Senin, 19 November 2018

Kisah Ke -26 (Novel KCMS)


Kisah Ke -26
IZINKAN KUSEBUT KAU, AYAH
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Ayah_Seventeen

Ramadan sudah hampir sampai ke ujungnya.  Tahun ini pula Ramadan pertamaku bersama Denia.  Meskipun lima tahun berada di kehidupan jalanan, Denia tidak begitu saja melupakan masa emas di bawah didikan ibu dan ustazahnya semasa di kampung.  Tidak sulit mengajarkannya puasa.  Bahkan menurut pengakuan Denia, dia sesekali puasa Senin Kamis bukan karena niat ibadah tapi karena  kadang mendapat sindiran dari Bi Munah
“Denia, Arul, kalian itu nggak ada prihatinnya.  Puasa atuh, Senin Kamis biar nggak tiap hari bibi masak buat kalian.”  Bi Munah tetap menganggap Arul dan Denia sebagai beban.  Tidak ada kesadaran dalam dirinya bahwa memelihara dan membesarkan anak yatim membawa berkah.
            Makin mendekati hari raya, ayah makin sering mengingatkan kami untuk banyak beribadah.  Salah satunya dengan iktikaf di masjid Al Kautsar, masjid Jamik kampung Jabon.  Meskipun waktu itu tidak banyak yang iktikaf, ayah tidak peduli.
            Kami berangkat dari rumah setelah iftar.
            “Iftar secukupnya saja dengan yang manis.  Ini ada iftar lebih buat Denia.  Yang lain ndak boleh iri.  Hanif sama Mutia wis pada gede.  Mesakna Denia, sekarang ganti kedua orang tuanya, ayah sama ibu, Ya Denia?”  Ayah membelikan Denia coklat.
            “Masya Allah, Alhamdulillah, Denia sudah lama pingin makan coklat ini.  Kalau Maruti makan coklat dari Bi Munah, aku harus cukup puas melihatnya mengunyah coklat ini.  Sebentar Denia ada ide.”  Denia pergi ke dapur, memotong coklat itu menjadi lima. ”Ini buat ayah kak Mutia, ini buat ibu Kak Mutia, ini buat Kak Mutia, Mas Hanif dan aku.”
            “Wah, terimakasih Denia yang baik, tapi Bapak ndak makan coklat.  Bisa-bisa nyelip ke gigi, bakalan sakit gigi.  Ini Bapak kembalikan ke Denia.”
            Denia menerima coklat itu dan kembali membaginya untuk aku dan Mas Hanif.  Aku usap kepala yang terbalut hijab itu.  Nilai-nilai kebaikan mudah melekat dalam batinnya.  Hidup yang penuh cobaan berat dari usia belia membuat Denia lebih dewasa dari gadis seusianya.
            “Denia, bukan Mas Hanif menolak, untuk Denia yang salehah Mas Hanif nggak sika coklat.  Ini Mas Hanif bagi buat kalian berdua.”  Mas Hanif membagi coklatnya buat kami, sama besar.
            Acara pingpong coklat itu berakhir canda tawa kami yang mengelilingi meja makan menunggu maghrib.  Akhirnya aku dan Denia yang menikmati coklat kesukaan kami.
            Menu iftar kali ini sederhana, bajigur ala Yogyakarta.  Pisang, kolang-kaling, dan ubi jalar direbus bersama gula merah, santan kelapa, ditambah vanili dan daun pandan.  Nikmat sekali membasuh kerongkongan kami yang berpuasa menahan lapar, dahaga juga perbuatan sia-sia.
            “Ayo kita berangkat semua ke masjid.  Jangan lupa bawa mukena, Alquran  dan bekal makan bakda tarawih.  Ayah tidak akan pulang sampai waktu sahur.  Jangan lupa niat iktikaf.  Yaitu niat mendekatkan diri pada Allah dengan banyak beribadah di dalam masjid.”
            Aku melihat ayah makin religius di usia kepala enamnya.  Allah memang Maha Kasih Sayang.  Memberi hidayah pada hambaNya dengan berbagai cara.  Juga dengan ayah, belajar Islam saat aku masuk SMA.  Selama belajar di bangku SMA beliau menjadi salah satu guruku untuk mata pelajaran Fisika.  Beliau juga yang menyuruhku masuk Rohis di sekolah. 
Sedangkan Mas Hanif banyak belajar Islam dari madrasah aliah di pesantrennya .  Mas Hanif melanjutkan ke fakultas dakwah sebuah universitas islam negeri di Semarang.  Sedangkan aku memilih masuk jurusan komunikasi dan jurnalistik di universitas negeri ibu kota.
Aku merasa beruntung dan bersyukur selalu mendapat pengawasan ketat dari ayah.  Menasihati kami saat kami berbuat salah.  Berbagai cara dia lakukan saat kami tak juga mengerti dan menuruti nasihatnya. Dari nada suara lembut menjadi agak keras, sorot mata tajam hingga kemarahan, terakhir baru pukulan. Aku ingat pukulan ayah pernah mendarat di paha kami gara-gara kami menonton televisi di rumah tetangga yang punya perangai buruk.  Perangainya banyak memakan korban terutama anak perempuan.  Anak-anak banyak yang berani melawan orang tua karena pengaruh buruknya itu. 
            Ayah juga banyak memberi teladan baik buatku, terutama dalam menjaga hak milik orang lain. 
            “Mutia, iku paku balikna nyang Pakde Guntur, ya
            Namung tiga, Yah?” tanyaku heran dengan barang yang aku anggap sepele itu.
            “Waktu itu Ayah pinjam hanya tiga.  Nek tak luwihi mengko mesti dibalikna karo Mas Guntur.  Sudah sana berangkat, Ayah ndak mau paku itu menghalangi perjalanan akhirat ayah.”
            Sebaliknya saat ayah begitu pemurah pada yang membutuhkan.  Suatu ketika Ayah perlu untuk memakai sepeda buat olah raga pagi.  Sepeda itu dipinjam sama Paklik Bayan, adik ibu.
            “Yah, biar Ibu yang ambil sepeda Ayah.  Ibu ndak enak sama Ayah.  Kelakuan Bayan ndak boleh dibiarkan.  Nanti dia makin ngelonjak.”
            Ora usah, Bune.  Cukup bilang saja, kalau Bayan masih butuh sepeda itu, pakai saja biar jadi hak miliknya.  Kita ndak perlu marah dan merusak silaturahim kita sama adik sendiri.”
            Sampai sekarang kalau ada kerabat minjam terutama uang, ayah selalu memberikan semampu ayah dengan ikhlas tanpa menganggapnya sebagai hutang.  Ada satu kata bijak yang selalu kuingat , ‘Ojo dolanan gunting karo sedulur.’
            Hari ke-27 bulan Ramadan 1426 H, saat indah yang tak pernah aku lupakan.  Kami duduk di ruang tengah sepulang dari iktikaf.
            “Ayah sudah mengusahakan pengangkatan anak untuk Denia.  Dalam kasus ini Denia dikatagorikan dalam anak temuan sebatang kara, tanpa keluarga.  Jadi lebih mudah mengurus hak asuhnya.  Tidak perlu akta kelahiran dan persetujuan keluarga.”
            “Sebenarnya Denia punya keluarga satu-satunya di Bekasi.  Bi Munah,  adik ayahnya.”  Aku lupa mengatakan ini pada ayah.
            “Kalau begitu kita bisa meminta surat keterangan kesediaan melepas pengasuhan dari keluarganya.”
            “Denia nggak mau berurusan dengan Bi Munah lagi, Pak.  Dia pasti nggak mau melepaskan aku.  Dia kejam dan memanfaatkan aku buat cari uang.  Aku nggak disekolahkan sama Bi Munah.”  Cerita Denia tentang kekejaman bibinya kembali terungkap.  Trauma yang belum tersembuhkan.
            “Kalau begitu, baiklah.  Proses ini akan kita lanjutkan dengan pengakuan Denia sebagai anak temuan tanpa kerabat.  Ayah sudah menjalani tes kejiwaan sebagai syarat hak asuh, menyerahkan fotocopy  surat nikah, fotocopy KTP orangtua, fotocopy KK.  Semoga seminggu ini kantor catatan sipil sudah menambahkan satu nama di kartu keluarga kita.  Kamu boleh berganti nama, Denia, atau tetap dengan nama pemberian orang tua kamu.”
            “Denia ikut apa kata Bapak.  Sebaiknya bagaimana?”
            “Ayah ingin nama baru buat Denia.  Kamu tetap bisa memakai nama Denia sebagai nama panggilan tapi untuk keamanan Denia dari orang-orang yang berniat jahat, Ayah akan memberi nama baru untuk Denia.”
            Ayah terdiam sejenak.  “ Mutia, kamu ndak ingin memberi hadiah nama buat Denia?  Ikatan kasih sayang antara kamu dan Denia Ayah rasa sangat dekat.  Bukankah kamu yang menjadi wasilah Denia menjadi keluarga kita?”
Mboten Ayah, mangga kemawon.  Denia sangat merindukan sosok ayah dan ibu.  Rasanya lebih pas kalau ayah atau ibu yang memberi nama.”
“Ayah sudah sepakat sama ibu.  Karena nama adalah doa, kami mengusulkan nama Amania Shalehati, maksudnya supaya Denia selalu aman dari masa lalunya, mendapat perlindungan Allah dan menjadi wanita salehah.   Apakah kamu senang dengan nama itu Denia?”
Denia tersenyum manis, matanya berkaca-kaca.
            “Kalau begitu bolehkan Denia memanggil ayah ke Pak Surya?”
            “Tentu boleh Denia, justru Ayah selalu menunggu kau sebut aku ayah. Tapi Ayah mohon maaf sebelumnya, kalau ayah tidak menyentuh kulitmu sebagaimana Ayah memperlakukan Kak Mutia.  Ayah juga tidak akan berduaan dengan Denia.  Bagaimanapun kita bukan mahram.  Juga Mas Hanif.  Kamu tidak boleh sakit hati, karena memang demikian aturan dalam agama kita. ”
            “Tidak mengapa, Ayah.  Sedikit banyak Kak Mutia sudah mengenalkan aturan-aturan itu ke Denia.  Katanya memasuki usia balig, banyak hal yang harus Denia jaga.  Salah satunya memahami mana mahram dan bukan.”
            Aku mandang wajah ayah.  Guratan di wajahnya makin jelas, menampakkan kebijakan yang makin bestari.  Perjuangan yang dilaluinya, kesabaran meniti kehidupan hingga merasakan kesadaran agama.  Meski wajah itu menua namun pancaran keindahan batin dan jiwa ada di sana.
***
            Denia yang senang bercerita, mengenang sosok ayah yang dulu pernah menyayanginya meski hanya sebentar sejak pertama dia mengingat, mungkin hanya dua tahun kenangan indah itu bisa tersimpan dalam ruang hatinya.
            Denia dulu suka ikut menggembala itik bersama ayahnya.  Waktu itu Denia baru berumur lima tahun sudah sekolah di TK Alquran tapi belum masuk SD.
            “Denia hati-hati pematang sawah ini agak licin.” Ayah Denia memegang tangan mungil Denia sementara tangan kanannya memegang tongkat penggembala.
            Hujan yang makin deras menguyupkan baju dan sekujur badan Denia.  Gigil.  Ayah Denia ingin bergegas sampai rumah.  Saat melepas pegangan untuk menggendong Denia, Denia hilang keseimbangan dan terpeleset ke saluran irigasi yang cukup dalam dan deras.
            “Denia, pegangan akar pohon itu!” teriak ayah Denia panik
            “Ayah, tolong!”  Denia terseret arus.  Beberapa teguk air tidak mampu ditahannya.  Napas pun seakan sudah habis tak mampu diaturnya.
            Ayah Denia menyebur ke saluran itu sebatas leher.  Sekuat tenaga menahan derasnya arus mengejar Denia yang makin jauh. 
Beruntung Denia menemukan akar yang menjuntai ke saluran irigasi itu.  Denia diam bertahan memegang akar sungai.  Dzikir sebisanya yang diajarkan ustazah, Ya Mukmin, Ya Muhaimin, Ya Salaam. 
Sampai ayah mendapati Denia dalam keadaan lunglai, hampir tak sadarkan diri.
            “Denia, masih dengar Ayah, Nak?”  Denia mengangguk lunglai, dia menggerakkan matanya memberi isyarat bahwa dia masih sadar.  Ayah Denia mengangkatnya ke pematang dekat tepi saluran, memukul bagian tengkuk hingga muntah.
            Muntahan cairan yang masuk dalam perutnya itu perlahan membuat napasnya terkendali kembali.
            Denia, geura emam iyeu gula beureumna.  Sina geura cageur!“ Ayah Denia mengambil potongan kecil gula merah yang dikunyahnya dan disuapkan pada Denia.
            Perlahan kesadaran Denia pulih.  Mereka segera pulang tidak peduli kemana itik-itik itu pergi.  Dalam benak ayah Denia hanya menyelamatkan buah hatinya dari kuyup air hujan, itik itu akan dicarinya setelah Denia aman di rumah bersama ibu.
            Ayah Denia  segera pergi tanpa berganti pakaian, khawatir itik itu kebingungan mencari jalan pulang, atau mungkin diambil orang yang tidak memperhatikan hak milik orang lain.  Sungguh pengorbanan seorang ayah yang luar biasa.  Di satu sisi harus melindungi dan menjaga keselamatan seluruh anggota keluarga.  Di sis lain juga harus memastikan sumber nafkah yang baik, halal dan cukup untuk keluarganya.  Demi tanggung jawabnya itu kadang keselamatan dirinya harus dipertaruhkan.
            Kini kenangan bahagia bersama ayah seakan kembali dengan hadirnya ayahku dalam kehidupan Denia.  Aku menganggap Denia ada nama panggilan sayang untuk nama pemberian ayah, Nia dari Amania dan De dari sebutan adik.

GLOSARIUM
1.      Atuh (Sunda)= Kata seru Dong
2.      Masjid jamik =Masjid untuk jumatan
3.      Iktikaf =berdiam diri di masjid dengan niatan beribadah mendekatkan diri pada Allah SWT, biasanya dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan
4.      Iftar =makan/minum untuk berbuka puasa
5.      Hanif  karo Mutia wis pada gede.  Mesakna Denia=Hanif dan Mutia sudah pada besar.  Kasihan Denia                 
6.       Pingpong coklat =saling menawarkan coklat
7.      Iku paku balikna nyang Pakde Guntur, ya=Itu paku kembalikan pada Paman Guntur
8.      Namung tiga, Yah=Cuma tiga, Ayah?
9.      Nek tak luwihi mengko mesti dibalikna karo Mas Guntur= Nanti kalau dilebihi pasti akan dikembalikan sama Mas Guntur
10.  Ora usah, Bune=Tidak usah, ibu. 
11.  Ojo dolanan gunting karo sedulur=Jangan bermain gunting(sesuatu yang bisamemutus tali silaturahim) sama saudara.
12.  Mboten Ayah, mangga kemawon.= Tidak Ayah, silakan saja 
13.  Denia, geura emam iyeu gula beureumna. Sina geura cageur! = Denia, ayo dimakan ini gula merahnya.  Supaya lekas pulih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...