Kisah ke-25
UNTUKMU YANG
TERLUKA
(Jangan Renggut
Masa Depanku II)
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#YangTerlupakan_Iwan
Fals
Sebelumnya aku
nggak pernah suka sama Bang Gofat.
Umurnya sembilan tahun lebih tua dariku.
Penampilannya belel, rambut
acak-acakan. Aku mau saja mengikuti
ajakannya lebih karena takut, bukan karena suka. Bagaimanapun nasihat ustazah dan terutama ibu
saat aku masih mengaji di TPA kampung Cijulang masih teringat hingga kini. Perbuatan Bang Gofat padaku tidak bisa
dibenarkan.
Belum lagi
tangan nakalnya membuatku merasa dihinakan.
Tapi aku tidak bisa melawan dia.
Justru aku yang terpaksa melawan hati nuraniku.
“Denia gue mau
ngajak elo nonton malam Minggu ini.
Berjalan sama kamu bikin aku bangga di depan mereka yang suka ngeledek
gue. Kagak laku katanye.”
“Terserah
Abang, deh. Yang penting Abang bahagia. Dan ingat potongan hasil ngamen aku jangan
kegedean. Biar Bi Munah nggak
marah-marah melulu.” Aku mulai bisa
mengikuti irama yang dia mainkan.
“Tenang Denia,
gue bisa memberi lu lebih dari yang lain.
Tergantung sikap lu. Bisa
nyenengin gue atau tidak.”
Aku tersenyum
kubuat setulus mungkin. Kalau dia tahu
aku terpaksa, tak segan-segan dia berbuat kasar padaku. Kalau aktingku sebagai kekasihnya berhasil
dia akan memberiku hadiah, termasuk kecupan sesuka dia. Yang buatku adalah
musibah. Serba salah. Dua tahun aku dalam dilema batin seperti ini.
Malam itu
hadiahnya menonton film di bioskop menengah, film barat yang dipilihnya tidak
begitu aku pahami. Bahkan judulnya pun
aku tak ingat. Yang jelas banyak adegan
menjijikkan yang aku benci. Yang membuat
aku makin benci, Bang Gofat menirukan gaya actor dan aku sebagai partnernya.
Dalam hati aku
hanya bisa berdzikir tiga asma dari asmaul husna yang ibu ajarkan kemanapun,
dimanapun. Ya Mukmin (Wahai Yang Maha
Memberi Keamanan), Ya Muhaimin (Wahai Yang Maha Memelihara), Ya Salam (Wahai
yang Memberi Keselamatan).
“Denia, lu
nggak bisa seperti mereka? Lihat
penonton itu bermain dengan sepenuh rasa dan jiwa.”
“Bang, tidakkah
Bang Gofat memaklumi aku sebagai anak di bawah umur? Badanku bisa saja besar tapi aku baru
sembilan tahun,Bang. Aku nggak tahu
harus bagaimana?”
“Memang payah
punya pacar masih ingusan. Kecantikan lu
itu yang membuat gue tahluk, Denia.”
Aku bergeming,
pasrah dengan apa pun perlakuannya. Luka
hati ini kubiarkan nganga. Terbasuh
dzikir asmanya. Saat aku mempercepat
irama dzikir hatiku. Bang Gofat
menghentikan ulahnya. Entah kenapa.
Diiringi rasa syukur yang dalam.
Alhamdulillah.
Di usiaku yang
kesepuluh tahun, aku merasakan perlindungan tulus dari Ban Gofat. Sikapnya yang berubah lembut, perhatian dan
selalu ingin melindungiku. Seiring
dengan itu, penampilannya berubah lebih santun.
Pakaiannya bersih, rambutnya rapih, tato-tato di lengan dan tangannya
selalu berusaha ditutupinya. Rasa cinta
hatiku justru tumbuh dengan sendirinya melihat perubahan dirinya. Bang Gofat tampak tampan dengan penampilan
barunya. Aku merasa cintaku pada Bang Gofat adalah cinta pertamaku.
“Denia, kamu akan
tetap menjadi ratuku di Gofat Crew ini.”
Di suatu akhir pekan yang indah setelah kami berlatih band di grub band
kami, Debidu Band. Dia menggandeng
tanganku tidak lebih dari itu. Berjalan
menyusuri jembatan layang di Cawang Atas.
Sesuatu yang tidak akan pernah aku lupakan. Dia menunjuk gemintang di langit ibu kota.
“Kita akan menjadi
salah satu bintang di atas sana bersama Debidu Band, Denia.”
“Semoga,
Bang. Insyaallah. Yang paling penting, Denia bahagia dengan
perubahan sikap dan penampilan Abang.”
Kini aku benar-benar merasakan ada bunga di hati ini. Tak pernah kukatakan isi hati ini pada Bang
Gofat . Malu.
“Gue bisa
merasakannya Denia. Senyum bahagia lo
melukiskan semua isi hati lo.”
“Kita harus
berterimakasih sama Bang Dekky yang membantu perubahan kita kea rah yang lebih
baik, Bang.”
“Tentang Bang
Dekky, gue yang paling berhutang budi padanya.
Meskipun banyak nasihat yang belum bisa gue lakuin. Gue berjanji suatu saat satu persatu nasihat
baiknya akan bisa gue amalin.”
Bang Dekky
seorang musisi beken, punya band dan mulai dari kehidupan jalanan seperti
kami. Hingga saat jalan hijrah tiba,
Bang Dekky menyambutnya. Berkat
kegigihan sekelompok orang yang berjamaah dalam usaha dakwah. Jemaah Tabligh. Mereka selalu gigih mau mengajak dengan
ikhlas. Tidak peduli cibiran, hardikan
bahkan mungkin ludah dan cacian.
Keikhlasan inilah yang meluluhkan Bang Dekky untuk ikut salat berjamaah di masjid. Bang Dekky
ikut usaha dakwah dan kami menjadi sasaran dakwahnya.
Seiring waktu,
kami mendapat banyak bimbingan. Bukan
hanya bermain musik di Debidu Band tapi juga membaca iqra dan mendengar nasihat
dari Bang Deki sepekan sekali.
Kami semua
bahagia meskipun hanya tiga bulan sampai nasib naas menimpa Bang Gofat. Masa-masa bahagia bersama cinta yang bersemi
di hatiku.
“Denia, maafin
aku. Mungkin untuk besok dan seterusnya,
kita nggak akan sedekat dulu.” Kalimat
yang terdengar aneh tanpa gue dan lo yang selalu keluar dari lisan Bang
Gofat. Lembut.
“Kenapa,
Bang? Adakah aku berbuat salah pada Bang
Gofat.”
“Sama sekali
tidak.”
“Atau Abang
sudah nggak mencintai Denia lagi. Dan
aku bukan ratu Gofat Crew lagi?” Aku bertanya polos. Benar-benar tidak mengerti maksud Bang
Gofat.”
“Bahkan aku
makin mencintai kamu Denia?”
Aku tidak
menyangka bahwa pagi, di lantai dasar mall bekas kerusuhan Mei ‘98 adalah
kebersamaan kami untuk terakhir kalinya.
“Lalu mengapa
Abang nggak mau dekat aku lagi? Sebenarnya aku sayang sama Abang sejak Bang
Gofat berubah. Kelembutan, kasih sayang,
perlindungan Bang Gofat adalah kebahagiaan yang hadir kembali sejak ayah ibuku
meninggal. Kalau boleh Denia bilang,
Denia cinta sama Abang dan nggak mau kehilangan Bang Gofat.” Aku menangis, seperti anak kecil yang takut
kehilangan kedua orang tuannya.
“Sudah jangan
menangis Denia, siapa yang akan meninggalkanmu.
Aku akan tetap ada. Suatu saat
kamu akan mengerti mengapa aku menjauh.
Bukan karena benci, bukan karena marah tapi karena cinta.”
Bang Gofat
mengecup keningku. Memberiku selembar
kertas, warna biru, wangi. Ia Mengantarkanku ke halte, menunggu bis jurusan
Bekasi. Bis yang kami tunggu tiba. Aku naik sendiri, Bang Gofat melambaikan
tangannya. Bis menjauhi halte, tak
kulepas pandanganku pada Bang Gofat, hingga tikungan itu memaksa kami tak bisa
saling melambai lagi.
Dalam hatiku,
ada kecamuk yang mendera. Ada apa dengan
Bang Gofat. Mengapa dia berniat
menjauhiku. Airmataku kembali mengalir
tanpa aku sadari. Seseorang di sampingku
memandangiku heran. Aku tak peduli.
Aku buka kertas
biru wangi dari Bang Gofat, mataku
menatap satu-satu barisan huruf yang tertulis rapi. Seakan gambaran cinta dari
penulisnya, penoreh kata.
Assalamu’alaikum,
Denia.
Kutulis lembar
kertas ini dengan penuh rasa cinta pada Allah, Rasulullah juga cinta padamu.
Semoga kita
selalu dalam lindungan Allah SWT.
Salawat dan salam semoga selalu terlimpahkan pada Rasulullah. Insan yang tiap perbuatannya mesti kita
contohi. Dialah manusia yang paling
mencintai kita sebagai umatnya. Semoga
saat perpisahan jiwa dan raga kita, asma Allah dan Rasul selalu menghiasi lisan
kita.
Empat bulan
yang lalu aku mengenal Bang Dekky. Satu
bulan kemudian aku perkenalkan kalian padanya.
Aku seakan terlahir kembali menjadi manusia, Denia. Sejak itu aku seakan diburu salah dan dosa
atas perlakuanku padamu.
Tangan ini,
lisan ini, bibir ini, telah melukaimu dengan dosa yang tak terampunkan. Kecuali
jika kau yang aku zalimi dan juga Allah
memaafkanku. Aku sebagai orang dewasa
mestinya memperlakukanmu dengan penuh penghormatan. Tapi aku yang kotor ini justru mengotorimu,
gadis kecil suci tanpa dosa.
Terimakasih
atas penolakan yang kau berikan, meski hanya dengan bergeming pasrah. Hingga aku mengurungkan diri dari jerumus
dosa dan nista. Saat kau mematung, ada
ketukan hati untuk mengendalikan segala nafsu yang merajai.
Saatnya kini
aku minta maaf atas segala kenistaan yang aku malu untuk mengingatnya. Yang ingin dan akan ku kubur selamanya. Dengan tulisan ini kuharap semua rasa salah
dan dosa bisa melebur dengan kemaafan yang selalu akan kumohonkan.
Aku akan tetap
melindungimu Denia. Jangan takut
kehilangan cintaku. Justru inilah
persembahan cinta yang sebenarnya. Karena cinta itu suci, tidak pernah
membekaskan dosa dan noda pada yang dicintainya.
Andai saatnya
tiba, Allah berkehendak menyatukan kita.
Atau ada namamu dan namaku di suratan takdirNya. Pasti cinta kita akan bersatu dalam mahligai
rumah tangga. Tapi bila tidak, manusia
hanya bisa berserah, pasrah pada ketentuanNya, tidak ada dosa bila aku
mencintaimu dalam ikatan iman. Ikatan
untuk mendapatkan selamat dan menyelamatkan di dunia dan akhirat.
Aku akan
mencintaimu dengan cara yang berbeda Denia.
Bukan dalam dekapan, pelukan dan kecupan tapi dalam doa yang akan terus
mengiringi langkahmu.
Maafkan aku
yang telah melukai perasaanmu. Yang pernah memaksamu mencintaiku. Semoga kemaafanmu akan meringankan langkahku
dalam perjalanan panjang tak berujung.
Dariku,
Yang
akan dan ingin selalu melindungimu dengan izin Allah SWT.
***
Surat itu
begitu istimewa, masih kusimpan hingga kini bersama foto ibu dan ayahku. Surat yang ternyata tanda perpisahan dengan
Bang Gofat. Orang yang pernah aku benci
sekaligus menjadi cinta pertamaku.
Tulisan itu
menjadi akhir kebersamaan kami, lambaian di halte itu juga lambaian
terakhir. Kecupan di keningku waktu itu
juga kecupan terakhir. Permintaan maaf
tulus dari seorang yang berhijrah dan menemukan taubatnya.
Tiga hari setelah
surat itu, aku tidak bertemu Bang Gofat lagi.
Hanya pekik syahadat yang sempat kami dengar dari hamba yang menemukan
Husnul Khatimah.
Aku tidak
menyangka aku akan berpindah Bos yang lebih kejam. Om Tompel yang membuat Kang
Arul frustasi dan memutuskan kami harus berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar