KADO
TAK BERTUAN
By: Nabila Aulia Putry
Rabu,11 Mei
2012,
Hari
ini adalah hari terakhir aku mengikuti ujian akhir sekolah. Alhamdulilah aku bisa menyelesaikan
semuanya dengan lancar dan sebentar lagi
aku akan masuk SMA.
Kata
mama aku lebih baik dimasukkan ke pondok
pesantren saja agar aku bisa mandiri dan tidak terbawa oleh pergaulan zaman sekarang yang benar-benar
sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Aku
juga memang mempunyai niat untuk sekolah sambil mesantren,. Ya, hitung-hitung cari pengalaman baru dengan
bersekolah bernuansa religi.
“ Assalamualakum,
Ma…Mama?” kali ini aku pulang sekolah dengan wajah senang dan langsung mencari
mama.
“
Waalaikumsalam. Mama lagi di dapur Al, lagi bikin kue,’’ teriak mama dari dapur
Mungkin
mama sedang sibuk. Kuputuskan untuk
pergi ke kamar dulu mengganti bajuku. Tak
lupa seperti biasa aku selalu mencuci tangan dan kaki. Kusimpan tasku di meja belajar dan langsung
menjatuhkan badan ke kasurku yang empuk. Saat itu aku membayangkan bagaimana
jika aku sekolah sambil pesantren,mungkin akan mnyenangkan tapi ada juga hal
yang menyedihkannya. Aku harus meninggalkan mama, papa, kakak, nenek juga kakek.
“
Nenek… Kakek… ?’’ gumamku. “Astagfirullah!
Sudah hampir satu bulan aku tidak menghubungi mereka. Kira-kira, bagaimana, ya, kabar mereka sekarang?’’ tanyaku pada diri
sendiri
Aku
bergegas mengganti baju dan keluar dari kamar mencari mama.
“Ma,
Mama lagi bikin apa? Kayanya sibuk banget dari tadi?” tanyaku keheranan
melihat mama yang entah sedang membuat apa.
Yang aku lihat hanya adonan yang sedang disimpan, didiamkan dalam
baskom. Ada kain suam basah, lembab
disimpan di atasnya
“ Ini
mama lagi bikin donat. Kamu dan papamu
suka donat, kan?’’
“Oh,
begini cara bikin donat, tuh? Ya suka banget,
dong, Ma. Apalagi donat bikinan
Mama. Juara, deh!”
Mama
membalas dengan senyuman.
“Oh,
iya, Ma, bentar lagi Alsya libur panjang,
tuh. Alsya kangen nenek sama kakek Ma. Mama kangen nggak?”
“Kangen
dong, masa enggak?”
“Jadi
Alsya boleh usul, dong. Alsya pingin diajak berlibur ke rumah kakek
nenek di Bogor,” pintaku.
“Maksud
kamu kita liburan disana?”
“Nah
itu maksud Alsya, Ma. Mama setuju enggak?”
“Hemm……Mama
bilang papa dulu, ya?”
“Iya, Ma” ucapku
“Kamu
makan dulu, gih! Udah Mama siapin di
meja makan”
“Siap,
Ma!”
Aku
menuju meja makan. Di bawah tutup
makanan yang aku buka telah tersaji makanan yang enak-enak. Nasi putih dan soto lamongan. Daging ayam suwir tipis, telur puyuh rebus,
bihun dan mie putih, toge, sausin, irisan daun bawang dan seledri. Bumbunya kuah soto lamongan dan bawang goreng. Wangi jeruk purut dan sambel
hijaunya sungguh mengundang selera.
Terpaksa
aku makan sendirian. Perutku sudah
keroncongan. Mama sedang sibuk dan papa
biasa pulang lepas Isya.
Aku
kembali ke kamar. Aku baru sadar
ruanganku berantakan. Buku berserakan
dimana-mana. Akan lebih nyaman kalau aku
membereskannya dulu. Buku-buku ini harus
aku letakkan di atas rak buku meja belajarku.
Ternyata
capek juga, ya, membereskan kamar yang hanya enam kali tujuh meter ini. Aku mengela napas panjang. Bagaimana dengan mama yang mengerjakan
semuanya seorang diri. Tentu berkali
lipat lebih capek. Setiap hari mama
mengerjakannya tanpa eluh kesah. Luar
biasa.
Aku
duduk di ursi meja belajarku. Mataku
singgah pada kalender yang terpampang di depanku. Tatapanku menuju tanggal 20 Mei, aku
membulatkan angka itu, aku bubuhi tulisan, ulang tahun nenek.
“ Hemm,
bentar lagi nenke ulang tahun aku kasih hadiah apa, ya?”
Lamunanku membuyar ketika kakakku mengagetkanku dengan tiba-tiba. Ia masuk kamar tanpa salam dan mengetuk
pintu. “Alsya!!!!! Teriak Kak Rio. Kakakku yang satu ini memang sering bikin aku
kesal. Ramario Bagus Raditya, nama
lengkap yang bagus, sayangnya sikap cueknya tidak semanis nama yang tersemat
pada dirinya.
Aku
terperanjat dan langsung berdiri,” Kakak. Kebiasaan banget, ya! Salam dulu
nggak bisa apa?” Aku pasang tampang
cemberut pada sosok yang kami sebut ice boy itu.
Bagiku
Kak Rio orangnya jutek sekali. Sekalinya
bicara super sengak. Dia keseringan menghabiskan waktunya di kamar dengan dua
benda yang kerap diangaap nya sahabat yaitu gadget juga earphone mungilnya. Dua
benda itu setia menemaninya kemanapun ia pergi. Kakaku itu terlalu menikmati
hidup. Memang hidup itu perlu dinimati,tapi bukankah Allah tidak menyukai
sesuatu yang berlebihan?
Mama
dan papaku selalu mengajariku agar tidak menyukai sesuatu yang berlebihan. Mereka memberi contoh pada kami untuk rajin
beribadah dan sungguh-sungguh dalam beragama.
Aku merasa beruntung dilahirkan dalam suatu keluarga yang sederhana, harmonis
juga taat akan agama.
Pernah
suatu ketika kami melakukan perjalanan
jauh dan tak sempat salat Zuhur, sedangkan waktu itu sudah memasuki
waktu ashar. Maka saat itupun kami berhenti disalah satu mesjid
dan segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat. Anehnya saat hendak salat
papa bilang niatnya diganti bukan shalat Asar tapi menjadi jama qashar. Kami pun menurutinya, walaupun sebenarnya aku
belum paham betul tentang itu. Belakangan aku baru tahu bahwa seorang musafir
boleh menyatukan waktu salat sekaligus meringkasnya.
Papa
selalu teliti dengan hal-hal sekecil apapun yang termasuk dalam urusan agama. Berbeda
dengan kakak, walaupun dia sudah beranjak delapan belas tahun tapi kelakuannya,
ya bisa dibilang masih susah diatur. Hanya saja, kakak takut sekali sama papa. Semua perintah papa dikerjakan detik itu
juga. Berbeda dengan perintah mama, ia selalu menunda apa yang mama perintahkan. Entah hal apa yang melatar belakangi itu semua, yang
jelas Kak Rio begitu takut pada papa.
“Al,
kamu mau kerumah kakek ya?”tanya Kak Rio suatu ketika
“Iya,
emang kenapa? Kak Rio nggak akan ikut?”
“Insyaallah
ikut, Al. Gue usahain ikut, soalnya gue lagi sibuk bikin
tugas sekolah.. Kalau gue nggak bisa ke sana, titip gantungan kunci, ya!”
“Huh,
Kak Rio! Pantesan baik ternyata ada
maunya! Nggak, ah! Alsya gak mau bawain
gantungan kunci kaka, sebelum Kakak……”
“Sebelum
Kakak apa?” Kakak langsung memotong pembicaraanku
“Sebelum
Kakak ngabulin permintaan Alsya!”
Saat
itu aku menemukan ide. Aku berencana
memberikan kado buat nenek, selendang warna merah cerah. Dulu nenek pernah minta kepada mama untuk dibelikan selendang. Nenekku masih suka mengenakan pakaian adat Jawa dan
salah satunya selendang yang di selendangkan di leher. Meskipun nenek tinggal di Bogor, nenek tetap
masih menggunakan pakaian tradisional itu.
Aku
mencari sesuatu di dalam lemarinya,di loker pertama tidak ditemukan. Loker kedua dan ketiga pun hasilnya nihil. Aku mencari di lemari buku, dan ternyata memang
ada di situ. Sebuah benda tempat mengumpulkan uangnya itu terbuat dari bahan
plastik berbentuk kelinci. Sudah penuh dengan uang recehan yang aku
simpan tiap hari. Pantaslah agak
berat.
Aku
mencari cutter untuk melubangi celengan itu dan hasilnya sangat banyak. Hampir
satu tahun aku diam-diam menabung di celengan ini.,” Alhamdulillah, pasti cukup
jika dibelikan buat selendang nenek”
Kamis 12 Mei
Waktu
belum genap menunjukan pukul tujuh pagi. Tapi papa harus segera berangkat ke
kantor. Papa sudah biasa berangkat dini
hari ke kantor karena tak ingin terlambat.
Maklumlah, siang sedikit saja,
kemacetan di jalan karena terjebak
kemacetan. Prinsip pterjadi dimana-mana.
Selalu datang lebih awal dan
konsisten dalam segala hal, membuat ayah dipercaya dalam banyak hal oleh
atasannya. Papalah yang selalu datang
lebih awal dan pulang terakhir untuk menertibkan semuanya.
Kebiasaan
itupun diterapkannya papa kepada kami, anak-anaknya. Jika menghargai waktu maka
itulah benih dari kesuksesan. Aku
mempunyai cita-cita menjadi seorang dosen sastra Indonesia atau ahli sejarah.
Adapun
cita-cita papaku yang sebenarnya adalah anggota TNI. Namun Tuhan berkehendak lain, kini papa
bekerja sebagai sekertaris di salah satu perusahaan. Alhamdulilah meski itu tidak
sepenuhnya sesuai harapan papa, papa tetap menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh,
tanda hati yang ikhlas.
Kemauanku
untuk menjadi dosen akan aku buktikan. Tapi yang kupikirkan sekarang adalah
“bagaimana aku hendak maraihnya jika aku sekolah di pesantren? Laahaula walaa kuwwata illa billah….. Toh ada alumni pesantren bahkan banyak yang
menjadi orang penting di negeri ini. Allah
pasti menyediakan jalan bagi orang yang bersungguh sungguh.
Hari
ini aku sudah bebas, tak ada jadwal ke sekolah. Kakak sudah berangkat sekolah. Sedangkan mama…… Mama masih disibukkan dengan
peralatan dapur.
Aku
kembali memikirkan soal berkunjung
kerumah nenek. Aku takut kakak lupa
dengan pesananku,selendang untuk nene.
Hari
sudah beranjak sore. Kakak sudah pulang dari sekolahnya. Ternyata kakak tidak lupa dengan pesananku. Bagus sekali! Nenek pasti senang dan menyukainya. Aku jadi tidak sabar ingin segera menemui
nene.
Malam
menjelang pagi, pagi menjelang malam. Semua silih berganti dan tidak pernah
bertabrakan. Mengikuti kehendak
ilahi. Tak terasa waktu berputar begitu
cepat. Aku menikmati rutinitasku beberapa hari belakangan ini. Membantu mama, membaca artikel tentang
sejarah dan menuangkan beberapa pikiranku dalam bentuk puisi. Ini puisi
yang terakhir kubuat, entah tentang apa. Maklum aku bukanlah ahlinya hanya suka
saja memilih diksi dan mengolah kata.
Apakah puisiku bisa dinikmati?
Entahlah.
Memori Cinta
Bersama Rain
Rain…..
Saat ini aku lebih senang mengukir kata
daripada
mengukir angka juga cinta
Di masa kankku
dulu kita
pernah sedekat nadi
sepenting udara
sehangat
secangkir kopi
menghirupnya,
menyatu dalam rasa
nikmat
Berlarian di tengah
rerumputan
layaknya
butterfly yang sedang berkejaran
menanti hujan
dan tenggelam di kejatuhannya
ada satu
perasaan yang selalu disembunyikan
kita tertawa
dan menangis di saat yang bersamaan
tanpa ada yang
memperdulikan
Rain….
Sungguh menyenangkan
Membuat kita
lupa akan semua problema
Rain….
Sesuatu
yang klasik bagi hati yang tertarik. Aku
mengenang satu masa kala hujan turun.
Aku tenggelam dalam rintikan
lembutnya hingga sapaan tegasnya. Betapa
bahagianya aku ketika hujan turun, dan aku bermain bersama mereka. Tiba-tiba
mama datang ke kamarku.
“Al,
kamu sudah siapin barang-barang kamu belum? Awas nanti ada yang ketingalan, loh!” ujar mama kepadaku sambil melihat perlengkapanku.
“Iya,
Ma, Alsya tidak terlalu membawa banyak barang,” timpalku sambil menyembunyikan
kado buat nenek.
Rabu, 18 Mei
Matahari
pagi bersinar cerah. Celoteh anak-anak terdengar riuh rendah. Menyemarakkan
suasana. Suasana hatiku yang begitu
bahagia karena sekarang akan memulai liburan panjang. Liburan yang teramat menyenangkan juga
melelahkan .
Aku menghabiskan waktu selama lima jam dari arah Jakarta
menuju Kota Bogor. Mama mengemudikan
kendaraan sendiri. Kami memaklumi papa
tidak bisa mengantar kami, beliau sibuk di kantor. Tentu tidak bisa bebas meninggalkan
tugasnya. Selalu saja hiruk pikuk kota
besar ini membuat detak jantungnya tak
pernah berhenti. Siang maupun malam jalanan selalu saja ramai.
Tidak
terasa perjalanan yang cukup memakan waktu ini.
Akhirnya aku telah sampai di
tempat tujuan. Mobil kami parkir di depan
rumah sederhana yang masih dikelilingi pohon-pohon dan bunga yang menyejukkan.
”Assalamualaikum…..
Nenek…Kakek?” ucap salam kami di depan pintu.
Sepi.
Awalnya
tak ada jawaban. Kuucapkan kembali salam
yang kedua, masih tak ada jawaban. Kulihat pintu rumahnya terkunci rapat,pertanda
tak ada orang di dalamnya. Sesaat kemudian
terdengar suara batuk dari belakang rumah.
Kami
menelusuri suara itu. Dari kejauhan terlihat sosok sepuh sedang memberi
makan ayamnya.
“Bapak
dari dulu tidak berubah. Selalu nggak
bisa diam. Yuk, Al, kita hampiri kakk
kamu!” ajak mama semangat. Ada kerinduan
pada suara lembutnya.
“Assalamu’alaikum,
Kakek?” ucapku seraya berjalan menghampirinya. Lantas kakek menengok ke belakang ,ternyata
benar itu kakek. Maka kami bergegas menghampirinya dan mencium tangannya.
Salam penghormatan yang kami biasakan pada siapa pun yang berusia di
atas kami.
“Ah, ternyata kalian yang datang.
Pantas aku bermimpi tadi malam. Cucuku, Masyaallah, kau sudah dewasa, kelas berapa kau sekarang, Nak?”
“Ah, Kakek, baru saja satu bulan kita berpisah kok sudah lupa lagi,
sih?” batinku bicara sendiri. ”Kakek, aku ini
baru lulus kelas 9 SMP dan aku sekarang mau masuk pesantren.”
“Oh ya? Baguslah kalau begitu, biar jadi anak yang sholehah.”
“Bapak masih saja sibuk dengan peliharaan. Apa nggak pinggin istirahat, Pak?. Tinggal bersama kami di Bandung?” tanya mama hati-hati.
“Kalau aku tinggal bersama kalian, bisa sakit badanku. Kurang gerak, kebanyakan tidur.” Kakek menjawab santai disertai kekehaannya
yang khas. “Ayo kita masuk ke
rumah. Ibumu sedang berangkat pengajian
ibu-ibu kampung ini.”
Aku berjalan di belakang Kakek dan
Mama. Aku terkaget ada seekor
ular hijau yang melingkar di kakiku.
Terinjak. Tak sempat berlari menghindar, patukannya hanya membuatku
sempat berteriak.
“Mama….Kakek!!!!” Semua
tiba-tiba menguning dan perlahan menghitam.
Aku tak tahu apa yang terjadi denganku selanjutnya
****
Jum’at,19 Mei
Matahari tiba-tiba sudah terbit kembali. Aku sendiri seakan berada di langit-langit
rumah. Setelah suatu kejadian yang tak
bisa kulukiskan. Sakit yang teramat
sangat namun hanya sekejab. Inikah yang
telah aku alami? Terlepasnya aku dari
jasad yang aku gunakan untuk meluluskan segala ingin.
Melihat sesosok tubuh yang aku sangat mengenalnya. Bahkan aku yang paling mengenali sosok
itu. Jasadku terbujur. Kaku.
Di sekelilingku ada papa, mama, Kak Rio, kakek, nenek. Aneh! Bukankah aku mengunjungi nenek hanya
bersama mama? Ah…mungkin aku terlalu
lama tidur.
Air mata mereka seperti
menghiris hatiku. Aku turut
menangis. Tapi sungguh aneh, tiada air
mata di jasadku itu. Hanya ada pada
secercah ruh yang masih aku sebut aku.
Aku bisa mendengar riuh rendah berbagai bacaan dari mulut-mulut
merea yang hadir. Yasin, Al Kahfi, Albaqarah, Tahlil, bacaan Alquran. Semua terdengar indah.
“Sabar, ya Bu. Insya Allah
Neng Alsya husnul khatimah. Apalagi
usianya masih belia.” Tetangga
berdatangan menguatkan hati mama.
Oh, aku terlupa menyerahkan kado ulang tahun untuk nenek! Bukankah aku ke kampung nenek untuk
menyerahkan hadiah itu? Aku mencoba
mencari. Rupanya ada di dalam tas yang
kubawa. Di dalam mobil. Aku ingin meraihnya. Tapi tangan dan kakiku tidak seperti saat
sebelum jasad itu terbujur kaku.
Keinginan itu tercekat pada ketidak mampuan.
Aku hanya bisa memandangi kado itu.
Kini kado itu tak bertuan. Aku
hanya bisa berharap seseorang ingat pada bingkisan itu dan menyampaikannya
untuk nenek. Atau entahlah……Aku hanya
bisa menahan kecewa yang dalam.