Senin, 19 November 2018

KISAH KE-20 (NOVEL KCMS)


Kisah Ke-21
Mahasiwi Eksentrik
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Gaya Mahasiswa_PSP

Tahun 2010, Denia harus rela menunda setahun kuliahnya.  Awalnya aku agak menyayangkan.  Nilai UN-nya tembus rata-rata delapan puluh.  Mestinya dia bisa tembus SMNPTN.  Tapi alasannya yang tak bisa aku bantah membuat aku merelakan tugas pengabdiaannya.
“Kak, kata Kak Mutia sendiri, bahwa nggak ada istilah rugi dalam hidup.  Thalabil ilmi minal mahdi ilalahdi.  “Lagi pula kesempatan ini nggak akan datang dua kali.  Masa-masa pengabdian adalah saat ikut berjuangkan membesarkan pesantren yang sudah mendidik Denia makin paham Islam.   Di saat ini Denia bisa aktualisasi diri dalam ilmu dan organisasi.”
Aku kadang malu, kalah dewasa dengan Denia.  Betul juga kata-katanya, satu tahun bukan waktu yang lama.  Denia yang kehilangan kesempatan SMNPTN mengejar target tembus SBMPTN.  Alhamdulillah, Darul Akhirah memberi kesempatan Denia ambil kursus di  Gama Operation  untuk persiapan lolos SBMPTN.  Sabtu Ahad, izin yang diberikan Ummu Sania.
“Kak, dengan izin Allah, berkah ikhlas mengabdi dan usaha lewat Gama Operation akhirnya  Dania lolos.”  SMS dari akun fb-nya aku terima.  Waktu itu android masih mahal, rilis pertama smartphone di tahun 2011 harganya pun masih 6,5 jutaan.  Aku bekali Denia dengan Black Berry sebagai bekal komunikasi selama mengabdi di pesantren.
 “Betul Denia, Alhamdulillah.”  Penasaran aku mendengar kabar dari Denia.  Aku buka surat kabar langgananku, Republika.  Aku cocokan nomor dari Denia dengan deretan angka di surat kabar itu.  Cukup pusing juga UPN, UNY, UGM, ISI dan UIN.  Bolak-balik aku mencermati angka-angka itu pada ulangan ketiga baru aku temukan nomor Denia.  Alhamdulillah Desain Komunikasi Visual, sebuah institut seni negeri.   Denia memang punya bakat mendesain yang membutuhkan kreatifitas dan imajinasi.  Meskipun banyak yang nyentrik di jurusan itu, aku tidak khawatir melepas Denia.  Ada temanku Ummi Shofia yang menjadi pengelola Pesantren Mahasiswi Al Hidayah.  Memang perjalanan dari Alhidayah ke ISI bisa sampai satu jam.  Tapi demi keselamatan lahir batin Denia, aku akan titipkan Denia ke Al Hidayah.
Rasanya baru dua bulan Denia pulang ke Jakarta dari Darul Akhirah Sukabumi.  Kami harus berpisah lagi.  Sungguh rindu yang belum terbayarkan.
Mengantarkan Denia ke Yogyakarta dan menitipkan pada Ummi Shofia jauh lebih ringan daripada saat menitipkan Denia ke Ummu Sania di Darul Akhirah (DA).  Selain aku berteman baik sama Ummi Shofia, Denia kini sudah jauh lebih dewasa dan punya bekal hidup dengan empat tahun belajar di DA.
Tiga bulan Denia di Yogyakarta, tidak banyak cerita yang dia bagi.  Saat dia tidak banyak bercerita berarti semua baik-baik saja.
Sampai liburan akhir semester Denia pulang dengan segudang cerita yang dijadikannya oleh-oleh melepas rindu.  Ya, kebiasaan kami saling bertukar kisah menjadi bagian terindah dalam kebersamaan kami.  Seringkali kisah-kisah itu menginspirasi dan menjadi sumber ide cerita yang aku tulis.  (Mungkin sebagian menganggap kemampuan imajinasiku sebagai seorang penulis sangat minim.  Tak mengapa, memang begini adanya……)
“Denia kamu sudah lama nggak cerita sama Kak Mutia.  Kakak rindu cerita-ceria kamu yang selalu seru.  Pasti karena kesibukan kuliahmu, ya?“
“Kisah Denia nggak banyak yang seru sih Kak.  Sejak ada Kak Mutia di sisiku, hidupku nggak sedramatis waktu di jalanan.”  Denia nyengir lucu.  Sesuatu yang selalu membuatku gemas.
“Yah, Kakak nggak dapet ide nulis, dong.”  Aku pasang muka kecewa dan sedih.
“Nah, sudah saatnya Kak Mutia benar-benar berimajinasi yang orisinil dari ide Kakak.”
Kami bercanda melepas rindu, tapai dasar Denia memang suka cerita, akhirnya dia cerita juga tentang teman kampusnya.
***
Teman Denia yang satu ini namanya Hasna.  Sebenarnya dia bukan teman sekampus, tapi teman sekamar di Pesantren Al Hidayah.  Denia di jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual ) di sebuah perguruan tinggi, institut seni.  Sementara Hasna di Jurusan Sastra Jerman-universitas negeri ternama. 
Hasna dititipkan di Pesantren Al Hidayah oleh orang tuanya karena sebelumnya dia memiliki cara hidup ang bikin pusing orang tuanya. 
“Sebenarnya aku males tinggal di Al Hidayah ini.  Tapi karena ancaman diputusin uang bulanannya ya udah deh aku ngalah.”  Hasna curhat sama denia dengan gaya high classnya.  Rambut dicat.  Telinga bertindik tiga lengkap dengan subang berlian mewahnya.  Barang-barang bermerek semua menemani isi tas kuliahnya.  Smartphona pun selalu berganti setiap ada keluaran baru.
Sebenarnya semua penghuni asrama mahasiswi itu merasa terganggu dengan tingkahnya, kecuali Denia.  Denia yang terbiasa hidup dengan berbagai jenis manusia ekstrim tidak serta merta membenci atau menjauhi Hasna.  Di kamar asrama Al Hidayah, Hasna dan Denia kebagian kamar F.  Kamar yang cukup luas untuk mereka berdua, berukuran 7x8 meter dengan satu kamar mandi dan satu toilet.
“Denia, kamu ini aneh.  Nggak seperti orang lain di asrama ini.  Semua seperti nggak suka dengan gayaku tapi kenapa kamu enjoy aja?”  Hasna mengeluarkan unek-uneknya.
“Mbak Hasna orangnya baik suka nraktir, suka berbagi.  Bukankah itu sifat yang baik.  Mbak Hasna juga suka menghibur, bikin aku senang dan ikut ketawa.”
“Kamu menilai aku nggak jujur, ya?  Aku nggak sebaik penilaian kamu, lho.”
“Banyak karakter orang aku temui sepanjang hidup saya, Mbak.  Tetap Mbak Hasna itu orangnya baik dan nggak jahat sama Denia.”
Benar saja pengakuan Hasna.  Pernah saat Denia tidak ada jadwal kuliah diajak ke kampus Hasna.  Naik mobil harga menengah, Hasna memakai gamis dan hijab.  Begitu sampai di kampus, Hasna membuka hijabnya dan berganti dengan penampilan tomboy.  Ia langsung nongkrong di kantin dan ngobrol dengan temannya. 
“Mbak lima menit lagi jam 08.30. Nggak takut terlambat?”  Denia berusaha mengingatkan
“Tenang saja aku sudah bayar joki buat ngisi absen kehadiran.”
Denia berusaha tenang, tidak menampakkan keheranannya.  Dalam batinnya, Mbak Hasna cukup nyentrik.  Gaya mahasiswanya keren habis.  Buku diktat tebal di bawa ke kampus tapi mangkalnya di kantin.
“Sebentar aku mau manggil temen kuliah buat nemenin kita ngobrol.”
“Maksud, Mbak Hasna mau ngajakin mereka mbolos?”
“Iyalah Denia biar ntar kalau ujian aku nggak malu sendiri nilai jeblok.”
“Kalau jarang kuliah bagaimana bisa ngejawab ujian, Mbak?”
“Gampang tinggal ngopi bahan dari yang pada rajin, baca eskaes, beres deh!”
“Terus hasilnya gimana?”
“Lumayan Denia, C.  Asal lulus.  Kadang-kadang ngulang juga sih atau remedial pakai tugas.”
“Tambah sibuk, dong!”
“Nggak juga.  Tinggal bayar temen yang rajin, selesai deh tugasnya.”
“Apa banyak temen Mbak di kampus yang seperti Mbak Hasna?
“Aku termasuk manusia langka.  Masih menganggap aku baik Denia?”
“Mbak Hasna tetap lebih baik dari mereka yang pernah aku temui dalam hidupku.”
Hasna penasaran dengan orang-orang yang Denia temui dalam hidupnya.
Bibi Munah, Maruti, Bang Gofat, Arul, Tante Delima, Om Gentong.  Orang-orang yang membuat Hasna tetap mendapat predikat baik di mata Denia.  Sebelum berkisah, Denia tidak pernah lupa mendoakan Hasna untuk mendapat hikmah dan pelajaran sehingga dapat memperbaiki dirinya. 
Ahad, Senin, Selasa hari demi hari kisah itu mengalir seakan dongeng pengantar tidur buat Hasna.  Bahkan kadang terbawa mimpi sedih yang membuahkan igauan.  Tampaknya mimpi itu benar-benar menjalar ke alam bawah sadar Hasna.
             Sebagaimana cerita-ceritanya padaku, Denia sering kali tergugu mengenang bagian-bagian paling suram dalam hidupnya.  Di luar dugaan Denia, Hasna merespon kisah sedihnya dengan dekapan, bahkan menangis bersama tanda empati.
            “Denia, aku pikir kisah hidup yang kau ceritakan tadi hanya ada di sinetron.  Ternyata ada yang deritanya lebih dari itu.   Seorang anak kecil berumur enam tahun menjadi yatim piatu, hanya berdua dengan kakak yang hilang rasa kasih sayangnya karena penderitaan hidup.  Juga perlakuan kasar orang lain membentuk karakter kejam pada diri kakak yang seharusnya melindungi.  Berpindah asuhan bersama bibi yang hanya memeras tenaga dan memanfaatkannya untuk  memenuhi keinginan harta dunia.   Seorang diri di keramaian Jakarta.  Hampir terjual pada hidung belang.  Dijerumuskan pada kehidupan jalanan yang keras.  Hampir-hampir terenggut kegadisan dalam pergumulan nasib yang tak juga berpihak.  Kehilangan cinta pertama yang pedih, setelah kehilangan ayah dan ibu.  Justru yang membuat aku kagum, kamu bisa bertahan dan bangkit memperbaiki diri.  Sekarang bahkan telah mahasiswi di hadapanku kini.”
            “Semua itu karena kehadiran mereka yang masih mau dengan tulus mengulurkan tangannya, Mbak.  Kak Mutia dan keluarganya.  Pesantren Darul Akhirah yang menyayangi kami, yatama dengan tulus.  Bahkan mereka berlomba-lomba ingin menjadi tetangga Rasulullah di akhirat dengan menyayangi dan menyantuni anak yatim.”
            Hasna termenung dengan keadaan Denia kini.  Ia membandingkan dengan keadaan dirinya  penuh rasa malu.
            “Sedangkan aku, ibarat bumi dengan langit bila dibanding dengan keadaanmu.  Berada dalam keluarga kaya, berkecukupan, tidak pernah ditimpa ujian dan bencana.  Dilimpahi kemanjaan dan kasih sayang.  Apa sebutan kang pantas buatku selain kufur nikmat?”  Kesadaran itu mulai memasuki relung batin Hasna, bersama air mata yang telah sekian lama tidak membasuh keras hatinya.
            Denia begitu bahagia, berkali-kali ketukan yang menyadarkan itu membuat Hasna ingin berubah.
            “Denia, tolong ingatin aku saat aku khilaf.  Jangan sampai kau selalu menganggapku baik dan membiarkan aku berkubang dalam kesalahan, dosa dan kebodohan.”
            “Insyaallah, kita saling mengingatkan, ya, Mbak.  Selama masih ada godaan nafsu dan setan, siapapun bisa tergelincir, Mbak.  Sebaliknya selagi masih ada hati nurani dan nasihat yang baik, insyaallah selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri.”
            “Aku tahu kesalahanku Denia.  Aku selalu melawan kehendak baikku dan juga melawan arus nasihat ustazah di Pesantren Al Hidayah.”  Hasna berjalan gegas menuju cermin menarik tangan Denia untuk melihat refleksi mereka berdua.  Di cermin itu, ada dua sosok wanita cantik khas Jawa dan Sunda. ”Denia, katakan sesuatu yang akan menjadi nasihat baikku.”
“Mbak Hasna bisa menjawab sendiri dengan nasihat baik dari cermin ini.”
Hasna menyebutkan satu persatu nasihat baik dari hatinya, ustazah di Al Hidayah, juga cermin di depannya.   Rambut dan pakaian, kejujuran dan amanah, kecintaan pada ilmu dan nasihat baik, syukur pada tiap nikmat dan karunia.
 Mereka berpelukan lama…… bersama derai air mata kesadaran dan kesyukuran.   Hasna berkali-kali mengucapkan kata terimakasih. 
“Mbak, asy-syukru lillah, walhamdu lillah.  Allah yang berkehendak membuat Mbak Hasna berubah dan ingin memperbaiki diri.  Dia sayang sama Mbak Hasna.  Mbak Hasna harus sambut kasih sayangNya dengan cinta dan bahagia.”
***
            “Denia, bersyukurlah untuk tiap kisah hidup yang kita lalui.  Ternyata pada saatnya bisa menjadi jalan inspirasi buat sesama.  Bukankah saat kita menjadi jalan kebaikan orang lain, maka pahala jariah mengalir pada kita tanpa mengurangi pahala yang beramal kebaikan itu?”
            “Aamiin, betul Kak, ternyata apapun kisah yang Allah titipkan pada kita, semua indah buat dikenang selama kita menyikapinya dengan benar.”
            “Kenapa kamu jarang cerita kalau kamu ada masalah, kadang aku pingin tahu dan pingin mastiin kamu baik-baik saja.”
            Sabar lebih dekat pada solusi dari pada keluhan, Sabar adalah setengah dari solusi, setengahnya lagi ada pada kesabaran berikhtiar.   Kata Mas Hanif di ceramah youtubenya.  Keluhan itu justru menandakan kurangnya kesabaran dan menjauhkan dari solusi.”  Denia menyebutkan nasihat Mas Hanif yang kini sudah menjadi ustaz youtuber.
            Aku usap rambut denia lembut.  Dalam usianya yang ke-20 Denia makin dewasa.  Pantaslah dia jarang mengeluh dan bercerita selama di Yogyakarta.  Ternyata Denia sudah bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dengan lebih dewasa.

Glosarium
1. Thalabil ilmi minal mahdi ilalahdi=menuntut ilmu itu dari buaian hingga liang 
2. Asy-syukru lillah, walhamdu lillah=terimakasih dan pujian hanya untuk 
3. Kufur nikmat=mengingkari 
4. Jariah=amalan di dunia yang pahalanya terus mengalir hingga akhirat

Kisah ke-22 (NOVEL KCMS)


Kisah ke-22
HOLD MY HAND (III)
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#UsahKauLaraSendiri_KatonBagaskaraftRuthSahanaya

“Mbak, kita bersaudara dalam iman. Ikatan yang lebih kuat dari apapun. Berceritalah. Tangan Denia akan selalu terbuka buat Mbak Hasna. Di negeri asing ini kita harus saling bantu dan menguatkan. Hold my band, Mbak. Jangan biarkan beban itu Mbak bawa sendiri. Kita akan hadapi bersama. Asal Mbak percaya sama Denia. Semua akan berlalu. Fa inna ma’al 'usri yusra. Inna ma’al 'usri yusra. Itu janji Allah.” Cerita yang menggantung ini masih saja aku ingat, aku penasaran jadinya.
Pertanyaan yang ingin Denia sampaikan tentang poligami belum juga sempat kami bahas. Ceritanya masih menggantung dalam rekaan yang kadang muncul dengan sendirinya. Ah…risiko menjadi penulis novel dan narasi fiktif.
“Denia, pertanyaanmu tentang poligami belum sempat kamu sampaikan. Aku keburu penasaran dengan kisah Mbak Hasnamu itu.” Pesan wa aku kirim. Kali ini HP Denia sudah ketemu, Tenyata dipakai main sama Biru, tergeletak di kolong tempat tidur di tempat kos mereka. Habis baterai.
***
Berada di teras El Reda di musim panas sungguh menyenangkan. Menikmati angin semilir dengan suhu hangat diatas 20 derajat, sambil memanjakan mata. Memandangi bunga tulip yang sedang bermekaran penuh warna. Merah, kuning, jingga, ungu hingga blaster. Ternyata tulip tidak hanya di Belanda, di Jerman juga banyak terdapat bunga itu, mereka menyebutnya tulpe. Mereka menanam di pekarangan dan pot bunga. Juga di bagian depan restoran ini. Ada juga pohon sakura berbunga pink di pinggir jalan besar, masyaallah betapa indahnya pohon yang dipenuhi bunga menutupi seluruh rantingnya. Ada juga Forsythie, pohon berdaun kuning di dua sisi auning tiga meter dari teras El Reda. Suasana baru ini benar-benar memanjakanku.
Keasikan memandangi bunga-bunga itu makin nikmat dengan aroma makanan yang sudah dipesan Mbak Hasna. Aku tidak tahu nama makanan ini semua tampak asing. Aku lihat di menu ternyata namanya Djujeh, nasi putih yang panjangnya dua kali dengan nasi di Indonesia. Tomat yang bakar dan daging sapi grill panggang. Di wadah berbeda terdapat salad sayur dan buah.di Sayur dan buah. Aku jadi teringat hidangan Arab yang dibuat di Darul Akhirah saat ada tamu dari Kuwait . Pikirku nai-nasi ini mirip bihun. Mungkin bukan beras yang ditanak tapi tepung beras dibentuk mirip beras. Menu untuk Albiruni, Kubideh dengan porsi disesuaikan untuk seusianya. Minuman kami jeruk panas dan susu kambing buat Biru.
“Mbak Hasna, makanan ini biar Denia yang bayar,ya?”
“Nggak boleh Denia, aku yang ngajak kamu. Aku yang harus bertanggung jawab.” Mbak Hasna tersenyum. Kebiasaan mentraktinnya tidak pernah berubah.
“Maaf, ya, Mbak, aku jadi ngerepotin Mbak Hasna. Aku sudah nggak sesusah dulu. Mbak. Udah waktunya aku yang nraktir. Giliran.”
“Tidak buat sekarang, Denia. Entah kalau besok atau lusa.”
“Kalau Denia boleh apa yang membuat Mbak Hasna menangis? Aku akan mendengarkan kesulitan Mbak Hasna.”
Mbak Hasna menarik napas panjang. “Apakah Bagas sering bercerita tentang aku, Denia.”
“Iya, Mbak.”
“Dan kamu tidak marah padaku?”
“Aku sudah memilih rasa marahku hanya untuk hal-hal yang sifatnya salah dan dosa pada Allah. Bila menurut ketentuan hukumNya tidak ada salah dan dosa, Denia nggak akan marah, Mbak.”
“Maksudnya?” Mbak Hasna belum memahami apa yang aku sampaikan.
“Selama undangan Mbak Hasna bukan hubungan pacaran dan bertemunya tidak berdua-duaan kenapa harus marah?”
Mbak Hasna terdiam sesaat, memilih kat-kata yang tepat upaya aku tidak tersinggung. “Kalau aku menaruh simpati pada Bagas gimana?”
Aku terdiam. Suapan itu seakan tertahan. Aku menyibukkan diri dengan menyuapkan Kubideh untuk Biru.
“Maafkan aku Denia, aku memang tak tahu diri. Menaruh simpati pada orang yang sudah memiliki istri.”
“Tak mengapa, Mbak. Aku senang Mbak Hasna terbuka pada Denia. Banyak kasus poligami yang berbalut kebohongan akhirnya menyisakan masalah yang panjang, perpecahan, perceraian hingga permusuhan yang berkepanjangan. Yang membuat aku heran justru kenapa Mbak Hasna menjatuhkan pilihan pada Mas Bagas. Perbedaan status sosial, pendidikan dan kekayaan antara Mbak Hana dan Mas Bagas bagai bumi dengan langit.”
Mbak Hasna akhirnya bercerita tentang penderitaan hidup yang tidak pernah dia mengerti apa penyebabnya.
“Sebenarnya beberapa orang yang menginginkanku. Setelah lulus S1 ada Mas Rangga. Tapi pernikahan kami gagal di jalan raya. Rombongan khitbah Mas Rangga kecelakaan dan masuk jurang. Empat bulan berikutnya, Mas Dipo menikahi aku, dia meninggal di malam pertama kami. Terus terang aku trauma dengan dua peristiwa ini. Yang terakhir Bang Rianto, tiba-tiba membatalkan pernikahan sehari sebelum rencana pernikahan kami langsungkan. “ Air mata Mbak Hasna kembali berlinang. Mengenang pahitnya hidup yang harus dijalaninya. Antara trauma, kecewa, takut dan keinginan berkeluarga menarik-narik kehendak hatinya menjadi gamang. ”Sementara undangan sudah tersebar. Semua gagal. Akhirnya aku berkonsultasi pada seorang ustaz ahli rukyat. Katanya ada jin yang menggangguku. Cirinya aku sering merinding sendiri, merasa diikuti dan merasa sakit tiba-tiba di bagian tubuh yang berpindah-pindah. Semua yang dikatakan ustaz itu memang benar. Semua aku rasakan sejak memasuki masa balig. Ketika aku tanyakan solusinya, aku akan sembuh bila dirukyat sama calon suami yang Allah tulis di lauh mahfuz. Untuk menghilangkan segala rasa kecewa itu, aku pergi jauh ke Jerman ini. Mengubur luka, melupakan kegagalan demi kegagalan”
“Lalu apa hubungannya dengan Mas Bagas?” Aku penasaran dan memotong cerita Mbak Hasna.
“Aku sering mencari tahu siapa orang-orang yang bisa merukyah di Jerman ini. Beberapa sudah aku coba dan semua gagal. Kecuali ketika Bagas merukyatku dengan doa Maktsurat Kubra. Aku sembuh hingga kini. Segera aku istiharah untuk hal yang membingungkan ini. Bagas yang lebih muda. Dia sudah beristri. Dan istrinya ternyata teman terbaikku. Bagaimana aku harus menyikapi dilemma ini Denia. Kalau aku boleh memilih, aku nggak ingin memiliki garis hidup seperti ini.
“Lalu tentang tumor yang ada di rahim Mbak Hasna?”
“Itulah musibah yang kualami. Gangguan gaib itu belum epenuhnya akan hilang sampai aku menikah dengan jodohku. Gangguan itu berpindah ke rahim menjadi tumor yang akan terus membesar.”
“Kenapa tidak dioperasi saja, Mbak?”
“Ustaz itu bilang, pemeriksaan medis tidak akan mampu mendeteksi tumor itu. Tapi ahli rukyat dan si penderita sendiri yang akan merasakannya. Benar saja, aku sudah berusaha memeriksakan rahimku. Semua baik-baik saja. Tapi bahayanya sama dengan tumor. Aku sudah mulai merasakan sakit itu”
Aku tidak heran dengan kisah Mbak Hasna. Gangguan makhluk lain seperti jin dan setan dibahas khusus dalam kitab-kitab salaf dan aku pernah mempelajarinya di Darul Akhirah. Dari wajahnya pun aku bisa menyimpulkan ada yang dirasa di badan Mbak Hasna.
“Mbak bilang tadi sudah mencoba istikharah. Hasilnya bagaimana, Mbak?”
“Aku malu denganmu Denia. Kau begitu baik tapi aku malah membalas dengan sesuatu yang mungkin menyakitimu bahkan membuat kamu marah. Bahkan mungkin merusak kebahagiaan dan keutuhan rumah tanggamu. Aku pantas buat dihujat, Denia.” Mbak Hasna berlari menuju mobil Porchenya. Aku kebingungan harus bagaimana menenangkan Mbak Hasna. Aku gendong Biru dan mendekati kasir, menanyakan harga yang harus aku bayar.


“Bestellnummer 47 hat sich gelohnt Ma'am.” Aku hanya paham sebagian kata-kata itu, sudah dibayar katanya.
Aku bergegas menuju Porsche Mbak Hasna. Dia sedang menangis terguncang-guncang. Suara tangis yang tertahan itu membuatku pilu. Aku pilih kata yang tepat untuk menenangkan hatinya.
“Mbak, Denia nggak punya anggapan seperti yang Mbak Hasna sangkakan. Hanya saja Denia perlu memahami dan mempelajari keluarga poligami lebih dalam. Supaya kita siap menjalani apapun manis pahitnya rumah tangga kita nanti. Aku berjanji akan segera memberi jawaban. Mbak Hasna sabar dulu dengan sakit yang Mbak Hasna rasakan. Insyaalah aku akan memberi jawaban seminggu setelah pertemuan kita. Aku juga butuh waktu menyamakan persepsi dengan Mas Bagas.”
Mbak Hasna memelukku sepenuh perasaan. Hangat, lebih dari yang aku rasakan saat Mbak Hasna menemukan hidayah ketika masih kuliah dulu.
***
Denia mengakhiri kisahnya sebelum kami sempat berdiskusi tentang poligami. Jarak memang menjadi perhambat utama kami.
Kesimpulan sementar yang aku pikirkan waktu Denia mau berangkat meninggalkan tanah air perlahan menemukan kebenarannya. Mungkin aku yang bercita-cita membangun rumah tangga poligami tapi denia yang memiliki garis takdir itu.
Ingin ekali aku katakan, "Denia kamu beruntung sekali. Ada seseorang mau menjadi yang kedua buat Bagas. kalian memiliki kesempatan yang langka ini" Sedangkan aku sudah berkali-kali menyampaikan niat ke sesama akhwan, mereka selalu menolak. Alasannya macam-macam. Katanya mereka tidak ingin menjadi pesaingku. Ada juga yang menganggap aku sudah sempurna menjadi pendamping Mas Lukman dan takut kalah bersaing denganku. Ah....ada-ada saja, tujuanku membangun keluarga poligami semata-mata ingin membela rasulullah dari penghinaan kaum orientalis dan antisyariat. Hatiku selalu mendidih bila mereka menganggap salah rumah tangga yang dicontoh nabi. Mereka malah salah niat. Mungkin mereka menganggapku aneh dan mengalihkan niatku dengan candaan mereka.





Kisah Ke-23 (NOVEL KCMS)


Kisah Ke-23
KERINDUAN DENIA
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Surti-Tejo, Jamrud
Pengumuman SBMPTN yang menggembirakan membuat kami semangat untuk menyiapkan egala keperluan kuliah Denia. Kami menyesuaikan dengan syarat minimum perlengkapan yang harus di bawa ke pesantren ikhwahku, Ukhti Shofia. Aku memilih Al Hidayah karena kedisiplinannya juga aku tenang menitipkan adikku ke pemilik pesantren yang aku kenal baik dengannya. Kabarnya, gaya hidup bebas mahasiswa sekarang makin sulit dikendalikan. Globalisasi melalui sarana komunikasi menjadi penyebab utamanya.
Sampai dua pekan menjelang keberangkatan Denia, sembilan puluh persen persiapan sudah beres. Dua lembar selimut, dua bantal, satu guling, lima setelan gamis syar’i, dua pasang mukena, lima setel baju tidur, dua sajadah, selusin pakaian dalam. Tidak lupa seperangkat perlengkapan toileters. Perlengkapan ATK dan juga laptop.
“Apa lagi yang masih kurang, Denia?”
“Rasanya sudah, Kak. Tapi boleh Denia meminta?”
“Bilang aja, sayang. Kak Mutia sudah lama menyiapkan tabungan buat kamu kuliah. Ditambah dengan tabungan kamu di Darul Akhirah, lebih dari cukup.”
“Aku ingin pamitan sama Bibi Munah. Bagaimanapun dia adik ayah saya. Ada bagian darahku dan darahnya yang masih terikat nasab.”
Aku terdiam, Denia memang istimewa. Tidak ada siratan dendam dalam perkataan dan sorot matanya yang bening.
“Kamu yakin nggak akan timbul masalah di sana?”
“Denia selalu berdoa untuk kebaikan mereka. Aku yakin selalu ada titik balik hambanya untuk berubah dan menjadi baik. Semoga keadaan ekonomi mereka makin baik. Kepahaman agamanya pun makin membuat mereka bahagia.”
Kuraih pundak Denia yang duduk di sebelah kananku di sofa ruang tamu. Aku berjanji akan mengantarnya ke alamat yang di dapatnya dari akun Facebook, Mumun Maemunah. Tidak banyak keterangan yang diperoleh dari profil pemilik akun itu kecuali nomor telpon dan alamat.
“Alhamdudillah, Kak. Aku yakin ini Bibi Munah. Sudah banyak yang berubah. Jauh lebih baik.”
Denia begitu bahagia, ketulusan cintanya pada sesama terpancar saat ekspresi bahagia mengembangkan senyumnya saat mengetahui kabar gembira dari orang lain. Sebaliknya, air matanya kadang mudah menetes saat mendengar derita orang lain. Aku merasa bertuah mengambilnya dari jalanan.
Aku mengantar Denia mencari alamat Bibi Munah, menggunakan motor untuk menghindari kemacetan. Aku memacu sepeda motor sementar Denia memegang android pertamaku dan memandu arah dari google map.
Berangkat dari Kalibata City, keluar dari bundaran ke Jalan Bulevar 130 m, Jalan Bulevar selatan 50 m, belok kanan ke Jalan Raya Perjuangan 80 m, belok kiri ke Jalan Baru Perjuangan 550 m, belok kiri lagi ke Jalan KH. Agus Salim 750 m, ke kanan Mekar Sari 550 m, ke kiri memasuki Bekasi Permai 17 sepanjang 230 m ke kanan Jalan Bekasi Permai Atas nomor 21. Tidak terlalu susah mencari alamat ini butuh waktu hanya 30 menit. Sepuluh menit lebih cepat daripada menggunakan mobil
“Sudah sampai, Kak ini alamat yang ada di profil FB. Ada usaha ayam Kremes Bi Mae. Alhamdulillah.”
Aku matikan mesin, memasang standard, mencabut kunci motor, melepas helm dan merapikan jilbab.
Denia agak ragu memasuki teras rumah. Rumah bertingkat dua catnya orange. Pintu bercat coklat tua. Langkah satu-satu Denia ragu menapaki keramik putih. Tampaknya rumah ini benar-benar asing untuk Denia.
“Denia kalau kamu ragu, sebaiknya kita makan di warung makannya saja, yuk. Lagi pula Kak Mutia belum makan.”
Kami memasuki warung nasi ayam di sebelah rumah itu cukup ramai pengunjungnya. Aku memesan paket makan ayam geprek lengkap dengan lalap dan sambal hijaunya. Mengundang selera buat perutku yang keroncongan.
Denia yakin yang melayani itu Bibi Munah. Denia menahan rasa ingin menyapa. Takut mengganggu kesibukannya melayani pelanggan.
“Denia, kalau kamu yakin, langsung aja salami Bibi Munah.” Aku bicara setengah berbisik.
“Takut ngganggu, Kak. Lagi pula Bibi Munah orangnya mudah merasa terganggu.” Denia makin dewasa dan penyabar. Tidak salah aku titipkan ke Darul Akhirah.
Pelanggan satu persatu meninggalkan warung ini. Bibi Munah duduk bersandar di sofa dekat gerobak penyajian. Sesekali dia memperhatikan kami. Mungkinkah dia masih mengenali Denia.
"Kak, makanan kita sudah dibayar? Malu pas aku bilangin aku keponakannya ntar digratisin. Nggak enak, Kak. Bisnis is bisnis. " Denia nyengir.
"Tenang Denia, udah beres. " Denia segera berdiri menghampiri Bibi Munah.
"Assalamualaikum, Bu. Benar Ibu namanya Ibu Maemunah? "
"Waalaikum salam, benar, Neng. Neng kenal saya? " tanyanya ramah. Sangat jauh dari cerita kekejaman Bi Munah sepuluh tahun silam. Manusia memang punya titik baliknya masing-masing. Kembali ke jalan Allah dan memenuhi panggilan kasihNya.
"Ibu asalnya dari Kampung Cijulang Subang? "
"Betul. Emang ada apa, ya?"
"Bibi, saya Denia. Keponakan Bi Munah. Maafin Denia dan Kang Arul udah kabur delapan tahun yang lalu. Pasti kami membuat Bibi kebingungan mencari kami." Kalimat Denia tidak menyembunyikan dendam sama sekali. Luar biasa.Harapan dan baik sangkanya melebihi kekhawatiran mendapat perlakuan buruk Bi Munah. Ternyata kekuatan doa untuk kebaikan orang lain menjadi kekuatan positif.
"Denia, kau sudah besar, Nak. Pantaslah dari tadi aku seperti melihat Teh Wulan di depanku. Maafin Bibi sudah berbuat salah sama kamu dan Arul. Aku bukan orang tua yang baik."
Denia mencium tangan Bi Munah. Kemudian Bi Munah menciumi Denia penuh rindu dan penyesalan. Pertemuan mengharukan itu membuatku hampir menangis. "Terimakasih ya Allah. Kau kembalikan Denia. Kamu makin cantik   Denia mirip sekali dengan Teh Wulan, ibu kamu. Ini siapa, Denia? "
Bi Munah mengalihkan perhatiannya padaku.
            "Ini malaikat tak bersayap yang selalu sayang sama Denia. Namanya Kak Mutiara. Hatinya seindah namanya, Bi."
Pujian Denia membuat wajahku merona. "Denia terlalu berlebihan Bu. Justru saya menumpang berkah dari pertemuan kami. Banyak kemudahan yang Allah karuniakan sejak saya bertemu Denia."
"Kami banyak mengalami kejadian seru. Banyak suka dukanya. Tapi Kak Mutia selalu ingat yang indah-indahnya saja. Dari Kak Mutia Denia banyak belajar. Juga bagaimana cara bersyukur."
Bi Munah mengajak kami memasuki rumahnya. Kami duduk di sofa di ruang tamu. Cukup luas dan nyaman. Dingin ruangan ber-AC iru benar-benar membuat kami merasa adem. Bibi Munah mengeluarkan es jus mangga dari warung makannya.
"Bagaimana kabar Maruti, Bi?" "Maruti sudah menikah tapi gagal dan cerai dengan suaminya."
"Kalau boleh tahu iapa yang beruntung bisa mendampingi Maruti, Bi?" tanya Denia ingin tahu banyak hal tentang satu-satunya kerabat yang masih ada.
“Dengan Arul, kakakmu. Maruti terpaksa Bibi nikahkan karena pacarnya nggak mau bertanggung jawab. Beruntung Arul mau menutup aib kami sementara waktu. "
"Bibi, bukankah pernikahan seperti itu tidak sah? Apa lagi Kang Arul bukan bapak janin itu." Meskipun Denia selalu berusaha menjaga perasaan, tapi dia cukup berani mengutarakan hal-hal yang melanggar prinsip kebenaran.
"Kami kalut Denia. Dan banyak perkara hukum yang kami tidak paham. Kalaupun tahu, kami sekedar tahu, bukan untuk diamalkan. " Mendengar perkataan Bi Munah, hatiku miris. Beginikah tingkat keimanan orang-orang pada umumnya? Tugas dakwah yang sangat berat.
"Kang Arul sendiri kemana, Bi? Aku pikir Kang Arul nggak akan menemui Bibi setelah perpisahan kami di halte waktu itu."
"Arul pergi begitu Maruti melahirkan."
"Wah, berarti aku punya keponakan? "
"Anak itu dibawa Arul karena Maruti tidak memiliki sifat keibuan sama sekali." Cerita demi cerita yang cukup rumit dan panjang mewarnai obrolan kerabat yang sudah lama tak berjumpa itu.
Sejak perceraian itu kelakuannya bikin Bibi makin pusing. Pekerjaannya makan tidur nonton atau pergiain dengan kawan-kawan sekomunitasnya yang pada aneh." Bi Munah mengeluarkan semua unek-unek yang dipendam tentang anak semata wayangnya.
"Kalau Mang Karna dimana, Bi?"
“Mang Karna sudah meninggal. Gagal ginjal sradium lima kata dokter. Cuci darah tiap dua pekan. Akhirnya Mang menyerah karena sudah tidak ada biaya buat cuci darah." Bibi Munah bercerita sedih. "Oya, Maruti tadi bilang pingin ketemu kamu. Dia lagi nggak enak badan di kamarnya. Gih, kamu temui dulu dia."
“Kalau begitu boleh kami ikut istirahat, Bi?” tanyaku pada Bi Munah. Rasa mengantuk ini harus aku larutkan dalam kailulah yang sudah biasa aku dawamkan.
“Ya sudah, istirahat di kamar Maruti saja. Kamarnya cukup luas dan ada toiletnya di dalam. Biar kalian leluasa.
Kami memasuki kamar Maruti. Kamar itu sedikit aneh, tidak seperti kamar perempuan. Dicat coklat tua. Di sana-sini gambar grup cadas dari luar negeri juga grup band dalam negeri. Ruangan itu gelap dengan lampu kemerahan. Rasanya kamar ini sangat mengerikan. Tapi rasa mengantuk membuatku tak peduli. Daripada kami pulang dalam keadaan mengantuk akan sangat berbahaya.
Aku biarkan Denia melepas rindu dengan sepupunya. Aku tidak banyak bicara kecuali memperkenalkan diri dan meminta izin tidur sejenak. Selebihnya aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan.
***
“Kak Mutia, bangun Kak! Ayo kita pulang sekarang juga.” Denia mengguncang-guncangkan badanku seperti orang kesurupan. Takut bukan alang kepalang. Jilbabnya acak-acakan. Pakaian atasnya terbuka. Sambil berlari Denia merapikan gamis bagian atas yang terbuka. Aku membantu membenahi resleting belakang hingga sempurna tutup auratnya.
Aku yang terbangun dari tidur pulas, terjaga dalam keadaan kaget. Jantungku berdebar kencang seperti baru terbangun dari mimpi buruk.
“Ada apa Denia?” Aku bergegas merapikan pakaian dan jilbab. Keluar kamar sangar itu. Sementara Maruti terkekeh tidak jelas.
Denia menemui Bibi Munah, mencium tangannya dan berpamitan.
“Denia, sebentar Bibi sudah menyiapkan oleh-oleh bekal kamu kuliah di Jogja.”
Yang diajak bicara tidak memedulikan teriakan bibinya. “Lain kali aja, Bi. Denia kemari lagi gampang.”
Bibi Munah terheran-heran tak terkecuali aku.
            “Denia kamu ini kenapa? Jantungku hampir copot tau?” Aku sewot sambil memacu motorku.
“Maruti, Mbak. Saat aku tertidur dia memperlakukan aku seperti aku ini suaminya. Naudzubillah. Itu rupanya yang Bi Munah ceritakan bahwa dia punya komunitas aneh. LGBT.”
“Pantaslah kamarnya terlalu maskulin, sangar malahan. Itu ladang dakwah kita Denia, punya saudara yang terlibat perbuatan fahsya dan mungkar.”
Denia menarik napas panjang. Ada beban berat di pundaknya, kewajiban untuk menjadi orang yang selamat dan menyelamatkan sesamanya. Sifat yang melekat dalam diri Denia, buah dari menimba ilmu di Darul Akhirah. Ditambah lagi diskusi-diskusi panjang kami bertiga. Aku, Denia dan Mas Lukman.
Glosarium:
1. Naudzubillah=Kami berlindung pada Allah
2. Kailulah=Istirahat siang supaya kuat bangun tahajut
3. Fahsya=Maksiat dan dosa yang merugikan diri sendiri
4. Munkar=Maksiat dan dosa yang merugikan orang lain
5. Dawam=Perbuatan yang terus menerus



IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...