Senin, 19 November 2018

Kisah Ke-30 Karena Cinta Mengubah Segalanya



“Mutia, kalau benarlan Bagas itu jodoh Hasna. Sebaiknya kamu kesana untuk memperlancar urusan Bagas dan Denia. Meskipun kita belum ditakdirkan membangun rumah tangga poligami, minimal ada jariah kita untuk kebaikan Bagas, Denia dan Hasna.” Mas Lukman memberi saran setelah Denia menyampaikan kabar tentang Hasna. Tepat dua pekan setelah keberagkatan Denia.
“Pengawasan pekerja gimana, Mas?”
“Percayakan saja sama Nadila, dia gadis yang baik dan bisa dipercaya. Bukankan dia yang membantumu di akunting?”
Kalau sudah disuruh sama Mas Lukman, rasanya sulit dan hampir mustahil untuk menolaknya. Semoga semua administrasi bisa lancar. Insya Allah, dua sampai tiga minggu ke depan aku bisa berangkat menyusul Denia.
“Tapi gimana, Mas, aku tidak ada mahram di pesawat. Kalau di Bandara Berlin aku bisa minta jempul Denia. Tapi di pesawat….”
“Mudah nanti aku carikan mahram di perjalanan. Pasti ada akhwat atau ibu-ibu yang sama-sama bakalan ke Berlin.”
“Mas Lukman nggak bisa ambil cuti sepekan aja?”
“Maaf, Mutia, cutiku sudah kita ambil bulan Juni saat survey pesantren buat Mumtaza. Jadi sudah nggak bisa izin lagi.”
Aku menahan napas panjang. Hampir saja aku ekspresikan untuk perasaan berat berpisah dengan Mas Lukman. Aku tidak ingin beban rasa ini diketahui Mas Lukman. Toh, niatnya sangat baik.
“Bagaimana dengan Fatih, Mas. Mas Lukman bakalan repot ngurusi sekolahnya.”
“Fatih udah besar, lebih mudah mengurusnya. Berangkat pagi aku antar, pulangnya aku jemput. Sudah, jangan ragu!”
Hari ini juga aku mendaftar pembuatan paspor dan visa online. Paspos dan visa yang aku punya saat mendamping Mas Lukman enam tahun yang lalu juga sudah hangus. Alhamdulillah, dengan pendaftaran online, semua terasa praktis. Tinggal mengentri data di web Direktorat Jendral Imigrasi. Yang penting berkas persyaratan lengkap. Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, akta kelahiran dan paspor lama dan materai enam ribu.
Jadwal wawancara tiga hari ke depan. Mas Lukman sanggup mengantarku untuk pengurusan paspor dan visa. Apalagi kantor imigrasi sudah buka sejak pukul delapan pagi. Jadi sekalian pergi ke kantor Mas Lukman. Kami berangkat jam setengah tujuh dari Kalibata. Kantor imigrasi Jakarta Selatan bisa dirempuh dua belas menit dengan kendaraan pribadi. Sementara dari Kantor Imigrasi ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan hanya sepuluh menit.
Wawancara berlangsung lancar dan aku harus menunggu tiga hari sampai paspor selesai. Biaya pembuatanya hanya tiga ratus lima puluh ribu.
Begitu paspor selesai aku segera mengurus visa turis. Seperti halnya pengurusan paspor, pendaftaran visa online juga sangat mempermudah urusan ini. Layanan web meminta berkas yang harus aku kirim. Pas foto , formulir yang dapat diunduh di website kedutaan, rekening bank , tiket pesawat pulang dan pergi, asuransi perjalanan dan reservasi hotel dari rumah sewa IKWK yang sudah aku pesan online. Yang sangat penting paspor yang aku terima hari ini.
Jawaban dari kedutaan untuk interview aku terima dua pekan setelah pengajuan berkas online. Biaya tidak terlalu mahal, enam puluh euro, sekitar satu juta rupiah. Izin tinggalnya selama sembilan puluh hari. Justru yang paling mahal tikel pesawat bolak-balik yang mencapai dua belas juta untuk maskapai penerbangan yang Mas Lukman pilih.
Syukurlah Mas Lukman menyarankanku untuk mengurus paspor dan visa ternyata Denia membutuhkan kehadiranku. Bukan hanya terkait dengan Hasna tapi juga menjelang kelahiran anak keduanya.
Awal Nopember, di Jerman sudah mulai musim gugur. Aku akan merasakan udara mulai ekstrim dingin bulan ini. Aku mempersiapkan semua terutama overcoat dan syal. Pasti akan sangat dibutuhkan terutama di malam hari.
“Mas, maafin aku harus ninggalin Mas sama Fatih di rumah.” Aku masih mengucapkan kalimat itu hingga beberapa saat sebelum keberangkatan di bandara.
            Sampai di bandara, Mas Lukman menepati janjinya. Mencarikan mahram selama safar. memperkenalkan aku dengan seseorang yang ternyata keluarga teman sekantornya.
“Ibu, mohon maaf, saya nitip istri saya, Mutia selama perjalanan ke Berlin. Saya tidak bisa mendapingi istri saya. Jadi dalam perjalanan ini, dia berangkat tanpa mahram.” Mas Lukman begitu seriusnya mencarikan aku mahram di perjalanan. Pak Kuncoro dan Ibu dengan nomor duduk tepat di sampingku.
            Terimakasih, Mas. Cintamu selalu kurasakan di tiap perlindunganmu.
“Oh, dengan senang hati kami akan menemani Bu Mutia.” Sepasang suami istri, mungkin usia mereka diatas kepala enam. Mereka berbincang menemaniku ramah sambil menunggu pesawat tiba untuk penerbangan ke Berlin pukul lima lewat tiga puluh lima sore.
Tidak ada penerbangan langsung Jakarta Berlin. Pesawat akan transit di Abu Dhabi. Aku kini duduk di terminal C-3 bandara. Suasananya nyaman dan bersih didomonasi jajaran kursi merah dan hitam. Setiap momen aku rekam dengan rapi di buku harianku. Sebagai penulis setiap perjalanan adalah sumber inspirasi berharga. Lengkap dengan foto penting yang kurasa bisa menjadi tambahan informasi.
Jam lima penumpang sudah harus ada di dalam pesawat. Aku cium tangan Mas Lukman dan memeluknya erat. Aku gendong Fatih yang ternyata sudah cukup berat di usia sembilan tahun ini.
“Ummi jangan lama-lama, ya. Ntar kalau ada tugas aku harus bikin repot abi terus. Kasihan Abi capek kerja. Terus cerita yang kemarin bakal terputus, deh!” Fatih memang agak sulit jauh dariku. Sebelum tidur dia selalu minta dibacakan buku atau didongengi.
“Fatih nggak boleh manja, ntar ummi berat mau berangkat. Abi bisa kok nerusin dogeng yang ummi ceritakan.” Mas Lukman berusaha menenangkan Fatih.
Rasanya berat juga perpisahan ini. Manusia hanya bisa berharap. Semoga keselamatan selalu mengiringi tiap langkah. Aku terus berdoa pada yang Mahakuasa, kiranya masih ada umur panjang dan kesempatan. Kerinduan bertemu kembali orang-orang tercinta terus memenuhi ruang rasa.
Di sela hangatnya berita kecelakaan pesawat baru-baru ini memantik rasa takut. Akan tetapi bagaimanapun nikmat dan perlindungan Allah SWT tetap lebih luas dari ujian dan cobaan dariNya.
Nomor urutku pas berada di samping jendela pesawat, aku bisa melihat jelas Mas Lukman dan Fatih melambaikan tangan. Saat pesawat berbelok aku sudah tak melihat mereka berdua.
Alhamdulillah kali ini Mas Lukman memesankan aku tiket pesawat yang nyaman. Jenis pesawat Boeing 777-300ER. Besar dan mahal. Tidak seperti saat kami berangkat berdua. Mas Lukman biasa memesan harga murah sampai menengah. Mungkin karena Mas Lukman tidak mau aku merasa cemas sendiri dengan pesawat yang kurang nyaman. Benar saja, suara mesin pesawat mahal ini hampir tak terdengar. Semua serba lux dan dilengkapi layar monitor yang bisa kita gunakan untuk hiburan yang kita inginkan. Bahkan dengan sistem kontroling canggih, pilot bisa meninggalkan kemudinya setelah pesawat stabil.
Pramugari berwajah cantik khas timur tengah itu mulai memberi penjelasan. Aku selalu berusaha mendengarkannya sebaik mungkin. Kadang aku merasa kasihan pada pramugari. Pasalnya, mereka yang sudah sering melakukan penerbangan, tak ambil perhatian serius. Tentang sabuk pengaman yang harus dipakai saat take off dan landing. Tentang cara penggunaan pelampung, pemakaian masker pernapasan saat ketinggian tertentu.
Pesawat terbang stabil setelah empat puluh menit. Pramugari datang menawarkan makanan ada sandwich dan mie instan. Aku memilih sandwich buat ganjal perut pengganti makan malam. Untuk minuman ada aneka jus, air mineral, teh, kopi dan soft drink.
“Bu Mutia, mau ke Berlin dengan tujuan studi?” tanya Ibu Kuncoro. Kami mengawali perbincangan dalam pesawat sambil menikmati hidangan.
“Tidak, Bu. Saya mau mengunjungi adik saya di Berlin.”
“Kalau Ibu, ada tujuan apa Ibu dan Bapak ke Jerman?”
“Kami dapat amanah dari kakak kami untuk menenggok keponakan kami yang sedang dirawat di poliklinik IKWK Berlin. Mas Agung, kakak saya sudah sepuh dan kurang sehat.”
“Adik saya juga pegiat IKWK, Bu. Jangan-jangan saya kenal keponakan Ibu.”
“Namanya Hasna.” Hampir copot jantungku sepesawat dengan seseorang yang mugkin akan banyak berinteraksi denganku di Berlin. Sekaligus kesyukuran yang luar biasa. Aku merasa punya banyak waktu untuk mengetahui pandangan keluarga mereka tentang poligami.
Hati-hati aku sampaikan pengetahuanku seputar masalah yang dihadapi Hasna. Tentang sakitnya. Tentang hubungan Bagas dengan Hasna dan tentang adikku Denia yang bermaksud membantu Hasna keluar dari permasalahannya.
“Wah, Bu Mutia preso kathah perkawis pruan kulo, nggih?”
Bu Kuncoro menambah keakraban kami dengan berbahasa Jawa, begitu beliau tahu aku dari Brebes.
Aku merasa beruntung diajarkan ibu yang asli Semarang, bahasa kromo inggil. Jadi aku bisa paham dengan baik bahasa halus priyayi Solo di depanku ini.
Kulo caket sanget kalian adik kulo. Menopo kemawon perkawis ingkang penting, piyambaipun asring konsultasi
“Untuk masalah poligami sebenarnya tidak asing buat keluarga kami. Yang seringkali membuat kekhawatiran justru potensi konflik dari pihak yang belum bisa menerimanya. Jangan sampai poligami merusak silaturahim. Seandainya semua pihak keluarga yang terlibat, terutama istri-istri yang lain setuju. Tidak perlu dihalang-halangi. Justru kami berterimakasih untuk kemuliaan hati adik Bu Mutia”
Satu titik terang yang aku harap mampu memecahkan keraguan Bagas untuk pernikahan keduanya.
Aku niat jamak takhir, menggabungkan salat maghrib dan Isya. Untuk meyakinkan sudah masuk waktu Isya, aku salat jam setengah delapan. Ternyata Pak Kuncoro dan Ibu juga berniat sama. Kami salat berjamaah dalam pesawat. Jadi ingat Mas Lukman yang selalu menjadi imam salat selama penerbangan kami.
Tidak terasa delapan jam empat puluh lima menit pesawat akan transit di Abu Dhabi. Sabuk pesawat harus kami pakai kembali. Transit lumayan lama dua setengah jam. Memang tidak ada penerbangan langsung Jakarta Berlin. Pesawat akan transit di Abu Dhabi Aku manfaatkan utuk menambah pengalaman. Aku baru kali ini transit di bandara canggih dia Abu Dhabi ini. Kami selalu pergi bertiga sebagaimana amanah Mas Lukman.
“Nak Mutia nggak mau belanja dulu di konter bandara Abu Dhabi ini?" tanya Pak Kuncoro, “Dua setengah jam cukup lama, lho!”
            “Sepertinya tidak, Pak. Saya mau cari prayer room, buat tahajud.” Aku pikir sekarang menjelang jam tiga pagi seperti waktu di jam tanganku.
“Kita bisa tahajud di pesawat, Nak. Perbedaan waktu di Dubai dan Jakarta sekitar tiga jam, jadi sekarang baru jam dua belas malam, lihat jam dinding itu.” Ibu Kuncoro menunjuk jam yang ada di atas salah satu konter.
“Oh iya, saya lupa, Bu,” kataku tersipu.
“Kita manfaatkan waktu buat jalan-jalan, yuk. Saya ingin memberi kenang-kenangan buat Bu Mutia.” Rasanya mahram yang Mas Lukman carikan lebih mirip ibuku sendiri.
“Sampun mboten pareng ngrepotaken, Bu.” Ada rasa tidak enak juga dengan kebaikan Bu Kuncoro. Tapi aku rasa beliau tulus, bukan sekedar basa-basi.
“Mboten dados menopo, Bu Mutia. Kapan malih saget blonjo wonten bandara Abu Dhabi?”
Akhirnya aku ikut apa yang disarankan mahram musyafirku yang baik ini. Kami keluar dan selesai melakukan proses custom clearance, kami diarahkan menuju duty free. Kami berjalan-jalan menyusuri duty free. Banyak konter di sana. Pakaian, tas, perhiasan, elektronik, makanan, minuman, binuman beralkohol, parfum, obat-obatan, dan jam tangan. Ternyata mata uang yang berlaku untuk transaksi selain mata uang lokal yaitu dirham UAE, atau mata uang besar seperti dollar Amerika, pounsterling dan euro.
Kami memilih menukar Rupiah dengan Dirham. Uang koin terbuat dari emas atau perak yang mengingatkanku pada sabda Rasulullah. Pesan beliau, bahwa akan datang satu zaman yang berlaku untuk transaksi hanya dinar dan dirham. Sepertinya masa itu perlahan tapi pasti akan datang juga. Rasulullah tidak pernah bicara atas dasar nafsu tapi atas petunjuk wahyu.
Ibu Kuncoro membelikan aku jam tangan yang aku tak tahu berapa harganya. Aku balas kebaikannya dengan menghadiahkan baju lengkap dengan hijabnya, seharga lima ratus lima puluh ribu. Tak seberapa dibanding harga jam bagus ini. Benarlah cerita Denia, Hasna berasal dari keluarga kaya
Perjalanan ini seakan makin mengakrabkan kami.
Tidak terasa jam sudah pukul dua malam waktu Dubai. Kami segera menuju terminal transit. Pesawat Azerbaijan Airways akan membawa kami menuju Berlin selama kurang lebih tujuh jam di udara.
Musim gugur yang makin sejuk akan menyambut kami di Berlin.
Glosarium:
1. Mahram selama safar=Teman perjalanan pengganti mahram
2. “Wah, Bu Mutia preso kathah perkawis prunan kulo, nggih?” =Wah, Bu Mutia tahu banyak tentang keponakan saya?
3. Kromo Inggil=Tingkat paling sopan dan halus dalam bahasa Jawa
4. Priyayi=Bangsawan
5. “Kulo caket sanget kalian adik kulo. Menopo kemawon perkawis ingkang penting, piyambaipun asring konsultasi”= Saya dekat dengan adik saya. Apapun persoalan penting, dia sering konsultasi.
6. Jamak takhir=menggabungkan dua waktu salat dalam pada waktu salat kedua
7. Prayer room= semacam musala
8. “Sampun mboten pareng ngrepotaken, Bu.”= .Sudah, nggak boleh merepotkan, Bu
9. “Mboten dados menopo, Bu Mutia. Kapan malih saget blonjo wonten bandara Abu
Dhabi?”=Tidak mengapa, Bu Mutia. Kapan lagi bisa belanja di bandara Abu Dhabi?
10. Duty free=pertokoan bebas pajak di bandara sehingga harga barang impor relative murah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...