Kisah
Ke-28
TAARUF
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#PelangidiMatamu,Jamrud
TAARUF
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#PelangidiMatamu,Jamrud
“Denia, Kamu harus segera memutuskan antara Dimas atau Bagas.” Aku mengingatkan Denia untuk tegas dengan pilihannya.
“Kak, antara Denia dan Dimas sudah nggak ada
hubungan sejak kami masuk pesantren.”
Terus terang kalau aku dalam posisi Denia aku
akan memilih Dimas daripada Bagas. Bekal ilmu yang didapat dari pesantrennya
akan memperindah akhlak dan perilakunya.
“Memangnya sudah terkikis cintamu pada Dimas,
Denia?”
“Denia pikir buat apa Denia harus
berangan-angan, Kak? Sedangkan Dimas tidak ada lagi kabar. Semua kabar tentang
dia nggak ada yang Denia tahu. Kalau perasaan cinta sepertinya bisa timbul
tenggelam, ya, Kak? Lagi pula Kak Mutia juga yang menasehati Denia untuk jangan
menyimpan rasa cinta pada yang bukan hak kita?”
Subhanallah,tepok jidat, deh! Aku lupa pada
nasihatku sendiri.
Aku gemas juga mendengar jawabannya yang polos tapi benar itu.
Aku gemas juga mendengar jawabannya yang polos tapi benar itu.
Denia baru saja lulus dari DKV. Dia memulai
bisnis online dengan kawan-kawannya satu jurusan. Membuka pesanan design apa
saja. Mulai dari logo, poster, interior sampai rumah, gedung dan bangunan
lainnya. Sementar menunggu panggilan dari kantor perusahaan kontraktor yang
memerlukan keterampilan mendisainnya..
“Kak, Bagas mau kemari Sabtu ini, nanti malam.”
Aku yang sedang minum teh sambil menikmati kue
kering bikinan kami, sampai tersedak.
“Maaf, Kak, Kak Mutia kaget, ya?” Denia
mengambilkan tisu dan air putih.
“Nggak, Denia, cuma Kak Mutia berharap yang
bakal datang nanti malam ini Dimas.”
Denia terdiam, bagaimanapun Dimas pernah singgah
di hatinya. Sementara Bagas belum pernah mengisi ruang kosong itu.
“Kak, belum tentu Bagas kemari buat nemuin
Denia, siapa tahu hanya ingin silaturahim sama Mas Lukman dan Kak Mutia. Lagi
pula Bagas jadi binaan Mas Lukman cukup lama, bukan?”
Benar juga Bagas ikut kajian sama Mas Lukman
sampai lulus SMA. Begitu kuliah di Bogor, Bagas dititipkan pada Ustaz Faqih. Di
bawah bimbingan Ustaz Faqih tentunya Bagas juga tidak boleh dipandang sebelah
mata.. Tapi tergantung pada Bagas sendiri, apakah dia intensif belajar
kajiannya atau banyak bolosnya? Ah, aku putuskan untuk tidak suuzon sama otang,
mendingan berdoa yang terbaik untuk Denia.
“Kita bikin kue lagi, yuk! Buat tamu istimewa
kamu.” Aku mengajak Denia mencoba resep baru.
“Sudahlah, Kak, nggak usah repot-repot. Kitakan
baru saja bikin kue. Ini aja yang disuguhkan. Denia rasa cukup.”
“Iku jenenge nyuguhi siso, pamali Denia.”
Sesekali aku memakai bahasa Jawa untuk mengajarkan pada Denia. Mana tahu suatu
saat kita balik tinggal di kampung.. Sebaliknya Denia juga suka memperkenalkan
bahasa Sunda. Sedikit banyak aku tahu bahasa itu.”Lagi pula yang datang itu
calon suami kamu.”
“Kak Mutia mah sok kaleuleuwihi. Memang Bagas
kemari sedang pendekatan? Belum tentu Kak, jangan bikin Denia merasa cantik,
Kak?”
Kami saling
menggoda sampai lupa rencana semula buat menyiapkan penyambutan tamu. Beruntung
anak pertamaku, Mumtaza menegur kami.
“Ummi, tante, katanya kalau bercanda nggak
boleh berlebihan, bisa mematikan hati.” Kami kaget dengan ingatan Taza yang
baru berumur delapan tahun itu.
“Iya sayang, kami lupa saking senengnya,
akhirnya Tante Denia ada yang mau.” Cubitan Denia akhirnya menyudahi candaan
kami. Kami segera ke dapur, menyiapkan kue spesial buat Bagas. Black Forest,
Nastar Selai Buah Mangga dan lumpia isi daging. Lima jam kami praktis berkutat
di dapur. Untuk air minumnya, kami bikin wedang jahe yang dulu diajarkan ibu
khas Banyumas.
Denia
menata ruang tamu dan melengapinya dengan potongan bungga sedap malam yang
ditanam denia di taman halaman tengah rumah kami.
“Serius sekali Denia penyambutannya?” tanya Mas
Lukman memerahkan pipi Denia.
“Iya, Mas, disuruh sama Kak Mutia.” Denia
pandai berkelit padahal aku yakin hatinya berbunga-bunga.
Selesai salat Isya berjamaah di masjid
terdekat, kami duduk di ruang tengah sambil menunggu tamu istimewa. Mas Lukman
membaca buku untuk mengisi kajian di kampus, Denia mengotak-atik disain dengan
laptopnya, aku meneruskan batas baca novel yang sebentar lagi selesai. Mumtaza
membuat vlog dengan androidnya, sementara anak keduaku empat tahun, Fatih sudah
tidur pulas dengan botol susunya.
Bunyi bel salam terdengat,”Tuh, pangerannya
datang , Denia?”
“Nggak mau ah, malu , Kak.”
“Nges ageung oge. Kunaon isin. Mun tos jodo
mah, wayahna kudu dipayunan.”
“Denia malu gara-gara Kak Mutia, ngegodain
melulu. Bikin aku gede rasa, padahal belum tentu Bagas niat taarufan sama aku.”
“Ya, udah kita hadapi bersama biar kalian nggak
berdua-duaan.”
Benar saja ternyata yang datang Bagas, lima tahun tidak pernah ketemu, Bagas kini tampak gagah, wajahnya bersih, di dagunya ada jenggot yang membuatnya makin tampak dewasa. Yang membuat kami kaget, Bagas datang dengan Dimas. Dalam hatiku, menebak-nebak siapa yang sebenarnya mau taarufan. Kuperhatikan Dimas sekilas hampir aku tidak bisa mengenalinya. Penampilannya sangat berbeda, Jubah putih yang dipakainya mengingatkanku pada jemaah khuruj waktu aku masih kuliah. Tapi ada yang berbeda, pakaian sunnahnya lebih kemas. Lengkap dengan serban melilit di kepala.
Benar saja ternyata yang datang Bagas, lima tahun tidak pernah ketemu, Bagas kini tampak gagah, wajahnya bersih, di dagunya ada jenggot yang membuatnya makin tampak dewasa. Yang membuat kami kaget, Bagas datang dengan Dimas. Dalam hatiku, menebak-nebak siapa yang sebenarnya mau taarufan. Kuperhatikan Dimas sekilas hampir aku tidak bisa mengenalinya. Penampilannya sangat berbeda, Jubah putih yang dipakainya mengingatkanku pada jemaah khuruj waktu aku masih kuliah. Tapi ada yang berbeda, pakaian sunnahnya lebih kemas. Lengkap dengan serban melilit di kepala.
Setelah mempersilakan mereka masuk, aku
memanggil Mas Lukman. Mereka berpelukan melepas rasa rindu.
“Masyaallah, Dimas, Bagas sudah lima tahun
lebih kita nggak ketemu. Apalagi Dimas, delapan tahun lebih kita nggak ketemu,
ya?”
“Maafkan kami, Mas sudah lama nggak
silaturahim. Sebagai murid rasanya layak disebut durhaka,” ucap Dimas menyesal.
“Aku memaklumi kesibukan kalian. Dimas tinggal
di Tasikmalaya, dan Bagas di Bogor.”
Denia segera mengambil jamuan yang sudah kami
siapkan dari tadi pagi, lengkap dengan minuman penghangat wedang jahe
Banyumasan. Aku pikir Denia akan gelisah dan salah tingkah ada dua orang ikhwan
yang tiba-tiba ingin mengunjunginya. Tetapi ternyata dia sudah dewasa dan bisa
mengendalikan perasaannya. Ah, tahu apa aku tentang perasaan Denia saat ini?
Yang jelas aku bahagia dia menemui Dimas dan Bagas dengan tenang.
“Kami ke sini tentu untuk bersilaturahim,
saling melepas rindu dan berbagi kabar dengan Mas Lukmas sekeluarga. “ Bagas
membuka perbincangan dengan kesan serius.
Kami saling berbagi cerita, tentang anak kami
yang baru bertambah satu, Fatih. Tentang Denia yang belajar di Darul Akhirah
dan melanjutkan kuliah ke Yogyakarta. Tentang Mas Lukman yang bekerja di Kantor
Dinas Pariwisata. Sementara aku masih merintis menjadi penulis. Satu-satu
antologi melibatkan kontribusiku, merambah ke buku solo, satu dua novel telah
terbit meskipun belum mendapat predikat best seller. Aku minta doa mereka
supaya aku bisa terus berkarya.
Giliran Bagas yang bercerita, Bagas melanjutkan
di Jurusan Statistika Fakultas MIPA di Institut Negeri di Bogor. Suasana Islami
dirasakan Bagas bersama rekan seorganisasi di DKM masjid kampus. Kajian dari
Mas Lukman bersambung bersama Ust. Faqih di Bogor. Sampai saat ini Bagas belum
menemukan jodohnya.
Cerita Dimas yang paling seru, dia aktif di
usaha dakwah. Pernah 40 hari perjalanan ke luar negeri. Pakistan, Bangladesh,
India, Finlandia, Jerman kemudian ke Tanah Suci. Dalam perjalanan ini Dimas
sempat menuniakan ibadah haji meskipun hanya sepekan.
“Saya ingin meminta maaf, pada Mas Lukman
sekeluarga. Bagaimanapun saya banyak berhutang budi sama Mas Lukman, pertama
kali saya mengenal dan tertarik Islam dari Mas Lukman. Seharusnya saat
pernikahan saya, saya memberi kabar. Sekali lagi mohon maaf, ternyata saya
dinikahkan dengan muslimah Pakistan saat saya sedang ikut usaha dakwah 40 hari
itu.”
Terus terang aku agak kaget dengan berita dari
Dimas. Benar juga kata Denia jangan penuhi pikiran dengan angan-angan kosong
yang tidak pernah kita tahu kejadian dan kenyataan yang ada. Aku melirik wajah
Denia di sampingku. Datar, tidak ada ekspresi kaget maupun kecewa.
“Alhamdulillah, ternyata Dimas yang paling
cepat mendapat jodoh. Dapetin muslimah Pakistan lagi. Pasti cantik sekali
muslimah itu.” Denia mengucap rasa syukur tanpa beban. Denia memang luar biasa.
“Saya kesini selain silaturahim juga ingin
menjalin hubungan yang lebih erat lagi antara keluarga kita,” lanjut Bagas
mulai serius ada semburat merah di wajahnya. ”Barangkali Denia belum ada yang
meminta, kiranya adakah takdir saya untuk menjadi pendampingnya?”
“Denia sudah dewasa, sampai saat ini belum ada
yang menanyakan dan bermaksud menjalin hubungan serius. Kami tidak bisa
menjawabnya. Kami serahkan sepenuhnya keputusan pada Denia.”
Denia yang menjadi topik pembicaraan, menunduk.
Ada kilatan cahaya di matanya kemudian berubah menjadi binar refleksi
kebahagiaan seindah pelangi. Aku bisa menangkap kesyukuran di cahaya matanya.
Sepertinya Denia merasa beruntung kupenuhi janjiku. Aku pernah berjanji akan
mempertemukannya dengan semua orang yang baik. Ummi Albi, ayah, Mas Hanif, ibu,
Mas Lukman, Bagas, Dimas. Juga menjauhkan dari orang jahat, Bang Gofat qobla
hijrah, Om Gentong, Tante Delima, Bibi Munah, Maruti, dan Arul. Ya Rabb,
berikan hidayah pada sebanyak mungkin manusia agar mereka merasakan nikmat
perbuatan baik padaMu, pada sesama manusia dan sesama makhlukMu.
“Bagaimana Denia?” tanya Mas Lukman.
“Rasulullah pernah berpesan, apabila datang
seseorang yang saleh padamu maka jangan pernah menolaknya. Bukannya Denia
meragukan kesalehan Bagas, tapi aku harus konsultasi sama Allah dengan
istikharah, karena Dialah yang Mahatahu jodoh setiap hambaNya.”
“Kamu sendiri Bagas, sudah istikharah sebelum
menjatuhkan pilihan ke Denia?” tanya Mas Lukman.
“Setelah saya tahu Denia masih sendiri, baru
saya akan istikharah, Mas.”
Taaruf kali ini begitu cair. Sesekali mereka
memuji makanan bikinanku dan Denia. Denia mendapat pujian dari Bagas dan Dimas
atas kepandaiannya memasak.
“Yang pinter memasak itu, Kak Mutia. Aku juga
diajarin sama Kak Mutia. Jangan salah Kak Mutia pinter masak sepandai merangkai
kata dalam tulisan-tulisannya. Katanya menulis itu ibarat memasak harus berani
cobain, berani mencicipi sampai yakin tulisan itu bisa dinikmati.” Pujian Denia
giliran memerahkan wajahku. Pasalnya aku mendapat lemparan senyum manis dan tatap mesra
dari Mas Lukman. Aku jadi yakin Mas Lukman bangga punya istri diriku.
Astaghfirullah, jangan takabur, Mutia. Aku asyik bicara dengan diriku sendiri.
Aku sedikit optimis ada perkembangan baik untuk
Bagas dan Denia. Kecuali Dimas memberanikan diri untuk berpoligami dan Denia
bersedia menjadi istri kedua. Subhanallah, obsesiku yang tak pernah wujud.
GLOSARIUM
1. Iku jenenge nyuguhi siso, pamali Denia=Itu namanya menghidangkan sisa, tidak bagus Denia.
2. Nges ageung oge. Kunaon isin. Mun tos jodo mah, wayahna kudu dipayunan= Udah besar juga. Kenapa malu. Kalau sudah jodoh waktunya harus ditemui.
3. Taarufan=saling kenal lebih jauh
4. Wedang jahe Banyumasan=minuman jahe khas Banyumas
5. Kak Mutia mah sok kaleuleuwihi=Kak Mutia sih, sering berlebihan
1. Iku jenenge nyuguhi siso, pamali Denia=Itu namanya menghidangkan sisa, tidak bagus Denia.
2. Nges ageung oge. Kunaon isin. Mun tos jodo mah, wayahna kudu dipayunan= Udah besar juga. Kenapa malu. Kalau sudah jodoh waktunya harus ditemui.
3. Taarufan=saling kenal lebih jauh
4. Wedang jahe Banyumasan=minuman jahe khas Banyumas
5. Kak Mutia mah sok kaleuleuwihi=Kak Mutia sih, sering berlebihan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar