Kisah
Ke-23
KERINDUAN DENIA
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Surti-Tejo, Jamrud
KERINDUAN DENIA
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Surti-Tejo, Jamrud
Pengumuman SBMPTN yang menggembirakan membuat
kami semangat untuk menyiapkan egala keperluan kuliah Denia. Kami menyesuaikan
dengan syarat minimum perlengkapan yang harus di bawa ke pesantren ikhwahku,
Ukhti Shofia. Aku memilih Al Hidayah karena kedisiplinannya juga aku tenang
menitipkan adikku ke pemilik pesantren yang aku kenal baik dengannya. Kabarnya,
gaya hidup bebas mahasiswa sekarang makin sulit dikendalikan. Globalisasi
melalui sarana komunikasi menjadi penyebab utamanya.
Sampai dua pekan menjelang keberangkatan Denia,
sembilan puluh persen persiapan sudah beres. Dua lembar selimut, dua bantal,
satu guling, lima setelan gamis syar’i, dua pasang mukena, lima setel baju
tidur, dua sajadah, selusin pakaian dalam. Tidak lupa seperangkat perlengkapan
toileters. Perlengkapan ATK dan juga laptop.
“Apa lagi yang masih kurang, Denia?”
“Rasanya sudah, Kak. Tapi boleh Denia meminta?”
“Bilang aja, sayang. Kak Mutia sudah lama
menyiapkan tabungan buat kamu kuliah. Ditambah dengan tabungan kamu di Darul
Akhirah, lebih dari cukup.”
“Aku ingin pamitan sama Bibi Munah.
Bagaimanapun dia adik ayah saya. Ada bagian darahku dan darahnya yang masih
terikat nasab.”
Aku terdiam, Denia memang istimewa. Tidak ada
siratan dendam dalam perkataan dan sorot matanya yang bening.
“Kamu yakin nggak akan timbul masalah di sana?”
“Denia selalu berdoa untuk kebaikan mereka. Aku
yakin selalu ada titik balik hambanya untuk berubah dan menjadi baik. Semoga
keadaan ekonomi mereka makin baik. Kepahaman agamanya pun makin membuat mereka
bahagia.”
Kuraih pundak Denia yang duduk di sebelah
kananku di sofa ruang tamu. Aku berjanji akan mengantarnya ke alamat yang di
dapatnya dari akun Facebook, Mumun Maemunah. Tidak banyak keterangan yang
diperoleh dari profil pemilik akun itu kecuali nomor telpon dan alamat.
“Alhamdudillah, Kak. Aku yakin ini Bibi Munah.
Sudah banyak yang berubah. Jauh lebih baik.”
Denia begitu bahagia, ketulusan cintanya pada
sesama terpancar saat ekspresi bahagia mengembangkan senyumnya saat mengetahui
kabar gembira dari orang lain. Sebaliknya, air matanya kadang mudah menetes
saat mendengar derita orang lain. Aku merasa bertuah mengambilnya dari jalanan.
Aku mengantar Denia mencari alamat Bibi Munah,
menggunakan motor untuk menghindari kemacetan. Aku memacu sepeda motor sementar
Denia memegang android pertamaku dan memandu arah dari google map.
Berangkat dari Kalibata City, keluar dari
bundaran ke Jalan Bulevar 130 m, Jalan Bulevar selatan 50 m, belok kanan ke
Jalan Raya Perjuangan 80 m, belok kiri ke Jalan Baru Perjuangan 550 m, belok
kiri lagi ke Jalan KH. Agus Salim 750 m, ke kanan Mekar Sari 550 m, ke kiri
memasuki Bekasi Permai 17 sepanjang 230 m ke kanan Jalan Bekasi Permai Atas nomor
21. Tidak terlalu susah mencari alamat ini butuh waktu hanya 30 menit. Sepuluh
menit lebih cepat daripada menggunakan mobil
“Sudah sampai, Kak ini alamat yang ada di
profil FB. Ada usaha ayam Kremes Bi Mae. Alhamdulillah.”
Aku matikan mesin, memasang standard, mencabut
kunci motor, melepas helm dan merapikan jilbab.
Denia agak ragu memasuki teras rumah. Rumah
bertingkat dua catnya orange. Pintu bercat coklat tua. Langkah satu-satu Denia
ragu menapaki keramik putih. Tampaknya rumah ini benar-benar asing untuk Denia.
“Denia kalau kamu ragu, sebaiknya kita makan di
warung makannya saja, yuk. Lagi pula Kak Mutia belum makan.”
Kami memasuki warung nasi ayam di sebelah rumah
itu cukup ramai pengunjungnya. Aku memesan paket makan ayam geprek lengkap
dengan lalap dan sambal hijaunya. Mengundang selera buat perutku yang
keroncongan.
Denia yakin yang melayani itu Bibi Munah. Denia
menahan rasa ingin menyapa. Takut mengganggu kesibukannya melayani pelanggan.
“Denia, kalau kamu yakin, langsung aja salami
Bibi Munah.” Aku bicara setengah berbisik.
“Takut ngganggu, Kak. Lagi pula Bibi Munah
orangnya mudah merasa terganggu.” Denia makin dewasa dan penyabar. Tidak salah
aku titipkan ke Darul Akhirah.
Pelanggan satu persatu meninggalkan warung ini.
Bibi Munah duduk bersandar di sofa dekat gerobak penyajian. Sesekali dia
memperhatikan kami. Mungkinkah dia masih mengenali Denia.
"Kak, makanan kita sudah dibayar? Malu pas
aku bilangin aku keponakannya ntar digratisin. Nggak enak, Kak. Bisnis is
bisnis. " Denia nyengir.
"Tenang Denia, udah beres. " Denia
segera berdiri menghampiri Bibi Munah.
"Assalamualaikum, Bu. Benar Ibu namanya
Ibu Maemunah? "
"Waalaikum salam, benar, Neng. Neng kenal
saya? " tanyanya ramah. Sangat jauh dari cerita kekejaman Bi Munah sepuluh
tahun silam. Manusia memang punya titik baliknya masing-masing. Kembali ke
jalan Allah dan memenuhi panggilan kasihNya.
"Ibu asalnya dari Kampung Cijulang Subang?
"
"Betul. Emang ada apa, ya?"
"Bibi, saya Denia. Keponakan Bi Munah.
Maafin Denia dan Kang Arul udah kabur delapan tahun yang lalu. Pasti kami
membuat Bibi kebingungan mencari kami." Kalimat Denia tidak menyembunyikan
dendam sama sekali. Luar biasa.Harapan dan baik sangkanya melebihi kekhawatiran
mendapat perlakuan buruk Bi Munah. Ternyata kekuatan doa untuk kebaikan orang
lain menjadi kekuatan positif.
"Denia, kau sudah besar, Nak. Pantaslah
dari tadi aku seperti melihat Teh Wulan di depanku. Maafin Bibi sudah berbuat
salah sama kamu dan Arul. Aku bukan orang tua yang baik."
Denia mencium tangan Bi Munah. Kemudian Bi
Munah menciumi Denia penuh rindu dan penyesalan. Pertemuan mengharukan itu
membuatku hampir menangis. "Terimakasih ya Allah. Kau kembalikan Denia.
Kamu makin cantik Denia mirip sekali
dengan Teh Wulan, ibu kamu. Ini siapa, Denia? "
Bi Munah
mengalihkan perhatiannya padaku.
"Ini malaikat tak bersayap yang selalu sayang sama Denia. Namanya Kak Mutiara. Hatinya seindah namanya, Bi."
"Ini malaikat tak bersayap yang selalu sayang sama Denia. Namanya Kak Mutiara. Hatinya seindah namanya, Bi."
Pujian Denia membuat wajahku merona.
"Denia terlalu berlebihan Bu. Justru saya menumpang berkah dari pertemuan
kami. Banyak kemudahan yang Allah karuniakan sejak saya bertemu Denia."
"Kami banyak mengalami kejadian seru.
Banyak suka dukanya. Tapi Kak Mutia selalu ingat yang indah-indahnya saja. Dari
Kak Mutia Denia banyak belajar. Juga bagaimana cara bersyukur."
Bi Munah mengajak kami memasuki rumahnya. Kami
duduk di sofa di ruang tamu. Cukup luas dan nyaman. Dingin ruangan ber-AC iru
benar-benar membuat kami merasa adem. Bibi Munah mengeluarkan es jus mangga
dari warung makannya.
"Bagaimana kabar Maruti, Bi?"
"Maruti sudah menikah tapi gagal dan cerai dengan suaminya."
"Kalau boleh tahu iapa yang beruntung bisa
mendampingi Maruti, Bi?" tanya Denia ingin tahu banyak hal tentang
satu-satunya kerabat yang masih ada.
“Dengan Arul, kakakmu. Maruti terpaksa Bibi
nikahkan karena pacarnya nggak mau bertanggung jawab. Beruntung Arul mau
menutup aib kami sementara waktu. "
"Bibi, bukankah pernikahan seperti itu
tidak sah? Apa lagi Kang Arul bukan bapak janin itu." Meskipun Denia
selalu berusaha menjaga perasaan, tapi dia cukup berani mengutarakan hal-hal
yang melanggar prinsip kebenaran.
"Kami kalut Denia. Dan banyak perkara
hukum yang kami tidak paham. Kalaupun tahu, kami sekedar tahu, bukan untuk
diamalkan. " Mendengar perkataan Bi Munah, hatiku miris. Beginikah tingkat
keimanan orang-orang pada umumnya? Tugas dakwah yang sangat berat.
"Kang Arul sendiri kemana, Bi? Aku pikir Kang
Arul nggak akan menemui Bibi setelah perpisahan kami di halte waktu itu."
"Arul pergi begitu Maruti
melahirkan."
"Wah, berarti aku punya keponakan? "
"Anak itu dibawa Arul karena Maruti tidak
memiliki sifat keibuan sama sekali." Cerita demi cerita yang cukup rumit
dan panjang mewarnai obrolan kerabat yang sudah lama tak berjumpa itu.
Sejak perceraian itu kelakuannya bikin Bibi
makin pusing. Pekerjaannya makan tidur nonton atau pergiain dengan kawan-kawan
sekomunitasnya yang pada aneh." Bi Munah mengeluarkan semua unek-unek yang
dipendam tentang anak semata wayangnya.
"Kalau Mang Karna dimana, Bi?"
“Mang Karna sudah meninggal. Gagal ginjal
sradium lima kata dokter. Cuci darah tiap dua pekan. Akhirnya Mang menyerah
karena sudah tidak ada biaya buat cuci darah." Bibi Munah bercerita sedih.
"Oya, Maruti tadi bilang pingin ketemu kamu. Dia lagi nggak enak badan di
kamarnya. Gih, kamu temui dulu dia."
“Kalau begitu boleh kami ikut istirahat, Bi?”
tanyaku pada Bi Munah. Rasa mengantuk ini harus aku larutkan dalam kailulah
yang sudah biasa aku dawamkan.
“Ya sudah, istirahat di kamar Maruti saja.
Kamarnya cukup luas dan ada toiletnya di dalam. Biar kalian leluasa.
Kami memasuki kamar Maruti. Kamar itu sedikit
aneh, tidak seperti kamar perempuan. Dicat coklat tua. Di sana-sini gambar grup
cadas dari luar negeri juga grup band dalam negeri. Ruangan itu gelap dengan
lampu kemerahan. Rasanya kamar ini sangat mengerikan. Tapi rasa mengantuk
membuatku tak peduli. Daripada kami pulang dalam keadaan mengantuk akan sangat
berbahaya.
Aku biarkan Denia melepas rindu dengan
sepupunya. Aku tidak banyak bicara kecuali memperkenalkan diri dan meminta izin
tidur sejenak. Selebihnya aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan.
***
“Kak Mutia, bangun Kak! Ayo kita pulang
sekarang juga.” Denia mengguncang-guncangkan badanku seperti orang kesurupan.
Takut bukan alang kepalang. Jilbabnya acak-acakan. Pakaian atasnya terbuka.
Sambil berlari Denia merapikan gamis bagian atas yang terbuka. Aku membantu
membenahi resleting belakang hingga sempurna tutup auratnya.
Aku yang terbangun dari tidur pulas, terjaga
dalam keadaan kaget. Jantungku berdebar kencang seperti baru terbangun dari
mimpi buruk.
“Ada apa Denia?” Aku bergegas merapikan pakaian
dan jilbab. Keluar kamar sangar itu. Sementara Maruti terkekeh tidak jelas.
Denia menemui Bibi Munah, mencium tangannya dan
berpamitan.
“Denia, sebentar Bibi sudah menyiapkan
oleh-oleh bekal kamu kuliah di Jogja.”
Yang diajak bicara tidak memedulikan teriakan
bibinya. “Lain kali aja, Bi. Denia kemari lagi gampang.”
Bibi Munah terheran-heran tak terkecuali aku.
“Denia kamu ini kenapa? Jantungku hampir copot tau?” Aku sewot sambil memacu motorku.
“Denia kamu ini kenapa? Jantungku hampir copot tau?” Aku sewot sambil memacu motorku.
“Maruti, Mbak. Saat aku tertidur dia
memperlakukan aku seperti aku ini suaminya. Naudzubillah. Itu rupanya yang Bi
Munah ceritakan bahwa dia punya komunitas aneh. LGBT.”
“Pantaslah kamarnya terlalu maskulin, sangar
malahan. Itu ladang dakwah kita Denia, punya saudara yang terlibat perbuatan
fahsya dan mungkar.”
Denia menarik napas panjang. Ada beban berat di
pundaknya, kewajiban untuk menjadi orang yang selamat dan menyelamatkan
sesamanya. Sifat yang melekat dalam diri Denia, buah dari menimba ilmu di Darul
Akhirah. Ditambah lagi diskusi-diskusi panjang kami bertiga. Aku, Denia dan Mas
Lukman.
Glosarium:
1. Naudzubillah=Kami berlindung pada Allah
2. Kailulah=Istirahat siang supaya kuat bangun tahajut
3. Fahsya=Maksiat dan dosa yang merugikan diri sendiri
4. Munkar=Maksiat dan dosa yang merugikan orang lain
5. Dawam=Perbuatan yang terus menerus
1. Naudzubillah=Kami berlindung pada Allah
2. Kailulah=Istirahat siang supaya kuat bangun tahajut
3. Fahsya=Maksiat dan dosa yang merugikan diri sendiri
4. Munkar=Maksiat dan dosa yang merugikan orang lain
5. Dawam=Perbuatan yang terus menerus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar