Kisah Ke-29
ASA
NUANSA
#Tantangan
Menulis dari lagu
#SahabatKabolMenulis
#Romaria_MaluSamaKucing
Aku
tidak pernah mengalami hidup di pesantren sebagaimana Mas Hanif dan Denia. Tentu tiap sudut kehidupan selalu ada suka
dan dukanya. Sebenarnya Denia masuk
pesantren atas keinginannya sendiri, aku hanya mencarikan tempat yang kira-kira
tepat buat Denia.
Ada
positifnya juga aku tidak memaksa dia dalam hal pilihan pendidikan. Aku hanya mengarahkan, membimbing dan
memberikan tambahan informasi kelebihan dan kekurangan sebuah lembaga
pendidikan. Itu juga dibantu browsing
internet. Denia aku beri kebebasan untuk
memilih. Ternyata pilihannya jatuh pada
pesantren. Salah satu yang memotivasi
Denia untuk masuk pesantren adalah informasi dari Mas Hanif.
“Denia,
percaya karo Mas Hanif, pesantren luwih cocok ken kowe ora gampang kagoda
srawung sing ora becik.” Mas Hanif
menasihati Denia sambil memperkenalkan bahasa daerah kami. Hal ini untuk menghindari keanehan dari
saudara-saudara saat ada pertemuan keluarga.
Kasihan Denia sendiri yang tidak bisa bicara bahasa Jawa. “Di pesantren itu, kita dididik fulltime
24 jam di bawah pengawasan mudabir-mudabirah, muraqib-muraqibah dan
ustaz-ustazah. Nanti kamu dapat
bimbingan keilmuan fardhu a’in seperti
akidah, syariat dan akhlak. Kita
diajarkan untuk menghayati rukun iman, rukun islam dan ihsan, juga
mengenali tanda-tanda akhir zaman.
Pokoknya seru. Belum lagi ada
acara ekstrakurikuler lengkap, olahraga,
seni sanggar kitab, sanggar sastra dan teater, pramuka, muhadhoroah,
sanggar tahfiz qur’an. Semua wajib
berbahasa Arab dan Inggris. Nanti di
kelas dua SMA atau MA kamu bakal jadi pengurus.” Mas Hanif tidak menerima selaan kalau sedang
semangat promosi pesantrennya. Keinginan
Mas Hanif untuk memasukkan Denia ke almamaternya tidak aku penuhi. Akan terlalu jauh aku menjenguk Denia dari
Jakarta. Mas Hanif maklum dan cukup puas
dengan keputusan kami melanjutkan pendidikan Denia ke Darul Akhirah.
“Ora
papa, sing penting denia mlebu pesantren.”
Mas Hanif mengalah dengan keputusan Denia.
Suka
duka pasti dilalui Denia selama berada di pesantren. Tapi dia tidak berani mengadu karena dia
sudah berjanji akan mengatasi sebisa mungkin apa yang dialaminya di
pesantren. Justru aku yang sering kali
tidak tega dan menanyakan kabarnya selama di Darul Akhirah.
Melalui
telpon, sepekan sekali aku menghubungi Denia.
Ada kisah lucu di awal masa adaptasinya di pesantren.
“Ternyata
tidak mudah bisa berkumpul sebagai satu keluarga besar dalam jumlah banyak, Kak. Semua dari ragam latar belakang keluarga yang
berbeda, punya sifat yang berbeda tapi
diasuh dengan satu pola asuh yang sama.”
“Kayaknya
seru Denia, suasana yang belum pernah aku rasakan, kecuali dari cerita Mas
Hanif waktu mondok. Paling aku tahu kulitnya
aja, waktu nengok Mas Hanif sama ibu atau ayah.
Atau kadang kami berangkat sekeluarga.”
“Seru,
Kak. Ada juga lho yang awalnya hidup di
jalanan kayak aku dulu. Karena orang
tuanya pusing dan ingin anaknya berubah, akhirnya dititipin ke pesantren.”
***
Namanya
Nuansa, dipanggilnya Asa, dia masuk kelas satu SMP. Sedangkan aku di kelas intensif. Meskipun kami beda kelas tapi di asrama kami
satu kamar. Karakternya mirip Biandra,
ceplas-ceplos, ekspresif dan nggak mau ngalah.
“Neng,
nitip anak Ibu, ya. Dia ke pesantren
bukan atas kemauan sendiri. Ibu yang
memaksanya. Ibu sudah pusing dengan
pergaulannya di Bandung. Dia perempuan
tapi tomboynya minta ampun. Nggak ada
istilah takut. Bantuin dia biar betah,
ya!”
Aku
yang yang juga baru belajar penyesuaian diri tiba-tiba diamanahi menjaga
Asa. Awalnya aku ragu, tapi
bismillah. Aku optimis bisa minimal
memberi perhatian, menemani dan berusaha membantu memenuhi keinginannya yang
masih wajar. Menasihati dan mengarahkan
supaya dia bisa memilih yang terbaik dalam bersikap.
Kemarin
ada problem yang cukup rumit. Di asrama
heboh dengan tangisan beberapa anak baru yang nggak betah gara-gara sikap
Asa. Dia tidak mau antri di kamar mandi,
di dapur saat makan juga di waktu salat berjamaah. Waktu makan dan salat berjamaah masih
dimaafkan oleh teman-temannya. Giliran
di kamar mandi, teman-temannya sudah tidak bisa sabar lagi dengan sikap Asa.
“Aku
mau pindah aja, aku mau ngadu sama mamah kalau di pesantren ini ada jurignya,
namanya Asa!” tangis Ule, anak kelas
satu yang bernama Zuleha.
“Bener
dia mirip preman daripada santri masak kalau minta makanan suka maksa.” Giliran
Najwa anak tingkat tiga yang protes. Sindiran pedas bertubi-tubi menyerang Asa
akibat ulahnya sendiri.
“Perkataannya
juga nggak bisa direm nyakitin terus,” lanjut Marsela teman sekelasku di kelas
intensif.
Disusul
protes anak lain yang makin lama seperti demo.
Ternyata yang punya unek-unek karena ulah Asa tidak hanya dirasakan anak
baru tapi juga kakak tingkat. Yang tidak
protes hanya mudabirah saja.
Karena pada dasarnya demo ini ditujukan untuk mudabirah yang
berkewajiban mengendalikan keadaan.
Alih-alih
Asa merasa bersalah dan minta maaf, dia malah membanting pintu kamar
Aisyah. Kamar ini Aisyah Aku yang
dititipin Asa oleh ibunya merasa ikut bertanggung jawab untuk kebaikan Asa,
meskipun aku bukan pengurus. Aku mencoba
mendekati Asa yang terdiam di lahan kosong belakang asrama akhwat.
“Assalamu’alaikum,
Asa,” sapaku pelan. Dalam hati aku
memohon pada Allah untuk kelembutan hati Asa,” Ya Allah, izinkan hamba menjadi
perantara hidayah bagi sesama hambaMu.
Jangan Kau sia-siakan harapan dan doa orang tua Asa. Jangan Kau biarkan masalah menyelimuti asrama
kami oleh sikap Asa. Kalaulah yang Maha
Membolak-balikkan hati. Ya muqalibal qulub tsabit qalbi ala diinika wa’ala
tha’atika. Ya Allah lembutkan hati Asa sebagaimana Kau lembutkan besi untuk
Nabi Daud alaihissalam.”
“Ngapain
Kak Nia kemari! Mau nambahin sindiran lagi?”
Asa membalas salamku dengan ketus dan penuh kecurigaan.
“Tentu
tidak, Asa. Kakak sedikit banyak tahu
latar belakang kamu masuk pesantren ini dari ibu Asa.”
“Memang
aku kesini bukan atas kemauan sendiri.
Rasanya pingin kabur aja.”
“Pesantren
ini jauh dari jalan besar, Asa. Nggak
ada kendaraan ke luar sana.”
“Aku
bisa jalan kaki.”
“Kalau
kamu kabur, kira-kira siapa yang paling bersedih?”
“Pasti
ibuku.”
“Kamu
senang ibumu menangis?”
“Justru
itu yang membuat aku mau kemari. Aku
memang badung, suka main tapi kalau ibu sudah menangis aku nggak tega. Setelah ibu nggak nangis ya aku gabung lagi
sama temen-temen di jalanan.”
“Sebenarnya
rasa sayang kamu sama ibu menjadi modal kamu mendapat kebaikan, lho.”
Aku
mulai bercerita tentang kesedihanku yang tidak punya ayah dan ibu sejak
kecil. Tentang kerinduanku yang tak
pernah terbalas. Tentang kehidupan yang
jauh dari perlindungan orang dewasa.
Tapi rasa sayang pada orang tua menjadi motivasi terbesar tiap kebaikan
yang ingin aku lakukan.
“Ternyata
aku lebih beruntung dari Kak Nia, ya?
Tapi aku benar-benar nggak betah di pesantren ini. Apalagi semua orang nggak menginginkan aku
ada di sini.”
“Siapa
bilang semua nggak menginginkan Asa.
Seandainya Asa mau berubah sikap pelan-pelan, pasti mereka bakal
menyukai kehadiran Asa.”
“Aku
paling nggak sabar yang namanya antri, Kak.”
Nuansa
mulai membuka satu-satu kelemahannya sendiri.
Tentang keengganannya untuk antri, kesukaannya ceplas-ceplos dan
menggunakan barang orang lain tanpa izin.
Sebuah kemajuan positif. Aku
yakin kesadaran atas kesalahan adalah titik hidayah pertama.
“Sekarang
Asa senyum dulu, deh. Jangan cemberut
terus, nanti jadi keriput, digigit semut, ajal menjemput, pasti takut! Asa
harus merasa bahagia, titik hidayah itu datang.”
Asa
mulai tersenyum dengan keakraban yang aku tawarkan “Maksud Kak Nia?”
”Tanda
seseorang akan berubah menjadi lebih baik itu adalah mengakui kesalahan,
kekurangan dan keburukan yang ada pada dirinya. Sebelum ada pengakuan itu
mustahil seseorang memperbaiki keadaannya.
Saat
aku mencoba menyadarkan Asa atas kesalahannya, seorang penggembala itik
melewati pematang ladang di depan kami.
“Perhatikan
itik-itik itu. Apa yang istimewa dari
mereka?”
“Aku
tahu kak, mereka selalu rapi dalam barisannya, nggak ada yang saling susul.”
‘Pintar
kamu. Kira-kita kalau di pematang sempit
itu ada sati saja itik yang selalu ingin jalan duluan gimana akibatnya.”
“Banyak
yang bakalan terjatuh, Kak.”
Aku
memuji Asa yang selalu tepat menjawab.
Aku jelaskan padanya. Begitu juga
di asrama, kalau ada yang nggak bisa antri, akan membuat kacau dan celaka
sesamanya.
“Malu
juga ya, Kak. Itik aja bisa sabar,
kenapa aku tidak.”
Aku
biarkan Asa menyimpulkan sendiri hikmah dari obrolan ini.
“Asa
tinggal di sini dulu ya, Kak Nia mau ngambil sesuatu. “ Aku ke dapur pesantren, mengambil beberapa
tulang ayam, bekas makan kami tadi malam.
Menu yang selalu kami tunggu adalah ayam gorang di kamis malam. Siangnya kami puasa, malamnya menu spesial. Aku bergegas ke tempat Asa, takut dia nggak
sabar menungguku. Alhamdulillah anak itu
masih ada di sana.
Aku
melempar tulang pada kucing yang sedari tadi saling bercanda di depan
kami. Kucing-kucing itu berlarian
mendekati tulang yang kulempar. Mereka
asyik dengan tulangnya masing-masing.
Saat sebagian telah habis makanannya, mereka hanya bisa memandangi
makanan kucing lain yang masih belum habis tanpa merebutnya.
“Coba
perhatikan mereka, Asa. Apa yang unik
dari kucing-kucing itu?”
“Apa
ya, Kak? Belum nemuin keistimewaan dari mereka.”
“Seandainya
mereka berebut makanan, apa yang terjadi?”
“Sepertinya
sih, bakal pada berantem saling cakar, tuh kucing.”
Asa
tertawa sendiri tiba-tiba. Menyadari
selama ini sering merebut makanan orang lain. Aku usap kepala berbalut jilbab
putih itu.
“Malu
juga, ya, sama kucing. Mereka saja tahu
mana yang bukan miliknya.” Asa kembali
mengambil pelajaran dari tingkah binatang-binatang lucu itu. Benarlah Allah turunkan perumpamaan dan
berbagai perantara untuk meraih hidayah petunjukNya
Tiba-tiba
datang dari balik semak, kucing besar bermuka seram. Bukunya pun kasar. Kucing itu ingin merebut tulang kucing kecil
yang lucu.
“Eh,
kucing garong bangor nya, teu karunya ka ucing leutik.” Asa mematahi dan mengusir kucing itu.
“Hati-hati
Asa, kamu bisa kena jasus, enam bulan pertama disini kita sudah harus
meninggalkan bahasa daerah masing-masing.
Emam bulan berikutnya kita sudah harus bicara bahasa Arab dan Inggris.”
“Oh,
iya lupa, tapi Kak Nia bukan jasus, kan?”
“Bukan,
tenang saja. Tadi kenpa kamu marah sama
kucing besar itu?”
“Itu
sih, kucing garong, Kak. Sukanya
menindas sesamanya. Geuleuh kitu
kalakuan.”
“Berarti
kita nggak boleh seperti kucing garong, ya? Kalo di bahasa Sunda disebutnya pikageuleuheun
jeung pikakeheleun.”
“Iya,
bener, ih!” Asa menaikkan pundaknya bergidik. “Aku pingin bisa sebaik Kak
Nia. Banyak yang suka.”
“Caranya,
Asa harus mau meminta maaf dan memperbaiki kesalahan Asa.”
“Malu,
ah, gengsi. Harusnya mereka yang minta
maaf udah nyindir Asa, memusuhi Asa.”
“Mereka
berbuat seperti itu ada sebabnya, bukan?”
Asa
kembali tertawa dengan kesalahan yang tidak disadarinya, kecuali setelah didemo
satu kamar tadi pagi. Aku mendapat
pelajaran berharga bahwa sikap orang lain itu bagian dari sebab pengendalian
diri yang efektif. Tentunya bagi mereka
yang ingin selalu memperbaiki diri.
“Kak
Nia, ingetin aku, ya. Aku sering kali
melakukannya tanpa sadar bahwa itu salah.”
“Insyaallah. Asal Asa yakin bahwa Kak Nia mengingatkan Nia
atas dasar rasa sayang bukan benci.
Supaya Asa bisa menerima saat diingatkan.”
***
“Syukurlah
Denia, semakin tambah hari, tambah umur, kita harus pandai mengumpulkan untaian
hikmah dalam kehidupan ini. Sebenarnya
tiapa anak itu ada dalam keadaan fitrah, kita yang harus pandai mewarnai
mereka. Asa hanya butuh diajak berdialog
dengan baik, Denia”
Insyaallah,
Kak. Doain Denia bisa memberi manfaat sebanyak mungkin buat sesama, ya Kak!”
Aku
menutup perbincangan via telefon, yang sudah seperempat jam. Hampir-hampir melanggar batas antrian. Lama menelfon untuk menerima 15 menit dan
menelfon 5 menit.
GLOSARIUM:
1.Denia, percaya karo Mas Hanif, pesantren
luwih cocok ben kowe ora gampang kagoda srawung sing ora becik= Denia
percayalah sama Mas Hanif, pesantren lebih cocok supaya kamu tidak gampang
tergoda pergaulan yang tidak bagus
2.Mudabir-mudabirah=pengurus
3.Muraqib-muraqibah=pendamping
4. Fardhu a’in =wajib untuk tiap diri yang mukalaf (terbebani hukum)
5. Ora papa, sing penting denia mlebu pesantren=Nggak
apa-apa yang penting masuk pesantren
6. Ya muqalibal qulub tsabit qalbi ala diinika
wa’ala tha’atika=Wahai
yang membolak-balikkan hati tetapkan hatiku pada agama dan ketaatan padaMu
7. Eh, kucing garong bangor nya, teu karunya ka
ucing leutik.= Eh kucing garong, nakal betul, nggak kasihan sama kucing
kecil
8.jasus=mata-mata di pesantren biasanya di bawah
koordinasi bidang bahasa atau keamanan
9. Geuleuh kitu kalakuan=Jijik itu kelakuan
10. Pikageuleuheun jeung pikakeheleun =Menjijikkan. dan menjengkelkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar