BISMILLAH
HOWEVER YOU’RE MY MOM
Liburan
semester yang dirindukan akhirnya datang juga.
Pesantren Maryam memberi tugas baksos pada tingkat lima untuk mengadakan
baksos atau pengabdian masyarakat. Hal
ini sudah menjadi kegiatan rutin santri tingkat lima saat liburan. Kata Pak Kyai,
mereka harus mempraktikan apa yang mereka dapat di pesantren. Menjadi rahmat bagi semesta.
Kelompok
Maryam ada lima orang. Nena, Puput,
Rahma, Ghina dan Maryam. Lima gadis
dengan lima karakter unik. Nena yang
cekatan. Puput yang manja dan anak ummi
banget. Rahma yang selalu merasa
cantik. Ghina yang anggun penampilannya
tapi tegas perkataannya. Maryam yang
pendiam, paling muda namun cerdas. Kelas
akselerasi menjadi langganannya sejak SD.
“Kita
mau baksos dimana tahun ini? Kampung aku
sudah. Kompleks perumahan Puput dan
Rahma sudah. Tinggal Ghina dan Maryam
nih yang belum kegilir.” Nena membuka
diskusi siang ini di mushola pesantren.
“Aku
usul bagaimana kalau rumah pamanku. Di
sana ada TPA punya pamanku.” Ghina
menawarkan tempat yang cukup menarik buat mereka baksos sambil mengajar anak
TPA.
“Lingkungannya
gimana, Ghina? Maksudku banyak orang
yang masih tergolong menengah ke bawah nggak?”
tanya Maryam. ”Tempat baksos kita
nggak boleh jauh dari orang-orang dhuafa.
Nanti sasarannya kurang mengena.
Lagi pula barang-barang yang kita bawa banyakan mie instan dan pakaian
layak pakai.”
“Sepertinya
sih, kebanyakan menengah ke atas.
Pamanku tinggal di kompleks perumahan pusat kota.“
“Kalau
kamu, Maryam. Ada nggak tempat kerabat
kamu yang cocok buat baksos kita?” Ghina
menatap Maryam penuh harap. Kiranya Maryam
bisa memberi solusi.
Maryam
terdiam sesaat sambil mengingat-ingat satu persatu kerabatnya yang ada TPA atau
diniyah, PAUD atau apa saja tempat anak-anak kecil belajar. Namun juga mudah mendapati orang dhuafa.
“Di
tempat nenek aku mungkin bisa. Nenekku
punya tempat ngaji bakda Maghrib. Anak
ngajinya juga cukup banyak. Lebih dari
tiga puluh orang waktu aku terakhir mengunjungi beliau. Tapi sayangnya tempatnya agak pelosok
gitu. Nggak ada jalur angkota atau
angkodes yang lewat. Kendaraan yang bisa
masuk cuman ojeg sama delman.” Maryam
menjelaskan panjang lebar.
“Nggak
masalah aku kira. Yang penting akses
jalannya bagus. Walaupun mungkin belum
jalan aspal tapi rata nggak rusak seperti sungai kering bebatuan, kan?” Rahma mengundang gelak mereka berlima.
“Jalannya
aku jamin bagus. Walaupun nggak diaspal
tapi batu-batu tua dan keras tertata rapi.
Artistik malah.”
Mereka
berlima merasa mendapat solusi dari kebuntuan tentang tempat baksos
mereka. Binar-binar bahagia memancar
dari wajah lima gadis ayu, berbalut gamis dan jilbab lebar rapih.
Pemberangkatan
seluruh santri akan dilakukan bakda Dzuhur, selepas mereka makan siang. Semua disibukkan dengan bebenah barang
perbekalan. Dari lima anggota kelompok
yang mereka namai MULIA (Mujahidah Lil ‘Alamin) itu, Maryamlah yang paling
sibuk. Karena dia harus memberi kabar
pada Bibi Nisrina tentang rencana baksos kali ini.
Diambilnya
Android dari bagian keamanan untuk mengirim pesan WA pada Bibi Rina. Asyik bermain dengan tuts Android di pojok
ruang asramanya, senyuman merekah mulai menghiasi bibir mungilnya. Pertanda baik kegiatannya direspon positif
oleh keluarga nenek di Kampung
Banyuasih.
kkkkk
Empat
jam perjalanan dari pesantren dengan menaiki minibus. Perjalanan yang cukup melelahkan bergumul
dalam satu kendaraan dengan berbagai aroma penumpang dan barang bawaan
mereka. Belum lagi asap rokok menusuk
hidung. Makin menyesakkan keadaan yang
sudah sarat penumpang. Yang sedikit
menolong mereka adalah membuka lebar-lebar jendela minibus.
Akhirnya mereka samapi
pada pertigaan menuju kampung Nenek Maryam.
Benar juga kata Maryam, pemandangan yang begitu indah. Sejauh mata memandang selalu bertemu dengan
bukit dan gunung. Jalanan hanya selebar
empat meter. Belum diaspal namun
dipenuhi bebatuan yang tertata meratakan jalan.
Di kanan kiri jalan sawah dan ladang membinarkan harapan petani yang
menanamnya.
Mereka sepakat untuk
berjalan kaki sambil menunggu delman kosong yang sangat jarang lewat. Kalaupun ada biasanya selalu penuh
penumpang. Satu-satunya cara menyewa
delman yang menuju kota. Itu juga kalau
tidak membawa penumpang yang mau ke kota.
“Aduh, Maryam...kenapa
kamu nggak bilang kalau kita harus jalan kaki begini. Lihat kulitku yang putih jadi kian merona. Ntar bakal hitem mukaku ini” Rahma bersungut-sungut sambil memandangi
wajahnya di cermin yang selalu di bawanya kemana-mana.
“Kakiku pegel
banget. Kalau ada mama pasti aku udah
digendong, nih!” Puput makin meramaikan
suasana sore itu.
“Masya Alloh, kalian
santriwati. Nggak zamannya lagi manja
macam anak mama dan berlagak sok cantik macam artis. Malu sama julukan kalian santriwati.” Nena menegur kemanjaan Puput dan Rahma.
“Ingat dong pesan
Ustadzah Nuri. Santriwati harus
tangguh. Apalagi kelompok kita
Mujahidah. Mana ada mujahidah letoy nan
gemulai.” Jurus dalil Ghina mulai
keluar.
Puput dan Rahma memilih
diam daripada harus menelan kalimat-kalimat
dari Ghina. Gadis anggun namun
tugasnya sebagai bagian keamanan melatihnya berkata tegas hingga pedas. Akhirnya Puput dan Rahma lebih memilih
menghela napas panjang saat keluh kesahnya tercekat rasa malu pada julukannya
sebagai Santriwati Mulia.
Berjalan setengah jam,
akhirnya mereka sampai di depan rumah Nenek Maryam. Rumah besar dengan interior rumah zaman
Belanda. Rumah yang sudah langka di
zaman sekarang. Bagian depan ada empat
anak tangga setinggi satu meter.
Diantara anak tangga dipisahkan oleh bidang miring selebar tiga jengkal
orang dewasa. Batu-batu keras menghiasi
pondasi sejajar tangga, bercat hitam di batasi warna putih.
Setelah mengucapkan
salam, muncul sosok wanita paruh baya menjawab salam mereka. Usianya menjelang enam puluh tahun. Keriput di wajahnya mulai bermunculan. Namun bekas-bekas kecantikan masih terlihat
nyata pada kulitnya yang putih bersinar.
Cantik alami terpancar dari bekas wudhu yang selalu membasahi wanita ahli
ibadah itu.
“Maryam, akhirnya
kalian sampai juga. Nenek sudah menunggu
sejak tadi. Cepat masuk. Ajak teman kamu ke kamar yang sudah Nenek
sediakan. Setelah itu kalian ke meja
makan. Lihatlah kejutan apa yang Nenek
hidangkan buat kalian!” Keramahan Nenek Maryam
sungguh tulus. Mereka berlima bahagia
disambut sedemikian rupa.
“Subhanalloh Nenek,
selalu saja bikin Maryam bahagia dan betah buat berlama-lama di sini.” Maryam menaiki tangga dan mencium tangan
keriput penuh berkah itu. Diikuti
keempat temannya.
Mereka berlima menuju
kamar tidur untuk melepas tas punggung mereka masing-masing. Belum lagi dua tangan kanan kiri menjinjing
tas sarat beban. Bekal pakaian dan bahan baksos tentu saja.
“Ayo kita makan! Jangan sampai nenekku kecewa dengan respon
kalian yang menunjukkan selera makan rendah. OK?!”
“Untuk urusan yang satu
itu tentu saja nggak ada malesnya, Maryam.”
Nena selalu semangat untuk urusan perut.
Sesuailah dengan badannya yang paling tambun.
“Hitung-hitung
perbaikan gizi. Selama ini kita belajar
qonaah, kan?” Puput tidak mau kalah
semangat
“ Sekarang saatnya
belajar bersyukur dengan makan besar.” Rahma dan Ghina saling menimpali hampir
bersamaan. Tertawa renyah memenuhi kamar
untuk para gadis berukuran enam kali lima meter itu.
Mereka segera menuju
kamar makan. Meja makan berbahan kayu
mahoni berbentuk bundar, telah penuh dengan segala jenis makanan khas
kampung. Telor kampung mata sapi. Gulai terong lalap campur daging ayam. Sambal tomat segar. Goreng ikan sambel kecap. Lalap daun sawi
dangur rebus. Dan kerupuk udang. Yang membuat semua istimewa karena makanan
ini ada dari tetes keringat Nenek Maryam.
Kecuali kerupuk udang dan gulai.
“Aduh maaf Maryam, Gulainya tumpah dikit. Taplak mejanya jadi kotor deh.” Puput merasa bersalah menumpahkan kuah gulai
yang diambilnya.
“Nggak papa cuman
dikit, kok? “ Maryam mengambil lap untuk
menyusut kuah gulai. Ada sesuatu di
bawah taplak yang membuat gulai itu tumpah rupanya. “Pantesan tumpah Put, ada
yang mengganjal di bawah mangkuk gulainya,”
Maryam berusaha mengambil sesuatu dari bawah taplak meja. Gulungan kertas putih. Dimasukkannya gulungan kertas itu ke dalam
saku gamisnya. Maryam sangat pantang
membuang sampah sembarangan. Lagi pula
ia khawatir kertas itu barang berharga milik nenek. Ia akan memeriksanya setelah makan dan menyerahkannya
pada nenek.
Semua begitu menikmati
hidangan petang itu. Adzan Maghrib memanggil,
mengalun merdu. Mereka segera berwudhu untuk berjamaah bersama
anak-anak ngaji bakda Maghrib di mushola samping rumah nenek. Bakda Maghrib, mereka langsung membantu
mengajar ngaji anak-anak kampung.
Kebahagiaan mewarnai silaturahim yang indah ini. Mereka segera saling akrab oleh ketulusan
kelompok MULIA.
kkkkk
Semua sudah pulas
tertidur, kecuali Maryam. Jarum jam terus
berdetak, menemani kesendirian Maryam.
Diliriknya pemberi tahu waktu sudah menunjukkan pukul dua belas
malam. Tulisan pada gulungan kertas itu
begitu mengganggunya.
Salam
Rindu untuk anakku, Lusi.
Akhirnya
ibu putuskan untuk berterus terang padamu,Nak.
Ibu menganggap kamu sudah cukup dewasa untuk menerima berita ini. Semoga juga pengajaran yang kami dapat di
pesantren bisa membantumu menerima segala kenyataan ini.
Anakku,
ayahmu merantau ke Aceh saat kamu masih dalam kandungan. Peristiwa Tsunami 2004 menghilangkan jejaknya begitu saja. Kamu
terlahir tanpa ayahmu seminggu setelah peristiwa Tsunami. Ibu mengalami depresi sehingga tidak dapat
mengasuhmu dengan baik. Sepasang suami
istri yang baik hati, putra dari Ibu Supardi mengasuhmu sebagai anak angkat.
Ibu
menulis surat ini atas izin bapak dan ibu angkatmu supaya kamu tahu nasab yang
sesungguhnya.
Anakku,
bila kau berkenan, temui ibu di rumah sebelah kanan SD terdekat. Bila kamu belum siap tak mengapa. Ibu akan tetap menunggu perjumpaan kita.
Banyuasih,
13 Maret 2018
Semua yang tertera
dalam surat itu menyisakan misteri yang tak mudah untuk Maryam. Siapa Lusi dalam surat itu? Lalu siapa Ibu Supardi? Nenek yang dikenalnya bernama Zainab.
Ibu dan ayah yang mengangkat Lusi sebagai anak pun tidak tertera jelas
dalam surat itu.
Hanya satu yang membuat
Maryam curiga bahwa dirinya bukan anak kandung dari ayah dan ibunya selama
ini. Ya...sejak usia balig, ayah mulai
membatasi keakrabannya. Ayah melarang Maryam
melepas jilbab saat mereka bersama.
“Ayah mengapa Maryam
harus terus berjilbab? Kan di rumah ini
hanya ada kita bertiga?” Tanya Maryam
suatu saat.
“Untuk jaga-jaga Maryam,
mana tahu ada sepupu atau tamu yang bukan mahrom kita tiba-tiba datang. Atau kalau tiba-tiba ada gempa. Kamu nggak perlu repot-repot cari
jilbab. Bisa langsung lari keluar ke tanah
lapang. Betul, kan?” Ayah Maryam memberi alasan yang sangat masuk
akal dan tak membuatnya curiga. Kecuali
setelah membaca secarik kertas itu.
Ingatan Maryam tertuju
pada Ibu Supardi. Siapa Supardi? Tiba-tiba Maryam teringat bahwa nama almarhum
kakek, suami nenek adalah Supardi. Tidak
salah lagi yang mengadopsi Lusi pasti putra dari nenek. Dan nenek hanya punya dua anak, Bibi Nisrina
dan seseorang yang dianggapnya ayah selama ini.
Sementara itu Bibi Nisrina hanya memiliki tiga anak, semuanya laki-laki.
Air mata Maryam tak
terbendung. Keringat dingin keluar deras
membasahi baju tidurnya. Yang ia mau,
pagi segera datang dan ia akan menemui ibu kandungnya. Siapapun dia.
“Aku harus memastikan
semua pada nenek. Nenek pasti tahu
banyak tentang diriku.” Keputusan inilah
yang membuat Maryam mampu memejamkan mata pada akhirnya.
kkkkk
Selepas Subuh, Maryam
menanyakan nasabnya pada Nenek. Semua
jamaah sudah meninggalkan mushola, tinggal nenek yang masih meneruskan zikirnya.
“Nek, boleh Maryam
menanyakan sesuatu?” Maryam memulai
pembicaraan hati-hati.
“Ada apa Maryam,
nampaknya penting sekali?” Nenek
menghentikan putaran tasbihnya.
“Maryam menemukan
gulungan kertas ini, di bawah taplak meja makan. Apakah anak yang bernama Lusi itu aku, Nek?”
Nenek tak segera
menjawab, ada gurat kekhawatiran pada wajah sepuhnya. Ada rasa iba hatinya pada Maryam. Gadis salehah itu harus mengetahui kenyataan
ini pada akhirnya. Ada rasa takut kehilangan
kasih sayang cucu perempuan satu-satunya yang sangat ia sayangi.
“Maryam, kamu janji
nggak marah pada kami yang merahasiakan nasabmu, Nak?
“Tentu tidak, Nek. Maryam yakin dengan ketulusan kasih sayang
keluarga ini. Semua pasti demi kebaikan Maryam. Bahkan Maryam berterimakasih atas segala yang
telah Maryam terima meskipun tidak ada ikatan darah antara Maryam dan keluarga
Nenek.”
“Kemarin, ibu kandungmu
tahu kamu akan datang. Dia membawakan
semangkok besar gulai ayam. Dia juga
minta izin menyimpan surat ini. Nenek tidak
bisa melarangnya. Itu hak dia. Nenek berdosa kalau memutuskan tali nasab
antara kamu dan ibumu, Nak. Lusi dalam
surat itu adalah namamu, pemberian ibumu.”
Semua menjadi
jelas. Lusi adalah nama pemberian ibunya
saat masih bayi.
Maryam segera meninggalkan
nenek yang melanjutkan putaran tasbihnya. Diciumnya tangan mulia itu. Maryam bertekat menemui ibu kandungnya
sekarang.
Keremangan pagi hari
mulai menyapa. Angin dingin menusuk
kulit. Kabut pekat makin mengajak
manusia pemalas merapatkan balutan selimutnya. Maryam meminta Ghina, kawan terdekatnya untuk
menemaninya memecahkan segala misteri yang menyesakkan dadanya.
Setengah kilometer
mereka menyusuri jalan mencari SD terdekat.
Sebuah rumah di sebelah kanan sekolah itu, masih tertutup rapat.
Ragu-ragu Maryam menaiki tangga menuju teras.
Rumah itu sepertinya kosong.
Tumah tingkat cukup mewah untuk ukuran rumah di kampung itu. Bercat putih apel dengan bingkai jendela dan
pintu warna biru muda.
“Maryam, sepertinya
rumah ini kosong. Lihat tulisan di pintu
itu.”
“Rumah ini menjadi hak
milik BPR Daerah Unit Banyuasih. Disegel mulai 13 Maret 2018.” Maryam mengeja kalimat-kalimat yang
menyesakkan dada untuk kedua kalinya.
Batinnya bergumul
dengan berbagai pikiran tentang siapa sebenarnya ibu kandungnya? Mengapa rumah ibu disita? Apakah ibu bermain riba bank? Sebesar apa hutang ibu hingga jaminannya
sebesar rumah ini? Bagaimana cara hidup
ibu hingga harus terlilit hutang? Lalu
kemana Maryam harus menemui ibu kandungnya?
Segala tanya, kecewa,
sedih bercampur aduk dalam benaknya.
“Maryam, kamu yang
sabar ya? Ingat nasihat Pak Kyai di pondok.
Seperti apapun orang tua kita, kita tetap harus hormat pada mereka. Bahkan bila mereka menyembah selain Alloh
sekalipun, kita harus pergauli mereka dengan baik. Berbicara lemah lembut pada
mereka. Mengucapkan ‘ah’ pun tidak
boleh, bukan?”
“Terimakasih Ghina,
kamu sahabatku yang baik. Bantu aku biar
kuat menghadapi ujian ini ya?” Maryam
memeluk sahabat dekatnya itu. Isak
tangisnya tumpah juga. Seakan meminta dukungan dari beratnya masalah yang
dihadapi.
“Kamu pasti bisa melaluinya. Percayalah!
Aku akan membantumu sampai kamu bisa bertemu ibu kandungmu.”
Segala ingatan tentang
nasihat Pak Kyai dari Ghina membuat Maryam tersenyum. Dalam hati Maryam berjanji menerima seperti
apapun keadaan ibu kandungnya, meskipun berat.
kkkkk
Gagal
menemui ibu kandungnya, membuat Maryam ingin bertanya banyak hal pada
nenek. Ia yakin neneknya pasti
tahu. Siang menjelang Dzuhur, Maryam
menemui nenek di kamarnya.
Diketuknya
pintu perlahan, sambil mengucap salam.
Suara lembut nenek menjawab salamnya dan menyuruhnya masuk. Maryam segera masuk dan menutup pintu
kembali. Ia tak ingin banyak orang tahu
tentang masalah yang dihadapinya kecuali nenek dan Ghina.
“Bagaimana,
Nak. Kamu sudah bertemu ibumu?” Nenek begitu antusias ingin mengetahui cerita
dari Maryam.
Maryam
menceritakan apa yang ia temukan tadi pagi.
Nenek begitu sabar mendengarkan, ia sudah menduga kisah pilu yang akan
ditemui cucu angkatnya itu
“Nenek
bisa membantu Maryam untuk bertemu ibu?”
“Tentu
cucuku. Tapi Nenek harap kamu tidak
kaget atau kecewa dengan apa yang terjadi dengan ibumu.”
“Supaya
tidak kaget, Maryam ingin dengar cerita dari nenek tentang ibu. Kenapa rumah semewah itu bisa disegel pihak
bank, Nek?”
Nenek
mulai bercerita panjang tentang ibu kandung Maryam, Gania. Ayah Maryam tidak memberi kabar apa-apa dalam
sepuluh tahun. Keluarga Gania memutuskan
untuk menikahkan anaknya. Kali ini
seorang pedagang kaya di Banyuasih yang terpesona dengan kecantikan Gania, meminangnya.
Kehidupan
Gania mulai berubah sejak itu. Kesederhanaan
dan kekurangan berubah menjadi serba kecukupan dan kemewahan.
“Rupanya
kemewahan itu sangat mudah menggelincirkan.
Gaya hidup dan pergaulan ibumu mulai berubah. Kegemarannya memperbaiki penampilan, teman
bergaulnya anggota kelap di tempat fitnessnya.
Sebenarnya semua warga sudah gerah dengan gaya hidupnya yang
mencontohkan pergaulan bebas,” Nenek
terdiam menyadari ceritanya yang sudah terlalu dalam. Ada kekesalan dalam sorot matanya pada
perbuatan Gania, yang tidak mau mendengar nasihatnya.
Maryam
disampingnya terus setia mendengar kisah itu.
Air mata mengalir untuk kesekian kalinya hari ini.
“Teruskan,
Nek.” Pinta Maryam
“Tapi
kamu jangan pernah benci ibumu, Maryam.
Cukup perbuatannya yang kita hindari dan dijadikan pelajaran.”
“Maryam
paham, Nek. Beruntung Maryam tau. Maryam ingin menyelamatkannya, sebisa
mungkin. Sebelum terlambat. Sebelum ajal menjemput.”
Nenek
mengambil sapu tangan menyeka air mata Maryam.
Dalam hatinya, lebih baik Maryam tahu darinya daripada dari orang
lain. Akan lebih menyakitkan hati cucu
angkat kesayangannya itu.
“Gaya
hidupnya membuat ia meminjam uang di bank.
Rumah mewah itu menjadi jaminannya.
Ayah tirimu sudah menebusnya dua kali dan untuk ketiga kalinya dia
menyerah. Keputusan terakhir, ayah
tirimu menceraikan Gania.”
“Ya,
Alloh, kasihan sekali ibu.....” Maryam
bergumam lirih.
“Maryam,
bagaimanapun dia ibumu. Jaga rahasia dan
kehormatannya. Nenek tahu banyak tentang
Gania, karena nenek selalu berusaha menasihatinya selama ini. Semoga ujian yang diterimanya kini membuatnya
sadar. Nenek yakin kehadiranmu akan
banyak membantunya kembali ke jalan yang Alloh ridhoi.”
Harapan
yang nenek ucapkan mengembangkan senyum di bibir mungil Maryam. Tekatnya untuk menemui ibu kandungnya dan
membangkitkannya dari keterpurukan dan dosa, makin kuat.
Semoga
kau berhasil Maryam, hatimu yang mulia, akan mendatangkan rahmatNya. Insya Alloh.
ALHAMDULILLAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar