Kisah Ke-13
TAK SEINDAH
NEGERIKU
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#RayuanPulauKelapaIsmailMarzuki
Kandungan Denia
sudah memasuki usia usia tujuh bulan.
Kami mengadakan syukuran untuk kandungannya itu.
Di tengah
kebahagiaan itu, notifikasi wa berdenting.
“Kak Mutia, ada
pesan wa dari Mas Bagas.”
“Apa isinya
Denia?” tanyaku penasaran
“Denia, tolong
siapakan keberangkatanmu ke Jerman. Darurat.
Seminggu ini aku harap kamu hadir!
Mas butuh kamu. Kamu sayang Mas,
kan. Juga Albiruni dan buah hati di
kandunganmu?”
Aku membaca
barisan huruf di layar pendar itu. Ada
apa dengan Bagas? Aku teringat email
Bagas terakhir yang diforward Denia ke emailku.
Berlin, disudut kesendirianku yang makin merindu
Assalamu’alaikum, Denia, sayang
Semoga keselamatan, keamanan dan pemeliharaan untuk kita dan buah
hati yang selalu aku rindukan.
Di Berlin ini
aku seperti tinggal di tanah air. Banyak
restoran yang dikelola muslim Libanon, Turki atau Pakistan. Apalagi aku tinggal di masjid Al Fatah yang
menyediakan kos untuk mahasiswa Indonesia.
Tempatnyapun dekat dengan kampus.
Alhamdulillah aku baik-baik saja di sini Denia.
Denia, untuk
kesekian kalinya Hasna menemuiku. Sabar
sayang, aku cukup tahu diri untuk tidak berdua-duaan dengannya. Aku selalu berusaha mengajak orang lain di
dinner yang dia sediakan untukku. Mohon
maaf aku yang tak sanggup menolaknya.
Bagaimanapun masalah berat yang menimpanya membutuhkan jawaban dari
kita.
Hasna
mengeluhkan penyakitnya. Tumor di
rahimnya harus segera di angkat kalau nggak mau berkembang menjadi kanker. Hasna bersikukuh tidak mau melakukan
operasi. Ia yakin kalau penyebabnya
telat menikah, dia yakin dengan menikah dan memiliki anak, tumor itu akan
hilang dengan sendirinya.
Cukup
membingungkan dari mana dia mendapat keyakinan seperti itu. Untuk seseorang yang akan menyelesaikan
doktoralnya. Sungguh aneh.
Denia, maafkan
aku. Malam ini Hasna mengundangku dinner
di Restoran Elreda. Jangan khawatir kami
bertiga, makan malam di restoran itu.
Mas Abdi, Ikhwah di Masjid Al Fatah Indonesische Kultur und Weisheitkopper (Badan Kebijasanaan dan Budaya Indonesia) akan menemani pertemuan malam
ini. Jaraknya hanya 2,1 km sebelah utara
kampusku di Universitas Teknologi Jerman.
Kalau dari Pusat Budaya sekitar 3,2 km ke arah timur laut.
Sayang, kau
adalah yang terindah yang Allah titipkan buatku. Segeralah menyusulku. Ada tanda Hasna menyukai aku namun anehnya
dia juga menginginkan kamu hadir dalam hidupnya. Cobalah kau hubungi Hasna, ini no wanya 0049203462894813.
Sekali lagi
coba pertimbangkan untuk segera kemari Denia, aku pikir biaya disini masih
terjangkau. Kalaupun kamu ke Jerman,
akan mudah mencari kerja di sini. Usaha
kita cobalah kau tawarkan ke Kak Mutia.
Kamu bisa mengurus visa Schengen untuk 90 hari tinggal di sini. Dalam tiga hari sampai seminggu akan selesai. Sementara itu visa nasional untuk menetap
bisa kau ajukan sekarang. Baru akan
selesai enam sampai delapan minggu. Visa itu bisa untuk menyambung visa
Schengenmu.
Aku akan tetap setia hanya dengan kamu
Wassalam
Membaca email
ini aku terpikir tentang keluarga poligami yang menjadi cita-citaku dan Mas
Lukman. Tapi karena belum ada izin
Allah, cita-cita itu hanya tinggal obsesi tak bertepi. Bahkan orang lain banyak yang menganggap
obsesiku ini aneh. Mungkinkan Denia yang
justru akan mengalaminya? Buatku
keluarga poligami adalah cara hidup yang unik, penuh berkah dan hikmah di
dalamnya. Tapi entahlah pendapat Denia
dan Bagas.
“Kak Mutia
bagaimana ini sebaiknya?” Denia meminta
pertimbanganku.
“Kalau Kak
Mutia memang punya cita-cita berpoligami.
Jadi kalau ada akhwat yang bersedia dimadu, aku akan melamar dia buat
Mas Lukman.”
“Wah, itu belum
terpikir sama Denia, Kak. Sepertinya
perlu diskusi panjang memindahkan pola pikir Kak Mutia ke pikiran dan perasaan
Denia.” Denia nyengir lucu. Aku cubit hidung mancungnya, gemas.
“Kalau kamu
percaya sama aku untuk mengelola usahamu akan aku lakukan. Tentang pemesanan online, tetap bisa kamu
kendalikan dari Berlin bukan, biar aku yang mengawasi si sini.”
“Kak Mutia
tidak akan terganggu kegiatan menulisnya?
Denia lihat tulisan kakak banyak terbit belakangan ini. Antologi bahkan yang solo juga sedang dalam
proses.”
“Menulis itu
buat Kak Mutia bukan profesi tapi rekreasi Denia, jadi santai saja. Yang terpenting ketaatanmu pada Bagas dan
terjaganya dia dari potensi gangguan.”
Sejak
perbincangan kami setelah syukuran kandunga Denia, kami sibuk mempersiapkan hal
yang diperlukan untuk keberangkatan Denia.
Paspor sudah Denia buat jauh-jauh hari, tinggal pengurusan visa dan pemesanan tiket pesawat.
Sementara Denia
mempersiapkan kepindahannya, aku belajar memahami pengelolaan usaha kecil
Denia, Pembukuan, daftar pesanan,
penentuan harga dan semuanya. Ternyata
perlu waktu terlalu lama waktu untuk
memahami pekerjaan Denia.
Semua sudah siap, Denia dan Albiruni yang baru berusia tiga tahun siap
berangkat. Aku melepas kepergian mereka
di bandara. Garuda yang gagah itu
membawa mereka, terbang mengangkasa.
Mengingatkan peristiwa empat tahun yang lalu saat aku bersama Mas Lukman
pergi ke Negara tujuan yang sama, Berlin, Jerman.
***
Perasaan yang
kualami empat tahun silam tentu dirasakan Denia saat ini. Berada di negeri asing. Tanpa sanak saudara, kecuali saudara seiman.
Aku berpesan
agar Denia selalu menghubungi aku. Melalui
apa saka, wa, fb ataupun telpon langsung.
Di tengah siang
hari, saat aku sibuk dengan kegiatan baruku, mengawasi pegawai. Denia menghubungiku via chat fb. Ternyata sudah sepuluh menit yang lalu chat
itu masuk. Aku segera membukanya di
mesenger. Obrolanku dengan Denia cukup
panjang dengan bahasa chat yang dipenuhi singkatan kata yang merusak
bahasa. Tapi aku bisa menikmatinya dalam
bahasa hati.
“Assalamu’alaikum,
Kak Mutia, apa kabar? Maaf Denia baru
bisa ngehubungin via chat fb sekarang.”
Segera kujawab
chat Denia.
“Kamu sehat
Denia. Penerbangan ke Berlin kemarin
pengalaman naik pesawat kamu yang pertama,kan?
Jetlag dengan kondisi kandungan sebesar itu semoga tidak menimbulkan
keluhan apapun. Jamu masuk angin yang Kak
Mutia bekalkan bisa mengurangi ketidaknyamanan karena perubahan iklim ekstrim. Oya di sana sedang musim apa Denia?”
“Alhamdulillah
musim panas, Kak. Jadi Denia bisa lebih cepat
beradaptasinya.”
“Syukurlah. Kamu dimana sekarang?”
“Aku dan
rombongan dari Al Falah sedang ngadain acara tafakur alam di pantai Sylt.”
“Wah, itu
pantai terindah di Jerman menurutku.
Tapi hati-hati banyak nudis yang mengunjungi pantai itu juga. Wah, tafakur kalian bisa berakibat sakit
mata.”
“Tujuan kami
justru memberi warna yang berbeda. Pusat
Budaya dan Kebijaksanaan Indonesia di Jerman ingin memberi alternative cara
hidup. Kalau labelnya agama, biasanya
mereka langsung fobia tapi kalau labelnya budaya, mereka lebih bisa menerima.”
“Sepertinya,
Bagas aktif secara struktural di BKBI, ya?
Kamu paham betul visi mereka.”
“Nggak juga,
Kak. Hanya cukup aktif saja dan kami tinggal di tempat kos yang mereka
kelola. Jadi tiap kegiatan pasti ikut,
kecuali yang bentrok dengan jadwal kuliah Mas Bagas.”
“Denia seindah-indah
pantai di Jerman tetapa indah pantai di negeri kita, ya? ”
“Betul banget, Kak. Pantaslah mereka lebih mengagumi pantai di
Indonesia. Pangandaran, Anyer yang penuh
pohon kelapa. Di sini nggak ada pohon
kelapa. Vegetasinya paling rumput mirip
ilalang dekat pasir putihnya. Denia jadi
ingat syair ini, Kak.”
Denia
mengirimiku sebuah syair, yang pasti membuatnya rindu tanah air.
“Tanah airku Indonesia
Negeri elok amatku cinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman
dan makmur
Pulau kelapa yang
amat subur
Pulau melati pujaan
bangsa
Sejak dulu kala
Melambai lambai nyiur
di pantai
Berbisik bisik Raja
Kelana
Memuja pulau
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah airku Indonesia”
“Sabar Denia, damping
dulu Bagas. Dua tahun nggak lama. Semoga Allah persatukan kembali kita di tanah
air. Tafakurmu akan tetap berarti dengan
menyadari keindahan pada keragaman apa yang diciptakan-Nya.”
Chat ini kami
akhiri dengan kiriman gambar Denia dari pulau Sylt di pagi hari lepas Subuh
pukul delapan seperempat waktu Jerman.
Ilalang itu, pasir putihnya, mercusuar merah putih, ombak pantai yang
tenang, langit biru kemerahan di ufuk timur dan rupah beratap kayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar