SERI KISAH DENIA
(Pelangi Rasa Perjalanan Hidup Anak
Manusia)
Khadijah Hanif 313
Sahabat Kabol Menulis
Tantangan Menulis dari Lagu
Kisah Ke-1
DERITA ADENIA
#SahabatKabolMenulis
Malam makin pekat. Aku tak mampu
melarutkan rasa kantuk bersama mimpi indah yang selalu aku nantikan. Ya,
bayangan gadis kecil itu tak bisa kupupus dari ingatanku.
“Ngapain kamu ngikutin aku terus?
Sudahlah, kamu kejar nasibmu sendiri!” Seorang remaja laki-laki berambut merah,
bercelana jean belel, robek sana sini, mencengkeram keras kedua lengan gadis kecil.
Gadis kecil itu hanya terdiam. Meringis menahan sakit di kedua lengannya. Wajah
ayunya tergurat jelas, meskipun tersaput debu jalanan yang kian akrab
dengannya.
“Kak, aku nggak berani jauh dari
kamu. Mereka selalu mengganggu aku. Kamu satu-satu-satunya yang aku kenal di
kota ini.” Tetesan bening air mata itu makin mengiris hatiku sampai saat ini.
Seseorang yang dipanggil dengan
sebutan kakak itu tak memedulikan kata memelas si gadis belia. Sementara aku
harus segera menaiki busway menuju kampus. Kalau tidak aku akan terlambat
kuliah hari ini.
Sepulang kuliah, di halte yang
sama aku coba mencari gadis kecil itu. Barang kali aku bisa mengurangi
deritanya atau paling tidak mendengar kisah hidupnya. Namun nihil. Hatiku
begitu berat ingin menemui gadis itu. Rasa iba, dan mungkin cinta, peduli,
empati…… Entahlah baru kali ini aku menyaksikan langsung seseorang yang
mengiba. Takut, sedih, putus asa tertangkap jelas dari wajahnya.
&&&
Aku terbangun dari tidurku yang
tak sempurna tadi malam. Berbagai rencana kureka untuk menemui gadis kecil itu.
Aku tak ingin rasa cinta sesama ini terbunuh begitu saja. Mumpung hari ini
libur kuliah.
Kunyalakan sepeda motor yang
kusewa dari ibu kosku. Kupasang helm dan berdoa, ”Bismillah. Tuhan, bila
keinginanku ini baik menurut pandanganMu. Pertemukan aku dengan gadis kecil
yang malang itu.”
Bermula dari halte, pertama aku
melihat gadis kecil.
“Mbak, maaf mau nanya, kemarin sekitar jam sepuluh pagi, saya melihat gadis kecil……….” Aku mencoba menjelaskan ciri gadis itu dan bertanya pada penjaga e-ticket.
“Mbak, maaf mau nanya, kemarin sekitar jam sepuluh pagi, saya melihat gadis kecil……….” Aku mencoba menjelaskan ciri gadis itu dan bertanya pada penjaga e-ticket.
“Terlalu banyak orang lewat halte
ini. Mana aku tahu satu persatu?” Jawaban ketusnya membuatku enggan bertanya
lagi.
Kuputuskan untuk mencari dari
halte ke halte. Entah berapa kali mataku menyapu bersih tiap sudut halte.
Sampai waktu menjelang maghrib. Rasa lelah dan putus asa mulai merayapi hati.
Guyuran matahari ibu kota makin membuatku penat. Belum lagi izin sewa sepeda
motor hanya sampai jam delapan malam.
Di puncak kepasrahanku, aku
mencari masjid terdekat buat salat maghrib. Tiba-tiba sekelebatan aku melihat
sosok yang aku yakin, gadis itu. Aku putar sepeda motor buat mengejarnya.
“Dik, maaf mau tanya, masjid terdekat dari sini kearah mana ya?” Aku pura-pura bertanya, sambil memastikan gadis itu yang aku cari seharian ini.
“Dik, maaf mau tanya, masjid terdekat dari sini kearah mana ya?” Aku pura-pura bertanya, sambil memastikan gadis itu yang aku cari seharian ini.
Penampilannya berubah total.
Wanginya semerbak dan wajahnya dipenuhi make up tebal. Namun wajah deritanya
tak bisa ia sembunyikan. Beruntung di halte itu aku tatap sosok itu
dalam-dalam, dan aku yakin dia gadis itu.
“Aku juga belum begitu paham
daerah ini, Mbak. Aku baru satu hari tinggal di sini.”
“Oh, kamu tinggal sama siapa?”
tanyaku masih menyembunyikan niatku.
“Sama tante yang baik hati mau
menolongku.”
Terus dengan dandanan seperti
ini, kamu mau kemana?”
“Kata tante itu, aku harus
berdiri di pinggir jalan sana, nanti aka nada mobil yang berhenti. Saya disuruh
naik saja.” Gadis itu menjawab polos sambil menunjuk jalan besar di seberang
sana.
“Kamu nggak takut?”
“Kamu nggak takut?”
“Takut juga, sih. Tapi aku
percaya sama tante itu. Dia baik, ngasih aku makan dan semuanya. Sementara
kakakku sendiri nggak mau aku ikutin. Katanya aku nambah beban doang. Banyak
kawan-kawan kakakku yang mengganggu aku. Dia kesusahan menghadapi ancaman
temen-temennya. Bersyukur ada Tante Delima.”
Aku mencoba memilih kata yang
tepat untuk mengajak gadis itu, yang akhirnya aku tahu namanya Adenia. Aku
turun dari sepeda motor dan mengajaknya berbincang di bangku kaki lima.
“Denia, Kakak sampaikan dengan
tulus, untuk mengajak Denia ke tempat Kakak. Denia mau?” Aku menatap matanya
penuh harap. “Kakak melihatmu pertama kali di halte Kampung Melayu. Tahukah
kamu, Kakak menangis melihatmu ditinggal sendiri oleh seorang laki-laki yang
kau panggil kakak kemarin pagi. Kakak ingin sekali menolongmu, membawamu,
menjadikan kamu adik.”
Mata Adenia berbinar indah.
Senyumnya mengembang, merekah.
“Tapi Kak, Tante Delima
mengancamku kalau aku nggak pulang. Katanya dia sudah habis ratusan ribu buat
mendandaniku seperti ini.”
“Kalau begitu kita harus segera
meninggalkan tempat ini. Kakak akan salat di tempat yang agak jauh dari sini.”
“Kata Tante Delima, teman-teman
Tante Delima akan mencari kemanapun aku pergi. Apa Kakak nggak takut?”
“Kita tidak boleh terbayangi rasa
takut yang belum tentu terjadi. Bukankah Tuhan Maha Melindungi?” Rasa sayangku
pada Denia membenamkan segala ragu dan rasa takut.
Aku segera membonceng Adenia.
Dari kejauhan teriakan seorang wanita membahana.
“Hai, kembailkan anakku!
Penculik! Penculik! Tolong!”
Dan aku memacu motor di antara
deru ibu kota, tak peduli. Yang kuingin, menyelamatkannya dari derita, memperbaiki
nasibnya yang terlunta.
Mohon Doanya semoga tantangan menulis dari lagu ini ditakdirkan menjadi sebuah novel
BalasHapus