Selasa, 19 Maret 2019

NASKAH CERPEN FLS_ MEI-MEI, KAMI SAYANG KAU


FESTIVAL LITERASI SEKOLAH
Cabang Lomba : CIPTA CERPEN
Nama Siswa : Nuraeni
NISN : 0045279793
Nomor Registrasi:
FORMAT LEMBAR IDENTITAS
Cabang Lomba :CIPTA CERPEN
Naskah:CIPTA CERPEN_ MEI-MEI, KAMI SAYANG KAMU_0045279793
Nomor Registrasi:
Judul Naskah: MEI-MEI, KAMI SAYANG KAMU
Format Naskah Inti:
MEI-MEI, KAMI SAYANG KAMU!

            Aku pulang sekolah bersama kawan-kawan sekelas.  Hari pertama sekolah yang cukup melelahkan.  Betapa tidak?  Dari pagi hingga menjelang Zuhur, kami mendapat tugas untuk membersihkan lapangan sekolah yang sudah terbiar selama sebulan liburan panjang.  Belum lagi hujan yang menghadang, rasanya  serangan flu akan datang malam ini.
            Ada yang berkesan hari ini, kelasku kedatangan seseorang yang berbeda.  Namanya Mei-Mei.  Seorang WNI keturunan Tionghoa.  Sebelum kerja bareng tadi, ia sempat memperkenalkan diri di depan kelas.  Akan tetapi yang membuat kami heran,  ia tidak bergabung bersama kami di halaman sekolah. 
            “Zahra, kenapa Mei-Mei tidak mau bergabung sama kita, ya?” tanya Muna penasaran
            “Aku nggak tahu, tapi kata bu guru, dia masih adaptasi.  Kita yang harus banyak mendekatinya.”  Aku menjelaskan apa yang kudengar dari Bu Nita, guru kelas kami.
            “Sebenarnya kalau Mei-Mei nggak dijemput ayahnya, mau juga aku ngajak dia pulang bareng,” ujar Mayang menimpali.
            Perbincangan kami tentang Mei-Mei menjadi bahan pertanyaan di kepala kami hingga sampai di rumah masing-masing.
***
            Sesampai di rumah, aku sudah disambut oleh hidangan yang disediakan bunda.  Seperti biasa aku penasaran dan membuka tudung penutup hidangan makan siang.  Hemmmm, semua mengundang selera.  Sayur lodeh, tempe, tahu, ikan asin dan sambal.  Tidak tertinggal kerupuk udang.
            “Subhanallah Zahra, kebiasaan,ya?  Pulang-pulang langsung ke meja makan.  Nggak kangen sama Bunda?”  Bunda selalu mengingatkanku untuk mencium tangannya sebelum aku menyentuh apapun di rumah.  Kadang aku lupa dengan keinginan bunda yang satu ini.  “Maafkan aku Bunda,” ujar hatiku.
            Aku mencium tangan bunda dan seperti biasa, bunda selalu menyuruhku salat Zuhur begitu aku tiba di rumah.  Entah mengapa aku merasa berat, tidak seperti bunda yang terlihat begitu menikmati ibadahnya.
            “Bun, aku punya kawan baru, lho!”  Aku membuka perbincangan di meja makan.  Kami hanya berdua.  Ayahku pulang lewat  Magrib dari kantor.  Kakak-kakakku sudah tidak tinggal di rumah.  Mereka semua mondok di pesantren.  Tinggal aku yang belum dikirim ke pesantren.
            “Oh, ya? Asyik dong, nambah temen. “
            “Asyik nggak asyik, sih, Ma? Anaknya pendiem banget.  Dia lebih terlihat sebagai anak gedongan.  Pagi diantar, siang dijemput.  Kalau ada kegiatan bersama, dia malah menyendiri.”
            “Memangnya sudah berapa lama dia pindah ke sekolah Zahra?”
“Baru sehari, sih?!”
“Bunda kira sudah seminggu lebih.  Mungkin dia masih malu, merasa belum punya teman atau belum merasa nyaman.  Kamu sebagai siswa lama seharusnya sering-sering mendekati dia.  Semoga dengan begitu dia akan segera merasa nyaman.”
“Tapi, Bun….”  Aku ragu untuk bercerita lebih jauh.  Mungkin benar kata bunda, Mei-Mei butuh bantuan dari kami, kawan-kawan barunya.
“Siapa nama teman baru kamu itu, Zahra?” tanya bunda lagi.
“Mei-Mei, wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, matanya sipit.  Mirip bintang drakor, Bunda!”
Bunda mengusap kepalaku.  Sudah sering bunda mengingatkan, bahwa kebiasaanku menonton sinetron dan drama harus dikurangi.  Aku mencoba taat nasihat Bunda, tapi terkadang aku lupa.
***
Tidak terasa sudah dua pekan aku mencoba mendekati Mei-Mei.  Dia hanya sedikit bicara bahkan cenderung tertutup.  Bagaimanapun aku bersyukur, dari sekian banyak teman sekelas, akulah yang bisa berkomunikasi dengan Mei-Mei.
“Mei, aku boleh main ke rumah kamu?” tanyaku saat menunggu guru kelas kami datang.
“Nggak perlu, Zahra.  Kamu nggak akan merasa nyaman berada di rumahku!”  Mei-Mei menolak tegas permintaanku.
“Kalau begitu kamu yang main ke rumahku.  Mau?”
Mei-Mei tersenyum manis dan mengangguk. “Aku akan minta izin dulu sama papi aku..  Tapi alasannya harus tepat, Zahra.”
“Gampang, bilang aja kita ngerjain peer bareng. OK?!”
Aku tidak menyangka, siang ini aku berhasil mengajak Mei-Mei ke rumah.  Alhamdulillah, bunda juga selalu menerima dengan tangan terbuka saat aku membawa teman ke rumah.  Itu juga yang membuatku merasa dekat dengan semua teman-teman di kelas.  Ternyata sikap ramah bunda membuatku disukai teman-teman. “Terimakasih, Bunda.”
Bunda menyalami tangan Mei-Mei dan memeluknya penuh kasih sayang.  Aku agak heran, tidak biasanya Bunda seakrab itu dalam memperlakukan teman-teman.
“Mei, kamu sudah besar, Nak?” tanya Bunda.  Aku makin heran, pertanyaan Bunda seakan memberi tanda Bunda pernah mengenalnya.
“Bunda mengenal Mei-Mei?”   Aku tak dapat menahan rasa penasaranku.  Akan tetapi bunda tak segera menjawab.  Aku tak berani memaksa bunda.
“Tante mengenal Mei?”  Mei ikut heran dan penasaran.
“Nanti kita bincang-bincang di meja makan, ya?!”  Bunda menunda keingintahuan kami.
Aku dan Bunda salat Zuhur.  Sementara Mei menunggu di ruang tengah.  Ia langsung meminta izin membuka-buka bahan bacaan di ruang tengah keluargaku.  Aku tahu sekarang Mei-Mei gemar membaca.  Pantaslah selama di sekolah ia akrab dengan perpustakaan.
Rasanya tidak sabar mendengar cerita bunda tentang Mei-Mei, pikirku, mungkin bunda menunggu saat yang tepat.  Kami menuju meja makan..
Bunda tidak segera bercerita.  Sebaliknya malah banyak bertanya pada Mei.  Tentang keluarganya, tentang masa lalu Mei.  Yang mengherankan Mei bercerita dengan lancar, tidak seperti sikap tertutupnya di kelas. 
Dari perbincangan itu aku merekam data yang begitu memilukan.  Delapan tahun yang lalu,  keluarga Mei-Mei mendapat musibah.  Perampokan yang tak berperi kemanusiaan itu mengambil harta bahkan jiwa seluruh anggota keluarga Mei-Mei.  Hanya Mei yang selamat.  Ayah rekan kerja sekantor dengan ayah Mei, segera mencari kerabat terdekat Mei dan menyerahkan pengasuhan Mei.
“Sampai saat ini, Mei masih trauma dan takut pada orang yang tidak Mei kenal.  Mei takut, perampok yang ngejahatin keluarga Mei masih merasa dendam dan mencari Mei.”   Mei-Mei menunduk pilu, air mata bening mengalir di pipi putihnya.
“Tenanglah Mei, kini kamu lebih dekat dengan kami.  Orang-orang yang mempertemukanmu dengan kerabat.  Kalau kami mau dan berniat jahat pasti kami akan mengasukmu dan menggelapkan asal usul keluargamu.”
Mei-mei manunduk dalam mencerna kata-kata bunda.  Kemudian ia menatap wajah kami bergantian   Ada secercah harapan yang terpulas di wajahnya.  Senyuman yang merekah.
“Mei, biarkan masa lalu itu menjadi bagian cerita unik yang pernah kita lalui.  Cerita kita takkan pernah sama, karena Tuhan punya kehendak yang mutlak adanya.  Sangkaan baik kita akan mengubah nasib kearah yang berbeda.  Lebih menyenangkan dan penuh warna indah, “  ucap bunda bijak.  Ah, aku seakan mendengar kata-kata pencerahan dari seorang ustazah.
      
 Lampiran Surat Pernyataan:

SURAT PERNYATAAN
 KEASLIAN NASKAH CERITA PENDEK PESERTA FESTIVAL LITERASI SEKOLAH (FLS)
SMP TINGKAT NASIONAL TAHUN 2019

Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama: Nuraeni
NISN: 0045279793
Sekolah: SMPIT NURUL AMANAH
menyatakan bahwa naskah cerita pendek yang berjudul  MEI-MEI,  KAMI SAYANG KAMU, merupakan karya saya dan tidak mengandung unsure plagiarisme.  Jika ternyata ditemukan unsure plagiarisme pada seluruh atau sebagian dari karya ini maka saya bersedia didiskualifikasi sebagai peserta festival literasi sekolah (FLS) tahun 2019.

Demikian pernyataan ini saya sampaikan dengan sebenar-benarnya.

                                                                                                Tasikmalaya, 10 Maret 2019



                                                                                                NURAENI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...