TRAGIS
By: Susi Susilawati
Pagi Senin yang cerah, hari dimana aktivitas kembali dilakukan seperti biasa setelah libur semester yang lumayan panjang. Senin itu sangat sibuk. Sibuk dengan persiapan untuk kembali sekolah dan bekerja ke kantor. Ayah masih tak berkutik dengan persiapan presentasinya. Dari semalam masih saja betah di depan layar monitor hingga sepagi ini. Disa berisik, hampir setengah jam ia mengobrak-abrik kamarnya sampai seperti kapal pecah demi mencari pasangan kaos kaki putihnya.
“Kak, liat kaus kaki Disa enggak?” teriaknya dari kamar.
“Engga tuh, Kakak nggak liat Disa”.
“Disa simpen di lemari Kaka tapi kok gak ada, ya?” tanyanya.
”Kemarin pas Kakak beresin lemari enggak ada, kayaknya Disa lupa nyimpen kali?” kataku.
“Ah, masa iya sih ?” gerutunya.
Berbeda dengan Dio, dari tadi ribut mencari topi sekolahnya.
“Ibu topi sekolah Dio dimana, Bu? Sekarang upacara, kalo gak pake nanti Dio dihukum” teriak Dio dari kamarnya.
“Topi kamu di belakang Dio, di jemuran.”
“Ah Ibu, kenapa topi Dio ada di sana?”
“Kemaren topi kamu ibu cuci, soalnya kotor. Kamu jorok sih udah tiga bulan kamu masih aja pake” kata ibu sambil asyik memasak.
“Tapi masih tetep wangi kok Bu” katanya berjalan menuju belakang rumah.
“Heuh kamu ini ya! Topinya wangi karena ibu cuci,” cetus ibu.
Aku sudah bersiap siap dengan seragam rapiku dari tadi Subuh. Untungnya aku langsung mandi setelah salat Subuh karena aku tau akan seribut ini di rumah. Pagi ini aku enggak perlu ikut-ikutan sibuk kayak Disa dan Dio. Ibu sedang menata piring untuk sarapan pagi ini.
“Susunya dimana, Bu?” tanyaku.
“Di dalam kulkas Ka, baru tadi ibu simpen”.
“Kapan Ibu beli susu baru? Perasaaan semalem pas Kakak cari di kulkas gak ada deh?” kataku.
”Pas kemarin Ibu pulang nganterin baju ke Bu Sukma sekalian deh Ibu belanja, soalnya keperluan dapur udah pada kosong. Tapi Ibu lupa, malah naro susunya di atas lemari. Tadi ingetnya Subuh. Kayaknya Kakak nyari susu deh. He....He...He...” jawab ibu sambil ketawa.
”Yah Ibu, pantes aja,” kataku sambil manyun.
Sarapan sudah siap di atas meja. Dio sudah kaut-kuat memegang sendok dan garpu untuk menyantap nasi goreng buatan ibu.
“Ayo makan Bu, Dio laper” katanya cecengiran.
“Iyalah, pagi-pagi kamu udah pusing sendiri jadi aja laper, ayah mana? Kok belum turun ya? Kak, panggil ayah. Sarapan udah siap” suruh ibu.
”Iya, Bu,” jawabku sambil bangkit dari kursi makan.
“Udah siap nih sarapannya? Yuk makan!” ajak ayah sambil meraih kursi makan dekat ibu.
“Makan yang banyak yah biar presentasinya lancar” canda ibu. “Ah Ibu, Ayah bakal pede ko depan klien”.”Takutnya ayah kayak presentasi bulan bulan kemaren tuh, hamper pingsan deh gara-garanya, pagi enggah sarapan dulu. Ha...ha...ha...” kata ibu sambil ketawa.
“Bener banget Bu, hari itu Ayah lemes banget gara gara paginya nggak sarapan. Mana AC-nya dingin banget jadi nggak enak perut. Pusing ayah, pingsan aja pas rapat depan klien. Haduh, malu banget,” kata ayah sambil menundukan mukanya. Lalu ibu, aku, Disa, dan Dio ketawa. Termasuk ayah yang paling kenceng ketawanya. Seisi ruang makan tergelak.
Semoga kebahagiaan ini terus mewarnai keluargaku.
♥♥♥
Begitu sibuk rasanya menjadi siswa tingkat akhir, banyaknya persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Mulai dari pemadatan, kursus, sampai bimbingan belajar. Tiap harinya aku harus pulang sore karena kesibukan ini. Setelah selesai pemadatan aku langsung pulang.
“Assalamuallaikum!” salamku setelah sampai di rumah.
“Waalaikumsalam” jawab ibu yang sedang menyiram tanaman hias depan rumah. Aku langsung meraih tangannya lalu menciumnya.
”Baru pulang Kak? Langsung ke kamar mandi terus salat ya. Udah itu makan, Ibu tadi siang masak masakan kesukaan kamu, lho” kata ibu.
“Iya bu. Wah enak tuh” jawabku. Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan, lalu aku salat Asar.
Di ruang keluarga ibuku sedang menonton TV. Disa sedang mengerjakan tugas sekolah. Dan Dio asyik memainkan gadgetnya.
“Kakak sekarang lagi sibuk pesiapan ujian ya? Enggak kerasa kamu udah mau kuliah aja.” Ibu menyadarkanku, pertanda aku harus belajar lebih sungguh-sungguh lagi.
“Iya bu, kaka lagi pusing-pusingnya. Mana sibuk juga buat masuk perguruan tinggi,” timpalku sambil memainkan pulpen.
“Oh iya ya. Kaka pengen lanjut kemana emang?” tanya ibu serius.
“Kaka pengen ke UNPAD, Bu” jawabku dengan semangat.
“Wah bagus tuh, dulu ibu pengen masuk ke UNPAD, Kak. Tapi karena kakek nenekmu pindah tugas ke Semarang jadi aja ibu kuliah di sana” keluh ibu.
“Yah, gimana dong?” tanyaku.
“Gapapa sih, Ibu ikut aja. Ibu kuliah disana nyampe beres. Kaka mau ngambil jurusan apa?”
“Kaka mau ngambil kedokteran Bu, doain ya”.
“Oh iya iya, bagus deh kalo jadi dokter. Ibu selalu doain kamu asal kamunya rajin belajar.” Ibu memotivasi sambil mengelus rambutku.
“He...he.... iya Bu amin” kataku.
Tiba tiba telepon rumah berbunyi, memutuskan bincang kami.
Disa beranjak dari tugasnya lalu meraih telepon dekat TV. Kemudian.....
“Halo... eh waalaikumsalam, Nek. Ini disa…. Ohh.. iya iya bentar ini ada ibunya ko. Bu ini nenek nelpon” teriak Disa.
Ibu langsung bangkit dari duduknya dan menerima telepon dari genggaman Disa.
“Waalaikumsalam, Bu. Iya. Aku, anak anak, dan Mas Dadi sehat kok. Wah,kapan?”. Ibu asyik ngobrol dengan nenek.
Aku tak sabar ingin tahu ada kabar apa dari nenek.
“Nanti hari Sabtu kita ke Bandung ketemu nenek. Soalnya Om Yasir sama Tante Gita mau liburan di rumah nenek. Jarang jarang Om Yasir pulang dari Amerika. Jadi, kita harus menyambutnya. Sekalian kita jenguk nenek, Liburan lalu kita enggak ke Bandung.Nenek kalian udah kangen pingin ketemu,” kata ibu bahagia.
Disa dan Dio bersorak kegirangan. “Yeaaahhh kita ke Bandung ketemu nenek sama om sama tante! Kira-kira apa ya oleh-oleh paman kali ini? Mereka bertanya polos.
“Tapi kita harus bilang ke ayah. Kalo gak diizinin kita nggak berangkat. Kalian kan sibuk sekolah apalagi kaka yang sibuk banget. Disa kamu juga lagi banyak ulangan,kan? Sedangkan ayah juga sibuk kerja. Jadi nanti aja gimana keputusan ayah”.
“Yah ibu, gapapa cuman hari Sabtu doang gak sekolahnya. Besoknya kan hariMinggu. Jadi libur yeee” kata disa bahagia.
“Emm... ya udah, tunggu malem ayah pulang. Ibu akan ngomong sama ayah” jawab ibu bijak. Disa dan Dio senang termasuk aku.
“Anak anak kan harus sekolah bu, jangan niggalin kelas. Baru juga seminggu mereka sekolah setelah libur panjang,” jawab ayah tidak setuju.
”Tapi kasihan mereka, Yah. Mereka seneng banget pas tau Mas Yasir bakal kerumah ibu” Ibu gigih bernegosiasi.
“Tapi ayah masih banyak kerjaan, Bu. Ayah belum nyelesain kerjasama perusahaan baru”.
“Ayah kan bisa nyelesainnya sekarang sekarang. Jadi nanti cepet beres yah” ibu kata.
“Ya sudah hari Sabtu kita pergi ke rumah nenek” jawab ayah dengan senyuman.
“Makasih,Yah. Anak-anak pasti seneng” timpal ibu dengan riang.
♥♥♥
Hari Sabtu yang ditunggu-tunggu pun datang. Cuaca cerah, udara pagi cukup sejuk. Seperti biasa meski masih pagi buta. kota Jakarta masih saja macet. Ah, aku malas di perjalanannya. Aku hanya ingin langsung sampai di rumah nenek tanpa harus diam berjam jam di dalam mobil dengan udara panas dan terjebak kemacetan. Apalagi hariSabtu.
“Kak awas kelupaan bawa kresek putih di dapur. Isinya oleh oleh buat nenek. Ibu udah siapin tinggal kamu bawa. Barang barang Kaka udah dimasukin mobil belum?”tanya ibu yang sibuk membereskan barang Disa dan Dio di belakang mobil.
“Iya bu. Barang punya Kaka udah siap tapi belum dibawa. Bentar bawa dulu Bu,sekalin mau bawa juga kresek putih dari dapur” jawabku sambil menurunkan perlengkapan ayah dan ibu.
Setelah beberapa lama mempersiapkan barang barang dan oleh oleh yang akan dibawa ke rumah nenek akhirnya selesai juga. Kami akan berangkat pukul 07.20. Ayah bilang kita kesiangan. Harusnya kita berangkat tadi pas subuh biar enggak kejebak macet. Tapi kita malah lelet dan ayah bangun kesiangan.
“Udah aman belum bu rumahnya? Periksa aja lagi takut ada yang lupa” saran ayah pada ibu.
“Iya Yah, Ibu periksa dulu” kemudian ibu turun lagi dari mobil dan kembali kerumah.
Aku, Disa dan Dio sudah berada dimobil bersama ayah. Kami duduk ditengah, sedangkan ibu di depan dengan ayah. Jok bagian belakang hanya barang bawaan dan oleh oleh. Banyak sekali, hingga menggunung.
“Beres Yah, kita berangkat” kata ibu menutup pintu mobil.
“Siap, Bu. Bismillah”. Kami berangkat penuh gembira menuju rumah nenek.
Kami terjebak macet. Macet yang luar biasa, Hampir dua jam mobil ayah tak jalan jalan. Panas, gerah, ah aku sudah tak enak duduk. Aku ingin segera sampai kerumah nenek. Tapi kata ayah untuk menuju Bandung memerlukan waktu 5 jam lagi dalam keadaan macet begini. Kira kira kami akan sampai nanti malam. Heemmmm.... seharian berada dijalanan.
“Ayah kok lama banget sih macetnya? Dio pengen keluar gerah banget” keluh Dio pada ayah.
“Sabar De, bentar lagi kita jalan” ayah menenangkan.
Aku dan Disa berusaha menikmati perjalanan, meski memang sangat membosankan. Kulihat Disa sedikit murung dari tadi pagi. Tidak seperti kemarin malam. Disa dan Dio semangat untuk kerumah nenek.
“Kamu kenapa Disa? Dari tadi pas masih di rumah kamu kayak yang gak semangat gitu? Coba cerita ke Kakak!” kataku pada Disa yang duduk di sebelahku.
Disa tertegun dan terlihat pucat.
“Ayo Disa, cerita aja” desakku padanya.
“Sebenernya Disa semalem mimpi Kak. Mimpinya serem banget”.
“Yang bener, De? Kamu mimpi apa emangnya?” selidikku penasaran.
“Ah.....enggak, Kak. Itu cuman mimpi biasa kok. Disa aja yang terlalu mikirin,padahal gapapa.” kata Disa sambil menenangkan dirinya sendiri.
“Disaaaa kalo ada apa-apa cerita dong ke Kakak. Biar Kakak tau” timpalku padanya. Sebenarnya aku masih penasaran dengan mimpinya, karena dia enggak mau bicara aku tidak memperpanjang. Toh Disa sekarang jadi lebih baik setelah sedikit memberitahuku, tentang penyebab kemurungannya. Ya sudah aku juga tidak ambil pusing. Mobil berjalan merayap setelah kurang lebih tiga jam mobil kami hanya diam saja. Sekarang kembali normal dan lancar.
♥♥♥
Kira-kira dua jam lagi sampai di rumah nenek. Ini sudah pukul delapan malam. Dan di luar hujan deras, jalanan licin diguyur hujan.
“Wah hujannya gede, Yah! Masih lama enggak, sih Yah?” tanya ibu sambil meraih makanan di samping ayah.
“Iya Bu hujan dari tadi. Sekarang malah jadi gede. Dingin nih, sebentar lagi lah kita nyampe,” timpal ayah.
“Lah ko anak anak gak pada rebut, ya? Eh ternyata pada tidur. Kakak kenapa masih aja melek? Kamu gak cape? Tidurin aja Kak. Nanti ibu bangunin pas nyampe,” kata ibu padaku.
“Aku nggak bisa tidur, Bu. Nggak papa aku gak ngantuk, kok” sahutku.
Disa dan Dio dari tadi tidur. Aku hanya termangu dengan menulis sesuatu di kaca mobil yang berembun. Entah apa yang aku rasa. Dari tadi aku hanya melamun dan tidak enak hati. Astagfirullah… apa yang sedang kupikirkan. Tiba tiba terlintas fikiran buruk dibenakku. Ya Allah.. apa yang aku pikirkan.. Ah mungkin ini semua karena efek perjalanan terlalu lama dan segera ingin sampai di rumah nenek. Aku menenangkan diriku. Tiba tiba………
“AYAAAHHH AWAAASSSSS!!!!!!” teriak ibu memecahkan lamunanku.
Semua tidak terduga. “Bruuuuuukkkk….”. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil tronton yang mengangkut baja dari arah depan. Ayah banting setir, mobil yang dibawa ayah tak terkendali. Hingga akhirnya terpental lima meter lalu berguling guling hingga membuat mobil tak terbentuk dan hampir remuk.
Jalanan kacau. Tronton yang menabrak kami menghantam warung di pinggir jalan. Hingga akhirnya mobil ayah terseret dan menghancurkan pembatas jalan. Ini sangat tak terduga. Ya Allah… Astagfirullah…..
Ayah, setengah badannya keluar dari kaca mobil yang sudah bolong dengan darah melumuri seluruh wajah dan badannya, tetapi kakinya terjepit oleh pintu mobil. Wajah ibu hancur menghantam kaca depan mobil hingga badannya terbengkalai keluar dari depan kaca mobil. Terkulai lemas. Badan Disa tertimpa barang barang bawaan hingga badannya terjepit di dalam jok mobil. Kepala Dio terbentur pintu mobil hingga berdarah dan kakinya terkulai lemas seperti patah. Ya Allah, apa yang terjadi pada mereka yang kusayangi? Kenapa bukan aku? Kenapa aku tak sama berdarah dan hancur seperti mereka? Sedangkan aku, hanya berdarah di bagian kepala dan nyeri tulang di bagian lengan. Mereka meninggal dunia di tempat. Secepat inikah mereka meninggalkanku.
Orang orang berlarian menembus hujan deras. Menolong kami, menyelamatkan mayat-mayat keluargaku. Membawa mereka menepi. Ini mengerikan, jalanan acak acakan. Macet, bising klakson mobil-mobil membuatku lemas dan pingsan. Aku tak sadarkan diri.
Inikah perjalanan menyenangkan menuju rumah nenek? Apakah mimpi Disa benar sebuah pertanda? Andai aku lebih dulu tahu mimpi itu, akankah semua ini terjadi?
♥♥♥
Setelah peristiwa memilukan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Nenek menjengukku ke rumah sakit. Om yasir, tante gita, dan beny. Mereka memberi bela sungkawa dan menyemangatiku.
“Kamu sabar ya sayang. Jangan marah sama Allah. Ini semua sudah dituliskan oleh- Nya. Kamu harus tabah dan kuat. Ikhlasin ayah, ibu, Disa dan Dio, ya?! Doain mereka biar masuk surge bersama, Nak” Nenek terus menasihati sambil memelukku.
“Nenek… aku sayang mereka. Kenapa mereka ninggalin aku sendiri, Nek?”Tangisku pecah di pelukan nenek.
“Allah sayang mereka, makannya dipanggil duluan” ucapnya sambil menyekat air mata dari pipinya.
Aku mencoba menghabiskan kesedihanku dengan sendirinya. Om dan tante iba dengan keadaanku saat ini. Mereka ikut meneteskan airmatanya. Aku tidak bisa menahan kesedihan ini. Ya allah aku rindu mereka.
Hari demi hari hingga akhirnya berbulan-bulan jauh dari peristiwa yang menyakitkan itu. Sedikit demi sedikit aku bisa mengikhlaskan mereka. Akan tetapi trauma masih akan tetap ada. Hingga saat ini aku belum pernah lagi naik mobil, meskipun angkot sekali pun. Tidak, aku tidak ingin naik lagi roda empat. Itu sanagat menakutkan. Aku menjalani hidupku dengan normal, mengabiskan waktu layaknya seorang pelajar tingkat akhir. Aku telah mencoba melepas kenangan pahit tentang sebuah kehilangan.
Beberapa minggu lagi aku akan menghadapi ujian akhir nasional. Aku harus lebih giat lagi dalam belajar. Sebab aku harus menunaikan cita-citaku dan keinginan ibu untuk masuk UNPAD, jurusan Kedokteran. Aku harus yakin bahwa kerja keras tak akan mengkhianati sebuah hasil. Insya Allah ibu dan ayah akan bangga ketika melihat anaknya menjadi orang yang berguna bagi agama, bangsa dan sesama.
♥♥♥
Alhamdulillah tidak terasa masa masa SMA akan segera berakhir. Aku mendapatkan nilai ujian nasional terbesar sepropinsi. Dan saat itu aku mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik di sekolah. Aku mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah jurusan kedokteran di UNPAD tanpa biaya sepeser pun. Aku langsung mendapat udangan dari universitas tersebut. Memang benar kerja keras tak akan menghianati hasil, tapi aku tidak cepat puas sebab masih banyak target yang belum kutunaikan.
Hari ini tepat enam bulan meninggalnya ayah, ibu, Disa, dan Dio. Aku rindu mereka. Besok aku akan pergi berziarah ke makam. Sepulangnya dari sana aku akan pergi ke Bandung. Ya, ke rumah nenek dengan Om Gani. Aku ingin bertemu nenek. Mungkin nanti setelah lulus, aku akan tinggal di Bandung dengannya. Karena aku akan kuliah disana. Dan lokasinya lumayan dekat dengan rumah nenek. Aku hanya yakin pada Allah. Akan ada sesuatu baik yang bisa mengubah takdir hidup. Semoga Allah senantiasa merahmati dan memudahkan jalan hidup bagiku……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar