Senin, 19 November 2018

Kisah ke-22 (NOVEL KCMS)


Kisah ke-22
HOLD MY HAND (III)
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#UsahKauLaraSendiri_KatonBagaskaraftRuthSahanaya

“Mbak, kita bersaudara dalam iman. Ikatan yang lebih kuat dari apapun. Berceritalah. Tangan Denia akan selalu terbuka buat Mbak Hasna. Di negeri asing ini kita harus saling bantu dan menguatkan. Hold my band, Mbak. Jangan biarkan beban itu Mbak bawa sendiri. Kita akan hadapi bersama. Asal Mbak percaya sama Denia. Semua akan berlalu. Fa inna ma’al 'usri yusra. Inna ma’al 'usri yusra. Itu janji Allah.” Cerita yang menggantung ini masih saja aku ingat, aku penasaran jadinya.
Pertanyaan yang ingin Denia sampaikan tentang poligami belum juga sempat kami bahas. Ceritanya masih menggantung dalam rekaan yang kadang muncul dengan sendirinya. Ah…risiko menjadi penulis novel dan narasi fiktif.
“Denia, pertanyaanmu tentang poligami belum sempat kamu sampaikan. Aku keburu penasaran dengan kisah Mbak Hasnamu itu.” Pesan wa aku kirim. Kali ini HP Denia sudah ketemu, Tenyata dipakai main sama Biru, tergeletak di kolong tempat tidur di tempat kos mereka. Habis baterai.
***
Berada di teras El Reda di musim panas sungguh menyenangkan. Menikmati angin semilir dengan suhu hangat diatas 20 derajat, sambil memanjakan mata. Memandangi bunga tulip yang sedang bermekaran penuh warna. Merah, kuning, jingga, ungu hingga blaster. Ternyata tulip tidak hanya di Belanda, di Jerman juga banyak terdapat bunga itu, mereka menyebutnya tulpe. Mereka menanam di pekarangan dan pot bunga. Juga di bagian depan restoran ini. Ada juga pohon sakura berbunga pink di pinggir jalan besar, masyaallah betapa indahnya pohon yang dipenuhi bunga menutupi seluruh rantingnya. Ada juga Forsythie, pohon berdaun kuning di dua sisi auning tiga meter dari teras El Reda. Suasana baru ini benar-benar memanjakanku.
Keasikan memandangi bunga-bunga itu makin nikmat dengan aroma makanan yang sudah dipesan Mbak Hasna. Aku tidak tahu nama makanan ini semua tampak asing. Aku lihat di menu ternyata namanya Djujeh, nasi putih yang panjangnya dua kali dengan nasi di Indonesia. Tomat yang bakar dan daging sapi grill panggang. Di wadah berbeda terdapat salad sayur dan buah.di Sayur dan buah. Aku jadi teringat hidangan Arab yang dibuat di Darul Akhirah saat ada tamu dari Kuwait . Pikirku nai-nasi ini mirip bihun. Mungkin bukan beras yang ditanak tapi tepung beras dibentuk mirip beras. Menu untuk Albiruni, Kubideh dengan porsi disesuaikan untuk seusianya. Minuman kami jeruk panas dan susu kambing buat Biru.
“Mbak Hasna, makanan ini biar Denia yang bayar,ya?”
“Nggak boleh Denia, aku yang ngajak kamu. Aku yang harus bertanggung jawab.” Mbak Hasna tersenyum. Kebiasaan mentraktinnya tidak pernah berubah.
“Maaf, ya, Mbak, aku jadi ngerepotin Mbak Hasna. Aku sudah nggak sesusah dulu. Mbak. Udah waktunya aku yang nraktir. Giliran.”
“Tidak buat sekarang, Denia. Entah kalau besok atau lusa.”
“Kalau Denia boleh apa yang membuat Mbak Hasna menangis? Aku akan mendengarkan kesulitan Mbak Hasna.”
Mbak Hasna menarik napas panjang. “Apakah Bagas sering bercerita tentang aku, Denia.”
“Iya, Mbak.”
“Dan kamu tidak marah padaku?”
“Aku sudah memilih rasa marahku hanya untuk hal-hal yang sifatnya salah dan dosa pada Allah. Bila menurut ketentuan hukumNya tidak ada salah dan dosa, Denia nggak akan marah, Mbak.”
“Maksudnya?” Mbak Hasna belum memahami apa yang aku sampaikan.
“Selama undangan Mbak Hasna bukan hubungan pacaran dan bertemunya tidak berdua-duaan kenapa harus marah?”
Mbak Hasna terdiam sesaat, memilih kat-kata yang tepat upaya aku tidak tersinggung. “Kalau aku menaruh simpati pada Bagas gimana?”
Aku terdiam. Suapan itu seakan tertahan. Aku menyibukkan diri dengan menyuapkan Kubideh untuk Biru.
“Maafkan aku Denia, aku memang tak tahu diri. Menaruh simpati pada orang yang sudah memiliki istri.”
“Tak mengapa, Mbak. Aku senang Mbak Hasna terbuka pada Denia. Banyak kasus poligami yang berbalut kebohongan akhirnya menyisakan masalah yang panjang, perpecahan, perceraian hingga permusuhan yang berkepanjangan. Yang membuat aku heran justru kenapa Mbak Hasna menjatuhkan pilihan pada Mas Bagas. Perbedaan status sosial, pendidikan dan kekayaan antara Mbak Hana dan Mas Bagas bagai bumi dengan langit.”
Mbak Hasna akhirnya bercerita tentang penderitaan hidup yang tidak pernah dia mengerti apa penyebabnya.
“Sebenarnya beberapa orang yang menginginkanku. Setelah lulus S1 ada Mas Rangga. Tapi pernikahan kami gagal di jalan raya. Rombongan khitbah Mas Rangga kecelakaan dan masuk jurang. Empat bulan berikutnya, Mas Dipo menikahi aku, dia meninggal di malam pertama kami. Terus terang aku trauma dengan dua peristiwa ini. Yang terakhir Bang Rianto, tiba-tiba membatalkan pernikahan sehari sebelum rencana pernikahan kami langsungkan. “ Air mata Mbak Hasna kembali berlinang. Mengenang pahitnya hidup yang harus dijalaninya. Antara trauma, kecewa, takut dan keinginan berkeluarga menarik-narik kehendak hatinya menjadi gamang. ”Sementara undangan sudah tersebar. Semua gagal. Akhirnya aku berkonsultasi pada seorang ustaz ahli rukyat. Katanya ada jin yang menggangguku. Cirinya aku sering merinding sendiri, merasa diikuti dan merasa sakit tiba-tiba di bagian tubuh yang berpindah-pindah. Semua yang dikatakan ustaz itu memang benar. Semua aku rasakan sejak memasuki masa balig. Ketika aku tanyakan solusinya, aku akan sembuh bila dirukyat sama calon suami yang Allah tulis di lauh mahfuz. Untuk menghilangkan segala rasa kecewa itu, aku pergi jauh ke Jerman ini. Mengubur luka, melupakan kegagalan demi kegagalan”
“Lalu apa hubungannya dengan Mas Bagas?” Aku penasaran dan memotong cerita Mbak Hasna.
“Aku sering mencari tahu siapa orang-orang yang bisa merukyah di Jerman ini. Beberapa sudah aku coba dan semua gagal. Kecuali ketika Bagas merukyatku dengan doa Maktsurat Kubra. Aku sembuh hingga kini. Segera aku istiharah untuk hal yang membingungkan ini. Bagas yang lebih muda. Dia sudah beristri. Dan istrinya ternyata teman terbaikku. Bagaimana aku harus menyikapi dilemma ini Denia. Kalau aku boleh memilih, aku nggak ingin memiliki garis hidup seperti ini.
“Lalu tentang tumor yang ada di rahim Mbak Hasna?”
“Itulah musibah yang kualami. Gangguan gaib itu belum epenuhnya akan hilang sampai aku menikah dengan jodohku. Gangguan itu berpindah ke rahim menjadi tumor yang akan terus membesar.”
“Kenapa tidak dioperasi saja, Mbak?”
“Ustaz itu bilang, pemeriksaan medis tidak akan mampu mendeteksi tumor itu. Tapi ahli rukyat dan si penderita sendiri yang akan merasakannya. Benar saja, aku sudah berusaha memeriksakan rahimku. Semua baik-baik saja. Tapi bahayanya sama dengan tumor. Aku sudah mulai merasakan sakit itu”
Aku tidak heran dengan kisah Mbak Hasna. Gangguan makhluk lain seperti jin dan setan dibahas khusus dalam kitab-kitab salaf dan aku pernah mempelajarinya di Darul Akhirah. Dari wajahnya pun aku bisa menyimpulkan ada yang dirasa di badan Mbak Hasna.
“Mbak bilang tadi sudah mencoba istikharah. Hasilnya bagaimana, Mbak?”
“Aku malu denganmu Denia. Kau begitu baik tapi aku malah membalas dengan sesuatu yang mungkin menyakitimu bahkan membuat kamu marah. Bahkan mungkin merusak kebahagiaan dan keutuhan rumah tanggamu. Aku pantas buat dihujat, Denia.” Mbak Hasna berlari menuju mobil Porchenya. Aku kebingungan harus bagaimana menenangkan Mbak Hasna. Aku gendong Biru dan mendekati kasir, menanyakan harga yang harus aku bayar.


“Bestellnummer 47 hat sich gelohnt Ma'am.” Aku hanya paham sebagian kata-kata itu, sudah dibayar katanya.
Aku bergegas menuju Porsche Mbak Hasna. Dia sedang menangis terguncang-guncang. Suara tangis yang tertahan itu membuatku pilu. Aku pilih kata yang tepat untuk menenangkan hatinya.
“Mbak, Denia nggak punya anggapan seperti yang Mbak Hasna sangkakan. Hanya saja Denia perlu memahami dan mempelajari keluarga poligami lebih dalam. Supaya kita siap menjalani apapun manis pahitnya rumah tangga kita nanti. Aku berjanji akan segera memberi jawaban. Mbak Hasna sabar dulu dengan sakit yang Mbak Hasna rasakan. Insyaalah aku akan memberi jawaban seminggu setelah pertemuan kita. Aku juga butuh waktu menyamakan persepsi dengan Mas Bagas.”
Mbak Hasna memelukku sepenuh perasaan. Hangat, lebih dari yang aku rasakan saat Mbak Hasna menemukan hidayah ketika masih kuliah dulu.
***
Denia mengakhiri kisahnya sebelum kami sempat berdiskusi tentang poligami. Jarak memang menjadi perhambat utama kami.
Kesimpulan sementar yang aku pikirkan waktu Denia mau berangkat meninggalkan tanah air perlahan menemukan kebenarannya. Mungkin aku yang bercita-cita membangun rumah tangga poligami tapi denia yang memiliki garis takdir itu.
Ingin ekali aku katakan, "Denia kamu beruntung sekali. Ada seseorang mau menjadi yang kedua buat Bagas. kalian memiliki kesempatan yang langka ini" Sedangkan aku sudah berkali-kali menyampaikan niat ke sesama akhwan, mereka selalu menolak. Alasannya macam-macam. Katanya mereka tidak ingin menjadi pesaingku. Ada juga yang menganggap aku sudah sempurna menjadi pendamping Mas Lukman dan takut kalah bersaing denganku. Ah....ada-ada saja, tujuanku membangun keluarga poligami semata-mata ingin membela rasulullah dari penghinaan kaum orientalis dan antisyariat. Hatiku selalu mendidih bila mereka menganggap salah rumah tangga yang dicontoh nabi. Mereka malah salah niat. Mungkin mereka menganggapku aneh dan mengalihkan niatku dengan candaan mereka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...