Jumat, 05 April 2019

CERPEN FLP-SALAWA KH-MY JOURNEY



MY JOURNEY
By: Salwa Khaerunnisa

            Telefon genggam berdering di balik sakuku.  Aku segera memisahkan diri dari rombongan. 
Kami pendaki gunung yang banyak mewarnai berita online tanah air.  Juga vlog Youtube (10 C-3) Ten Climbers Challenge Channel sudah mencapai lebih dari 900.000 subcriber.   Bukan kami hebat dibuntuti wartawan tapi karena kami, terutama aku dan Nisa memang hobi menulis dan kotak-katik video.  Memoles vlog menjadi informasi yang bernilai entertain, ternyata cukup menjanjikan baik dari segi popularitas maupun financial..
             “Ayo, Rinai, kamu bakal ketinggalan dari rombongan!  Vlog kita terputus nih, kamu kan yang pegang kamera,” teriak Nisa, kawan terbaikku.  Kami semua ada sepuluh anggota, mahasiswa pendaki gunung nasional (Mapagal).  Nisa yang paling setia menemaniku, meskipun tidak kuminta.  Begitu juga aku bersikap serupa pada dia.  Kadang aku takut ada benih cinta terlarang diantara kami.  Busyet, deh!
            “Sorry, guys.  Aku ada telpon dari nyokap!  Nisa, gantian kamu yang pegang kameranya,”   Kami mencari bebatuan yang agak datar di tengah sapuan angin gunung yang kurang bersahabat sore itu.  Dingin, menusuk.
            “Assalamualaikum, Rinai.  Kamu pulang, ya, Nak?  Papa udah koma.  Saat sadarnya dia selalu memanggil nama kamu.”  Isak tangis mama dari kejauhan adalah satu hal yang paling meluluhlantakkan hatiku.
            Meskipun penampilanku tomboy dan sedikit urakan tapi bekas didikan nenek waktu kecil masih membekas dalam ingatanku.  Sehelai kain yang bertengger di atas kepalaku jadi saksinya.  Meskipun aku tahu, penampilanku bisa dibilang belum syar’i atau sebagian temanku menyebulku jibober bukan hijaber.  Termasuk Nisa.  Tapi aku tidak begitu peduli.  Kecuali pada tangisan mama.
            “Ada apa, Rin?” tanya Nisa, lagi-lagi peduli.
            “Aku harus pulang!  Papa koma di rumah sakit.  Matikan kameranya!  Tidak semua kisah hidupku dan keluargaku harus dikonsumsi publik.” Aku mulai terganggu dengan vlog yang sering kali memasuki ruang privasi ini.
            “Rin, kita baru sembilan ratus ribu, target kita sejuta.  Jadi makin banyak bagian pribadi kita ekspose, makin menghibur.  Dan itu yang dicari orang.”
“Nisa, keterlaluan kamu.  Aku dalam keadaan sedih kau anggap hiburan buat orang lain?  Persetan dengan subscriber pujaan kalian itu.  Aku mulai muak.”
 “Gila kamu.  Kamu reporter satu-satunya buat tim kita.  Kalau yang pegang kamera buatku nggak masalah tapi…… ”  Nisa menampakkan ketidaksetujuannya.
            “Terserah kalian bilang apa.  Aku harus pulang!  Aku harus support bokap buat survive.  Please, deh aku minta pengertian kamu, Nisa.  Kamu teman terbaik aku.  Aku butuh dukunganmu buat meyakinkan temen-temen.”
            Sebentar lagi senja menyapa kami.  Nisa menghubungi crew via WA.  Kami sepakat berunding sebentar.  Aku sudah enggan menyusul mereka.  Pikiranku tidak bisa fokus lagi.
            “Mohon pengertiannya, guys!  Nisa harus pulang, papanya koma.  Kita harus bagi-bagi tugas.”  Nisa mulai mencoba meyakinkan crew kami.  Aku menangkap berbagai ekspresi pada wajah-wajah mereka.  Hanya Nisa dan Saif yang mengekspresikan simpati.
            Saif memang bukan ketua rombongan tapi dalam saat-saat genting dan krusial perkataannya sering bisa menghipnotis  kami dalam bersikap.
“OK, aku boleh usul, ya?”  Semua terdiam bila Saif sudah bicara, “Tim kita harus tetap sampai ke puncak.  Ini ekspedisi yang menjadi proyek pemecahan rekor kita.  Tugas reportase bisa dilimpahkan ke Ruly.  Aku tahu betul tulisannya cukup bagus, hanya belum kita kasih kesempatan aja.”
“Aku setuju usulan Saif.  Biar Nisa dan Saif menemani Rinai.  Rombongan kita akan tetap melanjutkan pendakian.”  Lucky ketua rombongan ekspedisi membuatku bernapas lega.  Keputusannya membuatku berbunga-bunga.  Terus terang aku selalu nyaman bila ada Saif dalam perjalananku.
Rombongan terpisah, aku menyerahkan kamera kesayanganku, hadiah ulang tahunku dari papa.  Ruly menerimanya dengan sedikit bersungut.
Kali ini pendakian kelima di bulan ini dan kedua puluh dalam enam bulan terakhir untuk berbagai gunung di Banten dan Jawa Barat.
Selama perjalanan berputar balik, aku mengagumi Saif yang begitu melindungi sekaligus menghargai kami sebagai perempuan.  Dia selalu berjalan di belakang saat kondisi aman.  Pada medan cukup sulit dia akan mencari jalan buat kami.
“Kita salat Maghrib dan Isya dulu mumpung ketemu sumber air.”  Saif mengingatkan kami.
“Kamu rajin banget Saif, kenapa nggak entar aja kalo ketemu kampung?” Aku mengelak ajakannya.
“Aku nggak pernah yakin apakah umurku bakal sampai beberapa langkah setelah meninggalkan tempat ini.”  Saif menjawab enteng.  Menurutku jawabannya teramat aneh.
“Kamu selalu berbeda.  Respect buat kamu meskipun tetap saja aku anggap kamu aneh.”  Aku sempat protes, tapi akhirnya ikut juga apa yang dia sarankan.  Aku merasakan kemalasan untuk mengikuti perkataan dia.
“Rin, kalau kita masih malas beribadah, berarti masih menyimpan kemunafikan.”  Ampun, deh!  Seakan dia bisa membaca perasaanku.  Aku hanya bisa garuk-garuk kepalaku yang tidak gatal. 
Suuzon kamu, Saif!” sanggahku.
“Sudah jangan ribut pamali Maghrib-Maghrib.  Nggak baik.”  Nisa menengahi keributan ini.
Sebenarnya aku kesal juga dan ingin protes, tapi wibawanya mengurungkan niatku. Kami langsung membuat shaf untuk salat berjamaah.  Saif mengimami kami dengan bacaan yang menimbulkan perasaan aneh.  Speechless aku menerjemahkan keindahan yang aku rasakan pada bacaan Saif.  Padahal aku tidak begitu paham detail makna ayat-ayatnya.  Ada kekuatan magis pada suara merdu namun berwibawa itu.  Ah, aku takut jatuh cinta.  Untuk kemudian sakit hati saat berharap.
Malam ini kami harus menginap di rumah kepala dusun yang kami lalui.  Tepat jam sepuluh malam kami sampai di kampung di tengah gunung Cikurai Garut.  Perjalanan masih cukup jauh dan hujan mulai turun, kami harus bermalam dulu. 
“Pak, mohon maaf, kami minta izin bermalam di kampung ini.  Ini KTP saya.  Saya mahasiswa yang mau pulang setelah pendakian.  Dan ini teman saya sesame pendaki.”  Saif menjelaskan.
Abdi teu kaabotan.  Tapi hanya ada satu kamar yang bisa kami sediakan.”  Pak Usman, kepala dusun Cikoneng menerima kami dengan baik.
“Terimakasih, Pak.  Saya minta izin istirahat di musala saja.”  Saif selalu membuatku bangga.
“Saif, kamu bisa bermalam di rumah penduduk yang lain.  Di musala pasti banyak nyamuk.  Jangan sampai pula kau demam gara-gara gigitan nyamuk.”  Tiba-tiba aku memberi perhatian lebih padanya.  Ada rasa hangat menjalar di telinga dan mukaku.  “Rinai, jangan lebai nanti ketahuan perasaan hati kamu.  Gengsi banget kalau kamu memendam rasa dan Saif dingin-dingin saja.”  Suara hatiku mengingatkan ekspresi perhatianku.
‘Tenang aja, Rin.  Masak pendaki gunung takut sama nyamuk?”  Saif tersenyum, aku sempat melirik senyuman itu,  manis banget….  Wajahnya yang mirip wakil presiden kita, Sandiaga Uno di usia dua puluhan.  Terus terang ini membuatku ingin mencermatinya.  Tapi lagi-lagi aku malu. My God!  Tiba-tiba jantungku berpacu dua kali lipat lebih cepat.
Aku dan Nisa masih berbincang di ruang tamu rumah kepala dusun.  Saif sudah menuju musala dan terlihat jelas dari kaca rumah Pak Usman.  Aku tidak bisa lepas dari memperhatikannya dari jauh. 
“Saif salat melulu, Nisa.  Bukannya kita sudah salat Maghrib sama Isya tadi di jalan?  Salat apa lagi, tuh?”  Aku bertanya keheranan.  Sial aku lupa pelajaran agama diniyah dekat rumah nenek dulu.  Delapan belas tahun silam, waktu yang cukup lama.
“Rin, kamu merhatiin dia terus, ya?” Nisa mengendus perasaan yang kusimpan.
“Kamu cemburu kalau aku suka orang lain?” tanyaku asal bunyi.
“Amit-amit, Rin.  Aku juga tahu dosa dan enggak, Non!”
“Lha, dari mana media ngegosipin berita miring tentang kedekatan kita?” cecarku.
“Itu biasa, Rin.  Resiko vloger dan youtuber hampir sama dengan selebriti.  Siap-siap aja digosipin.”  Nisa menjawab santai. “Dia lagi salat Hajat atau Witir atau salat Tobat,” lanjutnya.
“Sorry, Nis.  Aku bercanda.  Aku juga normal, kok.  Terus terang aku suka sama Saif.  Dan hanya sama kamu aku ceritakan ini.”
Dari musala terdengar suara seseorang membaca Alquran.  Merdu sekali, semerdu saat aku mendengar pertama kali dia mengimami kami.  Selama ini rombongan pendaki kami diimami Lucky sebagai ketua rombongan.  Sejak petang tadi aku baru sadar kualitas keagamaan Saif.  Dia tidak kalah dari Lucky,  bahkan untuk bacaan Alquran lebih baik, paling tidak menurutku.
“Sudahlah Rin, sabar aja, aku akan membantu kamu menyampaikan perasaan itu pada Saif.”  Sekali lagi Nisa memahami perasaanku.  Sahabat terbaik.
“Tapi jangan terlalu vulgar, ya, Nis.  Aku juga punya rasa malu,” pintaku penuh harap.  Setelah perbincangan malam itu, kami menuju kamar yang disediakan kepala dusun.  Sialnya, suara sayup-sayup bacaan Saif masih terdengar hingga kamar kami.  My God, gimana aku bisa tidur.
Suara gawaiku bordering lagi.  Pukul 23.13, aku segera mengangkat WA-call dari mama.
“Rinai, papa sudah pergi, cepat kembali, ya, Nak!”  Tiba-tiba aku lemas.  Segala kenangan tentang papa berseliweran, tak mampu aku tahan. “Papa, maafkan aku tidak bisa mendampingimu di saat-saat paling mendebarkan dalam kehidupan kita.
Aku tidak bisa menunggu hari sampai besok.  Aku pamit malam itu juga pada kepala dusun.  Aku kalut dan tidak bisa diajak bicara.
“Rin, kita naik mobil saja.  Aku dapat sewa dari warga.”  Saif menawarkan bantuan.  Tapi aku seakan mati rasa.  Tidak ada bunga bermekaran seperti sebelumnya setiap Saif memberikan perhatian.
Aku memasuki mobil pickup hitam di depanku.  Saif menyetir sendiri mobil itu.  Sebagai jaminannya, kami tinggalkan  KTP dan ada satu warga kampung yang mendampingi kami.
Sepanjang perjalanan, aku tak mau tampak lemah dan mecucurkan air mata.  Masak seorang mahasiswi penakhluk gunung, dikenal tomboy menangis?
Dua jam perjalanan dari kampung menuju kaki gunung dan jalan aspal berlubang-lubang mengantarkan kami ke jalan kecamatan dan kabupaten.  Selanjutnya kami menuju Bandung, memasuki nagrek, tol Cileunyi dan keluar di belokan Parahyangan.    Sepuluh menit dari pintu keluar tol, kami memasuki wilayah Kota Baru Parahyangan, sebuah kompleks perumahan elit ada di sana.  Rumahku ada di Wangsakerta nomor empat puluh empat, berhadap-hadapan dengan Masjid Kota Baru.
Aku tidak banyak bicara, segala peristiwa yang aku hadapi seakan menjadi nasihat kedua setelah nasihat Saif menjelang salat Maghrib kemarin petang.  Kita tidak pernah tahu lima langkah ke depan  apakah kaki ini masih tegak berdiri ataukah diam terpaku?  Apakah mata ini masih bisa menatap atau terkatup rapat. Mulut ini masihkan bisa berucap atau membisu selamanya.
***
Sebulan sepeninggal papa, aku lebih sering tinggal di rumah.  Entahlah gairahku tidak seperti dulu lagi.  Aku tinggalkan semua kegemaran, peluang untuk popular dan meraup keuntungan.
Aku sebagai anak tunggal lebih senang menemani mama di rumah. Kehilangan papa tanpa moment perpisahan, tidak akan pernah kubiarkan terjadi antara aku dan mama.     
Perlahan kebiasaan mama ikut menjadi pola kebiasaanku, terutama kegemaran mama di waktu senggang.
“Rin, mama senang banget ngedenger ceramah Ustaz Adi Hidayat.  Masih muda tapi kecerdasannya luar biasa.”  Mama bercerita kegemaran barunya. 
Mama memang banyak berubah.  Saat aku masih SMA mama selalu mengikuti trend mode.  Bayangkan, bacaannya pun majalah-majalah mahal paling laris, padahal  media online sudah marak.  Saat itu beliau masih senang mengoleksi tas, sepatu dan asesoris yang serba matching untuk mematut penampilan.
“Aku jadi penasaran pingin tahu sosok ustaz yang sudah mengubah style mama.”  Aku mengambil remote control.  Mencari channel yang mama sebutkan.  Teknilogi memang makin heboh, seratus lima puluh channel bisa ita ganti sesuka hati. “Ini Ustaz Adi itu, Ma?”
Mama membenarkan channel yang aku buka Ahyar-TV.  Kali ini tentang berbakti pada orang tua.  Aku cermati baris-baris kalimat yang disampaikannya.

Islam sangat menganjurkan bahkan mewajibkan seorang anak untuk berbakti pada kedua orang tuanya.  Allah SWT berfirman dalam QS Al Isra ayat 23 dan 24.  Halaman 284 sebelah kiri, enam baris dari bawah.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Yang artinya, dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.  Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya”
Masih dalam surat yang sama, Alloh berfirman dalam ayat selanjutnya:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Yang artinya, dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang.   Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil”
            Betul kata mama, Ustaz Adi turut membuatku terkagum-kagum.  Ingatannya begitu kuat.  Baru kali ini aku mendengarkan ceramah dari seorang ulama dengan kecerdasan luar biasa.  Referensi disebutkan tanpa contekan sedikitpun.  Kitab acuan disebutkan pengarang, kutipan dan halamannya.  Bahkan untuk referensi pada catatan kakipun beliau hafal benar.  Baru kali ini aku mendengar ceramah dari seseorang yang menurut ukuranku jenius.
            Aku jadi teringat Saif.  Dalam beberapa kali perbincanganku dengannya dia kadang menyebut halaman dan posisi surat.  Ah, aku takut terlanjur mengaguminya.  Aku memalingkan ingatanku dan kembali ke layar pendar di depanku.
Tiba-tiba Ustaz Adi kedatangan tamu yang diperkenalkan dengan nama Ustaz Haikal Hasan.  Dari gerak-gerik keduanya, aku yakin Ustaz Haikal tergolong dalam penceramah lucu.  Benar saja.  Tingkahnya membuat pendengar di studio maupun di rumah tergelak.  Aku berhasil memasukkan fragmen nasihatnya dalam ingatanku.  Masih tentang berbakti pada orang tua.

         Sesuatu yang paling saya takuti di dunia ini adalah kemarahan orang tua, terutama emak saya.  Pernah saya diundang ceramah ke Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.  Saya lupa berpamitan pada ibu saya.  Tiba-tiba handphone saya bordering.  Di seberang sana ada suara ibu saya,”Kal, jangan makan di luar.  Makan sama Emak.  Emak sudah sediakan masakan buat kamu.”
Yang saya pikirkan saat itu hanya satu aku tidak boleh membiarkan ibu saya kecewa.  Maka saat itu juga saya batalin ceramah.  Pamit pada panitia.  Memilih senyuman emak saya meskipun beresiko pada kemarahan dan ketidakpercayaan panitia.
Akan tetapi berkah dari bakti saya itu, panitia tidak marah sedikitpun.  Saya makin yain keridhoan Allah ada pada ridho ibu bapak kita.
Bila orang tua sudah memanggil, temui dia.  Bila ia sudah renta dan ingin kalian temui, temui dia, meskipun harus kehilangan pekerjaan, meskipun harus makan dengan garam.
Perkataan terakhir itu seakan menjadi tamparan keras buat aku.  Haruskah aku menghentikan semua  kegiatanku dan memilih menemani mama?  Tetesan air bening aku lihat jatuh dari sudut mata mama.
“Rin, Emak dan Mama sama-sama sendirian.  Kami berdua sudah makin tua.  Mungkin usia mama baru masuk enam puluh.  Tapi mama udah merasa banyak yang dieluhkan.  Mungkin Emak, nenek kamu justru lebih sehat disbanding mama.  Makanya kami butuh kehadiran kamu.  Nggak mungkin mama cek up tiap dua minggu seorang diri, bukan?”
“Tenang, Mama, Rinai akan selalu di dekat Mama. Rinai nggak mau kehilangan untuk kedua kalinya setelah Papa, tanpa Rin hadir di dekat Mama.”
***
Tiga bulan papa meninggalkan kami.  Kami memutuskan untuk tinggal bersama Emak di kampung.  Kampung yang masih asri, jauh dari hiruk pikuk kota besar, di Kabupaten Sukabumi.  Aku merasa cocok tinggal di sana, berbukit-bukit.  Lembah melenggok di sana-sini.  Jiwa cinta alamku seakan terhibur di kampung ini.
Sementara itu, rumah kami di Bandung kami sewakan.  Lebih dari cukup untuk menopang kehidupan kami bertiga.
“Rin, kuliah kamu sudah selesai?”  tanya nenek suatu ketika.  Suara paraunya sedikit bergetar, namun tetap jelas terdengar.  Aku tidak menyangka nenek cukup perhatian padaku.
“Sudah, dong, Nek.  Aku lulusan manajemen, Nek.  Tapi suka naik gunung dan…menulis.”
“Oh, lalu sudah dapat kerjaan belum?”  Nenek makin kepo.  Tapi aku bahagia dikepoin sama nenek.  Berarti dia sayang sama cucunya.
“Rinai menjadi penulis tetap media online, Nek.  Jadi enak bisa kerja di rumah.  Cuma butuh sinyal internet doang.  Sebelum papa meninggal Rinai suka ngevlog.  Sekarang sedang menyemangati diri buat semangat ngevlog lagi. Nenek tahu nggak apa itu vlog?” tanyaku menggoda nenek.
Kami terus berbincang sambil aku jelaskan hal-hal yang nenek kurang mengerti.  Aku maklum, antara generasiku dan generasi nenek ada gap yang cukup ekstrim dalam hal teknologi.  Yang membuat aku kagum, nenek masih bisa menangkap informasi yang ku sampaikan, padahal usianya di atas delapan puluh tahun.
“Kalau rencana menikah sudah ada calonnya, belum?”
Aku kaget dengan pertanyaan tidak terduga dari nenek.
“Nggak ada yang mau, Nek!”  jawabku sekenanya.
“Masak gadis secantik kamu nggak ada yang mau.”  Aku hanya terdiam, tersipu. Setiap kali ditanya seseorang yang menyukai aku atau aku sukai, ingatanku selalu hinggap pada sosok Saif.  Ah, mungkin dia sudah lupa tentang aku.  Sedikitpun tidak ada kontak japri darinya.  Sementara di grup, dia tidak biasa nimbrung, kecuali untuk hal-hal penting,   Aku hanya berani mengintip statusnya.
“Istikharah sudah ditunaikan, I am on the way.”
Ah…aku harus siap-siap patah hati, Saif sudah menjatuhkan pilihan.
“Rin, ada tamu.  Mereka rombongan, mau ketemu kamu.”  Mama memanggilku dari luar kamar.
“Siapa, Mama?”
“Katanya sahabat Emak dan keluarganya.”
“Paling juga acara reuni teman-teman nenek.  Bukannya hari Ahad acaranya? Ini baru hari Kamis, Ma?”
Aku berganti pakaian, setelan gamis syar’i warna biru kesukaanku.  Mama menyuruhku memoles muka dengan bedak tabur dan lipglos.  Katanya tidak perlu memakai lipstick. 
“Warna alami bibir kamu lebih cantik daripada polesan make up.” Pujian mama bikin hidungku kembang kempis.
Aku bergegas ke ruang tamu.  Hampir saja aku membeku mereka buat. Saking kagetnya.   Sosok yang aku kenal baik, yang diam-diam tetap singgah di hatiku, bahkan kusertakan dalam doa-doa cintaku, kini ada di depanku.  Status Saif berseliweran dalam benakku.  Akukah jawaban dari istikharahnya?  Inikah jawaban Allah atas hijrahku memilih mama dan nenek?  Akankah tatap mataku, perasaan hatiku yang awalnya dosa akan berubah menjadi ibadah dalam ikatan suci pernikahan?
Perjalanan masih jauh Rinai, selagi janur belum melengkung dan ikrar belun terlantun, jagalah hatimu dari segala kemungkinan. Untuk menerima kehendak-Nya dan La haula wa laa quwwata illabillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...