FESTIVAL
LITERASI SEKOLAH
Cabang Lomba :
CIPTA CERPEN
Nama Siswa : Nuraeni
NISN : 0045279793
Nomor Registrasi:
FORMAT LEMBAR
IDENTITAS
Cabang Lomba :CIPTA
CERPEN
Naskah:CIPTA CERPEN_ MEI-MEI, KAMI
SAYANG KAMU_0045279793
Nomor Registrasi:
Judul Naskah: MEI-MEI, KAMI SAYANG KAMU
Format Naskah Inti:
MEI-MEI, KAMI
SAYANG KAMU!
Aku pulang sekolah bersama
kawan-kawan sekelas. Hari pertama
sekolah yang cukup melelahkan. Betapa
tidak? Dari pagi hingga menjelang Zuhur,
kami mendapat tugas untuk membersihkan lapangan sekolah yang sudah terbiar
selama sebulan liburan panjang. Belum
lagi hujan yang menghadang, rasanya
serangan flu akan datang malam ini.
Ada yang berkesan hari ini, kelasku
kedatangan seseorang yang berbeda.
Namanya Mei-Mei. Seorang WNI
keturunan Tionghoa. Sebelum kerja bareng
tadi, ia sempat memperkenalkan diri di depan kelas. Akan tetapi yang membuat kami heran, ia tidak bergabung bersama kami di halaman
sekolah.
“Zahra, kenapa Mei-Mei tidak mau
bergabung sama kita, ya?” tanya Muna penasaran
“Aku nggak tahu, tapi kata bu guru,
dia masih adaptasi. Kita yang harus
banyak mendekatinya.” Aku menjelaskan
apa yang kudengar dari Bu Nita, guru kelas kami.
“Sebenarnya kalau Mei-Mei nggak
dijemput ayahnya, mau juga aku ngajak dia pulang bareng,” ujar Mayang
menimpali.
Perbincangan kami tentang Mei-Mei
menjadi bahan pertanyaan di kepala kami hingga sampai di rumah masing-masing.
***
Sesampai di rumah,
aku sudah disambut oleh hidangan yang disediakan bunda. Seperti biasa aku penasaran dan membuka
tudung penutup hidangan makan siang.
Hemmmm, semua mengundang selera.
Sayur lodeh, tempe, tahu, ikan asin dan sambal. Tidak tertinggal kerupuk udang.
“Subhanallah
Zahra, kebiasaan,ya? Pulang-pulang
langsung ke meja makan. Nggak kangen
sama Bunda?” Bunda selalu mengingatkanku
untuk mencium tangannya sebelum aku menyentuh apapun di rumah. Kadang aku lupa dengan keinginan bunda yang
satu ini. “Maafkan aku Bunda,” ujar
hatiku.
Aku mencium tangan
bunda dan seperti biasa, bunda selalu menyuruhku salat Zuhur begitu aku tiba di
rumah. Entah mengapa aku merasa berat,
tidak seperti bunda yang terlihat begitu menikmati ibadahnya.
“Bun, aku punya
kawan baru, lho!” Aku membuka
perbincangan di meja makan. Kami hanya
berdua. Ayahku pulang lewat Magrib dari kantor. Kakak-kakakku sudah tidak tinggal di
rumah. Mereka semua mondok di pesantren. Tinggal aku yang belum dikirim ke pesantren.
“Oh, ya? Asyik
dong, nambah temen. “
“Asyik nggak
asyik, sih, Ma? Anaknya pendiem banget.
Dia lebih terlihat sebagai anak gedongan. Pagi diantar, siang dijemput. Kalau ada kegiatan bersama, dia malah
menyendiri.”
“Memangnya sudah
berapa lama dia pindah ke sekolah Zahra?”
“Baru sehari,
sih?!”
“Bunda kira
sudah seminggu lebih. Mungkin dia masih
malu, merasa belum punya teman atau belum merasa nyaman. Kamu sebagai siswa lama seharusnya
sering-sering mendekati dia. Semoga
dengan begitu dia akan segera merasa nyaman.”
“Tapi,
Bun….” Aku ragu untuk bercerita lebih
jauh. Mungkin benar kata bunda, Mei-Mei
butuh bantuan dari kami, kawan-kawan barunya.
“Siapa nama
teman baru kamu itu, Zahra?” tanya bunda lagi.
“Mei-Mei,
wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, matanya sipit. Mirip bintang drakor, Bunda!”
Bunda mengusap
kepalaku. Sudah sering bunda mengingatkan,
bahwa kebiasaanku menonton sinetron dan drama harus dikurangi. Aku mencoba taat nasihat Bunda, tapi
terkadang aku lupa.
***
Tidak terasa
sudah dua pekan aku mencoba mendekati Mei-Mei.
Dia hanya sedikit bicara bahkan cenderung tertutup. Bagaimanapun aku bersyukur, dari sekian
banyak teman sekelas, akulah yang bisa berkomunikasi dengan Mei-Mei.
“Mei, aku boleh
main ke rumah kamu?” tanyaku saat menunggu guru kelas kami datang.
“Nggak perlu,
Zahra. Kamu nggak akan merasa nyaman
berada di rumahku!” Mei-Mei menolak
tegas permintaanku.
“Kalau begitu
kamu yang main ke rumahku. Mau?”
Mei-Mei
tersenyum manis dan mengangguk. “Aku akan minta izin dulu sama papi aku.. Tapi alasannya harus tepat, Zahra.”
“Gampang,
bilang aja kita ngerjain peer bareng. OK?!”
Aku tidak
menyangka, siang ini aku berhasil mengajak Mei-Mei ke rumah. Alhamdulillah, bunda juga selalu menerima
dengan tangan terbuka saat aku membawa teman ke rumah. Itu juga yang membuatku merasa dekat dengan
semua teman-teman di kelas. Ternyata
sikap ramah bunda membuatku disukai teman-teman. “Terimakasih, Bunda.”
Bunda menyalami
tangan Mei-Mei dan memeluknya penuh kasih sayang. Aku agak heran, tidak biasanya Bunda seakrab
itu dalam memperlakukan teman-teman.
“Mei, kamu
sudah besar, Nak?” tanya Bunda. Aku
makin heran, pertanyaan Bunda seakan memberi tanda Bunda pernah mengenalnya.
“Bunda mengenal
Mei-Mei?” Aku tak dapat menahan rasa
penasaranku. Akan tetapi bunda tak
segera menjawab. Aku tak berani memaksa
bunda.
“Tante mengenal
Mei?” Mei ikut heran dan penasaran.
“Nanti kita
bincang-bincang di meja makan, ya?!”
Bunda menunda keingintahuan kami.
Aku dan Bunda
salat Zuhur. Sementara Mei menunggu di
ruang tengah. Ia langsung meminta izin
membuka-buka bahan bacaan di ruang tengah keluargaku. Aku tahu sekarang Mei-Mei gemar membaca. Pantaslah selama di sekolah ia akrab dengan
perpustakaan.
Rasanya tidak
sabar mendengar cerita bunda tentang Mei-Mei, pikirku, mungkin bunda menunggu
saat yang tepat. Kami menuju meja
makan..
Bunda tidak
segera bercerita. Sebaliknya malah
banyak bertanya pada Mei. Tentang
keluarganya, tentang masa lalu Mei. Yang
mengherankan Mei bercerita dengan lancar, tidak seperti sikap tertutupnya di
kelas.
Dari
perbincangan itu aku merekam data yang begitu memilukan. Delapan tahun yang lalu, keluarga Mei-Mei mendapat musibah. Perampokan yang tak berperi kemanusiaan itu
mengambil harta bahkan jiwa seluruh anggota keluarga Mei-Mei. Hanya Mei yang selamat. Ayah rekan kerja sekantor dengan ayah Mei,
segera mencari kerabat terdekat Mei dan menyerahkan pengasuhan Mei.
“Sampai saat
ini, Mei masih trauma dan takut pada orang yang tidak Mei kenal. Mei takut, perampok yang ngejahatin keluarga
Mei masih merasa dendam dan mencari Mei.”
Mei-Mei menunduk pilu, air mata bening mengalir di pipi putihnya.
“Tenanglah Mei,
kini kamu lebih dekat dengan kami.
Orang-orang yang mempertemukanmu dengan kerabat. Kalau kami mau dan berniat jahat pasti kami
akan mengasukmu dan menggelapkan asal usul keluargamu.”
Mei-mei manunduk
dalam mencerna kata-kata bunda. Kemudian
ia menatap wajah kami bergantian Ada
secercah harapan yang terpulas di wajahnya.
Senyuman yang merekah.
“Mei, biarkan
masa lalu itu menjadi bagian cerita unik yang pernah kita lalui. Cerita kita takkan pernah sama, karena Tuhan
punya kehendak yang mutlak adanya.
Sangkaan baik kita akan mengubah nasib kearah yang berbeda. Lebih menyenangkan dan penuh warna indah, “ ucap bunda bijak. Ah, aku seakan mendengar kata-kata pencerahan
dari seorang ustazah.
SURAT
PERNYATAAN
KEASLIAN NASKAH CERITA PENDEK PESERTA FESTIVAL
LITERASI SEKOLAH (FLS)
SMP TINGKAT
NASIONAL TAHUN 2019
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama: Nuraeni
NISN:
0045279793
Sekolah: SMPIT
NURUL AMANAH
menyatakan bahwa naskah cerita pendek yang berjudul MEI-MEI,
KAMI SAYANG KAMU, merupakan karya saya dan tidak mengandung unsure
plagiarisme. Jika ternyata ditemukan
unsure plagiarisme pada seluruh atau sebagian dari karya ini maka saya bersedia
didiskualifikasi sebagai peserta festival literasi sekolah (FLS) tahun 2019.
Demikian pernyataan ini saya sampaikan dengan sebenar-benarnya.
Tasikmalaya,
10 Maret 2019
NURAENI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar