Jumat, 05 April 2019

CERPEN FLP_KADO TAKBERTUAN_Nabila Aulia Putri


KADO TAK BERTUAN
By:  Nabila Aulia Putry

Rabu,11 Mei 2012,
Hari ini adalah hari terakhir aku mengikuti ujian akhir sekolah.   Alhamdulilah aku bisa menyelesaikan semuanya dengan  lancar dan sebentar lagi aku akan masuk SMA.   
Kata mama aku  lebih baik dimasukkan ke pondok pesantren saja agar aku bisa mandiri dan tidak terbawa oleh  pergaulan zaman sekarang yang benar-benar sudah tidak bisa ditoleransi lagi.   Aku juga memang mempunyai niat untuk sekolah sambil mesantren,.  Ya, hitung-hitung cari pengalaman baru dengan bersekolah bernuansa religi.
“ Assalamualakum, Ma…Mama?” kali ini aku pulang sekolah dengan wajah senang dan langsung mencari mama.
“ Waalaikumsalam.    Mama lagi di dapur Al,  lagi bikin kue,’’ teriak mama dari dapur
Mungkin mama sedang sibuk.  Kuputuskan untuk pergi ke kamar dulu mengganti bajuku.  Tak lupa seperti biasa aku selalu mencuci tangan dan kaki.  Kusimpan tasku di meja belajar dan langsung menjatuhkan badan ke kasurku yang empuk. Saat itu aku membayangkan bagaimana jika aku sekolah sambil pesantren,mungkin akan mnyenangkan tapi ada juga hal yang menyedihkannya. Aku harus meninggalkan mama, papa, kakak,  nenek juga kakek.
“ Nenek… Kakek… ?’’ gumamku.  “Astagfirullah!  Sudah hampir satu bulan aku tidak  menghubungi mereka.  Kira-kira, bagaimana, ya,  kabar mereka sekarang?’’ tanyaku pada diri sendiri
Aku bergegas mengganti baju dan keluar dari kamar mencari mama.
“Ma,  Mama lagi bikin apa?  Kayanya sibuk banget dari tadi?” tanyaku keheranan melihat mama yang entah sedang membuat apa.  Yang aku lihat hanya adonan yang sedang disimpan, didiamkan dalam baskom.  Ada kain suam basah, lembab disimpan di atasnya
“ Ini mama lagi bikin donat.  Kamu dan papamu suka donat, kan?’’
“Oh, begini cara bikin donat, tuh?  Ya suka banget, dong, Ma.  Apalagi donat bikinan Mama.  Juara, deh!”
Mama membalas dengan senyuman.
“Oh, iya,  Ma, bentar lagi Alsya libur panjang, tuh.  Alsya kangen nenek sama kakek Ma.  Mama kangen nggak?”
“Kangen dong, masa enggak?”
“Jadi  Alsya boleh usul, dong.  Alsya pingin diajak berlibur ke rumah kakek nenek di Bogor,” pintaku.
“Maksud kamu kita liburan disana?”
“Nah itu maksud Alsya, Ma.  Mama setuju enggak?”
“Hemm……Mama bilang papa dulu, ya?”
“Iya,  Ma” ucapku
“Kamu makan dulu, gih!  Udah Mama siapin di meja makan”
“Siap, Ma!”
Aku menuju meja makan.  Di bawah tutup makanan yang aku buka telah tersaji makanan yang enak-enak.  Nasi putih dan soto lamongan.  Daging ayam suwir tipis, telur puyuh rebus, bihun dan mie putih, toge, sausin, irisan daun bawang dan seledri.  Bumbunya kuah soto lamongan dan  bawang goreng. Wangi jeruk purut dan sambel hijaunya sungguh mengundang selera.
Terpaksa aku makan sendirian.  Perutku sudah keroncongan.  Mama sedang sibuk dan papa biasa pulang lepas Isya. 
Aku kembali ke kamar.  Aku baru sadar ruanganku berantakan.  Buku berserakan dimana-mana.  Akan lebih nyaman kalau aku membereskannya dulu.  Buku-buku ini harus aku letakkan di atas rak buku meja belajarku.
Ternyata capek juga, ya, membereskan kamar yang hanya enam kali tujuh meter ini.  Aku mengela napas panjang.  Bagaimana dengan mama yang mengerjakan semuanya seorang diri.  Tentu berkali lipat lebih capek.  Setiap hari mama mengerjakannya tanpa eluh kesah.  Luar biasa.
Aku duduk di ursi meja belajarku.  Mataku singgah pada kalender yang terpampang di depanku.  Tatapanku menuju tanggal 20 Mei, aku membulatkan angka itu, aku bubuhi tulisan, ulang tahun nenek.
“ Hemm, bentar lagi nenke ulang tahun aku kasih hadiah apa, ya?”
 Lamunanku membuyar ketika kakakku  mengagetkanku dengan tiba-tiba.  Ia masuk kamar tanpa salam dan mengetuk pintu.  “Alsya!!!!! Teriak Kak Rio.  Kakakku yang satu ini memang sering bikin aku kesal.  Ramario Bagus Raditya, nama lengkap yang bagus, sayangnya sikap cueknya tidak semanis nama yang tersemat pada dirinya.
Aku terperanjat dan langsung berdiri,” Kakak. Kebiasaan banget, ya! Salam dulu nggak bisa apa?”  Aku pasang tampang cemberut pada sosok yang kami sebut ice boy itu.
Bagiku Kak Rio orangnya jutek sekali.  Sekalinya bicara super sengak. Dia keseringan menghabiskan waktunya di kamar dengan dua benda yang kerap diangaap nya sahabat yaitu gadget juga earphone mungilnya. Dua benda itu setia menemaninya kemanapun ia pergi. Kakaku itu terlalu menikmati hidup. Memang hidup itu perlu dinimati,tapi bukankah Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan?
Mama dan papaku selalu mengajariku agar tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.  Mereka memberi contoh pada kami untuk rajin beribadah dan sungguh-sungguh dalam beragama.  Aku merasa beruntung dilahirkan dalam suatu keluarga yang sederhana, harmonis juga taat akan agama.
Pernah suatu  ketika kami melakukan perjalanan jauh dan tak sempat salat Zuhur, sedangkan waktu itu sudah memasuki waktu ashar.   Maka saat itupun kami berhenti disalah satu mesjid dan segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat. Anehnya saat hendak salat papa bilang niatnya diganti bukan shalat Asar tapi menjadi jama qashar.  Kami pun menurutinya, walaupun sebenarnya aku belum paham betul tentang itu. Belakangan aku baru tahu bahwa seorang musafir boleh menyatukan waktu salat sekaligus meringkasnya.
Papa selalu teliti dengan hal-hal sekecil apapun  yang termasuk dalam urusan agama. Berbeda dengan kakak, walaupun dia sudah beranjak delapan belas tahun tapi kelakuannya, ya bisa dibilang masih susah diatur. Hanya saja, kakak  takut sekali sama papa.  Semua perintah papa dikerjakan detik itu juga. Berbeda dengan perintah mama, ia selalu menunda apa yang mama  perintahkan. Entah  hal apa yang melatar belakangi itu semua, yang jelas Kak Rio begitu takut pada papa.
“Al, kamu mau kerumah kakek ya?”tanya Kak Rio suatu ketika
“Iya, emang kenapa? Kak Rio nggak akan ikut?”
“Insyaallah ikut, Al.   Gue usahain ikut, soalnya gue lagi sibuk bikin tugas sekolah.. Kalau gue nggak bisa ke sana, titip gantungan kunci, ya!”
“Huh, Kak Rio!  Pantesan baik ternyata ada maunya! Nggak, ah!  Alsya gak mau bawain gantungan kunci kaka, sebelum Kakak……”
“Sebelum Kakak apa?” Kakak langsung memotong pembicaraanku
“Sebelum Kakak ngabulin permintaan Alsya!”
Saat itu aku menemukan ide.   Aku berencana memberikan kado buat nenek, selendang warna merah cerah.   Dulu nenek pernah minta kepada mama  untuk dibelikan selendang. Nenekku  masih suka mengenakan pakaian adat Jawa dan salah satunya selendang yang di selendangkan di leher.   Meskipun nenek tinggal di Bogor, nenek tetap masih menggunakan pakaian tradisional itu.
Aku mencari sesuatu di dalam lemarinya,di loker pertama tidak ditemukan.  Loker kedua dan ketiga pun  hasilnya nihil.  Aku  mencari di lemari buku, dan ternyata memang ada di situ. Sebuah benda tempat mengumpulkan uangnya itu terbuat dari bahan plastik  berbentuk kelinci.  Sudah penuh dengan uang recehan yang aku simpan tiap hari.  Pantaslah agak berat. 
Aku mencari cutter untuk melubangi  celengan itu dan hasilnya sangat banyak. Hampir satu tahun aku diam-diam menabung di celengan ini.,” Alhamdulillah, pasti cukup jika dibelikan buat selendang nenek”

Kamis 12 Mei
Waktu belum genap menunjukan  pukul tujuh  pagi. Tapi papa harus segera berangkat ke kantor.   Papa sudah biasa berangkat dini hari ke kantor karena tak ingin terlambat.   Maklumlah, siang sedikit saja, kemacetan  di jalan karena terjebak kemacetan. Prinsip pterjadi dimana-mana.  Selalu datang lebih awal  dan konsisten dalam segala hal, membuat ayah dipercaya dalam banyak hal oleh atasannya.  Papalah yang selalu datang lebih awal dan pulang terakhir untuk  menertibkan semuanya.
Kebiasaan itupun diterapkannya papa kepada kami, anak-anaknya. Jika menghargai waktu maka itulah benih dari kesuksesan.   Aku mempunyai cita-cita menjadi seorang dosen sastra Indonesia atau ahli sejarah.   
Adapun cita-cita papaku yang sebenarnya adalah anggota TNI.  Namun Tuhan berkehendak lain, kini papa bekerja sebagai sekertaris di salah satu perusahaan. Alhamdulilah meski itu tidak sepenuhnya sesuai harapan papa, papa tetap menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tanda hati yang ikhlas.
Kemauanku untuk menjadi dosen akan aku buktikan. Tapi yang kupikirkan sekarang adalah “bagaimana aku hendak maraihnya jika aku sekolah di pesantren?  Laahaula walaa kuwwata illa billah…..  Toh ada alumni pesantren bahkan banyak yang menjadi orang penting di negeri ini.  Allah pasti menyediakan jalan bagi orang yang bersungguh sungguh.
Hari ini aku sudah bebas, tak ada jadwal ke sekolah. Kakak sudah berangkat sekolah.  Sedangkan mama…… Mama masih disibukkan dengan peralatan dapur.
Aku kembali  memikirkan soal berkunjung kerumah nenek.  Aku takut kakak lupa dengan pesananku,selendang untuk nene.
Hari sudah beranjak sore.   Kakak sudah pulang dari sekolahnya.  Ternyata kakak tidak lupa dengan pesananku.   Bagus sekali!   Nenek pasti senang dan menyukainya.   Aku jadi tidak sabar ingin segera menemui nene.
Malam menjelang pagi, pagi menjelang malam.  Semua silih berganti dan tidak pernah bertabrakan.  Mengikuti kehendak ilahi.  Tak terasa waktu berputar begitu cepat. Aku menikmati  rutinitasku  beberapa hari belakangan ini.   Membantu mama, membaca artikel tentang sejarah dan menuangkan beberapa pikiranku dalam bentuk puisi.   Ini puisi yang terakhir kubuat, entah tentang apa. Maklum aku bukanlah ahlinya hanya suka saja memilih diksi dan mengolah kata.  Apakah puisiku bisa dinikmati?  Entahlah.

Memori Cinta Bersama Rain

Rain…..
 Saat ini aku lebih senang mengukir kata
daripada mengukir angka juga cinta

Di masa kankku
dulu kita pernah sedekat nadi
sepenting udara
sehangat secangkir kopi
menghirupnya, menyatu dalam rasa
nikmat

Berlarian di tengah rerumputan
layaknya butterfly yang sedang berkejaran
menanti hujan dan tenggelam di kejatuhannya
ada satu perasaan yang selalu disembunyikan
kita tertawa dan menangis di saat yang bersamaan
tanpa ada yang memperdulikan
Rain….

Sungguh menyenangkan
Membuat kita lupa akan semua problema
Rain….

Sesuatu yang klasik bagi hati yang tertarik.  Aku mengenang satu masa kala hujan turun.  Aku tenggelam dalam  rintikan lembutnya hingga sapaan tegasnya.  Betapa bahagianya aku ketika hujan turun, dan aku bermain bersama mereka. Tiba-tiba mama datang ke kamarku.
“Al, kamu sudah siapin barang-barang kamu belum?  Awas nanti ada yang ketingalan, loh!”  ujar mama kepadaku sambil melihat perlengkapanku.
“Iya, Ma, Alsya tidak terlalu membawa banyak barang,” timpalku sambil menyembunyikan kado buat nenek.

Rabu, 18 Mei
Matahari pagi bersinar cerah. Celoteh anak-anak terdengar riuh rendah. Menyemarakkan suasana. Suasana hatiku  yang begitu bahagia karena sekarang akan memulai liburan panjang.  Liburan yang teramat menyenangkan juga melelahkan .
Aku menghabiskan  waktu selama lima jam dari arah Jakarta menuju Kota Bogor.   Mama mengemudikan kendaraan sendiri.  Kami memaklumi papa tidak bisa mengantar kami, beliau sibuk di kantor.  Tentu tidak bisa bebas meninggalkan tugasnya.  Selalu saja hiruk pikuk kota besar ini  membuat detak jantungnya tak pernah berhenti. Siang maupun malam jalanan selalu saja ramai.
Tidak terasa perjalanan yang cukup memakan waktu ini.  Akhirnya aku  telah sampai di tempat tujuan.   Mobil kami parkir di depan rumah sederhana yang masih dikelilingi pohon-pohon dan  bunga yang menyejukkan.
”Assalamualaikum….. Nenek…Kakek?” ucap salam kami di depan pintu.  Sepi.
Awalnya tak ada jawaban.  Kuucapkan kembali salam yang kedua, masih tak ada jawaban.  Kulihat pintu rumahnya terkunci rapat,pertanda tak ada orang di dalamnya. Sesaat kemudian  terdengar suara batuk dari belakang rumah.
Kami menelusuri suara itu.  Dari  kejauhan  terlihat sosok sepuh sedang memberi makan ayamnya.
“Bapak dari dulu tidak berubah.  Selalu nggak bisa diam.  Yuk, Al, kita hampiri kakk kamu!” ajak mama semangat.  Ada kerinduan pada suara lembutnya.
“Assalamu’alaikum, Kakek?” ucapku seraya berjalan menghampirinya.   Lantas kakek menengok ke belakang ,ternyata benar itu kakek.   Maka kami bergegas menghampirinya dan  mencium  tangannya.  Salam  penghormatan yang  kami biasakan pada siapa pun yang berusia di atas kami.
“Ah, ternyata kalian yang datang.  Pantas aku bermimpi tadi malam. Cucuku, Masyaallah,  kau sudah dewasa, kelas berapa kau sekarang, Nak?”
“Ah, Kakek, baru saja satu bulan kita berpisah kok sudah lupa lagi, sih?” batinku bicara sendiri. ”Kakek, aku ini  baru lulus kelas 9 SMP dan aku sekarang mau masuk pesantren.”
“Oh ya? Baguslah kalau begitu, biar jadi anak yang sholehah.”
“Bapak masih saja sibuk dengan peliharaan.  Apa nggak pinggin istirahat, Pak?.  Tinggal bersama kami di Bandung?”  tanya mama hati-hati.
“Kalau aku tinggal bersama kalian, bisa sakit badanku.  Kurang gerak, kebanyakan tidur.”  Kakek menjawab santai disertai kekehaannya yang khas.  “Ayo kita masuk ke rumah.  Ibumu sedang berangkat pengajian ibu-ibu kampung ini.”
Aku berjalan di belakang Kakek dan  Mama.  Aku terkaget ada seekor ular hijau yang melingkar di kakiku.  Terinjak. Tak sempat berlari menghindar, patukannya hanya membuatku sempat berteriak.
“Mama….Kakek!!!!”  Semua tiba-tiba menguning dan perlahan menghitam.  Aku tak tahu apa yang terjadi denganku selanjutnya
****
Jum’at,19 Mei
Matahari tiba-tiba sudah terbit kembali.  Aku sendiri seakan berada di langit-langit rumah.  Setelah suatu kejadian yang tak bisa kulukiskan.  Sakit yang teramat sangat namun hanya sekejab.  Inikah yang telah aku alami?  Terlepasnya aku dari jasad yang aku gunakan untuk meluluskan segala ingin.
Melihat sesosok tubuh yang aku sangat mengenalnya.  Bahkan aku yang paling mengenali sosok itu.  Jasadku terbujur.   Kaku.  Di sekelilingku ada papa, mama, Kak Rio, kakek, nenek.   Aneh! Bukankah aku mengunjungi nenek hanya bersama mama?  Ah…mungkin aku terlalu lama tidur. 
 Air mata mereka seperti menghiris hatiku.  Aku turut menangis.  Tapi sungguh aneh, tiada air mata di jasadku itu.  Hanya ada pada secercah ruh yang masih aku sebut aku.
Aku bisa mendengar riuh rendah berbagai bacaan dari mulut-mulut merea yang hadir. Yasin, Al Kahfi, Albaqarah, Tahlil, bacaan Alquran.  Semua terdengar indah.
“Sabar, ya Bu.  Insya Allah Neng Alsya husnul khatimah.  Apalagi usianya masih belia.”  Tetangga berdatangan menguatkan hati mama.
Oh, aku terlupa menyerahkan kado ulang tahun untuk nenek!  Bukankah aku ke kampung nenek untuk menyerahkan hadiah itu?  Aku mencoba mencari.  Rupanya ada di dalam tas yang kubawa.  Di dalam mobil.  Aku ingin meraihnya.  Tapi tangan dan kakiku tidak seperti saat sebelum jasad itu terbujur kaku.
Keinginan itu tercekat pada ketidak mampuan.
Aku hanya bisa memandangi kado itu.  Kini kado itu tak bertuan.  Aku hanya bisa berharap seseorang ingat pada bingkisan itu dan menyampaikannya untuk nenek.  Atau entahlah……Aku hanya bisa menahan kecewa yang dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...