Kamis, 18 Oktober 2018

Seri Kisah Denia, Kisah Ke-14


KEHORMATAN NEGERIKU
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#BenderaCokelat

Berada dalam komunitas saudara seiman di Pusat Budaya dan Kebijaksanaan Indonesia, membuat Denia cepat betah berada di Berlin.  Sahabat baru yang aku perkenalkan padanya sebagian masih ada dan sebagiannya sudah pulang ke Indonesia.  Ada Mas Abdi, Mbak Fairuz, Ukhti Gita.  Semua begitu bersahabat, terikat dalam ukhuwah islamiyah dan wathoniyah.

Tahun 2014 hingga 2015 adalah tahun yang paling mencekam di Jerman dan sebagian Negara Eropa yang lain.  Semua karena islamophobia.   Bermula dari scenario pemboman WTC 11 September 2001.  Peta politik, arah peradaban, kebijakan Negara di Eropa dan Amerika banyak dipengaruhi gerakan islamfobia. 

Di Jerman, aksi-aksi demostrasi hingga lebih dari dua puluh ribu yang digerakkan oleh PEGIDA (Patriotische Europaer Gegen die Islamisierung des Abendlandes).  Mereka memproklamirkan sebagai pahlawan Eropa yang melawan islamisasi di dunia barat.  Puncaknya adalah pembakaran masjid Sultan Ahmed di Rhine Westphalia di tahun 2015.

Mutia, kita harus merapat di komunitas muslim Indonesia di Berlin ini.  Ada masjid Al Fatah yang didirikan WNI di Jerman sejak 2008.  Organisasinya pun cukup solid  namanya IKWK, (Indonesische Kultur und Weisheitskopper)

Iya, Mas.  Dengan pakaian ini, aku sering mendapat satu atau dua tatapan penuh curiga  tiap aku keluar rumah.  Kadang ada rasa terancam juga.  Kemarin ada yang mencak-mencak waktu aku jalan-jalan melihat Kanal Landwehr di jembatan jalan besar depan UT Berlin.  Terus di waktu di taman  Ernst-Reuter-Platz juga.  Untung aku nggak tahu apa yang mereka katakan.

Mas Lukman masih membolak-balikkan buku referensinya, menyusun tugas.  Ada beban baru berada di negeri asing dalam kondisi sebagai minoritas.  Bayangkan, kadang dalam dua bulan saja, tindakan kekerasan terhadap muslim dan fasilitasnya dapat mencapai tiga puluh kasus.
Hanya keyakinan Allah SWT selalu melihat dan memelihara hambaNya membuat kami kuat. 

Esok hari kami berencana  mengunjungi IKWK, ada Buya Yahya ulama dari Al Bahjah Cirebon.  Ulama kharismatisyang akan mengisi pengajian di Al Fatah.  Temanya tentang berdakwah di negeri minoritas muslim.

Semoga keadaan yang lebih baik untuk Denia dan Bagas.  Kekhawatiranku membuatku makin intens mencari berita perkembangan politik di Jerman.  Subhanallah seiring dengan makin banyaknya semangat ingin tahu pada Islam, makin banyak penyerangan dan ancaman terhadap masjid.  Ternyata sampai Maret tahun ini terror terhadap masjidmakin meluas.  Bukan hanya islamfobia tapi juga dari sayap kanan kemerdekaan Kurdistan yangsudah dilarang di Jerman. 

Ya Rabb lindungi kami, Ya Mukmin, ya Muhaimin, Ya Salam, salimna bil iman wal islam.  Aku menambah dzikir itu di tiap kesempatan aku ingat Dia.

***
Seminggu setelah peristiwa itu, Denia bercerita.

Semua pegiat IKWK sedang melakukan aktifitasnya masing-masing.  Tidak banyak yang berada di lokasi.  Hanya beberapa orang Denia di kantin, menata interior kafe supaya tampak lebih nyaman dan elegan.  Kuliah Denia yang mengambil desain interior membuat semua ruangan di IKWK termasuk Masjid Al Fatah makin nyaman dan menyenangkan untuk siapa saja yang mengunjunginya.  Bahkan mereka yang non-muslim.

Di  ruang diniyah samping kiri Al Fatah, Ummi Fairuz sedang menyelesaikan pembagian rapot hasil belajar putra putrid pegiat IKWK.

Di ruang belajar diniyah berukuran tujuh kali delapan meter itu, dilengkapi bendera Indonesia, merah putih dan bendera Jerman.
Tiba-tiba, Ummi Fairuz berteriak meminta tolong.
Denia, tolong ada yang melempar ke ruang diniyah! Suara Ummi Fairuz tidak terlalu terdengar oleh Denia.  Akan tetapi suara buraian kaca membuat Denia langsung menghambur dari kafe yang diberi nama Al Aufy itu.  Suraya salah satu pegawai kafe membersihkan pecahan kaca itu.
Ummi, ada apa?  Ummi, baik-baik saja?Denia siap dengan tongkat bambunya.  Kandungannya yang masuk bulan ke delapan tertutup jilbab syari.
Seseorang berpenutup kepala dan wajah.  Yang tampak hanya matanya.  Dia bicara dalam bahasa Jerman yang belum dipahami Denia.  Ummi Fairuz dan beberapa mahasiswa senior memahami bahasa itu. 
Denia, kita hadapi orang ini dengan dialog.  Tidak ada laki-laki yang berada di IKWK saya pikir dia akan malu melakukan tidak kekerasan.  Tapi kalau ternyata di nekat, telpon polisi satu-satu-kosong

Ummi Fairuz memulai perbincangan dalam bahasa jerman yang fasih.
Selamat datang di tempat kami. Badan Kebijaksanaan dan Budaya Indonesia.  Kami akan sangatsenang menerima tamu siapa juga termasuk anda.
Terus terang aku tidak ada maksud untuk berbaik-baik di sini.  Makanya aku memakai pakaian seperti ini, justru saya tidak sedang ingi berkenalan dengan siapapun di sini.
Kalau boleh tahu kenapa anda berniat jahat pada kami?
Kalian pendatang dengan agama kalian itu berambisi menguasai Jerman dan seluruh Eropa.  Kami akan menjadi bangsa yang terpinggirkan mungkin akan punah.  Juga kalian orang-orang Indonesia bat apa kalian pasang bendera ini.  Pria itu menuju bendera merah putih di pojok ruangan.

Semua serta merta menuju arah yang sama.  Kamu boleh menghinakan pribadi kami tapi tidak dengan bendera ini.  Kami memasang ini bukan untuk mengganti bendera Jerman.  Itu tidak ada manfaatnya.  Kami sandingkan dengan bendera Jerman sebagai lambing persahabatan yang indah.  Merah putih ini untuk mengingatkan kami bahwa kami punya tanah air yang harus selalu dijaga kehormatannya oleh kami di tanah rantau ini  Denia mencoba menjelaskan dengan bahasa campuran sesuai kemampuannya.  Pria itu marah tidak bisa menyalurkan napsu untuk merenggut merah putih yang diamankan Denia.

Sudah menjadi sifat dari pegiat IKWK untuk menghormati tamu dan tetangga.  Itulah bagian dari budaya yang ingin diperkenalkan kepada mereka.  Gita, mahasiswi Indonesia di Universitas Berlin membawakan air minuman juga makanan kecil khas Indonesia dari kafe.  Mendapat perlakuan penuh penghormatan dan ketulusan, pria itu membuka tutup kepalanya.

Seorang pemuda kulit putih yang tampan, sebagaimana pemuda jerman umumnya.  Usianya sekitar 25 tahun.  Namanya  Ehren Derry.

Perbincangan berlanjut lebih akrab dan positif.  Denia mencoba memahaminya.  Sedikit banyak dia tahu maksud secara garis besarnya namun tidak detail perkatanya.

Sebenarnya tersisih tidaknya sebuah bangsa lebih karena sikap bangsa itu sendiri.  Keberadaan kami tidak mengambil sedikit pun jatah rejeki kalian.  Karena kami mengenal konsep bahwa rejeki tidak pernah tertukar.  Allah SWT yang mengaturnya.  Selaki pengambilan jatah rejeki itu bukan dalam rangka keserakahan maka tiap makhluk ciptaan Tuhan punya hak untuk menyambung hidupnya.  Dalam Islam juga bila seseorang punya kelebihan dalam harta karena bertuah usahanya, harus turut berbagi pada sesame tidak peduli apapun agama dan suku bangsanya.  Ummi Fairuz melanjutkan sambil menyantap makanan khas Indonesia bersama Derry, juga Denia.

Dalam hati Denia, betapa bahagianya apa bila bisa menguasai bahasa mereka.  Denia kadang menimpali dengan bahasa Inggris.  Beruntung Ehren memahaminya bahkan sesekali dia menggunakan bahasa Inggris.

Percayalah kami hanya ingin menyebarkan kebaikan, keselamatan bersama dan kerjasama yang berkah saling menguntungkan untuk siapapun.Denia ikut berdiskusi dalam bahas Inggris yng lancar.

Ada sesuatu yang ingi saya tanyakan.  Anda tadi bilang bahwa kalaupun ada kekhawatiran bangsa kulit putih tersingkir leih disebabkan kesalahan kami sendiri.  Maksudnya?

Yang punya paham liberal kalian bukan?  Keinginan bebas itu membuat kalian tidak suka dengan beban tanggung jawab memiliki anak.  Tapi kalian mau menikmati hubungan suami istri.  Akibatnya kalian memilih berhubungan tanpa ikatan nikah.  Kalaupun  menikah rata-rata hanya memiliki anak satu atau dua bahkan tidak sama sekali.  Di sisi lain kebebasan yang kalian agungkan memberi peluang pada LGBT untuk hidup subur.  Angka kelahiran makin rendah.  Tidak ada regenerasi diantara kaum LGBT itu. Kecerdasan diplomasi Denia makin dirasakan Ummi Fairuz dari tutur Denia.

Kalau kultur kalian sendiri bagaimana?  Aku ingin tahu perbenaannya sehingga aku bisa merasakan kehangatan di sini.  Rasanya banyak yang harus aku tahu dari kalian. Ehren makin terbuka dan rileks dengan menikmati baso hangat dan jeruk panas yang disajikan.  Berkali-kali dia memuji makanan Indonesia.

Kultur di Indonesia sangat terwarnai oleh nilai-nilai Islam.  Islam bukan budaya.  Tapi ketika nilai-nilai islam diikuti seseorang, maka seseorang dengan nilai Islam akan melahirkan budaya.  Suatu proses yang alami dan otomatis.  Sebagaimana sesorang atau sekelompok orang dengan nilai-nilai buruk dalam dirinya akan melahirkan budaya sesuai pancaran jiwannya, jelas Ummi Fairuz.  Kali ini Ummi Fairus menggunakan bahasa Inggris.  Tentu supaya dapat dimengerti dengan mudah oleh Denia.

Ehren Derry merasa mendapat pelajaran berharga dari para pegiat IKWK.  Ada tatap mata harapan dalam dirinya untuk ikut merasakan kehangatan, keluhuran budaya dan kebijaksanaan Indonesia yang Islami.  Ia berjanji akan datang lagi, berdialog dan diskusi.
Ummi Fairuz, Denia, Gita dan Suraya bersujud syukur begitu Ehren berniat datang lagi.  Gerakan mereka membuat Ehren terheran dan bertanya.  Gerakan apa yang mereka lakukan bersama itu.

Ini gerakan sujud sebagai tanda kesyukuran kami.  Artinya kami bahagia dan merasa beruntung Allah pertemukan dengan anda.  Sekali lagi Ehren benggelengkan kepala tanda kekaguman sekaligus tersanjung oleh sikap muslim Indonesia.

Dalam dada tiga mujahidah itu ada gemuruh suka cita dan keharuan sekaligus kebanggan berbaur satu padu

Biarlah kami tak secermerlang matahari, dan memang begitu
Tapi kami coba untuk selalu menghangatkanmu
Biarlah kami tak seperkasa karang, dan memang begitu
Tapi kami telah mencoba untuk selalu melindngimu

Kami memang tak seharum mawar atau melati
Tapi kami selalu ingin mengharumkanmu
Biar saja kami tak seindah ufuk sore atau pagi hari
Tapi kami coba selalu mengindahkanmu

Kupeluk erat  kau demi kehormatan bangsa
Kupertahankan kau dari renggut penumpah darah
Izinkan kami menjadi pahlawan kecilmu
Dalam sikap dan segenap laku langkah kami

Merah putih tetaplah kau menari
Di ujung tiang di seluruh penjuru negeri
Merah putih teruslah bertengger
Di ujung tiang bersama sahabatmu pengemban panji
Merah putih teruslah kau berkibar
Kami kan selalu menjagamu
Membuatmu menjadi kebanggaan bangsa-bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...