Jumat, 05 April 2019

Cerpen FLP-SENYUM TERAKHIR-Chintia Maulida


SENYUM TERAKHIR
By: Chyntia Maulida
          
            Di bawah terik panasnya matahari yang menyengat kuat.  Merasuk ke dalam  tubuh ini.  Aku berlari-lari menuju rumah sehabis pulang dari Madrasah Aliyyah Al-Azhari.  Ya, itulah Madrasah tempat ku mencari ilmu.  Jaraknya tak jauh dari rumahku.
            Kulangkahkan kakiku cepat-cepat.   Tenagaku mulai terkuras dan tanpa terasa sudah tiba di depan gerbang rumahku yang menjulang tinggi.
            “Pak Dudung, tolong bukakan gerbangnya!”seruku dari luar.
            “Baik, Non,!” jawabnya seraya membukakan pintu gerbang untukku.
            “Assalamu’alaikum, Pak Dudung, Bi Enah,” ucapku penuh semangat.
            “Wa’alaikum salam, Non.  Mari masuk ke dalam!” ajak Bi Enah kepadaku yang tepat berada di ambang pintu utama masuk. Ku lepaskan sepatu, lantas menyusul Bi Enah yang telah masuk terlebih dahulu.
         Aku langsung meneruskan langkahku menuju kamarku.  Namun,tepat ketika ku di ambang pintu Bibi berseru.
            “Non, saat ini Bibi akan menyiapkan makan siangnya.”
“Baiklah Bi, selepas Shira sholat dzuhur,Shira akan makan siang” jawabku padanya sambil kubuka pintu kamarku. Namun, dikarenakan hari itu yang cukup membuatku lelah sehingga usai sholat dzuhurku, aku tak kuasa menahan rasa kantuk.  Akhirnya aku tertidur pulas di atas hamparan sajadah.
            Tiba –tiba ...
            “Shira...Shiraa...”  terdengar bisikan ghaib yang memanggil manggil namaku.
            “Nak, gunakanlah kesempatanmu sebaik mungkin. Ini merupakan suatu anugrah dari Sang Pencipta.”
            Tak lama kemudian munculah berbagai macam bayangan putih abstrak dari berbagai sudut.  Kulihat bayangan itu seakan-akan menghampiriku. Yang membuatku merasa terhempas sejenak di suatu tempat yang  penuh kedamaian.
            “Dimanakah aku?  Siapa kau?  Siapakah kau..?”  Aku bertanya-tanya seraya mencari-cari sumber suara bisikan yang memanggil-manggil namaku.
            “Non,Non,Non Shira bangun, Non!!!” Begitulah suara Bibi yang berusaha membangunkanku dari tidurku.
            “Bi,Bi,Bibi...?”  Jawabku yang gugup sambil terengah-engah menghela nafas.  Ketengok tiap sudut kamar tidurku.
            “Apa yang telah terjadi Non...?” tanya bibi, mengernyitkan keningnya itu.
            “Tidak Bi,mungkin aku hanya terlalu lelah saja,” jawabku seraya menyembunyikan apa yang sebenarnya telah terjadi, di dalam mimpi tidur siangku.
            “Oh ya, Non, ini sudah Bibi siapkan makan siangnya.  Dimakan, ya Non!” ujar  bibi yang menyuruhku untuk makan siang.  Ketika aku mengigau, Bi Enahlah yang sudah ada di sampingku.  Sambil membawa makan siang untukku dan segelas air putih dingin kesukaanku.
            “Baiklah, terimakasih, ya Bi.  Pastilah aku akan memakan masakan Bibi yang enak  ini,” balasku meyakinkannya.
            Selang beberapa menit kemudian, aku telah menghabiskan makan siang di kamar.  Aku langsung beranjak  pergi menuju pekarangan depan rumahku. Disana, mulai terbesit kembali pertanyaan mengenai mimpi yang penuh misteri tadi.
             Apakah makna di balik mimpiku tadi, ya Allah?  Kuyakin pasti Kau selipkan teka-teki dibalik mimpi tersebut.  Kuyakin pasti kubisa pecahkan teka-teki ini, dengan caraku sendiri. Gumamku sedikit menerawang langit yang biru ini.
            Tanpa kusadari, tepukan ringan diatas kedua bahuku membuatku terkejut.  Putuslah lamunaku tentang mimpi itu.
            “Kamu mengagetkanku saja! ”sungutku tak suka. Lantas dia duduk di sampingku, menatapku heran karena melihat aku duduk di sini sendiri.
            “Shira, janganlah kau marah? Kedatanganku kemari hanya ingin menjumpaimu saja dan sedikit sharing seperti biasa denganmu..”  jelasnya seraya berusaha untuk meyakinkanku.
            “Apa yang kau ingin sharing-kan kepadaku saat ini?”  Aku bertanya pada sahabatku dengan sedikit rasa jengkelku yang tersisa.
            “Tidak.  Aku hanya heran saja padamu?! Tidakkah kau merasa kesepian? Ketika kedua orangtuamu sibuk bekerja, dan kau kurang mendapat perhatian seperti sekarang ini......” Dia berhenti sejenak,” Masihkah kau ingat ketika nenekmu masih tinggal bersama keluargamu?  Kurasa disaat itu, kau perlu mendapat perhatian sebagaimana mestinya,Shir.” Dia melanjutkan, seraya mengalihkan pembicaraan baru.
            “Ada benarnya juga kau, Vina!? Lagipula keluargaku sepertinya,tidak ada yang bisa meluangkan waktunya untukku.  Mungkin mereka terlalu hanyut di dalam dunia pekerjaannya, sehingga sudah hampir melupakan keadaan anaknya sendiri,” ujarku  menyetujui ide sahabatku. “Vin, gimana kalau besok kita siap-siap berangkat ke rumah nenek?” Tawarku sedikit menggodanya.
            “Apa? Kamu yakin hanya kita berdua saja?  Tak adakah orang yang bisa kau andalkan untuk mendampingi kita?” jawabnya sedikit terkejut diiringi wajah yang berbinar.
            “Sudahlah Vin,kau tak perlu mengkhawatirkan hal itu.  Lagipula besok sekolah kita akan mengadakan acara pengayaan untuk kelas duabelas.  Kita memiliki waktu selama 3 hari kedepan. Urusan ongkos, aku yang akan menanggungnya.”
            “Baiklah bila seperti itu, aku percayakan padamu.”
 Tak lama dari itu, Vina langsung pamit pulang karena waktu Asar hampir tiba.      “Assalamu’alaikum!”  Ucapnya sambil melambaikan tangannya.
            “Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan. Jalanan saat ini sedang ramai.  Rawan kecelakaan di jalan raya. Take care of yourself!”
            “OK, thank’s”
ZZZZ

            Keesokan harinya, aku sedikit mengendap-endap untuk keluar gerbang rumah.  Tak kuhiraukan gendongan tas ranselku. Selagi Pak Dudung terjaga di pos satpam.
Ternyata, Vina sudah menungguku di depan gerbang. Dengan hati yang gelisah,ia tengok kanan-kiri untuk sedikit berjaga-jaga. Kulihat siluet tubuh sahabatku, langsung kuraih jemarinya itu.
            “Cepat Shira, masuklah ke dalam.  Mumpung belum ketahuan satpam kamu,” ajaknya menunjuk ke sebuah angkutan umum.  Dengan kendaraan ini, kami akan menuju ke halte bis terlebih dahulu sebelum bis datang. “Jangan lupa kasih kabar orang tuamu kalau kita ke rumah nenemu.  Kasihan mereka ntar cemas.”  Vina mengingatkan
            “Tenang Vina, aku sudah isi penuh pulsa Androidku.”
Setibanya di halte bis, aku dan Vina segera mencari jurusan bis yang menuju Tangerang.  Di kota itu nenekku berada.  Aku dan Vina memilih tempat duduk yang nyaman. Sepanjang perjalanan, kami tertidur pulas.
Bis berhenti di tempat tujuan.  Aku bersama Vina ikut terbangun karena ada goncangan kecil yang mengiringi tidur kami. Kami pun turun.  Dengan sedikit berjalan kaki kami menuju lokasi rumah nenek.  Halte tempat kami turun tidak terlalu jauh dari rumah nenekku.
Selama perjalananku dengan Vina menuju rumah nenek, terdapat sesuatu yang membuat diri ini tertegun kembali. Ketika aku dan Vina akan melangkahkan kaki untuk menyebrangi jalan raya yang cukup lebar dan ramai, tiba-tiba tepat kepala belakangku terasa sakit yang sangat dahsyat.  Di saat itu pula gambaran suatu kejadian kecelakaan dapat kulihat sangat jelas.  Sebuah mobil menabrak sebuah motor.  Sungguh tragis semua itu.  Disaat itu pula tubuhku langsung terasa menggigil teramat sangat.
            “Shira, kau baik-baik saja?” tanya Vina padaku dengan cemas pada apa yang kualami.
            “Tidak, Vin!  Aku hanya merasakan hal yang aneh akhir-akhir ini!” jawabku pada sahabatku itu.
Dan tak lama kemudian..... BRUUKKKKKKKKKKK!!!!!(suara yamg mengejutkan pun datang dengan tiba-tiba)
Benar saja.  Apa yang sempat tergambarkan di benak pikiranku tadi.  Kini semua itu benar-benar terjadi.   Sebuah kecelakaan.  Tabrakan sebuah mobil avanza dengan vesva tepat berada di jalan yang akan aku dan Vina lintasi.
            Tak ku sangka semua ini sungguh benar-benar terjadi.  Apakah dibalik semua ini mengandung arti yang harus kucari sendiri?
“Ayo, Vin! Kita lanjutkan kembali, sebentar lagi kita sampai di rumah nenekku!” ajakku seraya memegang lengan tangan kanannya.
            Tidak terasa di sela pebincangan kami sepanjang perjalanan, tidak sampai lima menit,  kami sudah tiba tepat di depan pekarangan rumah Nenek.
            “Assalamu’alaikum, Nek?” ucapku dengan penuh kasih cinta
            “Wa’alaikum salam.  Cucuku, bagaimana kabarmu?” jawabnya dengan lembut
            “Alhamdulillah Nek, aku sehat wal’afiyat. Oh ya, Nek, aku kemari tidak sendiri melainkan.  Ini sahabatku Vina, mumpung di sekolah diliburkan.”
            “Nenek masih ingat saya?  Vina teman sepermainan Shira waktu kecil,” jelas Vina seaya mengulurkan tangannya dan mencium tangan nenek. Takzim.
            “Oh iya, Nenek ingat.  Tapi kenapa kalian nggak diantar ayahmu atau Pak Dudung, satpam rumahmu?” tanya nenek cemas.  Mungkin nenek khawatir aku kabur.
“Tenang, Nek.  Ada ini.”  Aku menunjukkan iPhone yang seta menemaniku.
“Shira, Nenek rasa meminta izin dengan hp itu kurang baik, kurang santun.  Apalagi ini dengan kedua orang tuamu.”
Aku mengaku bersalah dan tidak akan mengulangi hal ini lagi.
Kami berbincang-bincang melepas kerinduan.  Tidak terasa adzan Ahar mengalun merdu.  Menyapa kami untuk memenuhi panggilanNya.  Kami mengambil air wudhu dan melaksanakan salat Asar berjama’ah. 
Aku masih berada dalam keadaan duduk di atas sajadahku.  Aku masih terpikirkan tentang kecelakaan yang terjadi saat perjalanan menuju kemari.   Sekilas  aku sempat bertanya-tanya.  Mengapa apa yang ada dalam benakku bisa menjadi kenyataan?  Seolah Alloh memberitahuku sebelum peristiwa itu terjadi.  Aku dipenuhi rasa heran. 
Vina sudah pergi beranjak dari mushola menuju ke kamar.  Sedangkan aku masih memilih untuk merenungkan kembali kejadian yang sulit untuk kupercaya. Ya Alloh, aku yakin semua itu terjadi atas kehendakMU.  Maka dari itu, jauhkanlah dan selamatkanlah kami dari marabahaya.  Hatiku bermunajat meminta perlindungan padaNYA.
Sore hari ini kami kelelahan.  Vina tak dapat menahan kantuknya.  Sahabat baikku itu tidur terlelap.  Begitu pula dengan diriku,  aku pun tertidur dengan nyenyak pula.  Lupa dengan pesan nenek untuk tidak tidur selepas Asar.  Tidak baik untuk kesehatan jiwa, katanya.
Waktu makan malam tiba, aku dan Vina segera beranjak menuju meja makan. Aku tertegun melihat masakan istimewa kesukaanku sudah tertata rapi.  Sate daun singkong, Semur nangka muda, dadar telor petai, asin tipis renyah, lalap mentahan dan sambal hijau.  Hmmm, mengundang selera makanku.
            “Nenek, kok tidak makan malam bersama dengan kita?” tanyaku pada Nenek.
            “Untuk saat ini, Nenek masih merasa kenyang, Shira,” jawabnya seraya meyakinkanku
            “Baiklah,  Shira sama Vina makan dulu ya, Nek.” jawabku yang singkat walaupun sebenarnya aku yakin bahwa Nenek sebenarnya belum makan malam.
            Taburan bintang-bintang di heningnya suasana malam. Ketika itu, aku ingin bercerita kepada Nenek.  Tentang sesuatu yang selama ini membuat hati terganjal. Namun, apalah daya saat ku buka pintu kamar nenek perlahan-lahan, kumendapati Nenek sudah tertidur pulas. Lalu kulihat dibalik wajahnya yang sudah mulai berkeriput, rasa lelah yang terlihat olehku. Aku beranikan mencium kening nenek penuh cinta kasih.  Semoga nenek tidak terusik dari istirahatnya.
            “Selamat tidur,Nek.  Aku sangat menyayangi Nenek.”  
ZZZZ
Pagi hari yang sejuk......Kampung ini terselimuti dinginnya embun seci.  Susu putih hangat pun telah tersaji.
”Shira ajak teman kamu untuk segera minum susu hangat!” Bujuk Nenek kepadaku sambil tersenyum sangat manais.  Belum pernah senyum nenek seindah ini.
            “Baiklah,Nek.  Aku dan Vina akan segera kesana.” Sahutku dari dalam kamar.
Setelah kami meminum susu hangat, aku merasakan suasana yang tak seperti biasanya. Nampak dari aura Nenek yang memancarkan binar-binar mata ketentraman.  Walaupun dalam kesendiriaannyaa di rumah besar ini, keikhlasan telah cukup membahagiakannya.  Aku tahu nenek melakukan  segala sesuatunya sendiri. Akan tetapi, wanita separubaya itu tidak mengeluh sedikit pun.  Pertanada ia telah berhasil melewati semuanya berkat pertolongan ALLAH.
            Ketika aku melihat matanya yang meneduhkan itu, aku enggan untuk bercerita tentang masalah yang menimpaku.  Tidak tega rasanya bebannya yang sudah cukup berat ditambah dengan masalah yang kuhadapi.
Hari berikutnya aku dan Vina berencana membuatkan Nenek sesuatu yaitu kue pukis kesukaannya.
            “Vina, kau tahu kan, besok kita harus pulang kembali ke rumah. Waktu libur sekolah kita akan habis.  Lusa kita harus masuk sekolah lagi.
            “Benar juga kamu, Shir, ” jawabnya sambil mengangguk-angguk kepalanya.
            “Aku ingin membuatkan kue pukis buat nenek.  Kamu bisa bantu aku kan?” pintaku pada Vina, Antar aku belanja ke pasar terdekat sini, ya Vin?”
            Kami berdua berangkat menuju pasar terdekat, dengan menggunakan angkutan kota.  Di sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang nenek renta yang tinggal seorang diri.  Berbagai rasa menghiris kalbu. Tentang kesepian, keterkucilan, ketidakpedulian.  Air mataku menetes ikut merasakan apa yang nenek rasakan.
“Menurutku yang paling membuat nenekmu bahagia, menemani dia di hari tuanya Shira....”  Perkataan Vina seperti pukulan palu godam di dadaku.
“Ayah-Ibuku tidak akan mengizinkan, Vina.  Kecuali ada peristiwa khusus.
Oh....kepalaku tiba-tiba sakit lagi seperti sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.  Kini bayangan yang muncul berbeda cerita.  Nenek terjatuh, lunglai di kamar mandi.  Senyuman paling manisnya saat menghidangkan susu untukku hadir lagi.  Aku cemas.  Apa yang terjadi padamu Nek.... 
“Vina, kita harus balik.  Sesuatu terjadi pada nenek.  Kita harus berbalik arah, pulang ke rumah nenek.  Sekarang juga!”  Keinginanku sudah tak dapat kutahan.  Aku tak peduli Vina menggelengkan kepala keheranan, tak mengerti dengan keputusanku yang tiba-tiba berubah.
Setengah jam kemudian kami sudah berada di rumah nenek.  Sepi.  Aku langsung menuju kamar mandi.  Kudapati nenek persis seperti yang melintas dalam benakku.  Aku segera menolong nenek.  Dia lunglai, tak berdaya.  Matanya masih bisa berkedip, namun seluruh anggota badannya tak dapat digerakkan.
Aku segera menelpon via wa.  Meminta ayah dan ibu kemari.  Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.  Kecuali memanggil tetangga terdekat.
Alhamdulillah.  Pak RT segera membawa nenek ke RSUD.  Dalam hatiku aku berjanji.  Aku harus berkorban menemani nenek.  Biarlah aku yang menjaganya sebagai pengganti kesibukan putranya yang juga ayahku.  Semoga dosa ayahku yang membiarkannya tinggal sendiri dapat diampuni.
Tiga bulan kemudian, keadaan nenek jauh lebih baik.  Sudah bisa berjalan meskipun tertatih.  Hanya satu yang tidak bisa pulih, nenekku tidak bisa bicara dengan jelas dan tidak ada senyum yang bisa dihadirkan di bibir keriputnya.  Nampaknya senyum manisnya waktu itu senyuman terakhir.  Namun satu hal yang membahagiakanku.  Binar bahagia menghiasi mata sayunya,  karena kini nenek tidak sendiri.  Ada aku yang mau menemaninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...