Sejak memasuki usia sebelas tahun aku merasa terganggu dengan kemampuanku yang tak biasa. Aku tidak ingin disebut INDIGO dengan kemampuanku ini. Terus terang aku tidak begitu suka melayani mereka yang bertanya tentang esok, lusa atau apapun yang aku lebih tahu dari orang lain.
Juga mimpi malam ini sangat menggangguku.
“Gayatri, tolong aku. Bebaskan aku. Aku sangat menderita di sini!” Gadis manis dengan berhijab rapi. Mukanya bersih bersinar. Sesaat kemudian tertukar dengan wajah kumal, rambut tergerai acak. Meronta-ronta dengan kaki dan tangan terpasung.
“Astaghfirulloh.” Aku terbangun, kemudian bertaawudz dari mimpi aneh dan mengerikan ini.
Pikiranku sesaat menjadi kacau dengan apa yang kulihat dalam mimpi itu. Dari hari ke hari mimpi-mimpi itu seperti kisah bersambung. Bahkan makin sering, sesering aku memejamkan mata untuk tidur. Tak peduli siang, malam atau pagi bakda Subuh karena kelelahan yang amat sangat.
Pada mimpiku yang kesekian, gadis itu terlihat kurus tanpa daya. Tuturnya menampakkan keputusasaan.
“Gayatri, kau tak juga iba padaku? Percayalah aku bukan sosok mengerikan yang kau lihat. Sebenarnya aku seperti kamu juga. Bisa berpikir, merasa, bicara dengan baik. Aku hanya korban ambisi orang-orang dekatku.” Gadis kecil itu terus bercerita
“OK, aku percaya padamu setelah kau begitu sering menemuiku.” Benteng kekakuan mulai bisa aku kalahkan. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Namaku Amrita Priyanti. Untuk mengetahui lebih jauh tentangku kau bisa browsing aku di Geevv searching machine. Ada banyak berita tentang aku di sana.”
“Aku akan berusaha tapi aku tak bisa menjanjikan apa-apa untuk memperbaiki keadaanmu. Tetaplah berdoa, semoga aku bisa melakukan apa yang menjadi harapanmu.”
Sejak aku memutuskan berusaha membantunya, mimpi itu tidak datang lagi. Lagi-lagi kemampuanku yang tak biasa ini menyeretku dalam kesibukan yang tak kuharapkan.
Alhamdulillah, hati nuraniku untuk membantu Amrita yang sangat menderita melebihi rasa ketakpedulianku.
Siang hari, sepulang pemadatan menghadapi ujian nasional, aku langsung menuju warnet. Mengumpulkan segala berita tentang Amrita Priyanti.
Keluarga milyader mengalami kecelakaan tragis. Semua anggota keluarga meninggal kecuali anak tunggalnya. Artis cilik yang sedang naik daun, Amrita Priyanti, sepuluh tahun.
Pihak keluarga korban menduga ada sindikat konglomerasi pesaing sang milyader yang menginginkan kecelakaan terjadi. Persaingan tender menjadi latarbelakang tindak kriminal ini. Satu-satunya anak korban yang selamat, Amrita Priyanti mengalami depresi berat. Kerabat terdekat yang memiliki hak perwalian Amrita memasung Amrita atas permintaan warga sekitar. (www.daynewsindonesia/2016).
Keinginanku untuk membantu Amrita makin kuat. Biasanya makin kuat keinginan, kemampuanku berkomunikasi sudah tidak melalui mimpi lagi. Cukup dengan memejamkan mata. Perkembangan yang bagus. Dengan hanya mengucapkan salam, wajah Amrita akan segera muncul. Bak layar kaca tipis penghubung dua dunia.
“Assalamu’alaikum, Amrita.” Telepati pertamaku aku coba sore itu.
“Waalaikum salam. Bagaimana Gayatri, kamu mau membantuku?”
“Tentu Amrita. Aku butuh banyak informasi darimu. Tentang dimana kamu tinggal. Juga tentang bagaimana keluargamu memutuskan pemasungan terhadap kamu?”
“Ceritanya panjang dan hanya aku yang tahu. Kamu tidak akan bisa mencarinya di dunia maya.” Amrita tersenyum penuh harap. “ Aku dipasung di pulau milik ayahku yang kini dikuasai sepenuhnya oleh pamanku.”
Amrita menyebutkan nama pulau kecil, Pulau Selahitam. Lagi-lagi dia memintaku melihatnya melalui Geevvmap, applikasi pencarian lokasi buatan anak negeri.
“Kamu belum menyebutkan sebab kamu dipasung. Dan kenapa begitu mudah kamu dipasung?” Aku tak sabar mengumpulkan keterangan utuh dari kasus yang membutuhkan kelebihanku ini.
“Pamanku menginginkan seluruh harta ayah. Begitu tahu aku selamat, aku menjadi ancaman gagalnya dia menguasai harta keluargaku. Aku diberi narkoba yang membuatku berperilaku layaknya orang gila. Paman menyebarkan berita bahwa aku depresi. Paman membayar mereka untuk lapor polisi bahwa kalau aku dibiarkan bebas seperti orang normal, aku akan membahayakan nyawa mereka.”
“Lalu bagaimana kamu bisa menemuiku dalam mimpi?”
“Itu karena aku juga memiliki kemampuan seperti kamu. Aku memiliki indra keenam yang banyak diketahui orang.”
Amrita banyak memberi informasi bagaimana aku bisa mencapai Pulau Selahitam, sebuah pulau kecil di sebelah selatan Pulau Sumbawa. Dari ceritanya, terlalu banyak ranjau dipasang di pulau itu.
“Gayatri, aku meminta tolong ke kamu karena kamu anak indigo yang salehah. Kamu rajin ibadah dan berbudi pekerti baik. Cukup dengan salat dua rekaat. Letakkan printsreen dari Pulau Selahitam hasil Geevv Searchingmu, kamu akan sampai. Jangan lupa bawa pasir putih dan baca bismillah kemudian taburkan di sepanjang perjalanan. Kamu akan terhindar dari kejaran para penjaga Pulau Selahitam”
“Apa kamu bisa menjamin dalam usahaku membebaskan kamu nanti, aku akan selamat dari kekejaman pamanmu?” Tiba-tiba telepati terhenti. Aku punya firasat Amrita dalam bahaya.
***
Tidak ada pilihan lain. Aku kumpulkan semua energy keberanian dalam dadaku. Berkorban menyelamatkan gadis yang terzalimi oleh pamannya sendiri. Beruntung aku masih menyimpan pasir putih sisa akuarium air laut yang menghiasi ruang tamu keluargaku. Satu lagi, printscreen Pulau Selahitam.
Aku mengambil wudhu, salat dua rekaat dan petualangan dimulai. Dan aku sampai dalam sekejap.
“Wah pulau ini berantakan sekali. Lautnya kelabu senada dengan langitnya. Pasirnya pun hitam," gumamku
Aku merapikan jilbabku yang berantakan tertiup angin, melewati labirin cukup mendebarkan. Melitas dua dimensi ruang dan waktu. Pengalaman pertamaku berkat informasi dari Amrita.
“Lihat itu ada orang asing memasuki pulau kita! Seorang gadis kecil. Berani sekali dia. Bagaimana dia menemukan tempat ini?” Dua body guard terkaget-kaget dengan kehadiranku. Aku selinglung pengalaman jetlagku yang pertama, tak kalah kaget. Yang ada dalam benakku, melarikan diri dari mereka.
“Cepat kejar!!” Body guard bertubuh tambun kesulitan mengejarku. Namun seorang lagi tinggal sejengkal meraih tanganku.
“Hai, Gayatri….. kamu lupa dengan pasir putihmu?” Sebatang pohon besar di depanku bersuara lembut mengingatkanku.
Aku segera merogoh kantong celana PDL-ku yang berisi pasir putih dan menyebar ke sekelilingku.
“Bismillahirrahmannirahiim.”
“Lho, kemana bocah nakal itu. Tiba-tiba dia hilang.” Si Tegap terbengong-bengong kehilangan tangkapannya.
Alhamdulillah, aku menarik napas lega. Sekarang aku leluasa mencari tempat Amrita dipasung. Satu-satunya cara termudah, aku akan membuntuti dua body guard ini kemanapun mereka pergi.
Mereka putus asa mencariku yang tak juga dapat mereka lihat.
“Gembul, nampaknya sia-sia kita mencari gadis misterius itu.” Si Tegap mengepalkan tangannya kesal.
“Lebih baik kita ke ruang rahasia tempat Non Amrita di pasung. Saya merasa ada yang nggak beres di pulau ini. Kalau sampai ada yang menculiknya. Kita bakal kehilangan periuk nasi.”
Benar sekali dugaanku, mereka penjaga ruang rahasia, tempat Amrita menghabiskan hari-harinya. Mereka menaiki Jeep terbuka menuju sebuah hutan yang cukup lebat. Lima belas menit perjalanan, kami sampai di sebuah rumah tua.
Aku terus mengikuti langkah mereka dengan hati-hati. Kalau tidak, kejadian di depan pintu rahasia bisa terjadi lagi. Ya, aku menjatuhkan kaleng yang membuat mereka curiga. Hampir saja aku kena pukul mereka yang membabi buta lantaran menganggapku siluman penguntit.
Ruangan itu pengap dan gelap. Ukurannya hanya tiga kali empat meter. Mirip ruang penjara bawah tanah. Aku tak habis pikir, terbuat dari apa hati paman Amrita. Gadis cantik, yatim piatu itu dibiarkan tersiksa di usianya yang sangat belia.
Bukan hanya kaki dan tangan yang mereka pasung. Mulutnya pun ditutup dengan lakban perekat. Aku akan segera bertindak setelah dua body guard itu keluar. Dari tatap mata Amrita ke arahku, aku yakin Amrita dapat melihat kehadiranku.
Setelah semua aman aku mendekati Amrita. Tangisnya tak terbendung. Ada bahagia, sedih, penuh harap dan entah apa lagi. Aku segera membuka lakban perekat di mulutnya. Sosok yang persis menemuiku dalam mimpi danbtelepatiku belakangan ini. Keadaannya kusam, lusuh tak terurus. Ia memintaku membuka seluruh ikatan yang memasungnya. Amrita memelukku erat.
“Terimakasih Gayatri. Akhirnya Alloh mengabulkan doaku.”
“Sudah menjadi kewajibanku membantumu melepas semua penderitaan ini. Aku juga berterimakasih kau memberitahuku banyak hal tentang kelebihanku.”
“Gawat ada yang menuju kemari. Pasir putihmu masih ada Gayatri.”
“Aku sudah sebar saat aku dikejar dua body guard itu.”
“Coba kamu periksa, barang kali ada sebutir duabutir tersisa!. Aku membutuhkannya untuk menghilang dari pandangan mereka.”
Suara itu makin mendekat. Detak jantungku berdegup kencang. Ya Alloh beri kami jalan. Bagaimana kalau kami kehabisan satu-satunya senjata yang kami punya?
Aku tak mau berputus asa. Aku kais dasar saku celana PDL-ku dan Alhamdulillah masih ada sisa pasir tercecer.
“Bismillahirrahmaanirrahiim.” Semua akan baik-baik saja. Amrita kini hilang dari pandangan mereka. Kami harus segera lari menjauh dari rumah mengerikan juga Pulau Selahitam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar