MY JOURNEY
By: Salwa Khaerunnisa
Telefon genggam berdering di balik
sakuku. Aku segera memisahkan diri dari
rombongan.
Kami
pendaki gunung yang banyak mewarnai berita online tanah air. Juga vlog Youtube (10 C-3) Ten Climbers
Challenge Channel sudah mencapai lebih dari 900.000 subcriber. Bukan kami hebat dibuntuti wartawan tapi
karena kami, terutama aku dan Nisa memang hobi menulis dan kotak-katik
video. Memoles vlog menjadi
informasi yang bernilai entertain, ternyata cukup menjanjikan baik dari segi
popularitas maupun financial..
“Ayo, Rinai, kamu bakal ketinggalan dari
rombongan! Vlog kita terputus nih, kamu
kan yang pegang kamera,” teriak Nisa, kawan terbaikku. Kami semua ada sepuluh anggota, mahasiswa
pendaki gunung nasional (Mapagal). Nisa yang
paling setia menemaniku, meskipun tidak kuminta. Begitu juga aku bersikap serupa pada dia. Kadang aku takut ada benih cinta terlarang
diantara kami. Busyet, deh!
“Sorry, guys. Aku ada telpon dari nyokap! Nisa, gantian kamu yang pegang kameranya,” Kami mencari bebatuan yang agak datar di
tengah sapuan angin gunung yang kurang bersahabat sore itu. Dingin, menusuk.
“Assalamualaikum, Rinai. Kamu pulang, ya, Nak? Papa udah koma. Saat sadarnya dia selalu memanggil nama
kamu.” Isak tangis mama dari kejauhan
adalah satu hal yang paling meluluhlantakkan hatiku.
Meskipun penampilanku tomboy dan
sedikit urakan tapi bekas didikan nenek waktu kecil masih membekas dalam
ingatanku. Sehelai kain yang bertengger
di atas kepalaku jadi saksinya. Meskipun
aku tahu, penampilanku bisa dibilang belum syar’i atau sebagian temanku
menyebulku jibober bukan hijaber.
Termasuk Nisa. Tapi aku tidak
begitu peduli. Kecuali pada tangisan
mama.
“Ada apa, Rin?” tanya Nisa,
lagi-lagi peduli.
“Aku harus pulang! Papa koma di rumah sakit. Matikan kameranya! Tidak semua kisah hidupku dan keluargaku
harus dikonsumsi publik.” Aku mulai terganggu dengan vlog yang sering
kali memasuki ruang privasi ini.
“Rin, kita baru sembilan ratus ribu,
target kita sejuta. Jadi makin banyak
bagian pribadi kita ekspose, makin menghibur.
Dan itu yang dicari orang.”
“Nisa,
keterlaluan kamu. Aku dalam keadaan
sedih kau anggap hiburan buat orang lain?
Persetan dengan subscriber pujaan kalian itu. Aku mulai muak.”
“Gila kamu.
Kamu reporter satu-satunya buat tim kita. Kalau yang pegang kamera buatku nggak masalah
tapi…… ” Nisa menampakkan ketidaksetujuannya.
“Terserah kalian bilang apa. Aku harus pulang! Aku harus support bokap buat survive. Please, deh aku minta pengertian kamu,
Nisa. Kamu teman terbaik aku. Aku butuh dukunganmu buat meyakinkan
temen-temen.”
Sebentar lagi senja menyapa
kami. Nisa menghubungi crew via
WA. Kami sepakat berunding
sebentar. Aku sudah enggan menyusul
mereka. Pikiranku tidak bisa fokus lagi.
“Mohon pengertiannya, guys! Nisa harus pulang, papanya koma. Kita harus bagi-bagi tugas.” Nisa mulai mencoba meyakinkan crew kami. Aku menangkap berbagai ekspresi pada
wajah-wajah mereka. Hanya Nisa dan Saif
yang mengekspresikan simpati.
Saif memang bukan ketua rombongan
tapi dalam saat-saat genting dan krusial perkataannya sering bisa
menghipnotis kami dalam bersikap.
“OK,
aku boleh usul, ya?” Semua terdiam bila
Saif sudah bicara, “Tim kita harus tetap sampai ke puncak. Ini ekspedisi yang menjadi proyek pemecahan
rekor kita. Tugas reportase bisa
dilimpahkan ke Ruly. Aku tahu betul
tulisannya cukup bagus, hanya belum kita kasih kesempatan aja.”
“Aku
setuju usulan Saif. Biar Nisa dan Saif
menemani Rinai. Rombongan kita akan
tetap melanjutkan pendakian.” Lucky
ketua rombongan ekspedisi membuatku bernapas lega. Keputusannya membuatku berbunga-bunga. Terus terang aku selalu nyaman bila ada Saif
dalam perjalananku.
Rombongan
terpisah, aku menyerahkan kamera kesayanganku, hadiah ulang tahunku dari papa. Ruly menerimanya dengan sedikit bersungut.
Kali
ini pendakian kelima di bulan ini dan kedua puluh dalam enam bulan terakhir
untuk berbagai gunung di Banten dan Jawa Barat.
Selama
perjalanan berputar balik, aku mengagumi Saif yang begitu melindungi sekaligus
menghargai kami sebagai perempuan. Dia
selalu berjalan di belakang saat kondisi aman.
Pada medan cukup sulit dia akan mencari jalan buat kami.
“Kita
salat Maghrib dan Isya dulu mumpung ketemu sumber air.” Saif mengingatkan kami.
“Kamu
rajin banget Saif, kenapa nggak entar aja kalo ketemu kampung?” Aku mengelak
ajakannya.
“Aku
nggak pernah yakin apakah umurku bakal sampai beberapa langkah setelah
meninggalkan tempat ini.” Saif menjawab
enteng. Menurutku jawabannya teramat
aneh.
“Kamu
selalu berbeda. Respect buat kamu
meskipun tetap saja aku anggap kamu aneh.”
Aku sempat protes, tapi akhirnya ikut juga apa yang dia sarankan. Aku merasakan kemalasan untuk mengikuti
perkataan dia.
“Rin,
kalau kita masih malas beribadah, berarti masih menyimpan kemunafikan.” Ampun, deh!
Seakan dia bisa membaca perasaanku.
Aku hanya bisa garuk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Suuzon
kamu, Saif!” sanggahku.
“Sudah
jangan ribut pamali Maghrib-Maghrib.
Nggak baik.” Nisa menengahi
keributan ini.
Sebenarnya
aku kesal juga dan ingin protes, tapi wibawanya mengurungkan niatku. Kami
langsung membuat shaf untuk salat berjamaah. Saif mengimami kami dengan bacaan yang
menimbulkan perasaan aneh. Speechless
aku menerjemahkan keindahan yang aku rasakan pada bacaan Saif. Padahal aku tidak begitu paham detail makna
ayat-ayatnya. Ada kekuatan magis pada
suara merdu namun berwibawa itu. Ah, aku
takut jatuh cinta. Untuk kemudian sakit
hati saat berharap.
Malam
ini kami harus menginap di rumah kepala dusun yang kami lalui. Tepat jam sepuluh malam kami sampai di
kampung di tengah gunung Cikurai Garut.
Perjalanan masih cukup jauh dan hujan mulai turun, kami harus bermalam
dulu.
“Pak,
mohon maaf, kami minta izin bermalam di kampung ini. Ini KTP saya.
Saya mahasiswa yang mau pulang setelah pendakian. Dan ini teman saya sesame pendaki.” Saif menjelaskan.
“Abdi
teu kaabotan. Tapi hanya ada satu
kamar yang bisa kami sediakan.” Pak
Usman, kepala dusun Cikoneng menerima kami dengan baik.
“Terimakasih,
Pak. Saya minta izin istirahat di musala
saja.” Saif selalu membuatku bangga.
“Saif,
kamu bisa bermalam di rumah penduduk yang lain.
Di musala pasti banyak nyamuk.
Jangan sampai pula kau demam gara-gara gigitan nyamuk.” Tiba-tiba aku memberi perhatian lebih
padanya. Ada rasa hangat menjalar di
telinga dan mukaku. “Rinai, jangan lebai
nanti ketahuan perasaan hati kamu.
Gengsi banget kalau kamu memendam rasa dan Saif dingin-dingin
saja.” Suara hatiku mengingatkan
ekspresi perhatianku.
‘Tenang
aja, Rin. Masak pendaki gunung takut
sama nyamuk?” Saif tersenyum, aku sempat
melirik senyuman itu, manis banget…. Wajahnya yang mirip wakil presiden kita, Sandiaga
Uno di usia dua puluhan. Terus terang
ini membuatku ingin mencermatinya. Tapi
lagi-lagi aku malu. My God! Tiba-tiba
jantungku berpacu dua kali lipat lebih cepat.
Aku
dan Nisa masih berbincang di ruang tamu rumah kepala dusun. Saif sudah menuju musala dan terlihat jelas
dari kaca rumah Pak Usman. Aku tidak
bisa lepas dari memperhatikannya dari jauh.
“Saif
salat melulu, Nisa. Bukannya kita sudah
salat Maghrib sama Isya tadi di jalan?
Salat apa lagi, tuh?” Aku
bertanya keheranan. Sial aku lupa pelajaran
agama diniyah dekat rumah nenek dulu.
Delapan belas tahun silam, waktu yang cukup lama.
“Rin,
kamu merhatiin dia terus, ya?” Nisa mengendus perasaan yang kusimpan.
“Kamu
cemburu kalau aku suka orang lain?” tanyaku asal bunyi.
“Amit-amit,
Rin. Aku juga tahu dosa dan enggak,
Non!”
“Lha,
dari mana media ngegosipin berita miring tentang kedekatan kita?” cecarku.
“Itu
biasa, Rin. Resiko vloger dan
youtuber hampir sama dengan selebriti.
Siap-siap aja digosipin.” Nisa
menjawab santai. “Dia lagi salat Hajat atau Witir atau salat Tobat,” lanjutnya.
“Sorry,
Nis. Aku bercanda. Aku juga normal, kok. Terus terang aku suka sama Saif. Dan hanya sama kamu aku ceritakan ini.”
Dari
musala terdengar suara seseorang membaca Alquran. Merdu sekali, semerdu saat aku mendengar
pertama kali dia mengimami kami. Selama
ini rombongan pendaki kami diimami Lucky sebagai ketua rombongan. Sejak petang tadi aku baru sadar kualitas
keagamaan Saif. Dia tidak kalah dari Lucky, bahkan untuk bacaan Alquran lebih baik,
paling tidak menurutku.
“Sudahlah
Rin, sabar aja, aku akan membantu kamu menyampaikan perasaan itu pada
Saif.” Sekali lagi Nisa memahami
perasaanku. Sahabat terbaik.
“Tapi
jangan terlalu vulgar, ya, Nis. Aku juga
punya rasa malu,” pintaku penuh harap.
Setelah perbincangan malam itu, kami menuju kamar yang disediakan kepala
dusun. Sialnya, suara sayup-sayup bacaan
Saif masih terdengar hingga kamar kami.
My God, gimana aku bisa tidur.
Suara
gawaiku bordering lagi. Pukul 23.13, aku
segera mengangkat WA-call dari mama.
“Rinai,
papa sudah pergi, cepat kembali, ya, Nak!”
Tiba-tiba aku lemas. Segala
kenangan tentang papa berseliweran, tak mampu aku tahan. “Papa, maafkan aku
tidak bisa mendampingimu di saat-saat paling mendebarkan dalam kehidupan kita.
Aku
tidak bisa menunggu hari sampai besok.
Aku pamit malam itu juga pada kepala dusun. Aku kalut dan tidak bisa diajak bicara.
“Rin,
kita naik mobil saja. Aku dapat sewa
dari warga.” Saif menawarkan
bantuan. Tapi aku seakan mati rasa. Tidak ada bunga bermekaran seperti sebelumnya
setiap Saif memberikan perhatian.
Aku
memasuki mobil pickup hitam di depanku.
Saif menyetir sendiri mobil itu.
Sebagai jaminannya, kami tinggalkan
KTP dan ada satu warga kampung yang mendampingi kami.
Sepanjang
perjalanan, aku tak mau tampak lemah dan mecucurkan air mata. Masak seorang mahasiswi penakhluk gunung,
dikenal tomboy menangis?
Dua
jam perjalanan dari kampung menuju kaki gunung dan jalan aspal berlubang-lubang
mengantarkan kami ke jalan kecamatan dan kabupaten. Selanjutnya kami menuju Bandung, memasuki
nagrek, tol Cileunyi dan keluar di belokan Parahyangan. Sepuluh menit dari pintu keluar tol, kami
memasuki wilayah Kota Baru Parahyangan, sebuah kompleks perumahan elit ada di
sana. Rumahku ada di Wangsakerta nomor
empat puluh empat, berhadap-hadapan dengan Masjid Kota Baru.
Aku
tidak banyak bicara, segala peristiwa yang aku hadapi seakan menjadi nasihat
kedua setelah nasihat Saif menjelang salat Maghrib kemarin petang. Kita tidak pernah tahu lima langkah ke depan apakah kaki ini masih tegak berdiri ataukah
diam terpaku? Apakah mata ini masih bisa
menatap atau terkatup rapat. Mulut ini masihkan bisa berucap atau membisu
selamanya.
***
Sebulan
sepeninggal papa, aku lebih sering tinggal di rumah. Entahlah gairahku tidak seperti dulu
lagi. Aku tinggalkan semua kegemaran,
peluang untuk popular dan meraup keuntungan.
Aku
sebagai anak tunggal lebih senang menemani mama di rumah. Kehilangan papa tanpa
moment perpisahan, tidak akan pernah kubiarkan terjadi antara aku dan
mama.
Perlahan
kebiasaan mama ikut menjadi pola kebiasaanku, terutama kegemaran mama di waktu
senggang.
“Rin,
mama senang banget ngedenger ceramah Ustaz Adi Hidayat. Masih muda tapi kecerdasannya luar
biasa.” Mama bercerita kegemaran
barunya.
Mama
memang banyak berubah. Saat aku masih
SMA mama selalu mengikuti trend mode.
Bayangkan, bacaannya pun majalah-majalah mahal paling laris,
padahal media online sudah marak. Saat itu beliau masih senang mengoleksi tas,
sepatu dan asesoris yang serba matching untuk mematut penampilan.
“Aku
jadi penasaran pingin tahu sosok ustaz yang sudah mengubah style
mama.” Aku mengambil remote
control. Mencari channel yang
mama sebutkan. Teknilogi memang makin
heboh, seratus lima puluh channel bisa ita ganti sesuka hati. “Ini Ustaz
Adi itu, Ma?”
Mama
membenarkan channel yang aku buka Ahyar-TV. Kali ini tentang berbakti pada orang tua. Aku cermati baris-baris kalimat yang
disampaikannya.
Islam
sangat menganjurkan bahkan mewajibkan seorang anak untuk berbakti pada kedua
orang tuanya. Allah SWT berfirman dalam
QS Al Isra ayat 23 dan 24. Halaman 284
sebelah kiri, enam baris dari bawah.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا
إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ
الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Yang artinya, dan Rabb-mu telah
memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya
dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau
kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada
keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya”
Masih
dalam surat yang sama, Alloh berfirman dalam ayat selanjutnya:
وَاخْفِضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Yang artinya, dan katakanlah kepada
keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan
penuh kasih sayang. Dan katakanlah,
“Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu
kecil”
Betul
kata mama, Ustaz Adi turut membuatku terkagum-kagum. Ingatannya begitu kuat. Baru kali ini aku mendengarkan ceramah dari
seorang ulama dengan kecerdasan luar biasa.
Referensi disebutkan tanpa contekan sedikitpun. Kitab acuan disebutkan pengarang, kutipan dan
halamannya. Bahkan untuk referensi pada
catatan kakipun beliau hafal benar. Baru
kali ini aku mendengar ceramah dari seseorang yang menurut ukuranku jenius.
Aku
jadi teringat Saif. Dalam beberapa kali
perbincanganku dengannya dia kadang menyebut halaman dan posisi surat. Ah, aku takut terlanjur mengaguminya. Aku memalingkan ingatanku dan kembali ke
layar pendar di depanku.
Tiba-tiba
Ustaz Adi kedatangan tamu yang diperkenalkan dengan nama Ustaz Haikal
Hasan. Dari gerak-gerik keduanya, aku
yakin Ustaz Haikal tergolong dalam penceramah lucu. Benar saja.
Tingkahnya membuat pendengar di studio maupun di rumah tergelak. Aku berhasil memasukkan fragmen nasihatnya
dalam ingatanku. Masih tentang berbakti
pada orang tua.
Sesuatu yang paling saya takuti di
dunia ini adalah kemarahan orang tua, terutama emak saya. Pernah saya diundang ceramah ke Mataram,
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya lupa
berpamitan pada ibu saya. Tiba-tiba
handphone saya bordering. Di seberang
sana ada suara ibu saya,”Kal, jangan makan di luar. Makan sama Emak. Emak sudah sediakan masakan buat kamu.”
Yang
saya pikirkan saat itu hanya satu aku tidak boleh membiarkan ibu saya kecewa. Maka saat itu juga saya batalin ceramah. Pamit pada panitia. Memilih senyuman emak saya meskipun beresiko
pada kemarahan dan ketidakpercayaan panitia.
Akan
tetapi berkah dari bakti saya itu, panitia tidak marah sedikitpun. Saya makin yain keridhoan Allah ada pada
ridho ibu bapak kita.
Bila
orang tua sudah memanggil, temui dia.
Bila ia sudah renta dan ingin kalian temui, temui dia, meskipun harus
kehilangan pekerjaan, meskipun harus makan dengan garam.
Perkataan
terakhir itu seakan menjadi tamparan keras buat aku. Haruskah aku menghentikan semua kegiatanku dan memilih menemani mama? Tetesan air bening aku lihat jatuh dari sudut
mata mama.
“Rin,
Emak dan Mama sama-sama sendirian. Kami
berdua sudah makin tua. Mungkin usia
mama baru masuk enam puluh. Tapi mama
udah merasa banyak yang dieluhkan.
Mungkin Emak, nenek kamu justru lebih sehat disbanding mama. Makanya kami butuh kehadiran kamu. Nggak mungkin mama cek up tiap dua minggu
seorang diri, bukan?”
“Tenang,
Mama, Rinai akan selalu di dekat Mama. Rinai nggak mau kehilangan untuk kedua
kalinya setelah Papa, tanpa Rin hadir di dekat Mama.”
***
Tiga
bulan papa meninggalkan kami. Kami
memutuskan untuk tinggal bersama Emak di kampung. Kampung yang masih asri, jauh dari hiruk
pikuk kota besar, di Kabupaten Sukabumi.
Aku merasa cocok tinggal di sana, berbukit-bukit. Lembah melenggok di sana-sini. Jiwa cinta alamku seakan terhibur di kampung
ini.
Sementara
itu, rumah kami di Bandung kami sewakan.
Lebih dari cukup untuk menopang kehidupan kami bertiga.
“Rin,
kuliah kamu sudah selesai?” tanya nenek
suatu ketika. Suara paraunya sedikit
bergetar, namun tetap jelas terdengar. Aku
tidak menyangka nenek cukup perhatian padaku.
“Sudah,
dong, Nek. Aku lulusan manajemen,
Nek. Tapi suka naik gunung dan…menulis.”
“Oh,
lalu sudah dapat kerjaan belum?” Nenek
makin kepo. Tapi aku bahagia dikepoin
sama nenek. Berarti dia sayang sama
cucunya.
“Rinai
menjadi penulis tetap media online, Nek.
Jadi enak bisa kerja di rumah.
Cuma butuh sinyal internet doang.
Sebelum papa meninggal Rinai suka ngevlog. Sekarang sedang menyemangati diri buat
semangat ngevlog lagi. Nenek tahu nggak apa itu vlog?” tanyaku
menggoda nenek.
Kami
terus berbincang sambil aku jelaskan hal-hal yang nenek kurang mengerti. Aku maklum, antara generasiku dan generasi
nenek ada gap yang cukup ekstrim dalam hal teknologi. Yang membuat aku kagum, nenek masih bisa
menangkap informasi yang ku sampaikan, padahal usianya di atas delapan puluh
tahun.
“Kalau
rencana menikah sudah ada calonnya, belum?”
Aku
kaget dengan pertanyaan tidak terduga dari nenek.
“Nggak
ada yang mau, Nek!” jawabku sekenanya.
“Masak
gadis secantik kamu nggak ada yang mau.”
Aku hanya terdiam, tersipu. Setiap kali ditanya seseorang yang menyukai
aku atau aku sukai, ingatanku selalu hinggap pada sosok Saif. Ah, mungkin dia sudah lupa tentang aku. Sedikitpun tidak ada kontak japri
darinya. Sementara di grup, dia tidak
biasa nimbrung, kecuali untuk hal-hal penting,
Aku hanya berani mengintip statusnya.
“Istikharah
sudah ditunaikan, I am on the way.”
Ah…aku
harus siap-siap patah hati, Saif sudah menjatuhkan pilihan.
“Rin,
ada tamu. Mereka rombongan, mau ketemu
kamu.” Mama memanggilku dari luar kamar.
“Siapa,
Mama?”
“Katanya
sahabat Emak dan keluarganya.”
“Paling
juga acara reuni teman-teman nenek.
Bukannya hari Ahad acaranya? Ini baru hari Kamis, Ma?”
Aku
berganti pakaian, setelan gamis syar’i warna biru kesukaanku. Mama menyuruhku memoles muka dengan bedak tabur
dan lipglos. Katanya tidak perlu memakai
lipstick.
“Warna
alami bibir kamu lebih cantik daripada polesan make up.” Pujian mama bikin
hidungku kembang kempis.
Aku
bergegas ke ruang tamu. Hampir saja aku membeku
mereka buat. Saking kagetnya. Sosok yang aku kenal baik, yang diam-diam
tetap singgah di hatiku, bahkan kusertakan dalam doa-doa cintaku, kini ada di
depanku. Status Saif berseliweran dalam
benakku. Akukah jawaban dari
istikharahnya? Inikah jawaban Allah atas
hijrahku memilih mama dan nenek? Akankah
tatap mataku, perasaan hatiku yang awalnya dosa akan berubah menjadi ibadah
dalam ikatan suci pernikahan?
Perjalanan
masih jauh Rinai, selagi janur belum melengkung dan ikrar belun terlantun,
jagalah hatimu dari segala kemungkinan. Untuk menerima kehendak-Nya dan La
haula wa laa quwwata illabillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar