Senin, 19 November 2018

Kisah Ke-23 (NOVEL KCMS)


Kisah Ke-23
KERINDUAN DENIA
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Surti-Tejo, Jamrud
Pengumuman SBMPTN yang menggembirakan membuat kami semangat untuk menyiapkan egala keperluan kuliah Denia. Kami menyesuaikan dengan syarat minimum perlengkapan yang harus di bawa ke pesantren ikhwahku, Ukhti Shofia. Aku memilih Al Hidayah karena kedisiplinannya juga aku tenang menitipkan adikku ke pemilik pesantren yang aku kenal baik dengannya. Kabarnya, gaya hidup bebas mahasiswa sekarang makin sulit dikendalikan. Globalisasi melalui sarana komunikasi menjadi penyebab utamanya.
Sampai dua pekan menjelang keberangkatan Denia, sembilan puluh persen persiapan sudah beres. Dua lembar selimut, dua bantal, satu guling, lima setelan gamis syar’i, dua pasang mukena, lima setel baju tidur, dua sajadah, selusin pakaian dalam. Tidak lupa seperangkat perlengkapan toileters. Perlengkapan ATK dan juga laptop.
“Apa lagi yang masih kurang, Denia?”
“Rasanya sudah, Kak. Tapi boleh Denia meminta?”
“Bilang aja, sayang. Kak Mutia sudah lama menyiapkan tabungan buat kamu kuliah. Ditambah dengan tabungan kamu di Darul Akhirah, lebih dari cukup.”
“Aku ingin pamitan sama Bibi Munah. Bagaimanapun dia adik ayah saya. Ada bagian darahku dan darahnya yang masih terikat nasab.”
Aku terdiam, Denia memang istimewa. Tidak ada siratan dendam dalam perkataan dan sorot matanya yang bening.
“Kamu yakin nggak akan timbul masalah di sana?”
“Denia selalu berdoa untuk kebaikan mereka. Aku yakin selalu ada titik balik hambanya untuk berubah dan menjadi baik. Semoga keadaan ekonomi mereka makin baik. Kepahaman agamanya pun makin membuat mereka bahagia.”
Kuraih pundak Denia yang duduk di sebelah kananku di sofa ruang tamu. Aku berjanji akan mengantarnya ke alamat yang di dapatnya dari akun Facebook, Mumun Maemunah. Tidak banyak keterangan yang diperoleh dari profil pemilik akun itu kecuali nomor telpon dan alamat.
“Alhamdudillah, Kak. Aku yakin ini Bibi Munah. Sudah banyak yang berubah. Jauh lebih baik.”
Denia begitu bahagia, ketulusan cintanya pada sesama terpancar saat ekspresi bahagia mengembangkan senyumnya saat mengetahui kabar gembira dari orang lain. Sebaliknya, air matanya kadang mudah menetes saat mendengar derita orang lain. Aku merasa bertuah mengambilnya dari jalanan.
Aku mengantar Denia mencari alamat Bibi Munah, menggunakan motor untuk menghindari kemacetan. Aku memacu sepeda motor sementar Denia memegang android pertamaku dan memandu arah dari google map.
Berangkat dari Kalibata City, keluar dari bundaran ke Jalan Bulevar 130 m, Jalan Bulevar selatan 50 m, belok kanan ke Jalan Raya Perjuangan 80 m, belok kiri ke Jalan Baru Perjuangan 550 m, belok kiri lagi ke Jalan KH. Agus Salim 750 m, ke kanan Mekar Sari 550 m, ke kiri memasuki Bekasi Permai 17 sepanjang 230 m ke kanan Jalan Bekasi Permai Atas nomor 21. Tidak terlalu susah mencari alamat ini butuh waktu hanya 30 menit. Sepuluh menit lebih cepat daripada menggunakan mobil
“Sudah sampai, Kak ini alamat yang ada di profil FB. Ada usaha ayam Kremes Bi Mae. Alhamdulillah.”
Aku matikan mesin, memasang standard, mencabut kunci motor, melepas helm dan merapikan jilbab.
Denia agak ragu memasuki teras rumah. Rumah bertingkat dua catnya orange. Pintu bercat coklat tua. Langkah satu-satu Denia ragu menapaki keramik putih. Tampaknya rumah ini benar-benar asing untuk Denia.
“Denia kalau kamu ragu, sebaiknya kita makan di warung makannya saja, yuk. Lagi pula Kak Mutia belum makan.”
Kami memasuki warung nasi ayam di sebelah rumah itu cukup ramai pengunjungnya. Aku memesan paket makan ayam geprek lengkap dengan lalap dan sambal hijaunya. Mengundang selera buat perutku yang keroncongan.
