KEHORMATAN
NEGERIKU
#TantanganMenulisdariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#BenderaCokelat
Berada
dalam komunitas saudara seiman di Pusat Budaya dan Kebijaksanaan Indonesia,
membuat Denia cepat betah berada di Berlin.
Sahabat baru yang aku perkenalkan padanya sebagian masih ada dan
sebagiannya sudah pulang ke Indonesia.
Ada Mas Abdi, Mbak Fairuz, Ukhti Gita.
Semua begitu bersahabat, terikat dalam ukhuwah islamiyah dan wathoniyah.
Tahun
2014 hingga 2015 adalah tahun yang paling mencekam di Jerman dan sebagian Negara
Eropa yang lain. Semua karena
islamophobia. Bermula dari scenario pemboman
WTC 11 September 2001. Peta politik,
arah peradaban, kebijakan Negara di Eropa dan Amerika banyak dipengaruhi
gerakan islamfobia.
Di
Jerman, aksi-aksi demostrasi hingga lebih dari dua puluh ribu yang digerakkan
oleh PEGIDA (Patriotische Europaer Gegen die Islamisierung
des Abendlandes). Mereka memproklamirkan
sebagai pahlawan Eropa yang melawan islamisasi di dunia barat. Puncaknya adalah pembakaran masjid Sultan
Ahmed di Rhine Westphalia di tahun 2015.
“Mutia, kita harus
merapat di komunitas muslim Indonesia di Berlin ini. Ada masjid Al Fatah yang didirikan WNI di
Jerman sejak 2008. Organisasinya pun
cukup solid namanya IKWK, (Indonesische Kultur
und Weisheitskopper)”
“Iya, Mas. Dengan pakaian ini, aku sering mendapat satu atau
dua tatapan penuh curiga tiap aku keluar
rumah. Kadang ada rasa terancam
juga. Kemarin ada yang mencak-mencak
waktu aku jalan-jalan melihat Kanal Landwehr di jembatan jalan besar depan UT
Berlin. Terus di waktu di taman Ernst-Reuter-Platz juga. Untung aku nggak tahu apa yang mereka katakan.”
Mas
Lukman masih membolak-balikkan buku referensinya, menyusun tugas. Ada beban baru berada di negeri asing dalam
kondisi sebagai minoritas. Bayangkan,
kadang dalam dua bulan saja, tindakan kekerasan terhadap muslim dan
fasilitasnya dapat mencapai tiga puluh kasus.
Hanya
keyakinan Allah SWT selalu melihat dan memelihara hambaNya membuat kami kuat.
Esok
hari kami berencana mengunjungi IKWK,
ada Buya Yahya ulama dari Al Bahjah Cirebon.
Ulama kharismatisyang akan mengisi pengajian di Al Fatah. Temanya tentang berdakwah di negeri minoritas
muslim.
Semoga
keadaan yang lebih baik untuk Denia dan Bagas.
Kekhawatiranku membuatku makin intens mencari berita perkembangan
politik di Jerman. Subhanallah seiring
dengan makin banyaknya semangat ingin tahu pada Islam, makin banyak penyerangan
dan ancaman terhadap masjid. Ternyata
sampai Maret tahun ini terror terhadap masjidmakin meluas. Bukan hanya islamfobia tapi juga dari sayap
kanan kemerdekaan Kurdistan yangsudah dilarang di Jerman.
Ya
Rabb lindungi kami, Ya Mukmin, ya Muhaimin, Ya Salam, salimna bil iman wal
islam. Aku menambah dzikir itu di tiap
kesempatan aku ingat Dia.
***
Seminggu
setelah peristiwa itu, Denia bercerita.
Semua
pegiat IKWK sedang melakukan aktifitasnya masing-masing. Tidak banyak yang berada di lokasi. Hanya beberapa orang Denia di kantin, menata
interior kafe supaya tampak lebih nyaman dan elegan. Kuliah Denia yang mengambil desain interior
membuat semua ruangan di IKWK termasuk Masjid Al Fatah makin nyaman dan
menyenangkan untuk siapa saja yang mengunjunginya. Bahkan mereka yang non-muslim.
Di ruang diniyah samping kiri Al Fatah, Ummi
Fairuz sedang menyelesaikan pembagian rapot hasil belajar putra putrid pegiat
IKWK.
Di
ruang belajar diniyah berukuran tujuh kali delapan meter itu, dilengkapi
bendera Indonesia, merah putih dan bendera Jerman.
Tiba-tiba,
Ummi Fairuz berteriak meminta tolong.
“Denia, tolong ada yang melempar ke ruang diniyah!” Suara Ummi Fairuz tidak terlalu terdengar oleh Denia. Akan tetapi suara buraian kaca membuat Denia langsung menghambur dari kafe yang diberi nama Al Aufy itu. Suraya salah satu pegawai kafe membersihkan pecahan kaca itu.
“Denia, tolong ada yang melempar ke ruang diniyah!” Suara Ummi Fairuz tidak terlalu terdengar oleh Denia. Akan tetapi suara buraian kaca membuat Denia langsung menghambur dari kafe yang diberi nama Al Aufy itu. Suraya salah satu pegawai kafe membersihkan pecahan kaca itu.
“Ummi, ada apa? Ummi, baik-baik saja?”Denia siap dengan tongkat
bambunya. Kandungannya yang masuk bulan
ke delapan tertutup jilbab syari.
Seseorang
berpenutup kepala dan wajah. Yang tampak
hanya matanya. Dia bicara dalam bahasa
Jerman yang belum dipahami Denia. Ummi
Fairuz dan beberapa mahasiswa senior memahami bahasa itu.
“Denia, kita hadapi
orang ini dengan dialog. Tidak ada
laki-laki yang berada di IKWK saya pikir dia akan malu melakukan tidak
kekerasan. Tapi kalau ternyata di nekat,
telpon polisi satu-satu-kosong”
Ummi
Fairuz memulai perbincangan dalam bahasa jerman yang fasih.
“Selamat datang di
tempat kami. Badan Kebijaksanaan dan Budaya Indonesia. Kami akan sangatsenang menerima tamu siapa
juga termasuk anda.”
“Terus terang aku tidak
ada maksud untuk berbaik-baik di sini.
Makanya aku memakai pakaian seperti ini, justru saya tidak sedang ingi
berkenalan dengan siapapun di sini.”
“Kalau boleh tahu
kenapa anda berniat jahat pada kami?”
“Kalian pendatang
dengan agama kalian itu berambisi menguasai Jerman dan seluruh Eropa. Kami akan menjadi bangsa yang terpinggirkan
mungkin akan punah. Juga kalian
orang-orang Indonesia bat apa kalian pasang bendera ini.” Pria itu menuju bendera merah putih di pojok
ruangan.
Semua
serta merta menuju arah yang sama. “Kamu boleh menghinakan
pribadi kami tapi tidak dengan bendera ini.
Kami memasang ini bukan untuk mengganti bendera Jerman. Itu tidak ada manfaatnya. Kami sandingkan dengan bendera Jerman sebagai
lambing persahabatan yang indah. Merah
putih ini untuk mengingatkan kami bahwa kami punya tanah air yang harus selalu
dijaga kehormatannya oleh kami di tanah rantau ini” Denia mencoba menjelaskan dengan bahasa
campuran sesuai kemampuannya. Pria itu
marah tidak bisa menyalurkan napsu untuk merenggut merah putih yang diamankan
Denia.
Sudah
menjadi sifat dari pegiat IKWK untuk menghormati tamu dan tetangga. Itulah bagian dari budaya yang ingin
diperkenalkan kepada mereka. Gita,
mahasiswi Indonesia di Universitas Berlin membawakan air minuman juga makanan
kecil khas Indonesia dari kafe. Mendapat
perlakuan penuh penghormatan dan ketulusan, pria itu membuka tutup kepalanya.
Seorang
pemuda kulit putih yang tampan, sebagaimana pemuda jerman umumnya. Usianya sekitar 25 tahun. Namanya Ehren Derry.
Perbincangan
berlanjut lebih akrab dan positif. Denia
mencoba memahaminya. Sedikit banyak dia
tahu maksud secara garis besarnya namun tidak detail perkatanya.
“Sebenarnya tersisih
tidaknya sebuah bangsa lebih karena sikap bangsa itu sendiri. Keberadaan kami tidak mengambil sedikit pun
jatah rejeki kalian. Karena kami
mengenal konsep bahwa rejeki tidak pernah tertukar. Allah SWT yang mengaturnya. Selaki pengambilan jatah rejeki itu bukan
dalam rangka keserakahan maka tiap makhluk ciptaan Tuhan punya hak untuk
menyambung hidupnya. Dalam Islam juga
bila seseorang punya kelebihan dalam harta karena bertuah usahanya, harus turut
berbagi pada sesame tidak peduli apapun agama dan suku bangsanya.” Ummi Fairuz melanjutkan sambil menyantap
makanan khas Indonesia bersama Derry, juga Denia.
Dalam
hati Denia, betapa bahagianya apa bila bisa menguasai bahasa mereka. Denia kadang menimpali dengan bahasa
Inggris. Beruntung Ehren memahaminya
bahkan sesekali dia menggunakan bahasa Inggris.
“Percayalah kami hanya
ingin menyebarkan kebaikan, keselamatan bersama dan kerjasama yang berkah
saling menguntungkan untuk siapapun.”Denia
ikut berdiskusi dalam bahas Inggris yng lancar.
“Ada sesuatu yang ingi
saya tanyakan. Anda tadi bilang bahwa
kalaupun ada kekhawatiran bangsa kulit putih tersingkir leih disebabkan
kesalahan kami sendiri. Maksudnya?”
“Yang punya paham
liberal kalian bukan? Keinginan bebas
itu membuat kalian tidak suka dengan beban tanggung jawab memiliki anak. Tapi kalian mau menikmati hubungan suami
istri. Akibatnya kalian memilih
berhubungan tanpa ikatan nikah. Kalaupun menikah rata-rata hanya memiliki anak satu
atau dua bahkan tidak sama sekali. Di
sisi lain kebebasan yang kalian agungkan memberi peluang pada LGBT untuk hidup
subur. Angka kelahiran makin
rendah. Tidak ada regenerasi diantara
kaum LGBT itu.” Kecerdasan diplomasi
Denia makin dirasakan Ummi Fairuz dari tutur Denia.
“Kalau kultur kalian
sendiri bagaimana? Aku ingin tahu
perbenaannya sehingga aku bisa merasakan kehangatan di sini. Rasanya banyak yang harus aku tahu dari
kalian.” Ehren makin terbuka
dan rileks dengan menikmati baso hangat dan jeruk panas yang disajikan. Berkali-kali dia memuji makanan Indonesia.
“Kultur di Indonesia
sangat terwarnai oleh nilai-nilai Islam.
Islam bukan budaya. Tapi ketika
nilai-nilai islam diikuti seseorang, maka seseorang dengan nilai Islam akan
melahirkan budaya. Suatu proses yang
alami dan otomatis. Sebagaimana sesorang
atau sekelompok orang dengan nilai-nilai buruk dalam dirinya akan melahirkan
budaya sesuai pancaran jiwannya,”
jelas Ummi Fairuz. Kali ini Ummi Fairus
menggunakan bahasa Inggris. Tentu supaya
dapat dimengerti dengan mudah oleh Denia.
Ehren
Derry merasa mendapat pelajaran berharga dari para pegiat IKWK. Ada tatap mata harapan dalam dirinya untuk
ikut merasakan kehangatan, keluhuran budaya dan kebijaksanaan Indonesia yang
Islami. Ia berjanji akan datang lagi,
berdialog dan diskusi.
Ummi
Fairuz, Denia, Gita dan Suraya bersujud syukur begitu Ehren berniat datang
lagi. Gerakan mereka membuat Ehren
terheran dan bertanya. Gerakan apa yang
mereka lakukan bersama itu.
“Ini gerakan sujud
sebagai tanda kesyukuran kami. Artinya
kami bahagia dan merasa beruntung Allah pertemukan dengan anda.” Sekali lagi Ehren benggelengkan kepala tanda
kekaguman sekaligus tersanjung oleh sikap muslim Indonesia.
Dalam
dada tiga mujahidah itu ada gemuruh suka cita dan keharuan sekaligus kebanggan
berbaur satu padu
Biarlah kami tak secermerlang matahari, dan memang begitu
Tapi kami coba untuk selalu menghangatkanmu
Biarlah kami tak seperkasa karang, dan memang begitu
Tapi kami telah mencoba untuk selalu melindngimu
Tapi kami coba untuk selalu menghangatkanmu
Biarlah kami tak seperkasa karang, dan memang begitu
Tapi kami telah mencoba untuk selalu melindngimu
Kami memang tak seharum mawar atau melati
Tapi kami selalu ingin mengharumkanmu
Biar saja kami tak seindah ufuk sore atau pagi hari
Tapi kami selalu ingin mengharumkanmu
Biar saja kami tak seindah ufuk sore atau pagi hari
Tapi kami coba selalu mengindahkanmu
Kupeluk erat kau demi
kehormatan bangsa
Kupertahankan kau dari renggut penumpah darah
Izinkan kami menjadi pahlawan kecilmu
Kupertahankan kau dari renggut penumpah darah
Izinkan kami menjadi pahlawan kecilmu
Dalam sikap dan segenap laku langkah kami
Merah putih tetaplah kau menari
Di ujung tiang di seluruh penjuru negeri
Merah putih teruslah bertengger
Di ujung tiang bersama sahabatmu pengemban panji
Merah putih teruslah bertengger
Di ujung tiang bersama sahabatmu pengemban panji
Merah putih teruslah kau berkibar
Kami kan selalu menjagamu
Kami kan selalu menjagamu
Membuatmu menjadi kebanggaan bangsa-bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar