Senin, 19 November 2018

Kisah ke-25 (Novel KCMS)


Kisah ke-25
UNTUKMU YANG TERLUKA
(Jangan Renggut Masa Depanku II)
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#YangTerlupakan_Iwan Fals

Sebelumnya aku nggak pernah suka sama Bang Gofat.  Umurnya sembilan tahun lebih tua dariku.  Penampilannya  belel, rambut acak-acakan.  Aku mau saja mengikuti ajakannya lebih karena takut, bukan karena suka.  Bagaimanapun nasihat ustazah dan terutama ibu saat aku masih mengaji di TPA kampung Cijulang masih teringat hingga kini.  Perbuatan Bang Gofat padaku tidak bisa dibenarkan. 
Belum lagi tangan nakalnya membuatku merasa dihinakan.  Tapi aku tidak bisa melawan dia.  Justru aku yang terpaksa melawan hati nuraniku.
“Denia gue mau ngajak elo nonton malam Minggu ini.  Berjalan sama kamu bikin aku bangga di depan mereka yang suka ngeledek gue.  Kagak laku katanye.”
“Terserah Abang, deh.  Yang penting Abang bahagia.  Dan ingat potongan hasil ngamen aku jangan kegedean.  Biar Bi Munah nggak marah-marah melulu.”  Aku mulai bisa mengikuti irama yang dia mainkan. 
“Tenang Denia, gue bisa memberi lu lebih dari yang lain.  Tergantung sikap lu.  Bisa nyenengin gue atau tidak.”
Aku tersenyum kubuat setulus mungkin.  Kalau dia tahu aku terpaksa, tak segan-segan dia berbuat kasar padaku.  Kalau aktingku sebagai kekasihnya berhasil dia akan memberiku hadiah, termasuk kecupan sesuka dia. Yang buatku adalah musibah.  Serba salah.  Dua tahun aku dalam dilema batin seperti ini.
Malam itu hadiahnya menonton film di bioskop menengah, film barat yang dipilihnya tidak begitu aku pahami.  Bahkan judulnya pun aku tak ingat.  Yang jelas banyak adegan menjijikkan yang aku benci.  Yang membuat aku makin benci, Bang Gofat menirukan gaya actor dan aku sebagai partnernya.
Dalam hati aku hanya bisa berdzikir tiga asma dari asmaul husna yang ibu ajarkan kemanapun, dimanapun.  Ya Mukmin (Wahai Yang Maha Memberi Keamanan), Ya Muhaimin (Wahai Yang Maha Memelihara), Ya Salam (Wahai yang Memberi Keselamatan).
“Denia, lu nggak bisa seperti mereka?  Lihat penonton itu bermain dengan sepenuh rasa dan jiwa.”
“Bang, tidakkah Bang Gofat memaklumi aku sebagai anak di bawah umur?  Badanku bisa saja besar tapi aku baru sembilan tahun,Bang.  Aku nggak tahu harus bagaimana?”
“Memang payah punya pacar masih ingusan.  Kecantikan lu itu yang membuat gue tahluk, Denia.”
Aku bergeming, pasrah dengan apa pun perlakuannya.  Luka hati ini kubiarkan nganga.  Terbasuh dzikir asmanya.  Saat aku mempercepat irama dzikir hatiku.  Bang Gofat menghentikan ulahnya. Entah kenapa.  Diiringi rasa syukur yang dalam.  Alhamdulillah.
Di usiaku yang kesepuluh tahun, aku merasakan perlindungan tulus dari Ban Gofat.  Sikapnya yang berubah lembut, perhatian dan selalu ingin melindungiku.  Seiring dengan itu, penampilannya berubah lebih santun.  Pakaiannya bersih, rambutnya rapih, tato-tato di lengan dan tangannya selalu berusaha ditutupinya.   Rasa cinta hatiku justru tumbuh dengan sendirinya melihat perubahan dirinya.  Bang Gofat tampak tampan dengan penampilan barunya. Aku merasa cintaku pada Bang Gofat adalah cinta pertamaku.
            “Denia, kamu akan tetap menjadi ratuku di Gofat Crew ini.”  Di suatu akhir pekan yang indah setelah kami berlatih band di grub band kami, Debidu Band.  Dia menggandeng tanganku tidak lebih dari itu.  Berjalan menyusuri jembatan layang di Cawang Atas.  Sesuatu yang tidak akan pernah aku lupakan.  Dia menunjuk gemintang di langit ibu kota.
            “Kita akan menjadi salah satu bintang di atas sana bersama Debidu Band, Denia.”
            “Semoga, Bang.  Insyaallah.  Yang paling penting, Denia bahagia dengan perubahan sikap dan penampilan Abang.”  Kini aku benar-benar merasakan ada bunga di hati ini.  Tak pernah kukatakan isi hati ini pada Bang Gofat .  Malu.
“Gue bisa merasakannya Denia.  Senyum bahagia lo melukiskan semua isi hati lo.”
“Kita harus berterimakasih sama Bang Dekky yang membantu perubahan kita kea rah yang lebih baik, Bang.”
“Tentang Bang Dekky, gue yang paling berhutang budi padanya.  Meskipun banyak nasihat yang belum bisa gue lakuin.  Gue berjanji suatu saat satu persatu nasihat baiknya akan bisa gue amalin.”
Bang Dekky seorang musisi beken, punya band dan mulai dari kehidupan jalanan seperti kami.  Hingga saat jalan hijrah tiba, Bang Dekky menyambutnya.  Berkat kegigihan sekelompok orang yang berjamaah dalam usaha dakwah.  Jemaah Tabligh.  Mereka selalu gigih mau mengajak dengan ikhlas.  Tidak peduli cibiran, hardikan bahkan mungkin ludah dan cacian.  Keikhlasan inilah yang meluluhkan Bang Dekky untuk  ikut salat berjamaah di masjid. Bang Dekky ikut usaha dakwah dan kami menjadi sasaran dakwahnya.
Seiring waktu, kami mendapat banyak bimbingan.  Bukan hanya bermain musik di Debidu Band tapi juga membaca iqra dan mendengar nasihat dari Bang Deki sepekan sekali.
Kami semua bahagia meskipun hanya tiga bulan sampai nasib naas menimpa Bang Gofat.  Masa-masa bahagia bersama cinta yang bersemi di hatiku. 
“Denia, maafin aku.  Mungkin untuk besok dan seterusnya, kita nggak akan sedekat dulu.”  Kalimat yang terdengar aneh tanpa gue dan lo yang selalu keluar dari lisan Bang Gofat.  Lembut.
“Kenapa, Bang?  Adakah aku berbuat salah pada Bang Gofat.”
“Sama sekali tidak.”
“Atau Abang sudah nggak mencintai Denia lagi.  Dan aku bukan ratu Gofat  Crew lagi?”  Aku bertanya polos.  Benar-benar tidak mengerti maksud Bang Gofat.”
“Bahkan aku makin mencintai kamu Denia?”
Aku tidak menyangka bahwa pagi, di lantai dasar mall bekas kerusuhan Mei ‘98 adalah kebersamaan kami untuk terakhir kalinya.
“Lalu mengapa Abang nggak mau dekat aku lagi? Sebenarnya aku sayang sama Abang sejak Bang Gofat berubah.  Kelembutan, kasih sayang, perlindungan Bang Gofat adalah kebahagiaan yang hadir kembali sejak ayah ibuku meninggal.  Kalau boleh Denia bilang, Denia cinta sama Abang dan nggak mau kehilangan Bang Gofat.”  Aku menangis, seperti anak kecil yang takut kehilangan kedua orang tuannya.
“Sudah jangan menangis Denia, siapa yang akan meninggalkanmu.  Aku akan tetap ada.  Suatu saat kamu akan mengerti mengapa aku menjauh.  Bukan karena benci, bukan karena marah tapi karena cinta.”
Bang Gofat mengecup keningku.  Memberiku selembar kertas, warna biru, wangi.  Ia  Mengantarkanku ke halte, menunggu bis jurusan Bekasi.  Bis yang kami tunggu tiba.  Aku naik sendiri, Bang Gofat melambaikan tangannya.  Bis menjauhi halte, tak kulepas pandanganku pada Bang Gofat, hingga tikungan itu memaksa kami tak bisa saling melambai lagi.
Dalam hatiku, ada kecamuk yang mendera.  Ada apa dengan Bang Gofat.  Mengapa dia berniat menjauhiku.  Airmataku kembali mengalir tanpa aku sadari.  Seseorang di sampingku memandangiku heran.  Aku tak peduli.
Aku buka kertas biru wangi dari Bang Gofat,  mataku menatap satu-satu barisan huruf yang tertulis rapi. Seakan gambaran cinta dari penulisnya, penoreh kata.
Assalamu’alaikum, Denia. 
Kutulis lembar kertas ini dengan penuh rasa cinta pada Allah, Rasulullah juga cinta padamu.
Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.  Salawat dan salam semoga selalu terlimpahkan pada Rasulullah.  Insan yang tiap perbuatannya mesti kita contohi.  Dialah manusia yang paling mencintai kita sebagai umatnya.  Semoga saat perpisahan jiwa dan raga kita, asma Allah dan Rasul selalu menghiasi lisan kita.
Empat bulan yang lalu aku mengenal Bang Dekky.  Satu bulan kemudian aku perkenalkan kalian padanya.  Aku seakan terlahir kembali menjadi manusia, Denia.  Sejak itu aku seakan diburu salah dan dosa atas perlakuanku padamu.
Tangan ini, lisan ini, bibir ini, telah melukaimu dengan dosa yang tak terampunkan. Kecuali jika kau yang aku zalimi dan juga  Allah memaafkanku.  Aku sebagai orang dewasa mestinya memperlakukanmu dengan penuh penghormatan.  Tapi aku yang kotor ini justru mengotorimu, gadis kecil suci tanpa dosa.
Terimakasih atas penolakan yang kau berikan, meski hanya dengan bergeming pasrah.  Hingga aku mengurungkan diri dari jerumus dosa dan nista.  Saat kau mematung, ada ketukan hati untuk mengendalikan segala nafsu yang merajai.
Saatnya kini aku minta maaf atas segala kenistaan yang aku malu untuk mengingatnya.  Yang ingin dan akan ku kubur selamanya.  Dengan tulisan ini kuharap semua rasa salah dan dosa bisa melebur dengan kemaafan yang selalu akan kumohonkan.
Aku akan tetap melindungimu Denia.  Jangan takut kehilangan cintaku.  Justru inilah persembahan cinta yang sebenarnya.  Karena cinta itu suci, tidak pernah membekaskan dosa dan noda pada yang dicintainya.
Andai saatnya tiba, Allah berkehendak menyatukan kita.  Atau ada namamu dan namaku di suratan takdirNya.  Pasti cinta kita akan bersatu dalam mahligai rumah tangga.  Tapi bila tidak, manusia hanya bisa berserah, pasrah pada ketentuanNya, tidak ada dosa bila aku mencintaimu dalam ikatan iman.  Ikatan untuk mendapatkan selamat dan menyelamatkan di dunia dan akhirat.
Aku akan mencintaimu dengan cara yang berbeda Denia.  Bukan dalam dekapan, pelukan dan kecupan tapi dalam doa yang akan terus mengiringi langkahmu. 
Maafkan aku yang telah melukai perasaanmu. Yang pernah memaksamu mencintaiku.  Semoga kemaafanmu akan meringankan langkahku dalam perjalanan panjang tak berujung. 
Dariku,
Yang akan dan ingin selalu melindungimu dengan izin Allah SWT.
***
Surat itu begitu istimewa, masih kusimpan hingga kini bersama foto ibu dan ayahku.  Surat yang ternyata tanda perpisahan dengan Bang Gofat.  Orang yang pernah aku benci sekaligus menjadi cinta pertamaku.
Tulisan itu menjadi akhir kebersamaan kami, lambaian di halte itu juga lambaian terakhir.  Kecupan di keningku waktu itu juga kecupan terakhir.  Permintaan maaf tulus dari seorang yang berhijrah dan menemukan taubatnya.
Tiga hari setelah surat itu, aku tidak bertemu Bang Gofat lagi.  Hanya pekik syahadat yang sempat kami dengar dari hamba yang menemukan Husnul Khatimah.
Aku tidak menyangka aku akan berpindah Bos yang lebih kejam. Om Tompel yang membuat Kang Arul frustasi dan memutuskan kami harus berpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...