia Abu Dhabi ini.
Kami selalu pergi bertiga sebagaimana amanah Mas Lukman.
“Nak Mutia nggak mau belanja dulu di konter
bandara Abu Dhabi ini?" tanya Pak Kuncoro, “Dua setengah jam cukup lama,
lho!”
“Sepertinya tidak, Pak. Saya mau cari prayer room, buat tahajud.” Aku pikir sekarang menjelang jam tiga pagi seperti waktu di jam tanganku.
“Sepertinya tidak, Pak. Saya mau cari prayer room, buat tahajud.” Aku pikir sekarang menjelang jam tiga pagi seperti waktu di jam tanganku.
“Kita bisa tahajud di pesawat, Nak. Perbedaan
waktu di Dubai dan Jakarta sekitar tiga jam, jadi sekarang baru jam dua belas
malam, lihat jam dinding itu.” Ibu Kuncoro menunjuk jam yang ada di atas salah
satu konter.
“Oh iya, saya lupa, Bu,” kataku tersipu.
“Kita manfaatkan waktu buat jalan-jalan, yuk.
Saya ingin memberi kenang-kenangan buat Bu Mutia.” Rasanya mahram yang Mas
Lukman carikan lebih mirip ibuku sendiri.
“Sampun mboten pareng ngrepotaken, Bu.” Ada
rasa tidak enak juga dengan kebaikan Bu Kuncoro. Tapi aku rasa beliau tulus,
bukan sekedar basa-basi.
“Mboten dados menopo, Bu Mutia. Kapan malih
saget blonjo wonten bandara Abu Dhabi?”
Akhirnya aku ikut apa yang disarankan mahram
musyafirku yang baik ini. Kami keluar dan selesai melakukan proses custom
clearance, kami diarahkan menuju duty free. Kami berjalan-jalan menyusuri duty
free. Banyak konter di sana. Pakaian, tas, perhiasan, elektronik, makanan,
minuman, binuman beralkohol, parfum, obat-obatan, dan jam tangan. Ternyata mata
uang yang berlaku untuk transaksi selain mata uang lokal yaitu dirham UAE, atau
mata uang besar seperti dollar Amerika, pounsterling dan euro.
Kami memilih menukar Rupiah dengan Dirham. Uang
koin terbuat dari emas atau perak yang mengingatkanku pada sabda Rasulullah.
Pesan beliau, bahwa akan datang satu zaman yang berlaku untuk transaksi hanya
dinar dan dirham. Sepertinya masa itu perlahan tapi pasti akan datang juga.
Rasulullah tidak pernah bicara atas dasar nafsu tapi atas petunjuk wahyu.
Ibu Kuncoro membelikan aku jam tangan yang aku
tak tahu berapa harganya. Aku balas kebaikannya dengan menghadiahkan baju
lengkap dengan hijabnya, seharga lima ratus lima puluh ribu. Tak seberapa
dibanding harga jam bagus ini. Benarlah cerita Denia, Hasna berasal dari
keluarga kaya
Perjalanan ini seakan makin mengakrabkan kami.
Perjalanan ini seakan makin mengakrabkan kami.
Tidak terasa jam sudah pukul dua malam waktu
Dubai. Kami segera menuju terminal transit. Pesawat Azerbaijan Airways akan
membawa kami menuju Berlin selama kurang lebih tujuh jam di udara.
Musim gugur yang makin sejuk akan menyambut
kami di Berlin.
Glosarium:
1.
Mahram selama safar=Teman perjalanan pengganti mahram
2. “Wah, Bu Mutia preso kathah perkawis prunan kulo, nggih?” =Wah, Bu Mutia tahu banyak tentang keponakan saya?
3. Kromo Inggil=Tingkat paling sopan dan halus dalam bahasa Jawa
4. Priyayi=Bangsawan
5. “Kulo caket sanget kalian adik kulo. Menopo kemawon perkawis ingkang penting, piyambaipun asring konsultasi”= Saya dekat dengan adik saya. Apapun persoalan penting, dia sering konsultasi.
6. Jamak takhir=menggabungkan dua waktu salat dalam pada waktu salat kedua
7. Prayer room= semacam musala
8. “Sampun mboten pareng ngrepotaken, Bu.”= .Sudah, nggak boleh merepotkan, Bu
9. “Mboten dados menopo, Bu Mutia. Kapan malih saget blonjo wonten bandara Abu
Dhabi?”=Tidak mengapa, Bu Mutia. Kapan lagi bisa belanja di bandara Abu Dhabi?
10. Duty free=pertokoan bebas pajak di bandara sehingga harga barang impor relative murah
2. “Wah, Bu Mutia preso kathah perkawis prunan kulo, nggih?” =Wah, Bu Mutia tahu banyak tentang keponakan saya?
3. Kromo Inggil=Tingkat paling sopan dan halus dalam bahasa Jawa
4. Priyayi=Bangsawan
5. “Kulo caket sanget kalian adik kulo. Menopo kemawon perkawis ingkang penting, piyambaipun asring konsultasi”= Saya dekat dengan adik saya. Apapun persoalan penting, dia sering konsultasi.
6. Jamak takhir=menggabungkan dua waktu salat dalam pada waktu salat kedua
7. Prayer room= semacam musala
8. “Sampun mboten pareng ngrepotaken, Bu.”= .Sudah, nggak boleh merepotkan, Bu
9. “Mboten dados menopo, Bu Mutia. Kapan malih saget blonjo wonten bandara Abu
Dhabi?”=Tidak mengapa, Bu Mutia. Kapan lagi bisa belanja di bandara Abu Dhabi?
10. Duty free=pertokoan bebas pajak di bandara sehingga harga barang impor relative murah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar