Rabu, 04 April 2018

HOWEVER YOU'RE MY MOM



BISMILLAH
HOWEVER YOU’RE MY MOM

            Liburan semester yang dirindukan akhirnya datang juga.  Pesantren Maryam memberi tugas baksos pada tingkat lima untuk mengadakan baksos atau pengabdian masyarakat.  Hal ini sudah menjadi kegiatan rutin santri tingkat lima saat liburan. Kata Pak Kyai, mereka harus mempraktikan apa yang mereka dapat di pesantren.  Menjadi rahmat bagi semesta.
            Kelompok Maryam ada lima orang.  Nena, Puput, Rahma, Ghina dan Maryam.  Lima gadis dengan lima karakter unik.  Nena yang cekatan.  Puput yang manja dan anak ummi banget.  Rahma yang selalu merasa cantik.  Ghina yang anggun penampilannya tapi tegas perkataannya.  Maryam yang pendiam, paling muda namun cerdas.  Kelas akselerasi menjadi langganannya sejak SD. 
            “Kita mau baksos dimana tahun ini?  Kampung aku sudah.  Kompleks perumahan Puput dan Rahma sudah.  Tinggal Ghina dan Maryam nih yang belum kegilir.”  Nena membuka diskusi siang ini di mushola pesantren.
            “Aku usul bagaimana kalau rumah pamanku.  Di sana ada TPA punya pamanku.”  Ghina menawarkan tempat yang cukup menarik buat mereka baksos sambil mengajar anak TPA.
            “Lingkungannya gimana, Ghina?  Maksudku banyak orang yang masih tergolong menengah ke bawah nggak?”  tanya Maryam.  ”Tempat baksos kita nggak boleh jauh dari orang-orang dhuafa.  Nanti sasarannya kurang mengena.  Lagi pula barang-barang yang kita bawa banyakan mie instan dan pakaian layak pakai.”
            “Sepertinya sih, kebanyakan menengah ke atas.  Pamanku tinggal di kompleks perumahan pusat kota.“
            “Kalau kamu, Maryam.  Ada nggak tempat kerabat kamu yang cocok buat baksos kita?”  Ghina menatap Maryam penuh harap.  Kiranya Maryam bisa memberi solusi.
            Maryam terdiam sesaat sambil mengingat-ingat satu persatu kerabatnya yang ada TPA atau diniyah, PAUD atau apa saja tempat anak-anak kecil belajar.  Namun juga mudah mendapati orang dhuafa.
            “Di tempat nenek aku mungkin bisa.  Nenekku punya tempat ngaji bakda Maghrib.  Anak ngajinya juga cukup banyak.  Lebih dari tiga puluh orang waktu aku terakhir mengunjungi beliau.  Tapi sayangnya tempatnya agak pelosok gitu.  Nggak ada jalur angkota atau angkodes yang lewat.  Kendaraan yang bisa masuk cuman ojeg sama delman.”  Maryam menjelaskan panjang lebar.
            “Nggak masalah aku kira.  Yang penting akses jalannya bagus.  Walaupun mungkin belum jalan aspal tapi rata nggak rusak seperti sungai kering bebatuan, kan?”  Rahma mengundang gelak mereka berlima.
            “Jalannya aku jamin bagus.  Walaupun nggak diaspal tapi batu-batu tua dan keras tertata rapi.  Artistik malah.”
            Mereka berlima merasa mendapat solusi dari kebuntuan tentang tempat baksos mereka.  Binar-binar bahagia memancar dari wajah lima gadis ayu, berbalut gamis dan jilbab lebar rapih.
            Pemberangkatan seluruh santri akan dilakukan bakda Dzuhur, selepas mereka makan siang.  Semua disibukkan dengan bebenah barang perbekalan.  Dari lima anggota kelompok yang mereka namai MULIA (Mujahidah Lil ‘Alamin) itu, Maryamlah yang paling sibuk.  Karena dia harus memberi kabar pada Bibi Nisrina tentang rencana baksos kali ini.
            Diambilnya Android dari bagian keamanan untuk mengirim pesan WA pada Bibi Rina.  Asyik bermain dengan tuts Android di pojok ruang asramanya, senyuman merekah mulai menghiasi bibir mungilnya.  Pertanda baik kegiatannya direspon positif oleh keluarga  nenek di Kampung Banyuasih.
kkkkk
            Empat jam perjalanan dari pesantren dengan menaiki minibus.  Perjalanan yang cukup melelahkan bergumul dalam satu kendaraan dengan berbagai aroma penumpang dan barang bawaan mereka.  Belum lagi asap rokok menusuk hidung.  Makin menyesakkan keadaan yang sudah sarat penumpang.  Yang sedikit menolong mereka adalah membuka lebar-lebar jendela minibus.
Akhirnya mereka samapi pada pertigaan menuju kampung Nenek Maryam.  Benar juga kata Maryam, pemandangan yang begitu indah.  Sejauh mata memandang selalu bertemu dengan bukit dan gunung.  Jalanan hanya selebar empat meter.  Belum diaspal namun dipenuhi bebatuan yang tertata meratakan jalan.  Di kanan kiri jalan sawah dan ladang membinarkan harapan petani yang menanamnya.
Mereka sepakat untuk berjalan kaki sambil menunggu delman kosong yang sangat jarang lewat.  Kalaupun ada biasanya selalu penuh penumpang.  Satu-satunya cara menyewa delman yang menuju kota.  Itu juga kalau tidak membawa penumpang  yang mau ke kota.
“Aduh, Maryam...kenapa kamu nggak bilang kalau kita harus jalan kaki begini.  Lihat kulitku yang putih jadi kian merona.  Ntar bakal hitem mukaku ini”  Rahma bersungut-sungut sambil memandangi wajahnya di cermin yang selalu di bawanya kemana-mana.
“Kakiku pegel banget.  Kalau ada mama pasti aku udah digendong, nih!”  Puput makin meramaikan suasana sore itu.
“Masya Alloh, kalian santriwati.  Nggak zamannya lagi manja macam anak mama dan berlagak sok cantik macam artis.  Malu sama julukan kalian santriwati.”  Nena menegur kemanjaan Puput dan Rahma.
“Ingat dong pesan Ustadzah Nuri.  Santriwati harus tangguh.  Apalagi kelompok kita Mujahidah.  Mana ada mujahidah letoy nan gemulai.”  Jurus dalil Ghina mulai keluar.
Puput dan Rahma memilih diam daripada harus menelan kalimat-kalimat  dari Ghina.  Gadis anggun namun tugasnya sebagai bagian keamanan melatihnya berkata tegas hingga pedas.  Akhirnya Puput dan Rahma lebih memilih menghela napas panjang saat keluh kesahnya tercekat rasa malu pada julukannya sebagai Santriwati Mulia.
Berjalan setengah jam, akhirnya mereka sampai di depan rumah Nenek Maryam.  Rumah besar dengan interior rumah zaman Belanda.  Rumah yang sudah langka di zaman sekarang.  Bagian depan ada empat anak tangga setinggi satu meter.  Diantara anak tangga dipisahkan oleh bidang miring selebar tiga jengkal orang dewasa.  Batu-batu keras menghiasi pondasi sejajar tangga, bercat hitam di batasi warna putih. 
Setelah mengucapkan salam, muncul sosok wanita paruh baya menjawab salam mereka.  Usianya menjelang enam puluh tahun.  Keriput di wajahnya mulai bermunculan.  Namun bekas-bekas kecantikan masih terlihat nyata pada kulitnya yang putih bersinar.  Cantik alami terpancar dari bekas wudhu yang selalu membasahi wanita ahli ibadah itu.
“Maryam, akhirnya kalian sampai juga.  Nenek sudah menunggu sejak tadi.  Cepat masuk.  Ajak teman kamu ke kamar yang sudah Nenek sediakan.  Setelah itu kalian ke meja makan.  Lihatlah kejutan apa yang Nenek hidangkan buat kalian!”  Keramahan Nenek Maryam sungguh tulus.  Mereka berlima bahagia disambut sedemikian rupa.
“Subhanalloh Nenek, selalu saja bikin Maryam bahagia dan betah buat berlama-lama di sini.”  Maryam menaiki tangga dan mencium tangan keriput penuh berkah itu.  Diikuti keempat temannya. 
Mereka berlima menuju kamar tidur untuk melepas tas punggung mereka masing-masing.  Belum lagi dua tangan kanan kiri menjinjing tas sarat beban. Bekal pakaian dan bahan baksos tentu saja.
“Ayo kita makan!  Jangan sampai nenekku kecewa dengan respon kalian yang menunjukkan selera makan rendah. OK?!” 
“Untuk urusan yang satu itu tentu saja nggak ada malesnya, Maryam.”  Nena selalu semangat untuk urusan perut.  Sesuailah dengan badannya yang paling tambun.
“Hitung-hitung perbaikan gizi.  Selama ini kita belajar qonaah, kan?”  Puput tidak mau kalah semangat
“ Sekarang saatnya belajar bersyukur dengan makan besar.” Rahma dan Ghina saling menimpali hampir bersamaan.  Tertawa renyah memenuhi kamar untuk para gadis berukuran enam kali lima meter itu. 
Mereka segera menuju kamar makan.  Meja makan berbahan kayu mahoni berbentuk bundar, telah penuh dengan segala jenis makanan khas kampung.  Telor kampung mata sapi.  Gulai terong lalap campur daging ayam.  Sambal tomat segar.  Goreng ikan sambel kecap. Lalap daun sawi dangur rebus.  Dan kerupuk udang.  Yang membuat semua istimewa karena makanan ini ada dari tetes keringat Nenek Maryam.  Kecuali kerupuk udang dan gulai.
“Aduh maaf Maryam,  Gulainya tumpah dikit.  Taplak mejanya jadi kotor deh.”  Puput merasa bersalah menumpahkan kuah gulai yang diambilnya.
“Nggak papa cuman dikit, kok? “  Maryam mengambil lap untuk menyusut kuah gulai.  Ada sesuatu di bawah taplak yang membuat gulai itu tumpah rupanya. “Pantesan tumpah Put, ada yang mengganjal di bawah mangkuk gulainya,”  Maryam berusaha mengambil sesuatu dari bawah taplak meja.  Gulungan kertas putih.  Dimasukkannya gulungan kertas itu ke dalam saku gamisnya.  Maryam sangat pantang membuang sampah sembarangan.  Lagi pula ia khawatir kertas itu barang berharga milik nenek.  Ia akan memeriksanya setelah makan dan menyerahkannya pada nenek.
Semua begitu menikmati hidangan petang itu.  Adzan Maghrib memanggil, mengalun merdu.  Mereka  segera berwudhu untuk berjamaah bersama anak-anak ngaji bakda Maghrib di mushola samping rumah nenek.  Bakda Maghrib, mereka langsung membantu mengajar ngaji anak-anak kampung.  Kebahagiaan mewarnai silaturahim yang indah ini.  Mereka segera saling akrab oleh ketulusan kelompok MULIA.
kkkkk
Semua sudah pulas tertidur, kecuali Maryam.  Jarum jam terus berdetak, menemani kesendirian Maryam.  Diliriknya pemberi tahu waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.  Tulisan pada gulungan kertas itu begitu mengganggunya.

Salam Rindu untuk anakku, Lusi.
Akhirnya ibu putuskan untuk berterus terang padamu,Nak.  Ibu menganggap kamu sudah cukup dewasa untuk menerima berita ini.  Semoga juga pengajaran yang kami dapat di pesantren bisa membantumu menerima segala kenyataan ini.
Anakku, ayahmu merantau ke Aceh saat kamu masih dalam kandungan.  Peristiwa Tsunami 2004  menghilangkan jejaknya begitu saja. Kamu terlahir tanpa ayahmu seminggu setelah peristiwa Tsunami.  Ibu mengalami depresi sehingga tidak dapat mengasuhmu dengan baik.  Sepasang suami istri yang baik hati, putra dari Ibu Supardi mengasuhmu sebagai anak angkat.
Ibu menulis surat ini atas izin bapak dan ibu angkatmu supaya kamu tahu nasab yang sesungguhnya.
Anakku, bila kau berkenan, temui ibu di rumah sebelah kanan SD terdekat.  Bila kamu belum siap tak mengapa.  Ibu akan tetap menunggu perjumpaan kita.
Banyuasih, 13 Maret 2018

Semua yang tertera dalam surat itu menyisakan misteri yang tak mudah untuk Maryam.  Siapa Lusi dalam surat itu?  Lalu siapa Ibu Supardi?  Nenek yang dikenalnya bernama  Zainab.  Ibu dan ayah yang mengangkat Lusi sebagai anak pun tidak tertera jelas dalam surat itu.
Hanya satu yang membuat Maryam curiga bahwa dirinya bukan anak kandung dari ayah dan ibunya selama ini.  Ya...sejak usia balig, ayah mulai membatasi keakrabannya.  Ayah melarang Maryam melepas jilbab saat mereka bersama. 
“Ayah mengapa Maryam harus terus berjilbab?  Kan di rumah ini hanya ada kita bertiga?”  Tanya Maryam suatu saat.
“Untuk jaga-jaga Maryam, mana tahu ada sepupu atau tamu yang bukan mahrom kita tiba-tiba datang.  Atau kalau tiba-tiba ada gempa.  Kamu nggak perlu repot-repot cari jilbab.  Bisa langsung lari keluar ke tanah lapang.  Betul, kan?”  Ayah Maryam memberi alasan yang sangat masuk akal dan tak membuatnya curiga.  Kecuali setelah membaca secarik kertas itu.
Ingatan Maryam tertuju pada Ibu Supardi.  Siapa Supardi?  Tiba-tiba Maryam teringat bahwa nama almarhum kakek, suami nenek adalah Supardi.  Tidak salah lagi yang mengadopsi Lusi pasti putra dari nenek.  Dan nenek hanya punya dua anak, Bibi Nisrina dan seseorang yang dianggapnya ayah selama ini.  Sementara itu Bibi Nisrina hanya memiliki tiga anak, semuanya laki-laki.
Air mata Maryam tak terbendung.  Keringat dingin keluar deras membasahi baju tidurnya.  Yang ia mau, pagi segera datang dan ia akan menemui ibu kandungnya.  Siapapun dia.
“Aku harus memastikan semua pada nenek.  Nenek pasti tahu banyak tentang diriku.”  Keputusan inilah yang membuat Maryam mampu memejamkan mata pada akhirnya.
kkkkk
Selepas Subuh, Maryam menanyakan nasabnya pada Nenek.  Semua jamaah sudah meninggalkan mushola, tinggal nenek yang masih meneruskan zikirnya.
“Nek, boleh Maryam menanyakan sesuatu?”  Maryam memulai pembicaraan hati-hati.
“Ada apa Maryam, nampaknya penting sekali?”  Nenek menghentikan putaran tasbihnya.
“Maryam menemukan gulungan kertas ini, di bawah taplak meja makan.  Apakah anak yang bernama Lusi itu aku, Nek?”
Nenek tak segera menjawab, ada gurat kekhawatiran pada wajah sepuhnya.  Ada rasa iba hatinya pada Maryam.  Gadis salehah itu harus mengetahui kenyataan ini pada akhirnya.  Ada rasa takut kehilangan kasih sayang cucu perempuan satu-satunya yang sangat ia sayangi. 
“Maryam, kamu janji nggak marah pada kami yang merahasiakan nasabmu, Nak?
“Tentu tidak, Nek.  Maryam yakin dengan ketulusan kasih sayang keluarga ini.  Semua pasti demi kebaikan Maryam.  Bahkan Maryam berterimakasih atas segala yang telah Maryam terima meskipun tidak ada ikatan darah antara Maryam dan keluarga Nenek.”
“Kemarin, ibu kandungmu tahu kamu akan datang.  Dia membawakan semangkok besar gulai ayam.  Dia juga minta izin menyimpan surat ini.  Nenek tidak bisa melarangnya.  Itu hak dia.  Nenek berdosa kalau memutuskan tali nasab antara kamu dan ibumu, Nak.  Lusi dalam surat itu adalah namamu, pemberian ibumu.”
Semua menjadi jelas.  Lusi adalah nama pemberian ibunya saat masih bayi.
Maryam segera meninggalkan nenek yang melanjutkan putaran tasbihnya.  Diciumnya tangan mulia itu.  Maryam bertekat menemui ibu kandungnya sekarang.
Keremangan pagi hari mulai menyapa.  Angin dingin menusuk kulit.  Kabut pekat makin mengajak manusia pemalas merapatkan balutan selimutnya. Maryam  meminta Ghina, kawan terdekatnya untuk menemaninya memecahkan segala misteri yang menyesakkan dadanya.
Setengah kilometer mereka menyusuri jalan mencari SD terdekat.  Sebuah rumah di sebelah kanan sekolah itu, masih tertutup rapat. Ragu-ragu Maryam menaiki tangga menuju teras.  Rumah itu sepertinya kosong.  Tumah tingkat cukup mewah untuk ukuran rumah di kampung itu.  Bercat putih apel dengan bingkai jendela dan pintu warna biru muda.
“Maryam, sepertinya rumah ini kosong.  Lihat tulisan di pintu itu.”
“Rumah ini menjadi hak milik BPR Daerah Unit Banyuasih. Disegel mulai 13 Maret 2018.”  Maryam mengeja kalimat-kalimat yang menyesakkan dada untuk kedua kalinya.
Batinnya bergumul dengan berbagai pikiran tentang siapa sebenarnya ibu kandungnya?  Mengapa rumah ibu disita?  Apakah ibu bermain riba bank?  Sebesar apa hutang ibu hingga jaminannya sebesar rumah ini?  Bagaimana cara hidup ibu hingga harus terlilit hutang?  Lalu kemana Maryam harus menemui ibu kandungnya?
Segala tanya, kecewa, sedih bercampur aduk dalam benaknya.
“Maryam, kamu yang sabar ya? Ingat nasihat Pak Kyai di pondok.  Seperti apapun orang tua kita, kita tetap harus hormat pada mereka.  Bahkan bila mereka menyembah selain Alloh sekalipun, kita harus pergauli mereka dengan baik. Berbicara lemah lembut pada mereka.  Mengucapkan ‘ah’ pun tidak boleh, bukan?”
“Terimakasih Ghina, kamu sahabatku yang baik.  Bantu aku biar kuat menghadapi ujian ini ya?”  Maryam memeluk sahabat dekatnya itu.  Isak tangisnya tumpah juga.  Seakan  meminta dukungan dari beratnya masalah yang dihadapi.
“Kamu pasti bisa melaluinya.  Percayalah!  Aku akan membantumu sampai kamu bisa bertemu ibu kandungmu.”
Segala ingatan tentang nasihat Pak Kyai dari Ghina membuat Maryam tersenyum.  Dalam hati Maryam berjanji menerima seperti apapun keadaan ibu kandungnya, meskipun berat. 
kkkkk
            Gagal menemui ibu kandungnya, membuat Maryam ingin bertanya banyak hal pada nenek.  Ia yakin neneknya pasti tahu.  Siang menjelang Dzuhur, Maryam menemui nenek di kamarnya.
            Diketuknya pintu perlahan, sambil mengucap salam.  Suara lembut nenek menjawab salamnya dan menyuruhnya masuk.  Maryam segera masuk dan menutup pintu kembali.  Ia tak ingin banyak orang tahu tentang masalah yang dihadapinya kecuali nenek dan Ghina.
            “Bagaimana, Nak.  Kamu sudah bertemu ibumu?”  Nenek begitu antusias ingin mengetahui cerita dari Maryam.
            Maryam menceritakan apa yang ia temukan tadi pagi.  Nenek begitu sabar mendengarkan, ia sudah menduga kisah pilu yang akan ditemui cucu angkatnya itu
            “Nenek bisa membantu Maryam untuk bertemu ibu?”
            “Tentu cucuku.  Tapi Nenek harap kamu tidak kaget atau kecewa dengan apa yang terjadi dengan ibumu.”
            “Supaya tidak kaget, Maryam ingin dengar cerita dari nenek tentang ibu.  Kenapa rumah semewah itu bisa disegel pihak bank, Nek?”
            Nenek mulai bercerita panjang tentang ibu kandung Maryam, Gania.  Ayah Maryam tidak memberi kabar apa-apa dalam sepuluh tahun.  Keluarga Gania memutuskan untuk menikahkan anaknya.  Kali ini seorang pedagang kaya di Banyuasih yang terpesona dengan kecantikan Gania, meminangnya.
            Kehidupan Gania mulai berubah sejak itu.  Kesederhanaan dan kekurangan berubah menjadi serba kecukupan dan kemewahan. 
            “Rupanya kemewahan itu sangat mudah menggelincirkan.  Gaya hidup dan pergaulan ibumu mulai berubah.  Kegemarannya memperbaiki penampilan, teman bergaulnya anggota kelap di tempat fitnessnya.  Sebenarnya semua warga sudah gerah dengan gaya hidupnya yang mencontohkan pergaulan bebas,”  Nenek terdiam menyadari ceritanya yang sudah terlalu dalam.  Ada kekesalan dalam sorot matanya pada perbuatan Gania, yang tidak mau mendengar nasihatnya.
            Maryam disampingnya terus setia mendengar kisah itu.  Air mata mengalir untuk kesekian kalinya hari ini.
            “Teruskan, Nek.” Pinta Maryam
            “Tapi kamu jangan pernah benci ibumu, Maryam.  Cukup perbuatannya yang kita hindari dan dijadikan pelajaran.”
            “Maryam paham, Nek.  Beruntung Maryam tau.  Maryam ingin menyelamatkannya, sebisa mungkin.  Sebelum terlambat.  Sebelum ajal menjemput.” 
            Nenek mengambil sapu tangan menyeka air mata Maryam.  Dalam hatinya, lebih baik Maryam tahu darinya daripada dari orang lain.  Akan lebih menyakitkan hati cucu angkat kesayangannya itu.
            “Gaya hidupnya membuat ia meminjam uang di bank.  Rumah mewah itu menjadi jaminannya.  Ayah tirimu sudah menebusnya dua kali dan untuk ketiga kalinya dia menyerah.  Keputusan terakhir, ayah tirimu menceraikan Gania.”
            “Ya, Alloh, kasihan sekali ibu.....”  Maryam bergumam lirih.
            “Maryam, bagaimanapun dia ibumu.  Jaga rahasia dan kehormatannya.  Nenek tahu banyak tentang Gania, karena nenek selalu berusaha menasihatinya selama ini.  Semoga ujian yang diterimanya kini membuatnya sadar.  Nenek yakin kehadiranmu akan banyak membantunya kembali ke jalan yang Alloh ridhoi.”
            Harapan yang nenek ucapkan mengembangkan senyum di bibir mungil Maryam.  Tekatnya untuk menemui ibu kandungnya dan membangkitkannya dari keterpurukan dan dosa, makin kuat.
            Semoga kau berhasil Maryam, hatimu yang mulia, akan mendatangkan rahmatNya.  Insya Alloh.
ALHAMDULILLAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...