Kisah ke-22
HOLD MY HAND (III)
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#UsahKauLaraSendiri_KatonBagaskaraftRuthSahanaya
“Mbak, kita bersaudara dalam iman. Ikatan
yang lebih kuat dari apapun. Berceritalah. Tangan Denia akan selalu terbuka
buat Mbak Hasna. Di negeri asing ini kita harus saling bantu dan menguatkan.
Hold my band, Mbak. Jangan biarkan beban itu Mbak bawa sendiri. Kita akan
hadapi bersama. Asal Mbak percaya sama Denia. Semua akan berlalu. Fa inna ma’al
'usri yusra. Inna ma’al 'usri yusra. Itu janji Allah.” Cerita yang menggantung
ini masih saja aku ingat, aku penasaran jadinya.
Pertanyaan yang ingin Denia sampaikan
tentang poligami belum juga sempat kami bahas. Ceritanya masih menggantung
dalam rekaan yang kadang muncul dengan sendirinya. Ah…risiko menjadi penulis
novel dan narasi fiktif.
“Denia, pertanyaanmu tentang poligami
belum sempat kamu sampaikan. Aku keburu penasaran dengan kisah Mbak Hasnamu
itu.” Pesan wa aku kirim. Kali ini HP Denia sudah ketemu, Tenyata dipakai main
sama Biru, tergeletak di kolong tempat tidur di tempat kos mereka. Habis
baterai.
***
Berada di teras El Reda di musim panas
sungguh menyenangkan. Menikmati angin semilir dengan suhu hangat diatas 20
derajat, sambil memanjakan mata. Memandangi bunga tulip yang sedang bermekaran
penuh warna. Merah, kuning, jingga, ungu hingga blaster. Ternyata tulip tidak
hanya di Belanda, di Jerman juga banyak terdapat bunga itu, mereka menyebutnya
tulpe. Mereka menanam di pekarangan dan pot bunga. Juga di bagian depan
restoran ini. Ada juga pohon sakura berbunga pink di pinggir jalan besar,
masyaallah betapa indahnya pohon yang dipenuhi bunga menutupi seluruh
rantingnya. Ada juga Forsythie, pohon berdaun kuning di dua sisi auning tiga
meter dari teras El Reda. Suasana baru ini benar-benar memanjakanku.
Keasikan memandangi bunga-bunga itu
makin nikmat dengan aroma makanan yang sudah dipesan Mbak Hasna. Aku tidak tahu
nama makanan ini semua tampak asing. Aku lihat di menu ternyata namanya Djujeh,
nasi putih yang panjangnya dua kali dengan nasi di Indonesia. Tomat yang bakar
dan daging sapi grill panggang. Di wadah berbeda terdapat salad sayur dan
buah.di Sayur dan buah. Aku jadi teringat hidangan Arab yang dibuat di Darul
Akhirah saat ada tamu dari Kuwait . Pikirku nai-nasi ini mirip bihun. Mungkin
bukan beras yang ditanak tapi tepung beras dibentuk mirip beras. Menu untuk
Albiruni, Kubideh dengan porsi disesuaikan untuk seusianya. Minuman kami jeruk
panas dan susu kambing buat Biru.
“Mbak Hasna, makanan ini biar Denia
yang bayar,ya?”
“Nggak boleh Denia, aku yang ngajak
kamu. Aku yang harus bertanggung jawab.” Mbak Hasna tersenyum. Kebiasaan
mentraktinnya tidak pernah berubah.
“Maaf, ya, Mbak, aku jadi ngerepotin
Mbak Hasna. Aku sudah nggak sesusah dulu. Mbak. Udah waktunya aku yang nraktir.
Giliran.”
“Tidak buat sekarang, Denia. Entah
kalau besok atau lusa.”
“Kalau Denia boleh apa yang membuat
Mbak Hasna menangis? Aku akan mendengarkan kesulitan Mbak Hasna.”
Mbak Hasna menarik napas panjang.
“Apakah Bagas sering bercerita tentang aku, Denia.”
“Iya, Mbak.”
“Dan kamu tidak marah padaku?”
“Aku sudah memilih rasa marahku hanya
untuk hal-hal yang sifatnya salah dan dosa pada Allah. Bila menurut ketentuan hukumNya
tidak ada salah dan dosa, Denia nggak akan marah, Mbak.”
“Maksudnya?” Mbak Hasna belum memahami
apa yang aku sampaikan.
“Selama undangan Mbak Hasna bukan
hubungan pacaran dan bertemunya tidak berdua-duaan kenapa harus marah?”
Mbak Hasna terdiam sesaat, memilih
kat-kata yang tepat upaya aku tidak tersinggung. “Kalau aku menaruh simpati
pada Bagas gimana?”
Aku terdiam. Suapan itu seakan
tertahan. Aku menyibukkan diri dengan menyuapkan Kubideh untuk Biru.
“Maafkan aku Denia, aku memang tak tahu
diri. Menaruh simpati pada orang yang sudah memiliki istri.”
“Tak mengapa, Mbak. Aku senang Mbak
Hasna terbuka pada Denia. Banyak kasus poligami yang berbalut kebohongan
akhirnya menyisakan masalah yang panjang, perpecahan, perceraian hingga
permusuhan yang berkepanjangan. Yang membuat aku heran justru kenapa Mbak Hasna
menjatuhkan pilihan pada Mas Bagas. Perbedaan status sosial, pendidikan dan
kekayaan antara Mbak Hana dan Mas Bagas bagai bumi dengan langit.”
Mbak Hasna akhirnya bercerita tentang
penderitaan hidup yang tidak pernah dia mengerti apa penyebabnya.
“Sebenarnya beberapa orang yang
menginginkanku. Setelah lulus S1 ada Mas Rangga. Tapi pernikahan kami gagal di
jalan raya. Rombongan khitbah Mas Rangga kecelakaan dan masuk jurang. Empat
bulan berikutnya, Mas Dipo menikahi aku, dia meninggal di malam pertama kami.
Terus terang aku trauma dengan dua peristiwa ini. Yang terakhir Bang Rianto,
tiba-tiba membatalkan pernikahan sehari sebelum rencana pernikahan kami
langsungkan. “ Air mata Mbak Hasna kembali berlinang. Mengenang pahitnya hidup
yang harus dijalaninya. Antara trauma, kecewa, takut dan keinginan berkeluarga
menarik-narik kehendak hatinya menjadi gamang. ”Sementara undangan sudah
tersebar. Semua gagal. Akhirnya aku berkonsultasi pada seorang ustaz ahli
rukyat. Katanya ada jin yang menggangguku. Cirinya aku sering merinding
sendiri, merasa diikuti dan merasa sakit tiba-tiba di bagian tubuh yang
berpindah-pindah. Semua yang dikatakan ustaz itu memang benar. Semua aku
rasakan sejak memasuki masa balig. Ketika aku tanyakan solusinya, aku akan
sembuh bila dirukyat sama calon suami yang Allah tulis di lauh mahfuz. Untuk
menghilangkan segala rasa kecewa itu, aku pergi jauh ke Jerman ini. Mengubur
luka, melupakan kegagalan demi kegagalan”
“Lalu apa hubungannya dengan Mas
Bagas?” Aku penasaran dan memotong cerita Mbak Hasna.
“Aku sering mencari tahu siapa
orang-orang yang bisa merukyah di Jerman ini. Beberapa sudah aku coba dan semua
gagal. Kecuali ketika Bagas merukyatku dengan doa Maktsurat Kubra. Aku sembuh hingga
kini. Segera aku istiharah untuk hal yang membingungkan ini. Bagas yang lebih
muda. Dia sudah beristri. Dan istrinya ternyata teman terbaikku. Bagaimana aku
harus menyikapi dilemma ini Denia. Kalau aku boleh memilih, aku nggak ingin
memiliki garis hidup seperti ini.
“Lalu tentang tumor yang ada di rahim
Mbak Hasna?”
“Itulah musibah yang kualami. Gangguan
gaib itu belum epenuhnya akan hilang sampai aku menikah dengan jodohku.
Gangguan itu berpindah ke rahim menjadi tumor yang akan terus membesar.”
“Kenapa tidak dioperasi saja, Mbak?”
“Ustaz itu bilang, pemeriksaan medis
tidak akan mampu mendeteksi tumor itu. Tapi ahli rukyat dan si penderita
sendiri yang akan merasakannya. Benar saja, aku sudah berusaha memeriksakan
rahimku. Semua baik-baik saja. Tapi bahayanya sama dengan tumor. Aku sudah
mulai merasakan sakit itu”
Aku tidak heran dengan kisah Mbak
Hasna. Gangguan makhluk lain seperti jin dan setan dibahas khusus dalam
kitab-kitab salaf dan aku pernah mempelajarinya di Darul Akhirah. Dari wajahnya
pun aku bisa menyimpulkan ada yang dirasa di badan Mbak Hasna.
“Mbak bilang tadi sudah mencoba
istikharah. Hasilnya bagaimana, Mbak?”
“Aku malu denganmu Denia. Kau begitu
baik tapi aku malah membalas dengan sesuatu yang mungkin menyakitimu bahkan
membuat kamu marah. Bahkan mungkin merusak kebahagiaan dan keutuhan rumah
tanggamu. Aku pantas buat dihujat, Denia.” Mbak Hasna berlari menuju mobil
Porchenya. Aku kebingungan harus bagaimana menenangkan Mbak Hasna. Aku gendong
Biru dan mendekati kasir, menanyakan harga yang harus aku bayar.
“Bestellnummer 47 hat sich gelohnt
Ma'am.” Aku hanya paham sebagian kata-kata itu, sudah dibayar katanya.
Aku bergegas menuju Porsche Mbak Hasna.
Dia sedang menangis terguncang-guncang. Suara tangis yang tertahan itu
membuatku pilu. Aku pilih kata yang tepat untuk menenangkan hatinya.
“Mbak, Denia nggak punya anggapan
seperti yang Mbak Hasna sangkakan. Hanya saja Denia perlu memahami dan
mempelajari keluarga poligami lebih dalam. Supaya kita siap menjalani apapun
manis pahitnya rumah tangga kita nanti. Aku berjanji akan segera memberi
jawaban. Mbak Hasna sabar dulu dengan sakit yang Mbak Hasna rasakan. Insyaalah
aku akan memberi jawaban seminggu setelah pertemuan kita. Aku juga butuh waktu
menyamakan persepsi dengan Mas Bagas.”
Mbak Hasna memelukku sepenuh perasaan.
Hangat, lebih dari yang aku rasakan saat Mbak Hasna menemukan hidayah ketika
masih kuliah dulu.
***
Denia mengakhiri kisahnya sebelum kami
sempat berdiskusi tentang poligami. Jarak memang menjadi perhambat utama kami.
Kesimpulan sementar yang aku pikirkan
waktu Denia mau berangkat meninggalkan tanah air perlahan menemukan
kebenarannya. Mungkin aku yang bercita-cita membangun rumah tangga poligami
tapi denia yang memiliki garis takdir itu.
Ingin ekali aku katakan, "Denia kamu
beruntung sekali. Ada seseorang mau menjadi yang kedua buat Bagas. kalian
memiliki kesempatan yang langka ini" Sedangkan aku sudah berkali-kali
menyampaikan niat ke sesama akhwan, mereka selalu menolak. Alasannya
macam-macam. Katanya mereka tidak ingin menjadi pesaingku. Ada juga yang
menganggap aku sudah sempurna menjadi pendamping Mas Lukman dan takut kalah
bersaing denganku. Ah....ada-ada saja, tujuanku membangun keluarga poligami
semata-mata ingin membela rasulullah dari penghinaan kaum orientalis dan
antisyariat. Hatiku selalu mendidih bila mereka menganggap salah rumah tangga
yang dicontoh nabi. Mereka malah salah niat. Mungkin mereka menganggapku aneh
dan mengalihkan niatku dengan candaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar