Senin, 19 November 2018

KISAH KE-20 (NOVEL KCMS)


Kisah Ke-21
Mahasiwi Eksentrik
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Gaya Mahasiswa_PSP

Tahun 2010, Denia harus rela menunda setahun kuliahnya.  Awalnya aku agak menyayangkan.  Nilai UN-nya tembus rata-rata delapan puluh.  Mestinya dia bisa tembus SMNPTN.  Tapi alasannya yang tak bisa aku bantah membuat aku merelakan tugas pengabdiaannya.
“Kak, kata Kak Mutia sendiri, bahwa nggak ada istilah rugi dalam hidup.  Thalabil ilmi minal mahdi ilalahdi.  “Lagi pula kesempatan ini nggak akan datang dua kali.  Masa-masa pengabdian adalah saat ikut berjuangkan membesarkan pesantren yang sudah mendidik Denia makin paham Islam.   Di saat ini Denia bisa aktualisasi diri dalam ilmu dan organisasi.”
Aku kadang malu, kalah dewasa dengan Denia.  Betul juga kata-katanya, satu tahun bukan waktu yang lama.  Denia yang kehilangan kesempatan SMNPTN mengejar target tembus SBMPTN.  Alhamdulillah, Darul Akhirah memberi kesempatan Denia ambil kursus di  Gama Operation  untuk persiapan lolos SBMPTN.  Sabtu Ahad, izin yang diberikan Ummu Sania.
“Kak, dengan izin Allah, berkah ikhlas mengabdi dan usaha lewat Gama Operation akhirnya  Dania lolos.”  SMS dari akun fb-nya aku terima.  Waktu itu android masih mahal, rilis pertama smartphone di tahun 2011 harganya pun masih 6,5 jutaan.  Aku bekali Denia dengan Black Berry sebagai bekal komunikasi selama mengabdi di pesantren.
 “Betul Denia, Alhamdulillah.”  Penasaran aku mendengar kabar dari Denia.  Aku buka surat kabar langgananku, Republika.  Aku cocokan nomor dari Denia dengan deretan angka di surat kabar itu.  Cukup pusing juga UPN, UNY, UGM, ISI dan UIN.  Bolak-balik aku mencermati angka-angka itu pada ulangan ketiga baru aku temukan nomor Denia.  Alhamdulillah Desain Komunikasi Visual, sebuah institut seni negeri.   Denia memang punya bakat mendesain yang membutuhkan kreatifitas dan imajinasi.  Meskipun banyak yang nyentrik di jurusan itu, aku tidak khawatir melepas Denia.  Ada temanku Ummi Shofia yang menjadi pengelola Pesantren Mahasiswi Al Hidayah.  Memang perjalanan dari Alhidayah ke ISI bisa sampai satu jam.  Tapi demi keselamatan lahir batin Denia, aku akan titipkan Denia ke Al Hidayah.
Rasanya baru dua bulan Denia pulang ke Jakarta dari Darul Akhirah Sukabumi.  Kami harus berpisah lagi.  Sungguh rindu yang belum terbayarkan.
Mengantarkan Denia ke Yogyakarta dan menitipkan pada Ummi Shofia jauh lebih ringan daripada saat menitipkan Denia ke Ummu Sania di Darul Akhirah (DA).  Selain aku berteman baik sama Ummi Shofia, Denia kini sudah jauh lebih dewasa dan punya bekal hidup dengan empat tahun belajar di DA.
Tiga bulan Denia di Yogyakarta, tidak banyak cerita yang dia bagi.  Saat dia tidak banyak bercerita berarti semua baik-baik saja.
Sampai liburan akhir semester Denia pulang dengan segudang cerita yang dijadikannya oleh-oleh melepas rindu.  Ya, kebiasaan kami saling bertukar kisah menjadi bagian terindah dalam kebersamaan kami.  Seringkali kisah-kisah itu menginspirasi dan menjadi sumber ide cerita yang aku tulis.  (Mungkin sebagian menganggap kemampuan imajinasiku sebagai seorang penulis sangat minim.  Tak mengapa, memang begini adanya……)
“Denia kamu sudah lama nggak cerita sama Kak Mutia.  Kakak rindu cerita-ceria kamu yang selalu seru.  Pasti karena kesibukan kuliahmu, ya?“
“Kisah Denia nggak banyak yang seru sih Kak.  Sejak ada Kak Mutia di sisiku, hidupku nggak sedramatis waktu di jalanan.”  Denia nyengir lucu.  Sesuatu yang selalu membuatku gemas.
“Yah, Kakak nggak dapet ide nulis, dong.”  Aku pasang muka kecewa dan sedih.
“Nah, sudah saatnya Kak Mutia benar-benar berimajinasi yang orisinil dari ide Kakak.”
Kami bercanda melepas rindu, tapai dasar Denia memang suka cerita, akhirnya dia cerita juga tentang teman kampusnya.
***
Teman Denia yang satu ini namanya Hasna.  Sebenarnya dia bukan teman sekampus, tapi teman sekamar di Pesantren Al Hidayah.  Denia di jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual ) di sebuah perguruan tinggi, institut seni.  Sementara Hasna di Jurusan Sastra Jerman-universitas negeri ternama. 
Hasna dititipkan di Pesantren Al Hidayah oleh orang tuanya karena sebelumnya dia memiliki cara hidup ang bikin pusing orang tuanya. 
“Sebenarnya aku males tinggal di Al Hidayah ini.  Tapi karena ancaman diputusin uang bulanannya ya udah deh aku ngalah.”  Hasna curhat sama denia dengan gaya high classnya.  Rambut dicat.  Telinga bertindik tiga lengkap dengan subang berlian mewahnya.  Barang-barang bermerek semua menemani isi tas kuliahnya.  Smartphona pun selalu berganti setiap ada keluaran baru.
Sebenarnya semua penghuni asrama mahasiswi itu merasa terganggu dengan tingkahnya, kecuali Denia.  Denia yang terbiasa hidup dengan berbagai jenis manusia ekstrim tidak serta merta membenci atau menjauhi Hasna.  Di kamar asrama Al Hidayah, Hasna dan Denia kebagian kamar F.  Kamar yang cukup luas untuk mereka berdua, berukuran 7x8 meter dengan satu kamar mandi dan satu toilet.
“Denia, kamu ini aneh.  Nggak seperti orang lain di asrama ini.  Semua seperti nggak suka dengan gayaku tapi kenapa kamu enjoy aja?”  Hasna mengeluarkan unek-uneknya.
“Mbak Hasna orangnya baik suka nraktir, suka berbagi.  Bukankah itu sifat yang baik.  Mbak Hasna juga suka menghibur, bikin aku senang dan ikut ketawa.”
“Kamu menilai aku nggak jujur, ya?  Aku nggak sebaik penilaian kamu, lho.”
“Banyak karakter orang aku temui sepanjang hidup saya, Mbak.  Tetap Mbak Hasna itu orangnya baik dan nggak jahat sama Denia.”
Benar saja pengakuan Hasna.  Pernah saat Denia tidak ada jadwal kuliah diajak ke kampus Hasna.  Naik mobil harga menengah, Hasna memakai gamis dan hijab.  Begitu sampai di kampus, Hasna membuka hijabnya dan berganti dengan penampilan tomboy.  Ia langsung nongkrong di kantin dan ngobrol dengan temannya. 
“Mbak lima menit lagi jam 08.30. Nggak takut terlambat?”  Denia berusaha mengingatkan
“Tenang saja aku sudah bayar joki buat ngisi absen kehadiran.”
Denia berusaha tenang, tidak menampakkan keheranannya.  Dalam batinnya, Mbak Hasna cukup nyentrik.  Gaya mahasiswanya keren habis.  Buku diktat tebal di bawa ke kampus tapi mangkalnya di kantin.
“Sebentar aku mau manggil temen kuliah buat nemenin kita ngobrol.”
“Maksud, Mbak Hasna mau ngajakin mereka mbolos?”
“Iyalah Denia biar ntar kalau ujian aku nggak malu sendiri nilai jeblok.”
“Kalau jarang kuliah bagaimana bisa ngejawab ujian, Mbak?”
“Gampang tinggal ngopi bahan dari yang pada rajin, baca eskaes, beres deh!”
“Terus hasilnya gimana?”
“Lumayan Denia, C.  Asal lulus.  Kadang-kadang ngulang juga sih atau remedial pakai tugas.”
“Tambah sibuk, dong!”
“Nggak juga.  Tinggal bayar temen yang rajin, selesai deh tugasnya.”
“Apa banyak temen Mbak di kampus yang seperti Mbak Hasna?
“Aku termasuk manusia langka.  Masih menganggap aku baik Denia?”
“Mbak Hasna tetap lebih baik dari mereka yang pernah aku temui dalam hidupku.”
Hasna penasaran dengan orang-orang yang Denia temui dalam hidupnya.
Bibi Munah, Maruti, Bang Gofat, Arul, Tante Delima, Om Gentong.  Orang-orang yang membuat Hasna tetap mendapat predikat baik di mata Denia.  Sebelum berkisah, Denia tidak pernah lupa mendoakan Hasna untuk mendapat hikmah dan pelajaran sehingga dapat memperbaiki dirinya. 
Ahad, Senin, Selasa hari demi hari kisah itu mengalir seakan dongeng pengantar tidur buat Hasna.  Bahkan kadang terbawa mimpi sedih yang membuahkan igauan.  Tampaknya mimpi itu benar-benar menjalar ke alam bawah sadar Hasna.
             Sebagaimana cerita-ceritanya padaku, Denia sering kali tergugu mengenang bagian-bagian paling suram dalam hidupnya.  Di luar dugaan Denia, Hasna merespon kisah sedihnya dengan dekapan, bahkan menangis bersama tanda empati.
            “Denia, aku pikir kisah hidup yang kau ceritakan tadi hanya ada di sinetron.  Ternyata ada yang deritanya lebih dari itu.   Seorang anak kecil berumur enam tahun menjadi yatim piatu, hanya berdua dengan kakak yang hilang rasa kasih sayangnya karena penderitaan hidup.  Juga perlakuan kasar orang lain membentuk karakter kejam pada diri kakak yang seharusnya melindungi.  Berpindah asuhan bersama bibi yang hanya memeras tenaga dan memanfaatkannya untuk  memenuhi keinginan harta dunia.   Seorang diri di keramaian Jakarta.  Hampir terjual pada hidung belang.  Dijerumuskan pada kehidupan jalanan yang keras.  Hampir-hampir terenggut kegadisan dalam pergumulan nasib yang tak juga berpihak.  Kehilangan cinta pertama yang pedih, setelah kehilangan ayah dan ibu.  Justru yang membuat aku kagum, kamu bisa bertahan dan bangkit memperbaiki diri.  Sekarang bahkan telah mahasiswi di hadapanku kini.”
            “Semua itu karena kehadiran mereka yang masih mau dengan tulus mengulurkan tangannya, Mbak.  Kak Mutia dan keluarganya.  Pesantren Darul Akhirah yang menyayangi kami, yatama dengan tulus.  Bahkan mereka berlomba-lomba ingin menjadi tetangga Rasulullah di akhirat dengan menyayangi dan menyantuni anak yatim.”
            Hasna termenung dengan keadaan Denia kini.  Ia membandingkan dengan keadaan dirinya  penuh rasa malu.
            “Sedangkan aku, ibarat bumi dengan langit bila dibanding dengan keadaanmu.  Berada dalam keluarga kaya, berkecukupan, tidak pernah ditimpa ujian dan bencana.  Dilimpahi kemanjaan dan kasih sayang.  Apa sebutan kang pantas buatku selain kufur nikmat?”  Kesadaran itu mulai memasuki relung batin Hasna, bersama air mata yang telah sekian lama tidak membasuh keras hatinya.
            Denia begitu bahagia, berkali-kali ketukan yang menyadarkan itu membuat Hasna ingin berubah.
            “Denia, tolong ingatin aku saat aku khilaf.  Jangan sampai kau selalu menganggapku baik dan membiarkan aku berkubang dalam kesalahan, dosa dan kebodohan.”
            “Insyaallah, kita saling mengingatkan, ya, Mbak.  Selama masih ada godaan nafsu dan setan, siapapun bisa tergelincir, Mbak.  Sebaliknya selagi masih ada hati nurani dan nasihat yang baik, insyaallah selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri.”
            “Aku tahu kesalahanku Denia.  Aku selalu melawan kehendak baikku dan juga melawan arus nasihat ustazah di Pesantren Al Hidayah.”  Hasna berjalan gegas menuju cermin menarik tangan Denia untuk melihat refleksi mereka berdua.  Di cermin itu, ada dua sosok wanita cantik khas Jawa dan Sunda. ”Denia, katakan sesuatu yang akan menjadi nasihat baikku.”
“Mbak Hasna bisa menjawab sendiri dengan nasihat baik dari cermin ini.”
Hasna menyebutkan satu persatu nasihat baik dari hatinya, ustazah di Al Hidayah, juga cermin di depannya.   Rambut dan pakaian, kejujuran dan amanah, kecintaan pada ilmu dan nasihat baik, syukur pada tiap nikmat dan karunia.
 Mereka berpelukan lama…… bersama derai air mata kesadaran dan kesyukuran.   Hasna berkali-kali mengucapkan kata terimakasih. 
“Mbak, asy-syukru lillah, walhamdu lillah.  Allah yang berkehendak membuat Mbak Hasna berubah dan ingin memperbaiki diri.  Dia sayang sama Mbak Hasna.  Mbak Hasna harus sambut kasih sayangNya dengan cinta dan bahagia.”
***
            “Denia, bersyukurlah untuk tiap kisah hidup yang kita lalui.  Ternyata pada saatnya bisa menjadi jalan inspirasi buat sesama.  Bukankah saat kita menjadi jalan kebaikan orang lain, maka pahala jariah mengalir pada kita tanpa mengurangi pahala yang beramal kebaikan itu?”
            “Aamiin, betul Kak, ternyata apapun kisah yang Allah titipkan pada kita, semua indah buat dikenang selama kita menyikapinya dengan benar.”
            “Kenapa kamu jarang cerita kalau kamu ada masalah, kadang aku pingin tahu dan pingin mastiin kamu baik-baik saja.”
            Sabar lebih dekat pada solusi dari pada keluhan, Sabar adalah setengah dari solusi, setengahnya lagi ada pada kesabaran berikhtiar.   Kata Mas Hanif di ceramah youtubenya.  Keluhan itu justru menandakan kurangnya kesabaran dan menjauhkan dari solusi.”  Denia menyebutkan nasihat Mas Hanif yang kini sudah menjadi ustaz youtuber.
            Aku usap rambut denia lembut.  Dalam usianya yang ke-20 Denia makin dewasa.  Pantaslah dia jarang mengeluh dan bercerita selama di Yogyakarta.  Ternyata Denia sudah bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dengan lebih dewasa.

Glosarium
1. Thalabil ilmi minal mahdi ilalahdi=menuntut ilmu itu dari buaian hingga liang 
2. Asy-syukru lillah, walhamdu lillah=terimakasih dan pujian hanya untuk 
3. Kufur nikmat=mengingkari 
4. Jariah=amalan di dunia yang pahalanya terus mengalir hingga akhirat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...