Denia yakin yang melayani itu Bibi Munah. Denia menahan rasa ingin menyapa. Takut mengganggu kesibukannya melayani pelanggan.
“Denia, kalau kamu yakin, langsung aja salami Bibi Munah.” Aku bicara setengah berbisik.
“Takut ngganggu, Kak. Lagi pula Bibi Munah orangnya mudah merasa terganggu.” Denia makin dewasa dan penyabar. Tidak salah aku titipkan ke Darul Akhirah.
Pelanggan satu persatu meninggalkan warung ini. Bibi Munah duduk bersandar di sofa dekat gerobak penyajian. Sesekali dia memperhatikan kami. Mungkinkah dia masih mengenali Denia.
"Kak, makanan kita sudah dibayar? Malu pas aku bilangin aku keponakannya ntar digratisin. Nggak enak, Kak. Bisnis is bisnis. " Denia nyengir.
"Tenang Denia, udah beres. " Denia segera berdiri menghampiri Bibi Munah.
"Assalamualaikum, Bu. Benar Ibu namanya Ibu Maemunah? "
"Waalaikum salam, benar, Neng. Neng kenal saya? " tanyanya ramah. Sangat jauh dari cerita kekejaman Bi Munah sepuluh tahun silam. Manusia memang punya titik baliknya masing-masing. Kembali ke jalan Allah dan memenuhi panggilan kasihNya.
"Ibu asalnya dari Kampung Cijulang Subang? "
"Betul. Emang ada apa, ya?"
"Bibi, saya Denia. Keponakan Bi Munah. Maafin Denia dan Kang Arul udah kabur delapan tahun yang lalu. Pasti kami membuat Bibi kebingungan mencari kami." Kalimat Denia tidak menyembunyikan dendam sama sekali. Luar biasa.Harapan dan baik sangkanya melebihi kekhawatiran mendapat perlakuan buruk Bi Munah. Ternyata kekuatan doa untuk kebaikan orang lain menjadi kekuatan positif.
"Denia, kau sudah besar, Nak. Pantaslah dari tadi aku seperti melihat Teh Wulan di depanku. Maafin Bibi sudah berbuat salah sama kamu dan Arul. Aku bukan orang tua yang baik."
Denia mencium tangan Bi Munah. Kemudian Bi Munah menciumi Denia penuh rindu dan penyesalan. Pertemuan mengharukan itu membuatku hampir menangis. "Terimakasih ya Allah. Kau kembalikan Denia. Kamu makin cantik   Denia mirip sekali dengan Teh Wulan, ibu kamu. Ini siapa, Denia? "
Bi Munah mengalihkan perhatiannya padaku.
            "Ini malaikat tak bersayap yang selalu sayang sama Denia. Namanya Kak Mutiara. Hatinya seindah namanya, Bi."
Pujian Denia membuat wajahku merona. "Denia terlalu berlebihan Bu. Justru saya menumpang berkah dari pertemuan kami. Banyak kemudahan yang Allah karuniakan sejak saya bertemu Denia."
"Kami banyak mengalami kejadian seru. Banyak suka dukanya. Tapi Kak Mutia selalu ingat yang indah-indahnya saja. Dari Kak Mutia Denia banyak belajar. Juga bagaimana cara bersyukur."
Bi Munah mengajak kami memasuki rumahnya. Kami duduk di sofa di ruang tamu. Cukup luas dan nyaman. Dingin ruangan ber-AC iru benar-benar membuat kami merasa adem. Bibi Munah mengeluarkan es jus mangga dari warung makannya.
"Bagaimana kabar Maruti, Bi?" "Maruti sudah menikah tapi gagal dan cerai dengan suaminya."
"Kalau boleh tahu iapa yang beruntung bisa mendampingi Maruti, Bi?" tanya Denia ingin tahu banyak hal tentang satu-satunya kerabat yang masih ada.
“Dengan Arul, kakakmu. Maruti terpaksa Bibi nikahkan karena pacarnya nggak mau bertanggung jawab. Beruntung Arul mau menutup aib kami sementara waktu. "
"Bibi, bukankah pernikahan seperti itu tidak sah? Apa lagi Kang Arul bukan bapak janin itu." Meskipun Denia selalu berusaha menjaga perasaan, tapi dia cukup berani mengutarakan hal-hal yang melanggar prinsip kebenaran.
"Kami kalut Denia. Dan banyak perkara hukum yang kami tidak paham. Kalaupun tahu, kami sekedar tahu, bukan untuk diamalkan. " Mendengar perkataan Bi Munah, hatiku miris. Beginikah tingkat keimanan orang-orang pada umumnya? Tugas dakwah yang sangat berat.
"Kang Arul sendiri kemana, Bi? Aku pikir Kang Arul nggak akan menemui Bibi setelah perpisahan kami di halte waktu itu."
"Arul pergi begitu Maruti melahirkan."
"Wah, berarti aku punya keponakan? "
"Anak itu dibawa Arul karena Maruti tidak memiliki sifat keibuan sama sekali." Cerita demi cerita yang cukup rumit dan panjang mewarnai obrolan kerabat yang sudah lama tak berjumpa itu.
Sejak perceraian itu kelakuannya bikin Bibi makin pusing. Pekerjaannya makan tidur nonton atau pergiain dengan kawan-kawan sekomunitasnya yang pada aneh." Bi Munah mengeluarkan semua unek-unek yang dipendam tentang anak semata wayangnya.
"Kalau Mang Karna dimana, Bi?"
“Mang Karna sudah meninggal. Gagal ginjal sradium lima kata dokter. Cuci darah tiap dua pekan. Akhirnya Mang menyerah karena sudah tidak ada biaya buat cuci darah." Bibi Munah bercerita sedih. "Oya, Maruti tadi bilang pingin ketemu kamu. Dia lagi nggak enak badan di kamarnya. Gih, kamu temui dulu dia."
“Kalau begitu boleh kami ikut istirahat, Bi?” tanyaku pada Bi Munah. Rasa mengantuk ini harus aku larutkan dalam kailulah yang sudah biasa aku dawamkan.
“Ya sudah, istirahat di kamar Maruti saja. Kamarnya cukup luas dan ada toiletnya di dalam. Biar kalian leluasa.
Kami memasuki kamar Maruti. Kamar itu sedikit aneh, tidak seperti kamar perempuan. Dicat coklat tua. Di sana-sini gambar grup cadas dari luar negeri juga grup band dalam negeri. Ruangan itu gelap dengan lampu kemerahan. Rasanya kamar ini sangat mengerikan. Tapi rasa mengantuk membuatku tak peduli. Daripada kami pulang dalam keadaan mengantuk akan sangat berbahaya.
Aku biarkan Denia melepas rindu dengan sepupunya. Aku tidak banyak bicara kecuali memperkenalkan diri dan meminta izin tidur sejenak. Selebihnya aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan.
***
“Kak Mutia, bangun Kak! Ayo kita pulang sekarang juga.” Denia mengguncang-guncangkan badanku seperti orang kesurupan. Takut bukan alang kepalang. Jilbabnya acak-acakan. Pakaian atasnya terbuka. Sambil berlari Denia merapikan gamis bagian atas yang terbuka. Aku membantu membenahi resleting belakang hingga sempurna tutup auratnya.
Aku yang terbangun dari tidur pulas, terjaga dalam keadaan kaget. Jantungku berdebar kencang seperti baru terbangun dari mimpi buruk.
“Ada apa Denia?” Aku bergegas merapikan pakaian dan jilbab. Keluar kamar sangar itu. Sementara Maruti terkekeh tidak jelas.
Denia menemui Bibi Munah, mencium tangannya dan berpamitan.
“Denia, sebentar Bibi sudah menyiapkan oleh-oleh bekal kamu kuliah di Jogja.”
Yang diajak bicara tidak memedulikan teriakan bibinya. “Lain kali aja, Bi. Denia kemari lagi gampang.”
Bibi Munah terheran-heran tak terkecuali aku.
            “Denia kamu ini kenapa? Jantungku hampir copot tau?” Aku sewot sambil memacu motorku.
“Maruti, Mbak. Saat aku tertidur dia memperlakukan aku seperti aku ini suaminya. Naudzubillah. Itu rupanya yang Bi Munah ceritakan bahwa dia punya komunitas aneh. LGBT.”
“Pantaslah kamarnya terlalu maskulin, sangar malahan. Itu ladang dakwah kita Denia, punya saudara yang terlibat perbuatan fahsya dan mungkar.”
Denia menarik napas panjang. Ada beban berat di pundaknya, kewajiban untuk menjadi orang yang selamat dan menyelamatkan sesamanya. Sifat yang melekat dalam diri Denia, buah dari menimba ilmu di Darul Akhirah. Ditambah lagi diskusi-diskusi panjang kami bertiga. Aku, Denia dan Mas Lukman.
Glosarium:
1. Naudzubillah=Kami berlindung pada Allah
2. Kailulah=Istirahat siang supaya kuat bangun tahajut
3. Fahsya=Maksiat dan dosa yang merugikan diri sendiri
4. Munkar=Maksiat dan dosa yang merugikan orang lain
5. Dawam=Perbuatan yang terus menerus



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...