Kisah Ke -26
IZINKAN
KUSEBUT KAU, AYAH
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Ayah_Seventeen
Ramadan sudah
hampir sampai ke ujungnya. Tahun ini
pula Ramadan pertamaku bersama Denia.
Meskipun lima tahun berada di kehidupan jalanan, Denia tidak begitu saja
melupakan masa emas di bawah didikan ibu dan ustazahnya semasa di kampung. Tidak sulit mengajarkannya puasa. Bahkan menurut pengakuan Denia, dia sesekali
puasa Senin Kamis bukan karena niat ibadah tapi karena kadang mendapat sindiran dari Bi Munah
“Denia, Arul,
kalian itu nggak ada prihatinnya. Puasa atuh,
Senin Kamis biar nggak tiap hari bibi masak buat kalian.” Bi Munah tetap menganggap Arul dan Denia
sebagai beban. Tidak ada kesadaran dalam
dirinya bahwa memelihara dan membesarkan anak yatim membawa berkah.
Makin mendekati
hari raya, ayah makin sering mengingatkan kami untuk banyak beribadah. Salah satunya dengan iktikaf di masjid Al
Kautsar, masjid Jamik kampung Jabon.
Meskipun waktu itu tidak banyak yang iktikaf, ayah tidak peduli.
Kami berangkat
dari rumah setelah iftar.
“Iftar secukupnya
saja dengan yang manis. Ini ada iftar
lebih buat Denia. Yang lain ndak boleh
iri. Hanif sama Mutia wis pada gede. Mesakna Denia, sekarang ganti kedua
orang tuanya, ayah sama ibu, Ya Denia?”
Ayah membelikan Denia coklat.
“Masya Allah,
Alhamdulillah, Denia sudah lama pingin makan coklat ini. Kalau Maruti makan coklat dari Bi Munah, aku
harus cukup puas melihatnya mengunyah coklat ini. Sebentar Denia ada ide.” Denia pergi ke dapur, memotong coklat itu
menjadi lima. ”Ini buat ayah kak Mutia, ini buat ibu Kak Mutia, ini buat Kak
Mutia, Mas Hanif dan aku.”
“Wah, terimakasih
Denia yang baik, tapi Bapak ndak makan coklat.
Bisa-bisa nyelip ke gigi, bakalan sakit gigi. Ini Bapak kembalikan ke Denia.”
Denia menerima
coklat itu dan kembali membaginya untuk aku dan Mas Hanif. Aku usap kepala yang terbalut hijab itu. Nilai-nilai kebaikan mudah melekat dalam
batinnya. Hidup yang penuh cobaan berat
dari usia belia membuat Denia lebih dewasa dari gadis seusianya.
“Denia, bukan Mas
Hanif menolak, untuk Denia yang salehah Mas Hanif nggak sika coklat. Ini Mas Hanif bagi buat kalian berdua.” Mas Hanif membagi coklatnya buat kami, sama
besar.
Acara pingpong
coklat itu berakhir canda tawa kami yang mengelilingi meja makan menunggu
maghrib. Akhirnya aku dan Denia yang menikmati
coklat kesukaan kami.
Menu iftar kali
ini sederhana, bajigur ala Yogyakarta.
Pisang, kolang-kaling, dan ubi jalar direbus bersama gula merah, santan
kelapa, ditambah vanili dan daun pandan.
Nikmat sekali membasuh kerongkongan kami yang berpuasa menahan lapar,
dahaga juga perbuatan sia-sia.
“Ayo kita
berangkat semua ke masjid. Jangan lupa
bawa mukena, Alquran dan bekal makan
bakda tarawih. Ayah tidak akan pulang
sampai waktu sahur. Jangan lupa niat
iktikaf. Yaitu niat mendekatkan diri
pada Allah dengan banyak beribadah di dalam masjid.”
Aku melihat ayah
makin religius di usia kepala enamnya.
Allah memang Maha Kasih Sayang.
Memberi hidayah pada hambaNya dengan berbagai cara. Juga dengan ayah, belajar Islam saat aku
masuk SMA. Selama belajar di bangku SMA
beliau menjadi salah satu guruku untuk mata pelajaran Fisika. Beliau juga yang menyuruhku masuk Rohis di
sekolah.
Sedangkan Mas
Hanif banyak belajar Islam dari madrasah aliah di pesantrennya . Mas Hanif melanjutkan ke fakultas dakwah sebuah
universitas islam negeri di Semarang.
Sedangkan aku memilih masuk jurusan komunikasi dan jurnalistik di
universitas negeri ibu kota.
Aku merasa
beruntung dan bersyukur selalu mendapat pengawasan ketat dari ayah. Menasihati kami saat kami berbuat salah. Berbagai cara dia lakukan saat kami tak juga
mengerti dan menuruti nasihatnya. Dari nada suara lembut menjadi agak keras,
sorot mata tajam hingga kemarahan, terakhir baru pukulan. Aku ingat pukulan
ayah pernah mendarat di paha kami gara-gara kami menonton televisi di rumah
tetangga yang punya perangai buruk.
Perangainya banyak memakan korban terutama anak perempuan. Anak-anak banyak yang berani melawan orang
tua karena pengaruh buruknya itu.
Ayah juga banyak
memberi teladan baik buatku, terutama dalam menjaga hak milik orang lain.
“Mutia, iku
paku balikna nyang Pakde Guntur, ya”
“Namung tiga,
Yah?” tanyaku heran dengan barang yang aku anggap sepele itu.
“Waktu itu Ayah
pinjam hanya tiga. Nek tak luwihi
mengko mesti dibalikna karo Mas Guntur.
Sudah sana berangkat, Ayah ndak mau paku itu menghalangi perjalanan
akhirat ayah.”
Sebaliknya saat
ayah begitu pemurah pada yang membutuhkan.
Suatu ketika Ayah perlu untuk memakai sepeda buat olah raga pagi. Sepeda itu dipinjam sama Paklik Bayan, adik
ibu.
“Yah, biar Ibu
yang ambil sepeda Ayah. Ibu ndak enak
sama Ayah. Kelakuan Bayan ndak boleh
dibiarkan. Nanti dia makin ngelonjak.”
“Ora usah, Bune. Cukup bilang saja, kalau Bayan masih butuh
sepeda itu, pakai saja biar jadi hak miliknya.
Kita ndak perlu marah dan merusak silaturahim kita sama adik sendiri.”
Sampai sekarang
kalau ada kerabat minjam terutama uang, ayah selalu memberikan semampu ayah
dengan ikhlas tanpa menganggapnya sebagai hutang. Ada satu kata bijak yang selalu kuingat , ‘Ojo
dolanan gunting karo sedulur.’
Hari ke-27 bulan
Ramadan 1426 H, saat indah yang tak pernah aku lupakan. Kami duduk di ruang tengah sepulang dari
iktikaf.
“Ayah sudah
mengusahakan pengangkatan anak untuk Denia.
Dalam kasus ini Denia dikatagorikan dalam anak temuan sebatang kara,
tanpa keluarga. Jadi lebih mudah
mengurus hak asuhnya. Tidak perlu akta
kelahiran dan persetujuan keluarga.”
“Sebenarnya Denia
punya keluarga satu-satunya di Bekasi.
Bi Munah, adik ayahnya.” Aku lupa mengatakan ini pada ayah.
“Kalau begitu kita
bisa meminta surat keterangan kesediaan melepas pengasuhan dari keluarganya.”
“Denia nggak mau
berurusan dengan Bi Munah lagi, Pak. Dia
pasti nggak mau melepaskan aku. Dia
kejam dan memanfaatkan aku buat cari uang.
Aku nggak disekolahkan sama Bi Munah.”
Cerita Denia tentang kekejaman bibinya kembali terungkap. Trauma yang belum tersembuhkan.
“Kalau begitu, baiklah.
Proses ini akan kita lanjutkan dengan pengakuan Denia sebagai anak
temuan tanpa kerabat. Ayah sudah
menjalani tes kejiwaan sebagai syarat hak asuh, menyerahkan fotocopy surat nikah, fotocopy KTP orangtua, fotocopy
KK. Semoga seminggu ini kantor catatan
sipil sudah menambahkan satu nama di kartu keluarga kita. Kamu boleh berganti nama, Denia, atau tetap
dengan nama pemberian orang tua kamu.”
“Denia ikut apa
kata Bapak. Sebaiknya bagaimana?”
“Ayah ingin nama
baru buat Denia. Kamu tetap bisa memakai
nama Denia sebagai nama panggilan tapi untuk keamanan Denia dari orang-orang
yang berniat jahat, Ayah akan memberi nama baru untuk Denia.”
Ayah terdiam
sejenak. “ Mutia, kamu ndak ingin
memberi hadiah nama buat Denia? Ikatan
kasih sayang antara kamu dan Denia Ayah rasa sangat dekat. Bukankah kamu yang menjadi wasilah Denia
menjadi keluarga kita?”
“Mboten
Ayah, mangga kemawon. Denia sangat
merindukan sosok ayah dan ibu. Rasanya
lebih pas kalau ayah atau ibu yang memberi nama.”
“Ayah sudah
sepakat sama ibu. Karena nama adalah
doa, kami mengusulkan nama Amania Shalehati, maksudnya supaya Denia selalu aman
dari masa lalunya, mendapat perlindungan Allah dan menjadi wanita salehah. Apakah kamu senang dengan nama itu Denia?”
Denia tersenyum
manis, matanya berkaca-kaca.
“Kalau begitu
bolehkan Denia memanggil ayah ke Pak Surya?”
“Tentu boleh
Denia, justru Ayah selalu menunggu kau sebut aku ayah. Tapi Ayah mohon maaf
sebelumnya, kalau ayah tidak menyentuh kulitmu sebagaimana Ayah memperlakukan
Kak Mutia. Ayah juga tidak akan berduaan
dengan Denia. Bagaimanapun kita bukan
mahram. Juga Mas Hanif. Kamu tidak boleh sakit hati, karena memang
demikian aturan dalam agama kita. ”
“Tidak mengapa,
Ayah. Sedikit banyak Kak Mutia sudah
mengenalkan aturan-aturan itu ke Denia.
Katanya memasuki usia balig, banyak hal yang harus Denia jaga. Salah satunya memahami mana mahram dan
bukan.”
Aku mandang
wajah ayah. Guratan di wajahnya makin
jelas, menampakkan kebijakan yang makin bestari. Perjuangan yang dilaluinya, kesabaran meniti
kehidupan hingga merasakan kesadaran agama.
Meski wajah itu menua namun pancaran keindahan batin dan jiwa ada di
sana.
***
Denia yang senang
bercerita, mengenang sosok ayah yang dulu pernah menyayanginya meski hanya
sebentar sejak pertama dia mengingat, mungkin hanya dua tahun kenangan indah
itu bisa tersimpan dalam ruang hatinya.
Denia dulu suka ikut
menggembala itik bersama ayahnya. Waktu
itu Denia baru berumur lima tahun sudah sekolah di TK Alquran tapi belum masuk
SD.
“Denia hati-hati
pematang sawah ini agak licin.” Ayah Denia memegang tangan mungil Denia
sementara tangan kanannya memegang tongkat penggembala.
Hujan yang makin
deras menguyupkan baju dan sekujur badan Denia.
Gigil. Ayah Denia ingin bergegas
sampai rumah. Saat melepas pegangan untuk
menggendong Denia, Denia hilang keseimbangan dan terpeleset ke saluran irigasi
yang cukup dalam dan deras.
“Denia, pegangan
akar pohon itu!” teriak ayah Denia panik
“Ayah,
tolong!” Denia terseret arus. Beberapa teguk air tidak mampu
ditahannya. Napas pun seakan sudah habis
tak mampu diaturnya.
Ayah Denia
menyebur ke saluran itu sebatas leher.
Sekuat tenaga menahan derasnya arus mengejar Denia yang makin jauh.
Beruntung Denia
menemukan akar yang menjuntai ke saluran irigasi itu. Denia diam bertahan memegang akar
sungai. Dzikir sebisanya yang diajarkan
ustazah, Ya Mukmin, Ya Muhaimin, Ya Salaam.
Sampai ayah
mendapati Denia dalam keadaan lunglai, hampir tak sadarkan diri.
“Denia, masih
dengar Ayah, Nak?” Denia mengangguk
lunglai, dia menggerakkan matanya memberi isyarat bahwa dia masih sadar. Ayah Denia mengangkatnya ke pematang dekat tepi
saluran, memukul bagian tengkuk hingga muntah.
Muntahan cairan
yang masuk dalam perutnya itu perlahan membuat napasnya terkendali kembali.
“Denia, geura
emam iyeu gula beureumna. Sina
geura cageur!“ Ayah Denia mengambil potongan kecil gula merah yang
dikunyahnya dan disuapkan pada Denia.
Perlahan kesadaran
Denia pulih. Mereka segera pulang tidak
peduli kemana itik-itik itu pergi. Dalam
benak ayah Denia hanya menyelamatkan buah hatinya dari kuyup air hujan, itik
itu akan dicarinya setelah Denia aman di rumah bersama ibu.
Ayah Denia segera pergi tanpa berganti pakaian, khawatir
itik itu kebingungan mencari jalan pulang, atau mungkin diambil orang yang
tidak memperhatikan hak milik orang lain.
Sungguh pengorbanan seorang ayah yang luar biasa. Di satu sisi harus melindungi dan menjaga
keselamatan seluruh anggota keluarga. Di
sis lain juga harus memastikan sumber nafkah yang baik, halal dan cukup untuk
keluarganya. Demi tanggung jawabnya itu
kadang keselamatan dirinya harus dipertaruhkan.
Kini kenangan
bahagia bersama ayah seakan kembali dengan hadirnya ayahku dalam kehidupan
Denia. Aku menganggap Denia ada nama
panggilan sayang untuk nama pemberian ayah, Nia dari Amania dan De dari sebutan
adik.
GLOSARIUM
1.
Atuh
(Sunda)= Kata seru Dong
2.
Masjid
jamik =Masjid untuk jumatan
3.
Iktikaf =berdiam diri di masjid dengan niatan beribadah mendekatkan diri
pada Allah SWT, biasanya dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan
4.
Iftar =makan/minum untuk berbuka puasa
5.
Hanif karo Mutia wis pada gede. Mesakna Denia=Hanif
dan Mutia sudah pada besar. Kasihan
Denia
6.
Pingpong coklat =saling menawarkan
coklat
7.
Iku
paku balikna nyang Pakde Guntur, ya=Itu
paku kembalikan pada Paman Guntur
8.
Namung
tiga, Yah=Cuma tiga, Ayah?
9.
Nek
tak luwihi mengko mesti dibalikna karo Mas Guntur= Nanti kalau dilebihi pasti akan dikembalikan sama Mas Guntur
10. Ora usah, Bune=Tidak usah, ibu.
11. Ojo dolanan gunting karo sedulur=Jangan bermain gunting(sesuatu yang bisamemutus tali silaturahim)
sama saudara.
12. Mboten Ayah, mangga kemawon.= Tidak Ayah, silakan saja
13. Denia, geura emam iyeu gula
beureumna. Sina geura cageur! = Denia,
ayo dimakan ini gula merahnya. Supaya
lekas pulih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar