Senin, 19 November 2018

Kisah Ke-29 (Karena Cinta Mengubah Segalanya)


Kisah Ke-29
ASA NUANSA
#Tantangan Menulis dari lagu
#SahabatKabolMenulis
#Romaria_MaluSamaKucing

Aku tidak pernah mengalami hidup di pesantren sebagaimana Mas Hanif dan Denia.  Tentu tiap sudut kehidupan selalu ada suka dan dukanya.  Sebenarnya Denia masuk pesantren atas keinginannya sendiri, aku hanya mencarikan tempat yang kira-kira tepat buat Denia.
            Ada positifnya juga aku tidak memaksa dia dalam hal pilihan pendidikan.  Aku hanya mengarahkan, membimbing dan memberikan tambahan informasi kelebihan dan kekurangan sebuah lembaga pendidikan.  Itu juga dibantu browsing internet.  Denia aku beri kebebasan untuk memilih.  Ternyata pilihannya jatuh pada pesantren.  Salah satu yang memotivasi Denia untuk masuk pesantren adalah informasi dari Mas Hanif.
            “Denia, percaya karo Mas Hanif, pesantren luwih cocok ken kowe ora gampang kagoda srawung sing ora becik.”  Mas Hanif menasihati Denia sambil memperkenalkan bahasa daerah kami.  Hal ini untuk menghindari keanehan dari saudara-saudara saat ada pertemuan keluarga.  Kasihan Denia sendiri yang tidak bisa bicara bahasa Jawa.  “Di pesantren itu, kita dididik fulltime 24 jam di bawah pengawasan mudabir-mudabirah, muraqib-muraqibah dan ustaz-ustazah.  Nanti kamu dapat bimbingan keilmuan  fardhu a’in seperti akidah, syariat dan akhlak.  Kita diajarkan untuk menghayati rukun iman, rukun islam dan ihsan, juga mengenali tanda-tanda akhir zaman.  Pokoknya seru.  Belum lagi ada acara ekstrakurikuler lengkap, olahraga,  seni sanggar kitab, sanggar sastra dan teater, pramuka, muhadhoroah, sanggar tahfiz qur’an.  Semua wajib berbahasa Arab dan Inggris.  Nanti di kelas dua SMA atau MA kamu bakal jadi pengurus.”  Mas Hanif tidak menerima selaan kalau sedang semangat promosi pesantrennya.  Keinginan Mas Hanif untuk memasukkan Denia ke almamaternya tidak aku penuhi.  Akan terlalu jauh aku menjenguk Denia dari Jakarta.  Mas Hanif maklum dan cukup puas dengan keputusan kami melanjutkan pendidikan Denia ke Darul Akhirah.
            Ora papa, sing penting denia mlebu pesantren.”   Mas Hanif mengalah dengan keputusan Denia. 
            Suka duka pasti dilalui Denia selama berada di pesantren.  Tapi dia tidak berani mengadu karena dia sudah berjanji akan mengatasi sebisa mungkin apa yang dialaminya di pesantren.  Justru aku yang sering kali tidak tega dan menanyakan kabarnya selama di Darul Akhirah.
            Melalui telpon, sepekan sekali aku menghubungi Denia.  Ada kisah lucu di awal masa adaptasinya di pesantren.
            “Ternyata tidak mudah bisa berkumpul sebagai satu keluarga besar dalam jumlah banyak, Kak.  Semua dari ragam latar belakang keluarga yang berbeda, punya sifat yang berbeda tapi
diasuh dengan satu pola asuh yang sama.”
            “Kayaknya seru Denia, suasana yang belum pernah aku rasakan, kecuali dari cerita Mas Hanif waktu mondok.  Paling aku tahu kulitnya aja, waktu nengok Mas Hanif sama ibu atau ayah.  Atau kadang kami berangkat sekeluarga.”
            “Seru, Kak.  Ada juga lho yang awalnya hidup di jalanan kayak aku dulu.  Karena orang tuanya pusing dan ingin anaknya berubah, akhirnya dititipin ke pesantren.”
***
            Namanya Nuansa, dipanggilnya Asa, dia masuk kelas satu SMP.  Sedangkan aku di kelas intensif.  Meskipun kami beda kelas tapi di asrama kami satu kamar.  Karakternya mirip Biandra, ceplas-ceplos, ekspresif dan nggak mau ngalah.
            “Neng, nitip anak Ibu, ya.  Dia ke pesantren bukan atas kemauan sendiri.  Ibu yang memaksanya.  Ibu sudah pusing dengan pergaulannya di Bandung.  Dia perempuan tapi tomboynya minta ampun.  Nggak ada istilah takut.  Bantuin dia biar betah, ya!”
            Aku yang yang juga baru belajar penyesuaian diri tiba-tiba diamanahi menjaga Asa.  Awalnya aku ragu, tapi bismillah.  Aku optimis bisa minimal memberi perhatian, menemani dan berusaha membantu memenuhi keinginannya yang masih wajar.  Menasihati dan mengarahkan supaya dia bisa memilih yang terbaik dalam bersikap.
            Kemarin ada problem yang cukup rumit.  Di asrama heboh dengan tangisan beberapa anak baru yang nggak betah gara-gara sikap Asa.  Dia tidak mau antri di kamar mandi, di dapur saat makan juga di waktu salat berjamaah.  Waktu makan dan salat berjamaah masih dimaafkan oleh teman-temannya.  Giliran di kamar mandi, teman-temannya sudah tidak bisa sabar lagi dengan sikap Asa.
            “Aku mau pindah aja, aku mau ngadu sama mamah kalau di pesantren ini ada jurignya, namanya Asa!”  tangis Ule, anak kelas satu yang bernama Zuleha.
            “Bener dia mirip preman daripada santri masak kalau minta makanan suka maksa.” Giliran Najwa anak tingkat tiga yang protes. Sindiran pedas bertubi-tubi menyerang Asa akibat ulahnya sendiri.
            “Perkataannya juga nggak bisa direm nyakitin terus,” lanjut Marsela teman sekelasku di kelas intensif.
            Disusul protes anak lain yang makin lama seperti demo.  Ternyata yang punya unek-unek karena ulah Asa tidak hanya dirasakan anak baru tapi juga kakak tingkat.  Yang tidak protes hanya mudabirah saja.  Karena pada dasarnya demo ini ditujukan untuk mudabirah yang berkewajiban mengendalikan keadaan.
            Alih-alih Asa merasa bersalah dan minta maaf, dia malah membanting pintu kamar Aisyah.  Kamar ini Aisyah Aku yang dititipin Asa oleh ibunya merasa ikut bertanggung jawab untuk kebaikan Asa, meskipun aku bukan pengurus.  Aku mencoba mendekati Asa yang terdiam di lahan kosong belakang asrama akhwat.
            “Assalamu’alaikum, Asa,” sapaku pelan.  Dalam hati aku memohon pada Allah untuk kelembutan hati Asa,” Ya Allah, izinkan hamba menjadi perantara hidayah bagi sesama hambaMu.   Jangan Kau sia-siakan harapan dan doa orang tua Asa.  Jangan Kau biarkan masalah menyelimuti asrama kami oleh sikap Asa.  Kalaulah yang Maha Membolak-balikkan hati. Ya muqalibal qulub tsabit qalbi ala diinika wa’ala tha’atika. Ya Allah lembutkan hati Asa sebagaimana Kau lembutkan besi untuk Nabi Daud alaihissalam.”
            “Ngapain Kak Nia kemari! Mau nambahin sindiran lagi?”  Asa membalas salamku dengan ketus dan penuh kecurigaan.
            “Tentu tidak, Asa.  Kakak sedikit banyak tahu latar belakang kamu masuk pesantren ini dari ibu Asa.”
            “Memang aku kesini bukan atas kemauan sendiri.  Rasanya pingin kabur aja.”
            “Pesantren ini jauh dari jalan besar, Asa.  Nggak ada kendaraan ke luar sana.”
            “Aku bisa jalan kaki.”
            “Kalau kamu kabur, kira-kira siapa yang paling bersedih?”
            “Pasti ibuku.”
            “Kamu senang ibumu menangis?”
            “Justru itu yang membuat aku mau kemari.  Aku memang badung, suka main tapi kalau ibu sudah menangis aku nggak tega.  Setelah ibu nggak nangis ya aku gabung lagi sama temen-temen di jalanan.”
            “Sebenarnya rasa sayang kamu sama ibu menjadi modal kamu mendapat kebaikan, lho.”
            Aku mulai bercerita tentang kesedihanku yang tidak punya ayah dan ibu sejak kecil.  Tentang kerinduanku yang tak pernah terbalas.  Tentang kehidupan yang jauh dari perlindungan orang dewasa.  Tapi rasa sayang pada orang tua menjadi motivasi terbesar tiap kebaikan yang ingin aku lakukan.
            “Ternyata aku lebih beruntung dari Kak Nia, ya?  Tapi aku benar-benar nggak betah di pesantren ini.  Apalagi semua orang nggak menginginkan aku ada di sini.”
            “Siapa bilang semua nggak menginginkan Asa.  Seandainya Asa mau berubah sikap pelan-pelan, pasti mereka bakal menyukai kehadiran Asa.”
            “Aku paling nggak sabar yang namanya antri, Kak.” 
Nuansa mulai membuka satu-satu kelemahannya sendiri.  Tentang keengganannya untuk antri, kesukaannya ceplas-ceplos dan menggunakan barang orang lain tanpa izin.  Sebuah kemajuan positif.  Aku yakin kesadaran atas kesalahan adalah titik hidayah pertama.
“Sekarang Asa senyum dulu, deh.  Jangan cemberut terus, nanti jadi keriput, digigit semut, ajal menjemput, pasti takut! Asa harus merasa bahagia, titik hidayah itu datang.”
Asa mulai tersenyum dengan keakraban yang aku tawarkan “Maksud Kak Nia?”
”Tanda seseorang akan berubah menjadi lebih baik itu adalah mengakui kesalahan, kekurangan dan keburukan yang ada pada dirinya. Sebelum ada pengakuan itu mustahil seseorang memperbaiki keadaannya.
Saat aku mencoba menyadarkan Asa atas kesalahannya, seorang penggembala itik melewati pematang ladang di depan kami.
“Perhatikan itik-itik itu.  Apa yang istimewa dari mereka?”
“Aku tahu kak, mereka selalu rapi dalam barisannya, nggak ada yang saling susul.”
‘Pintar kamu.  Kira-kita kalau di pematang sempit itu ada sati saja itik yang selalu ingin jalan duluan gimana akibatnya.”
“Banyak yang bakalan terjatuh, Kak.”
Aku memuji Asa yang selalu tepat menjawab.  Aku jelaskan padanya.  Begitu juga di asrama, kalau ada yang nggak bisa antri, akan membuat kacau dan celaka sesamanya.
“Malu juga ya, Kak.  Itik aja bisa sabar, kenapa aku tidak.”
Aku biarkan Asa menyimpulkan sendiri hikmah dari obrolan ini.
“Asa tinggal di sini dulu ya, Kak Nia mau ngambil sesuatu. “  Aku ke dapur pesantren, mengambil beberapa tulang ayam, bekas makan kami tadi malam.  Menu yang selalu kami tunggu adalah ayam gorang di kamis malam.  Siangnya kami puasa, malamnya menu spesial.  Aku bergegas ke tempat Asa, takut dia nggak sabar menungguku.  Alhamdulillah anak itu masih ada di sana. 
Aku melempar tulang pada kucing yang sedari tadi saling bercanda di depan kami.  Kucing-kucing itu berlarian mendekati tulang yang kulempar.  Mereka asyik dengan tulangnya masing-masing.  Saat sebagian telah habis makanannya, mereka hanya bisa memandangi makanan kucing lain yang masih belum habis tanpa merebutnya.
“Coba perhatikan mereka, Asa.  Apa yang unik dari kucing-kucing itu?”
“Apa ya, Kak? Belum nemuin keistimewaan dari mereka.”
“Seandainya mereka berebut makanan, apa yang terjadi?”
“Sepertinya sih, bakal pada berantem saling cakar, tuh kucing.”
Asa tertawa sendiri tiba-tiba.  Menyadari selama ini sering merebut makanan orang lain. Aku usap kepala berbalut jilbab putih itu. 
“Malu juga, ya, sama kucing.  Mereka saja tahu mana yang bukan miliknya.”  Asa kembali mengambil pelajaran dari tingkah binatang-binatang lucu itu.  Benarlah Allah turunkan perumpamaan dan berbagai perantara untuk meraih hidayah petunjukNya
Tiba-tiba datang dari balik semak, kucing besar bermuka seram.  Bukunya pun kasar.  Kucing itu ingin merebut tulang kucing kecil yang lucu.
Eh, kucing garong bangor nya, teu karunya ka ucing leutik.”  Asa mematahi dan mengusir kucing itu.
“Hati-hati Asa, kamu bisa kena jasus, enam bulan pertama disini kita sudah harus meninggalkan bahasa daerah masing-masing.  Emam bulan berikutnya kita sudah harus bicara bahasa Arab dan Inggris.”
“Oh, iya lupa, tapi Kak Nia bukan jasus, kan?”
“Bukan, tenang saja.  Tadi kenpa kamu marah sama kucing besar itu?”
“Itu sih, kucing garong, Kak.  Sukanya menindas sesamanya.  Geuleuh kitu kalakuan.”
“Berarti kita nggak boleh seperti kucing garong, ya? Kalo di bahasa Sunda disebutnya pikageuleuheun jeung pikakeheleun.
“Iya, bener, ih!” Asa menaikkan pundaknya bergidik. “Aku pingin bisa sebaik Kak Nia.  Banyak yang suka.”
“Caranya, Asa harus mau meminta maaf dan memperbaiki kesalahan Asa.”
“Malu, ah, gengsi.  Harusnya mereka yang minta maaf udah nyindir Asa, memusuhi Asa.”
“Mereka berbuat seperti itu ada sebabnya, bukan?”
Asa kembali tertawa dengan kesalahan yang tidak disadarinya, kecuali setelah didemo satu kamar tadi pagi.  Aku mendapat pelajaran berharga bahwa sikap orang lain itu bagian dari sebab pengendalian diri yang efektif.  Tentunya bagi mereka yang ingin selalu memperbaiki diri.
“Kak Nia, ingetin aku, ya.  Aku sering kali melakukannya tanpa sadar bahwa itu salah.”
“Insyaallah.  Asal Asa yakin bahwa Kak Nia mengingatkan Nia atas dasar rasa sayang bukan benci.  Supaya Asa bisa menerima saat diingatkan.”
***
“Syukurlah Denia, semakin tambah hari, tambah umur, kita harus pandai mengumpulkan untaian hikmah dalam kehidupan ini.  Sebenarnya tiapa anak itu ada dalam keadaan fitrah, kita yang harus pandai mewarnai mereka.  Asa hanya butuh diajak berdialog dengan baik, Denia” 
Insyaallah, Kak. Doain Denia bisa memberi manfaat sebanyak mungkin buat sesama, ya Kak!”
Aku menutup perbincangan via telefon, yang sudah seperempat jam.  Hampir-hampir melanggar batas antrian.  Lama menelfon untuk menerima 15 menit dan menelfon 5 menit.
GLOSARIUM:
1.Denia, percaya karo Mas Hanif, pesantren luwih cocok ben kowe ora gampang kagoda srawung sing ora becik= Denia percayalah sama Mas Hanif, pesantren lebih cocok supaya kamu tidak gampang tergoda pergaulan yang tidak bagus
2.Mudabir-mudabirah=pengurus
3.Muraqib-muraqibah=pendamping
4. Fardhu a’in =wajib untuk tiap diri yang mukalaf (terbebani hukum)
5. Ora papa, sing penting denia mlebu pesantren=Nggak apa-apa yang penting masuk pesantren  
6. Ya muqalibal qulub tsabit qalbi ala diinika wa’ala tha’atika=Wahai yang membolak-balikkan hati tetapkan hatiku pada agama dan ketaatan padaMu
7. Eh, kucing garong bangor nya, teu karunya ka ucing leutik.= Eh kucing garong, nakal betul, nggak kasihan sama kucing kecil
8.jasus=mata-mata di pesantren biasanya di bawah koordinasi bidang bahasa atau keamanan
9. Geuleuh kitu kalakuan=Jijik itu kelakuan
10. Pikageuleuheun jeung pikakeheleun =Menjijikkan. dan menjengkelkan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...