Kamis, 11 Oktober 2018

Seri Kisah Denia-Kisah Ke-1



SERI KISAH DENIA
(Pelangi Rasa Perjalanan Hidup Anak Manusia)




Khadijah Hanif 313



Sahabat Kabol Menulis
Tantangan Menulis dari Lagu


















Kisah Ke-1
Top of Form
Bottom of Form
DERITA ADENIA
#SahabatKabolMenulis

Malam makin pekat. Aku tak mampu melarutkan rasa kantuk bersama mimpi indah yang selalu aku nantikan. Ya, bayangan gadis kecil itu tak bisa kupupus dari ingatanku.
“Ngapain kamu ngikutin aku terus? Sudahlah, kamu kejar nasibmu sendiri!” Seorang remaja laki-laki berambut merah, bercelana jean belel, robek sana sini, mencengkeram keras kedua lengan gadis kecil. Gadis kecil itu hanya terdiam. Meringis menahan sakit di kedua lengannya. Wajah ayunya tergurat jelas, meskipun tersaput debu jalanan yang kian akrab dengannya.
“Kak, aku nggak berani jauh dari kamu. Mereka selalu mengganggu aku. Kamu satu-satu-satunya yang aku kenal di kota ini.” Tetesan bening air mata itu makin mengiris hatiku sampai saat ini.
Seseorang yang dipanggil dengan sebutan kakak itu tak memedulikan kata memelas si gadis belia. Sementara aku harus segera menaiki busway menuju kampus. Kalau tidak aku akan terlambat kuliah hari ini.
Sepulang kuliah, di halte yang sama aku coba mencari gadis kecil itu. Barang kali aku bisa mengurangi deritanya atau paling tidak mendengar kisah hidupnya. Namun nihil. Hatiku begitu berat ingin menemui gadis itu. Rasa iba, dan mungkin cinta, peduli, empati…… Entahlah baru kali ini aku menyaksikan langsung seseorang yang mengiba. Takut, sedih, putus asa tertangkap jelas dari wajahnya.
&&&
Aku terbangun dari tidurku yang tak sempurna tadi malam. Berbagai rencana kureka untuk menemui gadis kecil itu. Aku tak ingin rasa cinta sesama ini terbunuh begitu saja. Mumpung hari ini libur kuliah.
Kunyalakan sepeda motor yang kusewa dari ibu kosku. Kupasang helm dan berdoa, ”Bismillah. Tuhan, bila keinginanku ini baik menurut pandanganMu. Pertemukan aku dengan gadis kecil yang malang itu.”
Bermula dari halte, pertama aku melihat gadis kecil.
            “Mbak, maaf mau nanya, kemarin sekitar jam sepuluh pagi, saya melihat gadis kecil……….” Aku mencoba menjelaskan ciri gadis itu dan bertanya pada penjaga e-ticket.
“Terlalu banyak orang lewat halte ini. Mana aku tahu satu persatu?” Jawaban ketusnya membuatku enggan bertanya lagi.
Kuputuskan untuk mencari dari halte ke halte. Entah berapa kali mataku menyapu bersih tiap sudut halte. Sampai waktu menjelang maghrib. Rasa lelah dan putus asa mulai merayapi hati. Guyuran matahari ibu kota makin membuatku penat. Belum lagi izin sewa sepeda motor hanya sampai jam delapan malam.
Di puncak kepasrahanku, aku mencari masjid terdekat buat salat maghrib. Tiba-tiba sekelebatan aku melihat sosok yang aku yakin, gadis itu. Aku putar sepeda motor buat mengejarnya.
            “Dik, maaf mau tanya, masjid terdekat dari sini kearah mana ya?” Aku pura-pura bertanya, sambil memastikan gadis itu yang aku cari seharian ini.
Penampilannya berubah total. Wanginya semerbak dan wajahnya dipenuhi make up tebal. Namun wajah deritanya tak bisa ia sembunyikan. Beruntung di halte itu aku tatap sosok itu dalam-dalam, dan aku yakin dia gadis itu.
“Aku juga belum begitu paham daerah ini, Mbak. Aku baru satu hari tinggal di sini.”
“Oh, kamu tinggal sama siapa?” tanyaku masih menyembunyikan niatku.
“Sama tante yang baik hati mau menolongku.”
Terus dengan dandanan seperti ini, kamu mau kemana?”
“Kata tante itu, aku harus berdiri di pinggir jalan sana, nanti aka nada mobil yang berhenti. Saya disuruh naik saja.” Gadis itu menjawab polos sambil menunjuk jalan besar di seberang sana.
            “Kamu  nggak takut?”
“Takut juga, sih. Tapi aku percaya sama tante itu. Dia baik, ngasih aku makan dan semuanya. Sementara kakakku sendiri nggak mau aku ikutin. Katanya aku nambah beban doang. Banyak kawan-kawan kakakku yang mengganggu aku. Dia kesusahan menghadapi ancaman temen-temennya. Bersyukur ada Tante Delima.”
Aku mencoba memilih kata yang tepat untuk mengajak gadis itu, yang akhirnya aku tahu namanya Adenia. Aku turun dari sepeda motor dan mengajaknya berbincang di bangku kaki lima.
“Denia, Kakak sampaikan dengan tulus, untuk mengajak Denia ke tempat Kakak. Denia mau?” Aku menatap matanya penuh harap. “Kakak melihatmu pertama kali di halte Kampung Melayu. Tahukah kamu, Kakak menangis melihatmu ditinggal sendiri oleh seorang laki-laki yang kau panggil kakak kemarin pagi. Kakak ingin sekali menolongmu, membawamu, menjadikan kamu adik.”
Mata Adenia berbinar indah. Senyumnya mengembang, merekah.
“Tapi Kak, Tante Delima mengancamku kalau aku nggak pulang. Katanya dia sudah habis ratusan ribu buat mendandaniku seperti ini.”
“Kalau begitu kita harus segera meninggalkan tempat ini. Kakak akan salat di tempat yang agak jauh dari sini.”
“Kata Tante Delima, teman-teman Tante Delima akan mencari kemanapun aku pergi. Apa Kakak nggak takut?”
“Kita tidak boleh terbayangi rasa takut yang belum tentu terjadi. Bukankah Tuhan Maha Melindungi?” Rasa sayangku pada Denia membenamkan segala ragu dan rasa takut.
Aku segera membonceng Adenia. Dari kejauhan teriakan seorang wanita membahana.
“Hai, kembailkan anakku! Penculik! Penculik! Tolong!”
Dan aku memacu motor di antara deru ibu kota, tak peduli. Yang kuingin,  menyelamatkannya dari derita, memperbaiki nasibnya yang terlunta.

1 komentar:

  1. Mohon Doanya semoga tantangan menulis dari lagu ini ditakdirkan menjadi sebuah novel

    BalasHapus

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...