Jumat, 05 April 2019

CERPEN FLP-Janji Untuk Nenek-SINTA ROSIANA

JANJI UNTUK NENEK
By: Sinta Rosiana

Rembulan muncul tepat ketika aku menyibak gorden dibalik kaca jendela rumahku yang sederhana ini. Dia mulai memancarkan sinarnya di tengah kegelapan malam yang begitu pekat dan terasa menyeramkan.  Dari kejauhan lolong srigala hutan meremangkan bulu kudukku.
Angin semilir menyeruak menebaskan tangannya yang membuat ngilu tulangku. “Oh...di..di..ngin sekali,”  hanya kata itu yang mampu kuucapkan saat menggigil kedinginan. Kuseret kakiku menuju kamarku.  Aku melangkah menuju menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhku keatas kasur untuk beristirahat sejenak.  Selimut tebal aku tarik, begitu nyaman berselimut saat suasana dingin begini. 
“Bismikaallohumma ahya wabismika aamuutu.  Ya Rabb dengan menyebut asmaMu aku hidup dan dengan asmaMu aku mati.”  Doa tulus seorang hamba yang pasrah atas kehidupannya coba kulantunkan dengan khusyuk.  Seolah persiapan berangkat menemui Sang Maha Segalanya.
Aku segera terlelap, seiring harapan bisa berjumpa esok hari yang cerah.  Esok hari yang ku tunggu-tunggu akan hadir dengan cerita yang berbeda.  Seolah  tak sabarkan diri aku menunggu kisah dariNya yang lebih baik dan lebih indah. Kisah yang mengembalikan kenangan indahku di masa kecil bersama nenek.  Kami berencana mengunjungi beliau untuk beberapa hari ke depan.
            “Allohuakbar, Allohuakbar.”  Alunan suara adzan Subuh begitu merdu melebihi alunan kidung mana pun yang pernah ku dengar.  Selesai suara adzan berkumandang aku mulai melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Lalu bergegas untuk mandi dan berwudhu.  Aku melaksanakan sembahyang shubuh berjama’ah di mesjid samping rumahku.
***
“Alhamdulillah, akhirnya beres juga”. Aku berguman setelah selesai mengemasi pakaian dan barang-barang yang akan dibawa ke rumah nenek.  Kemudian aku membantu Abangku untuk memasukan koper kami ke dalam bagasi mobil. Aku duduk di bangku kedua bersama kakak perempuanku.
“Risa, kamu sudah menyiapkan hadiah untuk nenek?” Pertanyaan dari kakak perempuanku membuatku sedikit agak kaget.  Aku baru sadar terlupa menyiapkan hadiah ulang tahun nenek. ‘Uugh.....kenapa aku jadi pelupa untuk hal sepenting ini?’  Aku membatin.
“Enggak dong!” kataku berbohong,” Masak Risa sampai lupa hal terpenting buat nenek, Kak?!”
Mobilpun terus melaju meninggalkan gerasi rumah yang pagarnya mulai ditutup oleh pak satpam di rumahku. Kami terus melaju melintasi jalan perumahan di tempat ku tinggal menuju arah jalan raya dimana nenekku tinggal.
Hari ini kami sekeluarga berlibur ke rumah nenek. Liburan kali ini menjadi seru karena bertepatan dengan ulang tahun nenekku yang ke-70 tahun.  Aku sendiri sedang liburan akhir semester ganjil. Kami berniat untuk berlibur di rumah nenek sekaligus membuat kejutan untuknya.
Sepanjang perjalanan, kami sibuk dengan percakapan kesana-kemari.
Tak terasa perjalanan yang begitu panjang membuatku tertidur pulas di dalam mobil.  Tanpa aku sadari ternyata kami sudah tiba di halaman rumah nenek. Kami segera berhambur keluar mobil menuju pintu utama yang menghadap langsung ke ruang tamu. Ayah datang setelah ia selesai memarkirkan mobil di halaman rumah nenek yang luas.
“Assalamu’alaikum.....” ucap kami serentak. Tak lupa kami sekeluarga membawa serta hadiah kami masing-masing yang akan diberikan kepada nenek dan sudah kami siapkan di hari sebelum-sebelumnya. Untuk perencanaan kejutan ini, serta acara yang akan kami gelar untuk perayaan ulang tahun nenek kali ini, kami sudah menyiapkan sematang mungkin dan semaksimal mungkin demi membuat nenek bahagia.
“Risa hadiah dari kamu mana?” tanya ibuku yang kebingungan mendapatiku tak membawa bungkusan hadiah untuk nenek.
“He...he... lupa, Bu. Risa nggak nyiapin hadiah untuk nenek. Karena saking gak sabarnya pengen cepet-cepet  kesini,” jawabku sambil cengengesan.
“Aduh! Aduh!”  Aku mengaduh ketika rasa sakit makin terasa oleh cubitan kakak yang makin keras.  Aku langsung diam seribu bahasa setelah mengerti isyarat kakakku agar aku diam. Kudapati Abangku tengah menutup mulut menahan tawa hingga membuat matanya yang sipit kian terlihat seperti orang sedang tidur.
Setelah tiga kali kami mengucapkan salam dan mengetuk-ngetuk pintu, akhirnya pintupun terbuka. “KEJUTAN” suara kami menggelegar bersamaan dengan terbukanya pintu. Namun, tiba-tiba suasana menjadi sedikit agak canggung karena yang membuka pintu ternyata bukan nenek, melainkan bi ijah, pembantu di rumah nenek.  Tawa kami lepas sudah tak terbendungkan.
            “Masya Alloh Nyonya, Tuan, Non, dan Aden silahkan masuk!” ucap bibi dengan sopan sekaligus meredakan gelak tawa kami di depan rumah.
Kami masuk dan duduk merebahkan tubuh di kursi, lalu lalu berbincang sebentar dengan bibi.  
“Ngomong-ngomong mana Ibu, Bi?”  tanya ayah menyadari kejanggalan.  Biasanya nenek langsung menemui kami kalau kami datang.  Saking rindunya, nenek biasa duduk menanti kami di teras rumah.
“Maaf Tuan Muda.  Nyonya sedang sakit sejah beberapa hari yang lalu.”  Kebahagiaan kami seakan hilang dalam sekejap mata.  Semua terdiam.
            “ Bi, nenek sakit apa?” tanya kakak perempuanku dengan cemas.
            “ Nggak tahu, Non. Bibi belum membawa beliau ke dokter”.
            “ Lalu  sekarang bagaimana, Bi?”  kali ini abangku sedikit antusias bertanya walaupun sebenanya pertanyaannya itu kurang bermutu.
            “Bibi juga bingung Den.  Anak Bibi, sekarang sedang memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Nyonya”.
            “Ya udah, sekarang Bibi kembali aja kerja.  Biar kami yang nemenin Ibu disini”. Ucap ibuku yang akhirnya berbicara.  Kulihat dia seolah-olah sedang menanggung beban berat dalam lamunannya.
            Kami segera menuju kamar tempat nenek beristirahat.  Sesosok wanita penyayang.  Gurat-gurat wajahnya memahat segala cerita panjang yang dialaminya di dunia ini.  Binar wajahnya menandakan bekas ibadahnya yang istimewa.  Kami tak berani mengusik istirahatnya yang lelap.  Kami berharap sakit nenek tidak terlalu parah.
Tak lama kemudian dokter datang dan langsung memeriksa nenek yang terlihat tak bertenaga.   Nenek terlihat lunglai di tempat tidur. Aku merasa sedih melihat nenekku dengan keadaan seperti itu.  Aku lirik abangku, dia memiliki firasat lebih dari yang kami rasakan.  Berkali-kali dia menyeka air mata.  Dia tak ingin kesedihannya diketahui orang lain, terutama aku, adiknya.
            Beberapa menit dokter memeriksa nenek.  Tak begitu lama, akhirnya dokter keluar dari kamar nenek.  Dokter langsung dibanjiri pertanyaan oleh ibuku yang kelihatan cemas memikirkan kesehatan nenek.
            “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?”
            “Keadaannya baik-baik saja, Bu”
            “Alhamdulillah”
“Beliau hanya kecapean dan butuh istirahat total”
Liburan kali ini kami habiskan untuk merawat nenek.  Apalagi ibuku, tak ada kegiatan lain selain merawat nenek.  Menyuapi, mengambilkan segala yang nenek butuhkan, menuntun ke kamar mandi, memandikan dengan air hangat.  Aku kagum dengan ketelatenan ibu.
Rencana berkunjung ke beberapa tempat wisata kami tunda demi nenek tercinta.  Disela waktu luang aku besama abangku mencoba bertanam di pekarangan rumah,  Sesekali kami memancing di kolam ikan belakang rumah nenek.
Seiring berjalannya waktu, nenekpun akhirnya sembuh. Kami langsung memberikan hadiah untuk nenek yang kami bawa, kecuali aku. Tak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari pelupuk mataku.  Air mata kecewa karena tidak memberikan apa-apa pada nenek, juga air mata haru melihat kebahagiaan di wajah keriputnya.  Nenekku yang awalnya lemah tak berdaya, kini nampak berbinar bahagia.  Seulas senyumnya memacarkan aura kebahagiaan yang luar biasa di bibir kusamnya.
Kami tidak pernah menyangka hadiah ini adalah hadiah terakhir untuk nenek.  Alloh sangat sayang padanya, memanggilnya saat puncak kebahagiaannya menerima pengabdian tulus kami.
“Risa, nenek ingin sekali punya cucu yang menjadi penjaga Al-qur’an.  Penjaga kalam Alloh yang suci akan memberikan mahkota pada orang tuanya dan bisa meringankan duapuluh orang terdekatnya di akhirat kelak.”  Nenek menasihatiku penuh harap, saat aku menyuapinya.
“Wah hebat sekali para penghafal Al-qur’an itu ya, Nek?”
“Tentu Risa, para penghafal itu menjadi menyangga Al-quran dari mereka yang suka mengubah-ubah ayat suci.”
Di ulang tahun nenek kali ini beliau memberi hadiah paling berharga untukku.  Sekaligus nasihat terakhir yang mengharu biru.  Nasihat yang membuatku terobsesi memakaikan mahkota untuk ayah dan ibu di hari terberat penghitungan amal. Alangkah indahnya.
Suasana kelam dan sedih mewarnai liburan kami tahun ini. Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun.  Nasihat terakhirmu adalah wasiat untukku.  Selamat jalan nenek.  Semoga perjumpaan abadi di akhirat menjadi pengobat kerinduan kita kelak.
* * *
          Seperti biasa, selepas liburan di hari pertama di sekolah, kami harus berbagi kisah tentang pengalaman berlibur kami.  Tidak hanya dalam bentuk tulisan namun juga harus kami ceritakan di depan kelas.  Kini giliranku. 
Aku baru berhenti bercerita tentang liburanku yang paling mengesankan di depan kelas.  Air mataku tak terbendung.  Beberapa teman dekatku ikut meneteskan air mata. bergemuruh dengan suara tepuk tangan dari teman-temanku yang terbawa hanyut kedalam cerita yang baru saja ku ceritakan.  Mereka semua masuk ke dalam ilusi ceritaku yang membuat hati mereka terkoyak akan kesedihan mendalam kami.  Juga kebahagiaan dan harapan nenek untuk memiliki cucu yang dapat penjaga Al-qur’an.
            Aku masih ingat jelas setiap aku bertandang kerumah nenekku, beliau pasti selalu membeiku motivasi, orongan,serta menyemangatiku untuk tak pernah putus asa meraih cita-citaku.        Sampai di hari itu, kepergian nenekku, beliau berwasiat untukku untuk menjadikan Al-qur’an sebagai teman setiaku. Akupun berjanji kepada nenek untuk menjadi hafidzoh sejati, seorang penghafal Al-qur’an yang akan mempersembahkan jubah penghargaan dan mahkota kehormatan untuk orangtuaku kelak.
            Kini aku duduk di bangku SMA kelas sepuluh.  Janjiku belum sepenuhnya tertunaikan.  Aku masih tertatih, menambah satu demi satu hafalan tiap harinya.  Dan tiap hari pula aku harus mempertahankan hafalanku agar tak terlupa.  Meskipun tidak mudah, aku menikmati janjiku ini.  Karena wasiat kebaikan harus ditunaikan.
Semoga tiap huruf yang kueja mengalir berkahnya pada nenekku.  Bukankah Rasulullah bersabda, ”Barang siapa mengajak seseorang beramal saleh, maka baginya pahala semisal yang tidak mengurangi pahala pengamalnya?”
Nek, segala perjuangan ini menjadi bukti baktiku padamu, sebagai pengganti hadiah ulang tahun yang tak sempat kubingkiskan untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...