Kisah Ke-21
Mahasiwi
Eksentrik
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Gaya
Mahasiswa_PSP
Tahun 2010, Denia harus rela menunda setahun
kuliahnya. Awalnya aku agak
menyayangkan. Nilai UN-nya tembus
rata-rata delapan puluh. Mestinya dia
bisa tembus SMNPTN. Tapi alasannya yang tak
bisa aku bantah membuat aku merelakan tugas pengabdiaannya.
“Kak, kata Kak Mutia sendiri, bahwa nggak ada
istilah rugi dalam hidup. Thalabil
ilmi minal mahdi ilalahdi. “Lagi
pula kesempatan ini nggak akan datang dua kali.
Masa-masa pengabdian adalah saat ikut berjuangkan membesarkan pesantren
yang sudah mendidik Denia makin paham Islam.
Di saat ini Denia bisa aktualisasi diri dalam ilmu dan organisasi.”
Aku kadang malu, kalah dewasa dengan
Denia. Betul juga kata-katanya, satu
tahun bukan waktu yang lama. Denia yang
kehilangan kesempatan SMNPTN mengejar target tembus SBMPTN. Alhamdulillah, Darul Akhirah memberi
kesempatan Denia ambil kursus di Gama
Operation untuk persiapan lolos
SBMPTN. Sabtu Ahad, izin yang diberikan
Ummu Sania.
“Kak, dengan izin Allah, berkah ikhlas mengabdi
dan usaha lewat Gama Operation akhirnya
Dania lolos.” SMS dari akun
fb-nya aku terima. Waktu itu android
masih mahal, rilis pertama smartphone di tahun 2011 harganya pun masih 6,5
jutaan. Aku bekali Denia dengan Black
Berry sebagai bekal komunikasi selama mengabdi di pesantren.
“Betul
Denia, Alhamdulillah.” Penasaran aku
mendengar kabar dari Denia. Aku buka
surat kabar langgananku, Republika. Aku
cocokan nomor dari Denia dengan deretan angka di surat kabar itu. Cukup pusing juga UPN, UNY, UGM, ISI dan
UIN. Bolak-balik aku mencermati
angka-angka itu pada ulangan ketiga baru aku temukan nomor Denia. Alhamdulillah Desain Komunikasi Visual,
sebuah institut seni negeri. Denia
memang punya bakat mendesain yang membutuhkan kreatifitas dan imajinasi. Meskipun banyak yang nyentrik di jurusan itu,
aku tidak khawatir melepas Denia. Ada
temanku Ummi Shofia yang menjadi pengelola Pesantren Mahasiswi Al Hidayah. Memang perjalanan dari Alhidayah ke ISI bisa
sampai satu jam. Tapi demi keselamatan
lahir batin Denia, aku akan titipkan Denia ke Al Hidayah.
Rasanya baru dua bulan Denia pulang ke Jakarta
dari Darul Akhirah Sukabumi. Kami harus
berpisah lagi. Sungguh rindu yang belum
terbayarkan.
Mengantarkan Denia ke Yogyakarta dan menitipkan
pada Ummi Shofia jauh lebih ringan daripada saat menitipkan Denia ke Ummu Sania
di Darul Akhirah (DA). Selain aku
berteman baik sama Ummi Shofia, Denia kini sudah jauh lebih dewasa dan punya
bekal hidup dengan empat tahun belajar di DA.
Tiga bulan Denia di Yogyakarta, tidak banyak
cerita yang dia bagi. Saat dia tidak
banyak bercerita berarti semua baik-baik saja.
Sampai liburan akhir semester Denia pulang
dengan segudang cerita yang dijadikannya oleh-oleh melepas rindu. Ya, kebiasaan kami saling bertukar kisah
menjadi bagian terindah dalam kebersamaan kami.
Seringkali kisah-kisah itu menginspirasi dan menjadi sumber ide cerita
yang aku tulis. (Mungkin sebagian
menganggap kemampuan imajinasiku sebagai seorang penulis sangat minim. Tak mengapa, memang begini adanya……)
“Denia kamu sudah lama nggak cerita sama Kak
Mutia. Kakak rindu cerita-ceria kamu
yang selalu seru. Pasti karena kesibukan
kuliahmu, ya?“
“Kisah Denia nggak banyak yang seru sih
Kak. Sejak ada Kak Mutia di sisiku,
hidupku nggak sedramatis waktu di jalanan.”
Denia nyengir lucu. Sesuatu yang
selalu membuatku gemas.
“Yah, Kakak nggak dapet ide nulis, dong.” Aku pasang muka kecewa dan sedih.
“Nah, sudah saatnya Kak Mutia benar-benar
berimajinasi yang orisinil dari ide Kakak.”
Kami bercanda melepas rindu, tapai dasar Denia
memang suka cerita, akhirnya dia cerita juga tentang teman kampusnya.
***
Teman Denia yang satu ini namanya Hasna. Sebenarnya dia bukan teman sekampus, tapi
teman sekamar di Pesantren Al Hidayah.
Denia di jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual ) di sebuah perguruan
tinggi, institut seni. Sementara Hasna
di Jurusan Sastra Jerman-universitas negeri ternama.
Hasna dititipkan di Pesantren Al Hidayah oleh
orang tuanya karena sebelumnya dia memiliki cara hidup ang bikin pusing orang
tuanya.
“Sebenarnya aku males tinggal di Al Hidayah
ini. Tapi karena ancaman diputusin uang
bulanannya ya udah deh aku ngalah.”
Hasna curhat sama denia dengan gaya high classnya. Rambut dicat.
Telinga bertindik tiga lengkap dengan subang berlian mewahnya. Barang-barang bermerek semua menemani isi tas
kuliahnya. Smartphona pun selalu
berganti setiap ada keluaran baru.
Sebenarnya semua penghuni asrama mahasiswi itu
merasa terganggu dengan tingkahnya, kecuali Denia. Denia yang terbiasa hidup dengan berbagai
jenis manusia ekstrim tidak serta merta membenci atau menjauhi Hasna. Di kamar asrama Al Hidayah, Hasna dan Denia
kebagian kamar F. Kamar yang cukup luas
untuk mereka berdua, berukuran 7x8 meter dengan satu kamar mandi dan satu
toilet.
“Denia, kamu ini aneh. Nggak seperti orang lain di asrama ini. Semua seperti nggak suka dengan gayaku tapi
kenapa kamu enjoy aja?” Hasna mengeluarkan
unek-uneknya.
“Mbak Hasna orangnya baik suka nraktir, suka
berbagi. Bukankah itu sifat yang
baik. Mbak Hasna juga suka menghibur,
bikin aku senang dan ikut ketawa.”
“Kamu menilai aku nggak jujur, ya? Aku nggak sebaik penilaian kamu, lho.”
“Banyak karakter orang aku temui sepanjang
hidup saya, Mbak. Tetap Mbak Hasna itu
orangnya baik dan nggak jahat sama Denia.”
Benar saja pengakuan Hasna. Pernah saat Denia tidak ada jadwal kuliah
diajak ke kampus Hasna. Naik mobil harga
menengah, Hasna memakai gamis dan hijab.
Begitu sampai di kampus, Hasna membuka hijabnya dan berganti dengan
penampilan tomboy. Ia langsung nongkrong
di kantin dan ngobrol dengan temannya.
“Mbak lima menit lagi jam 08.30. Nggak takut
terlambat?” Denia berusaha mengingatkan
“Tenang saja aku sudah bayar joki buat ngisi
absen kehadiran.”
Denia berusaha tenang, tidak menampakkan
keheranannya. Dalam batinnya, Mbak Hasna
cukup nyentrik. Gaya mahasiswanya keren
habis. Buku diktat tebal di bawa ke
kampus tapi mangkalnya di kantin.
“Sebentar aku mau manggil temen kuliah buat
nemenin kita ngobrol.”
“Maksud, Mbak Hasna mau ngajakin mereka
mbolos?”
“Iyalah Denia biar ntar kalau ujian aku nggak
malu sendiri nilai jeblok.”
“Kalau jarang kuliah bagaimana bisa ngejawab
ujian, Mbak?”
“Gampang tinggal ngopi bahan dari yang pada
rajin, baca eskaes, beres deh!”
“Terus hasilnya gimana?”
“Lumayan Denia, C. Asal lulus.
Kadang-kadang ngulang juga sih atau remedial pakai tugas.”
“Tambah sibuk, dong!”
“Nggak juga.
Tinggal bayar temen yang rajin, selesai deh tugasnya.”
“Apa banyak temen Mbak di kampus yang seperti
Mbak Hasna?
“Aku termasuk manusia langka. Masih menganggap aku baik Denia?”
“Mbak Hasna tetap lebih baik dari mereka yang
pernah aku temui dalam hidupku.”
Hasna penasaran dengan orang-orang yang Denia
temui dalam hidupnya.
Bibi Munah, Maruti, Bang Gofat, Arul, Tante
Delima, Om Gentong. Orang-orang yang
membuat Hasna tetap mendapat predikat baik di mata Denia. Sebelum berkisah, Denia tidak pernah lupa
mendoakan Hasna untuk mendapat hikmah dan pelajaran sehingga dapat memperbaiki
dirinya.
Ahad, Senin, Selasa hari demi hari kisah itu
mengalir seakan dongeng pengantar tidur buat Hasna. Bahkan kadang terbawa mimpi sedih yang
membuahkan igauan. Tampaknya mimpi itu
benar-benar menjalar ke alam bawah sadar Hasna.
Sebagaimana cerita-ceritanya padaku, Denia
sering kali tergugu mengenang bagian-bagian paling suram dalam hidupnya. Di luar dugaan Denia, Hasna merespon kisah
sedihnya dengan dekapan, bahkan menangis bersama tanda empati.
“Denia,
aku pikir kisah hidup yang kau ceritakan tadi hanya ada di sinetron. Ternyata ada yang deritanya lebih dari
itu. Seorang anak kecil berumur enam
tahun menjadi yatim piatu, hanya berdua dengan kakak yang hilang rasa kasih
sayangnya karena penderitaan hidup. Juga
perlakuan kasar orang lain membentuk karakter kejam pada diri kakak yang
seharusnya melindungi. Berpindah asuhan
bersama bibi yang hanya memeras tenaga dan memanfaatkannya untuk memenuhi keinginan harta dunia. Seorang diri di keramaian Jakarta. Hampir terjual pada hidung belang. Dijerumuskan pada kehidupan jalanan yang
keras. Hampir-hampir terenggut kegadisan
dalam pergumulan nasib yang tak juga berpihak.
Kehilangan cinta pertama yang pedih, setelah kehilangan ayah dan
ibu. Justru yang membuat aku kagum, kamu
bisa bertahan dan bangkit memperbaiki diri.
Sekarang bahkan telah mahasiswi di hadapanku kini.”
“Semua
itu karena kehadiran mereka yang masih mau dengan tulus mengulurkan tangannya,
Mbak. Kak Mutia dan keluarganya. Pesantren Darul Akhirah yang menyayangi kami,
yatama dengan tulus. Bahkan mereka
berlomba-lomba ingin menjadi tetangga Rasulullah di akhirat dengan menyayangi
dan menyantuni anak yatim.”
Hasna
termenung dengan keadaan Denia kini. Ia
membandingkan dengan keadaan dirinya
penuh rasa malu.
“Sedangkan
aku, ibarat bumi dengan langit bila dibanding dengan keadaanmu. Berada dalam keluarga kaya, berkecukupan,
tidak pernah ditimpa ujian dan bencana.
Dilimpahi kemanjaan dan kasih sayang.
Apa sebutan kang pantas buatku selain kufur nikmat?” Kesadaran itu mulai memasuki relung batin
Hasna, bersama air mata yang telah sekian lama tidak membasuh keras hatinya.
Denia
begitu bahagia, berkali-kali ketukan yang menyadarkan itu membuat Hasna ingin
berubah.
“Denia,
tolong ingatin aku saat aku khilaf.
Jangan sampai kau selalu menganggapku baik dan membiarkan aku berkubang
dalam kesalahan, dosa dan kebodohan.”
“Insyaallah,
kita saling mengingatkan, ya, Mbak.
Selama masih ada godaan nafsu dan setan, siapapun bisa tergelincir,
Mbak. Sebaliknya selagi masih ada hati
nurani dan nasihat yang baik, insyaallah selalu ada kesempatan untuk
memperbaiki diri.”
“Aku
tahu kesalahanku Denia. Aku selalu
melawan kehendak baikku dan juga melawan arus nasihat ustazah di Pesantren Al
Hidayah.” Hasna berjalan gegas menuju
cermin menarik tangan Denia untuk melihat refleksi mereka berdua. Di cermin itu, ada dua sosok wanita cantik
khas Jawa dan Sunda. ”Denia, katakan sesuatu yang akan menjadi nasihat baikku.”
“Mbak Hasna bisa menjawab sendiri dengan
nasihat baik dari cermin ini.”
Hasna menyebutkan satu persatu nasihat baik
dari hatinya, ustazah di Al Hidayah, juga cermin di depannya. Rambut dan pakaian, kejujuran dan amanah,
kecintaan pada ilmu dan nasihat baik, syukur pada tiap nikmat dan karunia.
Mereka
berpelukan lama…… bersama derai air mata kesadaran dan kesyukuran. Hasna berkali-kali mengucapkan kata
terimakasih.
“Mbak, asy-syukru lillah, walhamdu lillah. Allah yang berkehendak membuat Mbak Hasna
berubah dan ingin memperbaiki diri. Dia
sayang sama Mbak Hasna. Mbak Hasna harus
sambut kasih sayangNya dengan cinta dan bahagia.”
***
“Denia,
bersyukurlah untuk tiap kisah hidup yang kita lalui. Ternyata pada saatnya bisa menjadi jalan
inspirasi buat sesama. Bukankah saat
kita menjadi jalan kebaikan orang lain, maka pahala jariah mengalir pada
kita tanpa mengurangi pahala yang beramal kebaikan itu?”
“Aamiin,
betul Kak, ternyata apapun kisah yang Allah titipkan pada kita, semua indah
buat dikenang selama kita menyikapinya dengan benar.”
“Kenapa
kamu jarang cerita kalau kamu ada masalah, kadang aku pingin tahu dan pingin
mastiin kamu baik-baik saja.”
“Sabar lebih dekat pada solusi dari pada keluhan, Sabar adalah
setengah dari solusi, setengahnya lagi ada pada kesabaran berikhtiar. Kata Mas Hanif di ceramah youtubenya. Keluhan itu justru menandakan kurangnya
kesabaran dan menjauhkan dari solusi.”
Denia menyebutkan nasihat Mas Hanif yang kini sudah menjadi ustaz
youtuber.
Aku
usap rambut denia lembut. Dalam usianya
yang ke-20 Denia makin dewasa. Pantaslah
dia jarang mengeluh dan bercerita selama di Yogyakarta. Ternyata Denia sudah bisa mengatasi masalah
hidupnya sendiri dengan lebih dewasa.
Glosarium
1. Thalabil ilmi minal mahdi ilalahdi=menuntut ilmu itu dari buaian hingga liang
2. Asy-syukru
lillah, walhamdu lillah=terimakasih dan pujian hanya untuk
3. Kufur nikmat=mengingkari
4. Jariah=amalan di dunia
yang pahalanya terus mengalir hingga akhirat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar