Rabu, 17 Oktober 2018

Seri Kisah Denia, Kisah Ke-13


Kisah Ke-13
TAK SEINDAH NEGERIKU
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#RayuanPulauKelapaIsmailMarzuki

Kandungan Denia sudah memasuki usia usia tujuh bulan.  Kami mengadakan syukuran untuk kandungannya itu.
Di tengah kebahagiaan itu, notifikasi wa berdenting.
“Kak Mutia, ada pesan wa dari Mas Bagas.”
“Apa isinya Denia?” tanyaku penasaran
“Denia, tolong siapakan keberangkatanmu ke Jerman. Darurat.  Seminggu ini aku harap kamu hadir!  Mas butuh kamu.  Kamu sayang Mas, kan.  Juga Albiruni dan buah hati di kandunganmu?”
Aku membaca barisan huruf di layar pendar itu.  Ada apa dengan Bagas?  Aku teringat email Bagas terakhir yang diforward Denia ke emailku.

Berlin, disudut kesendirianku yang makin merindu
Assalamu’alaikum, Denia, sayang

Semoga keselamatan, keamanan dan pemeliharaan untuk kita dan buah hati yang selalu aku rindukan.

Di Berlin ini aku seperti tinggal di tanah air.  Banyak restoran yang dikelola muslim Libanon, Turki atau Pakistan.  Apalagi aku tinggal di masjid Al Fatah yang menyediakan kos untuk mahasiswa Indonesia.  Tempatnyapun dekat dengan kampus.  Alhamdulillah aku baik-baik saja di sini Denia.
Denia, untuk kesekian kalinya Hasna menemuiku.  Sabar sayang, aku cukup tahu diri untuk tidak berdua-duaan dengannya.  Aku selalu berusaha mengajak orang lain di dinner yang dia sediakan untukku.  Mohon maaf aku yang tak sanggup menolaknya.  Bagaimanapun masalah berat yang menimpanya membutuhkan jawaban dari kita. 
Hasna mengeluhkan penyakitnya.  Tumor di rahimnya harus segera di angkat kalau nggak mau berkembang menjadi kanker.  Hasna bersikukuh tidak mau melakukan operasi.  Ia yakin kalau penyebabnya telat menikah, dia yakin dengan menikah dan memiliki anak, tumor itu akan hilang dengan sendirinya.
Cukup membingungkan dari mana dia mendapat keyakinan seperti itu.  Untuk seseorang yang akan menyelesaikan doktoralnya.  Sungguh aneh.
Denia, maafkan aku.  Malam ini Hasna mengundangku dinner di Restoran Elreda.  Jangan khawatir kami bertiga, makan malam di restoran itu.  Mas Abdi, Ikhwah di Masjid Al Fatah Indonesische Kultur und Weisheitkopper (Badan Kebijasanaan dan Budaya Indonesia) akan menemani pertemuan malam ini.  Jaraknya hanya 2,1 km sebelah utara kampusku di Universitas Teknologi Jerman.  Kalau dari Pusat Budaya sekitar 3,2 km ke arah timur laut.
Sayang, kau adalah yang terindah yang Allah titipkan buatku.  Segeralah menyusulku.  Ada tanda Hasna menyukai aku namun anehnya dia juga menginginkan kamu hadir dalam hidupnya.  Cobalah kau hubungi Hasna, ini no wanya  0049203462894813.
Sekali lagi coba pertimbangkan untuk segera kemari Denia, aku pikir biaya disini masih terjangkau.  Kalaupun kamu ke Jerman, akan mudah mencari kerja di sini.  Usaha kita cobalah kau tawarkan ke Kak Mutia.  Kamu bisa mengurus visa Schengen untuk 90 hari tinggal di sini.  Dalam tiga hari  sampai seminggu akan selesai.  Sementara itu visa nasional untuk menetap bisa kau ajukan sekarang.  Baru akan selesai enam sampai delapan minggu. Visa itu bisa untuk menyambung visa Schengenmu.
Aku akan tetap setia hanya dengan kamu  
Wassalam

Membaca email ini aku terpikir tentang keluarga poligami yang menjadi cita-citaku dan Mas Lukman.  Tapi karena belum ada izin Allah, cita-cita itu hanya tinggal obsesi tak bertepi.  Bahkan orang lain banyak yang menganggap obsesiku ini aneh.  Mungkinkan Denia yang justru akan mengalaminya?  Buatku keluarga poligami adalah cara hidup yang unik, penuh berkah dan hikmah di dalamnya.  Tapi entahlah pendapat Denia dan Bagas.
“Kak Mutia bagaimana ini sebaiknya?”  Denia meminta pertimbanganku.
“Kalau Kak Mutia memang punya cita-cita berpoligami.  Jadi kalau ada akhwat yang bersedia dimadu, aku akan melamar dia buat Mas Lukman.”
“Wah, itu belum terpikir sama Denia, Kak.  Sepertinya perlu diskusi panjang memindahkan pola pikir Kak Mutia ke pikiran dan perasaan Denia.”  Denia nyengir lucu.  Aku cubit hidung mancungnya, gemas.
“Kalau kamu percaya sama aku untuk mengelola usahamu akan aku lakukan.  Tentang pemesanan online, tetap bisa kamu kendalikan dari Berlin bukan, biar aku yang mengawasi si sini.”
“Kak Mutia tidak akan terganggu kegiatan menulisnya?  Denia lihat tulisan kakak banyak terbit belakangan ini.  Antologi bahkan yang solo juga sedang dalam proses.”
“Menulis itu buat Kak Mutia bukan profesi tapi rekreasi Denia, jadi santai saja.  Yang terpenting ketaatanmu pada Bagas dan terjaganya dia dari potensi gangguan.”
Sejak perbincangan kami setelah syukuran kandunga Denia, kami sibuk mempersiapkan hal yang diperlukan untuk keberangkatan Denia.  Paspor sudah Denia buat jauh-jauh hari, tinggal pengurusan visa  dan pemesanan tiket pesawat.
Sementara Denia mempersiapkan kepindahannya, aku belajar memahami pengelolaan usaha kecil Denia,  Pembukuan, daftar pesanan, penentuan harga dan semuanya.  Ternyata perlu waktu terlalu  lama waktu untuk memahami pekerjaan Denia.

Semua sudah siap, Denia dan Albiruni yang baru berusia tiga tahun siap berangkat.  Aku melepas kepergian mereka di bandara.  Garuda yang gagah itu membawa mereka, terbang mengangkasa.  Mengingatkan peristiwa empat tahun yang lalu saat aku bersama Mas Lukman pergi ke Negara tujuan yang sama, Berlin, Jerman.

***

Perasaan yang kualami empat tahun silam tentu dirasakan Denia saat ini.  Berada di negeri asing.  Tanpa sanak saudara, kecuali saudara seiman.
Aku berpesan agar Denia selalu menghubungi aku.   Melalui apa saka, wa, fb ataupun telpon langsung.
Di tengah siang hari, saat aku sibuk dengan kegiatan baruku, mengawasi pegawai.  Denia menghubungiku via chat fb.  Ternyata sudah sepuluh menit yang lalu chat itu masuk.  Aku segera membukanya di mesenger.  Obrolanku dengan Denia cukup panjang dengan bahasa chat yang dipenuhi singkatan kata yang merusak bahasa.  Tapi aku bisa menikmatinya dalam bahasa hati.
“Assalamu’alaikum, Kak Mutia, apa kabar?  Maaf Denia baru bisa ngehubungin via chat fb sekarang.”
Segera kujawab chat Denia.
“Kamu sehat Denia.  Penerbangan ke Berlin kemarin pengalaman naik pesawat kamu yang pertama,kan?  Jetlag dengan kondisi kandungan sebesar itu semoga tidak menimbulkan keluhan apapun.  Jamu masuk angin yang Kak Mutia bekalkan bisa mengurangi ketidaknyamanan karena perubahan iklim ekstrim.  Oya di sana sedang musim apa Denia?”
            “Alhamdulillah musim panas, Kak.  Jadi Denia bisa lebih cepat beradaptasinya.”
“Syukurlah.  Kamu dimana sekarang?”
“Aku dan rombongan dari Al Falah sedang ngadain acara tafakur alam di pantai Sylt.”
“Wah, itu pantai terindah di Jerman menurutku.  Tapi hati-hati banyak nudis yang mengunjungi pantai itu juga.  Wah, tafakur kalian bisa berakibat sakit mata.”
“Tujuan kami justru memberi warna yang berbeda.  Pusat Budaya dan Kebijaksanaan Indonesia di Jerman ingin memberi alternative cara hidup.  Kalau labelnya agama, biasanya mereka langsung fobia tapi kalau labelnya budaya, mereka lebih bisa menerima.”
“Sepertinya, Bagas aktif secara struktural di BKBI, ya?  Kamu paham betul visi mereka.”
“Nggak juga, Kak. Hanya cukup aktif saja dan kami tinggal di tempat kos yang mereka kelola.  Jadi tiap kegiatan pasti ikut, kecuali yang bentrok dengan jadwal kuliah Mas Bagas.”
“Denia seindah-indah pantai di Jerman tetapa indah pantai di negeri kita, ya? 
“Betul banget, Kak.  Pantaslah mereka lebih mengagumi pantai di Indonesia.  Pangandaran, Anyer yang penuh pohon kelapa.  Di sini nggak ada pohon kelapa.  Vegetasinya paling rumput mirip ilalang dekat pasir putihnya.  Denia jadi ingat syair ini, Kak.”
Denia mengirimiku sebuah syair, yang pasti membuatnya rindu tanah air.

“Tanah airku Indonesia
Negeri elok amatku cinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa

Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala

Melambai lambai nyiur di pantai
Berbisik bisik Raja Kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah airku Indonesia”

“Sabar Denia, damping dulu Bagas.  Dua tahun nggak lama.  Semoga Allah persatukan kembali kita di tanah air.  Tafakurmu akan tetap berarti dengan menyadari keindahan pada keragaman apa yang diciptakan-Nya.”
Chat ini kami akhiri dengan kiriman gambar Denia dari pulau Sylt di pagi hari lepas Subuh pukul delapan seperempat waktu Jerman.  Ilalang itu, pasir putihnya, mercusuar merah putih, ombak pantai yang tenang, langit biru kemerahan di ufuk timur dan rupah beratap kayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...