Jumat, 05 April 2019

CERPEN FLP_KADO TAKBERTUAN_Nabila Aulia Putri


KADO TAK BERTUAN
By:  Nabila Aulia Putry

Rabu,11 Mei 2012,
Hari ini adalah hari terakhir aku mengikuti ujian akhir sekolah.   Alhamdulilah aku bisa menyelesaikan semuanya dengan  lancar dan sebentar lagi aku akan masuk SMA.   
Kata mama aku  lebih baik dimasukkan ke pondok pesantren saja agar aku bisa mandiri dan tidak terbawa oleh  pergaulan zaman sekarang yang benar-benar sudah tidak bisa ditoleransi lagi.   Aku juga memang mempunyai niat untuk sekolah sambil mesantren,.  Ya, hitung-hitung cari pengalaman baru dengan bersekolah bernuansa religi.
“ Assalamualakum, Ma…Mama?” kali ini aku pulang sekolah dengan wajah senang dan langsung mencari mama.
“ Waalaikumsalam.    Mama lagi di dapur Al,  lagi bikin kue,’’ teriak mama dari dapur
Mungkin mama sedang sibuk.  Kuputuskan untuk pergi ke kamar dulu mengganti bajuku.  Tak lupa seperti biasa aku selalu mencuci tangan dan kaki.  Kusimpan tasku di meja belajar dan langsung menjatuhkan badan ke kasurku yang empuk. Saat itu aku membayangkan bagaimana jika aku sekolah sambil pesantren,mungkin akan mnyenangkan tapi ada juga hal yang menyedihkannya. Aku harus meninggalkan mama, papa, kakak,  nenek juga kakek.
“ Nenek… Kakek… ?’’ gumamku.  “Astagfirullah!  Sudah hampir satu bulan aku tidak  menghubungi mereka.  Kira-kira, bagaimana, ya,  kabar mereka sekarang?’’ tanyaku pada diri sendiri
Aku bergegas mengganti baju dan keluar dari kamar mencari mama.
“Ma,  Mama lagi bikin apa?  Kayanya sibuk banget dari tadi?” tanyaku keheranan melihat mama yang entah sedang membuat apa.  Yang aku lihat hanya adonan yang sedang disimpan, didiamkan dalam baskom.  Ada kain suam basah, lembab disimpan di atasnya
“ Ini mama lagi bikin donat.  Kamu dan papamu suka donat, kan?’’
“Oh, begini cara bikin donat, tuh?  Ya suka banget, dong, Ma.  Apalagi donat bikinan Mama.  Juara, deh!”
Mama membalas dengan senyuman.
“Oh, iya,  Ma, bentar lagi Alsya libur panjang, tuh.  Alsya kangen nenek sama kakek Ma.  Mama kangen nggak?”
“Kangen dong, masa enggak?”
“Jadi  Alsya boleh usul, dong.  Alsya pingin diajak berlibur ke rumah kakek nenek di Bogor,” pintaku.
“Maksud kamu kita liburan disana?”
“Nah itu maksud Alsya, Ma.  Mama setuju enggak?”
“Hemm……Mama bilang papa dulu, ya?”
“Iya,  Ma” ucapku
“Kamu makan dulu, gih!  Udah Mama siapin di meja makan”
“Siap, Ma!”
Aku menuju meja makan.  Di bawah tutup makanan yang aku buka telah tersaji makanan yang enak-enak.  Nasi putih dan soto lamongan.  Daging ayam suwir tipis, telur puyuh rebus, bihun dan mie putih, toge, sausin, irisan daun bawang dan seledri.  Bumbunya kuah soto lamongan dan  bawang goreng. Wangi jeruk purut dan sambel hijaunya sungguh mengundang selera.
Terpaksa aku makan sendirian.  Perutku sudah keroncongan.  Mama sedang sibuk dan papa biasa pulang lepas Isya. 
Aku kembali ke kamar.  Aku baru sadar ruanganku berantakan.  Buku berserakan dimana-mana.  Akan lebih nyaman kalau aku membereskannya dulu.  Buku-buku ini harus aku letakkan di atas rak buku meja belajarku.
Ternyata capek juga, ya, membereskan kamar yang hanya enam kali tujuh meter ini.  Aku mengela napas panjang.  Bagaimana dengan mama yang mengerjakan semuanya seorang diri.  Tentu berkali lipat lebih capek.  Setiap hari mama mengerjakannya tanpa eluh kesah.  Luar biasa.
Aku duduk di ursi meja belajarku.  Mataku singgah pada kalender yang terpampang di depanku.  Tatapanku menuju tanggal 20 Mei, aku membulatkan angka itu, aku bubuhi tulisan, ulang tahun nenek.
“ Hemm, bentar lagi nenke ulang tahun aku kasih hadiah apa, ya?”
 Lamunanku membuyar ketika kakakku  mengagetkanku dengan tiba-tiba.  Ia masuk kamar tanpa salam dan mengetuk pintu.  “Alsya!!!!! Teriak Kak Rio.  Kakakku yang satu ini memang sering bikin aku kesal.  Ramario Bagus Raditya, nama lengkap yang bagus, sayangnya sikap cueknya tidak semanis nama yang tersemat pada dirinya.
Aku terperanjat dan langsung berdiri,” Kakak. Kebiasaan banget, ya! Salam dulu nggak bisa apa?”  Aku pasang tampang cemberut pada sosok yang kami sebut ice boy itu.
Bagiku Kak Rio orangnya jutek sekali.  Sekalinya bicara super sengak. Dia keseringan menghabiskan waktunya di kamar dengan dua benda yang kerap diangaap nya sahabat yaitu gadget juga earphone mungilnya. Dua benda itu setia menemaninya kemanapun ia pergi. Kakaku itu terlalu menikmati hidup. Memang hidup itu perlu dinimati,tapi bukankah Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan?
Mama dan papaku selalu mengajariku agar tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.  Mereka memberi contoh pada kami untuk rajin beribadah dan sungguh-sungguh dalam beragama.  Aku merasa beruntung dilahirkan dalam suatu keluarga yang sederhana, harmonis juga taat akan agama.
Pernah suatu  ketika kami melakukan perjalanan jauh dan tak sempat salat Zuhur, sedangkan waktu itu sudah memasuki waktu ashar.   Maka saat itupun kami berhenti disalah satu mesjid dan segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat. Anehnya saat hendak salat papa bilang niatnya diganti bukan shalat Asar tapi menjadi jama qashar.  Kami pun menurutinya, walaupun sebenarnya aku belum paham betul tentang itu. Belakangan aku baru tahu bahwa seorang musafir boleh menyatukan waktu salat sekaligus meringkasnya.
Papa selalu teliti dengan hal-hal sekecil apapun  yang termasuk dalam urusan agama. Berbeda dengan kakak, walaupun dia sudah beranjak delapan belas tahun tapi kelakuannya, ya bisa dibilang masih susah diatur. Hanya saja, kakak  takut sekali sama papa.  Semua perintah papa dikerjakan detik itu juga. Berbeda dengan perintah mama, ia selalu menunda apa yang mama  perintahkan. Entah  hal apa yang melatar belakangi itu semua, yang jelas Kak Rio begitu takut pada papa.
“Al, kamu mau kerumah kakek ya?”tanya Kak Rio suatu ketika
“Iya, emang kenapa? Kak Rio nggak akan ikut?”
“Insyaallah ikut, Al.   Gue usahain ikut, soalnya gue lagi sibuk bikin tugas sekolah.. Kalau gue nggak bisa ke sana, titip gantungan kunci, ya!”
“Huh, Kak Rio!  Pantesan baik ternyata ada maunya! Nggak, ah!  Alsya gak mau bawain gantungan kunci kaka, sebelum Kakak……”
“Sebelum Kakak apa?” Kakak langsung memotong pembicaraanku
“Sebelum Kakak ngabulin permintaan Alsya!”
Saat itu aku menemukan ide.   Aku berencana memberikan kado buat nenek, selendang warna merah cerah.   Dulu nenek pernah minta kepada mama  untuk dibelikan selendang. Nenekku  masih suka mengenakan pakaian adat Jawa dan salah satunya selendang yang di selendangkan di leher.   Meskipun nenek tinggal di Bogor, nenek tetap masih menggunakan pakaian tradisional itu.
Aku mencari sesuatu di dalam lemarinya,di loker pertama tidak ditemukan.  Loker kedua dan ketiga pun  hasilnya nihil.  Aku  mencari di lemari buku, dan ternyata memang ada di situ. Sebuah benda tempat mengumpulkan uangnya itu terbuat dari bahan plastik  berbentuk kelinci.  Sudah penuh dengan uang recehan yang aku simpan tiap hari.  Pantaslah agak berat. 
Aku mencari cutter untuk melubangi  celengan itu dan hasilnya sangat banyak. Hampir satu tahun aku diam-diam menabung di celengan ini.,” Alhamdulillah, pasti cukup jika dibelikan buat selendang nenek”

Kamis 12 Mei
Waktu belum genap menunjukan  pukul tujuh  pagi. Tapi papa harus segera berangkat ke kantor.   Papa sudah biasa berangkat dini hari ke kantor karena tak ingin terlambat.   Maklumlah, siang sedikit saja, kemacetan  di jalan karena terjebak kemacetan. Prinsip pterjadi dimana-mana.  Selalu datang lebih awal  dan konsisten dalam segala hal, membuat ayah dipercaya dalam banyak hal oleh atasannya.  Papalah yang selalu datang lebih awal dan pulang terakhir untuk  menertibkan semuanya.
Kebiasaan itupun diterapkannya papa kepada kami, anak-anaknya. Jika menghargai waktu maka itulah benih dari kesuksesan.   Aku mempunyai cita-cita menjadi seorang dosen sastra Indonesia atau ahli sejarah.   
Adapun cita-cita papaku yang sebenarnya adalah anggota TNI.  Namun Tuhan berkehendak lain, kini papa bekerja sebagai sekertaris di salah satu perusahaan. Alhamdulilah meski itu tidak sepenuhnya sesuai harapan papa, papa tetap menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tanda hati yang ikhlas.
Kemauanku untuk menjadi dosen akan aku buktikan. Tapi yang kupikirkan sekarang adalah “bagaimana aku hendak maraihnya jika aku sekolah di pesantren?  Laahaula walaa kuwwata illa billah…..  Toh ada alumni pesantren bahkan banyak yang menjadi orang penting di negeri ini.  Allah pasti menyediakan jalan bagi orang yang bersungguh sungguh.
Hari ini aku sudah bebas, tak ada jadwal ke sekolah. Kakak sudah berangkat sekolah.  Sedangkan mama…… Mama masih disibukkan dengan peralatan dapur.
Aku kembali  memikirkan soal berkunjung kerumah nenek.  Aku takut kakak lupa dengan pesananku,selendang untuk nene.
Hari sudah beranjak sore.   Kakak sudah pulang dari sekolahnya.  Ternyata kakak tidak lupa dengan pesananku.   Bagus sekali!   Nenek pasti senang dan menyukainya.   Aku jadi tidak sabar ingin segera menemui nene.
Malam menjelang pagi, pagi menjelang malam.  Semua silih berganti dan tidak pernah bertabrakan.  Mengikuti kehendak ilahi.  Tak terasa waktu berputar begitu cepat. Aku menikmati  rutinitasku  beberapa hari belakangan ini.   Membantu mama, membaca artikel tentang sejarah dan menuangkan beberapa pikiranku dalam bentuk puisi.   Ini puisi yang terakhir kubuat, entah tentang apa. Maklum aku bukanlah ahlinya hanya suka saja memilih diksi dan mengolah kata.  Apakah puisiku bisa dinikmati?  Entahlah.

Memori Cinta Bersama Rain

Rain…..
 Saat ini aku lebih senang mengukir kata
daripada mengukir angka juga cinta

Di masa kankku
dulu kita pernah sedekat nadi
sepenting udara
sehangat secangkir kopi
menghirupnya, menyatu dalam rasa
nikmat

Berlarian di tengah rerumputan
layaknya butterfly yang sedang berkejaran
menanti hujan dan tenggelam di kejatuhannya
ada satu perasaan yang selalu disembunyikan
kita tertawa dan menangis di saat yang bersamaan
tanpa ada yang memperdulikan
Rain….

Sungguh menyenangkan
Membuat kita lupa akan semua problema
Rain….

Sesuatu yang klasik bagi hati yang tertarik.  Aku mengenang satu masa kala hujan turun.  Aku tenggelam dalam  rintikan lembutnya hingga sapaan tegasnya.  Betapa bahagianya aku ketika hujan turun, dan aku bermain bersama mereka. Tiba-tiba mama datang ke kamarku.
“Al, kamu sudah siapin barang-barang kamu belum?  Awas nanti ada yang ketingalan, loh!”  ujar mama kepadaku sambil melihat perlengkapanku.
“Iya, Ma, Alsya tidak terlalu membawa banyak barang,” timpalku sambil menyembunyikan kado buat nenek.

Rabu, 18 Mei
Matahari pagi bersinar cerah. Celoteh anak-anak terdengar riuh rendah. Menyemarakkan suasana. Suasana hatiku  yang begitu bahagia karena sekarang akan memulai liburan panjang.  Liburan yang teramat menyenangkan juga melelahkan .
Aku menghabiskan  waktu selama lima jam dari arah Jakarta menuju Kota Bogor.   Mama mengemudikan kendaraan sendiri.  Kami memaklumi papa tidak bisa mengantar kami, beliau sibuk di kantor.  Tentu tidak bisa bebas meninggalkan tugasnya.  Selalu saja hiruk pikuk kota besar ini  membuat detak jantungnya tak pernah berhenti. Siang maupun malam jalanan selalu saja ramai.
Tidak terasa perjalanan yang cukup memakan waktu ini.  Akhirnya aku  telah sampai di tempat tujuan.   Mobil kami parkir di depan rumah sederhana yang masih dikelilingi pohon-pohon dan  bunga yang menyejukkan.
”Assalamualaikum….. Nenek…Kakek?” ucap salam kami di depan pintu.  Sepi.
Awalnya tak ada jawaban.  Kuucapkan kembali salam yang kedua, masih tak ada jawaban.  Kulihat pintu rumahnya terkunci rapat,pertanda tak ada orang di dalamnya. Sesaat kemudian  terdengar suara batuk dari belakang rumah.
Kami menelusuri suara itu.  Dari  kejauhan  terlihat sosok sepuh sedang memberi makan ayamnya.
“Bapak dari dulu tidak berubah.  Selalu nggak bisa diam.  Yuk, Al, kita hampiri kakk kamu!” ajak mama semangat.  Ada kerinduan pada suara lembutnya.
“Assalamu’alaikum, Kakek?” ucapku seraya berjalan menghampirinya.   Lantas kakek menengok ke belakang ,ternyata benar itu kakek.   Maka kami bergegas menghampirinya dan  mencium  tangannya.  Salam  penghormatan yang  kami biasakan pada siapa pun yang berusia di atas kami.
“Ah, ternyata kalian yang datang.  Pantas aku bermimpi tadi malam. Cucuku, Masyaallah,  kau sudah dewasa, kelas berapa kau sekarang, Nak?”
“Ah, Kakek, baru saja satu bulan kita berpisah kok sudah lupa lagi, sih?” batinku bicara sendiri. ”Kakek, aku ini  baru lulus kelas 9 SMP dan aku sekarang mau masuk pesantren.”
“Oh ya? Baguslah kalau begitu, biar jadi anak yang sholehah.”
“Bapak masih saja sibuk dengan peliharaan.  Apa nggak pinggin istirahat, Pak?.  Tinggal bersama kami di Bandung?”  tanya mama hati-hati.
“Kalau aku tinggal bersama kalian, bisa sakit badanku.  Kurang gerak, kebanyakan tidur.”  Kakek menjawab santai disertai kekehaannya yang khas.  “Ayo kita masuk ke rumah.  Ibumu sedang berangkat pengajian ibu-ibu kampung ini.”
Aku berjalan di belakang Kakek dan  Mama.  Aku terkaget ada seekor ular hijau yang melingkar di kakiku.  Terinjak. Tak sempat berlari menghindar, patukannya hanya membuatku sempat berteriak.
“Mama….Kakek!!!!”  Semua tiba-tiba menguning dan perlahan menghitam.  Aku tak tahu apa yang terjadi denganku selanjutnya
****
Jum’at,19 Mei
Matahari tiba-tiba sudah terbit kembali.  Aku sendiri seakan berada di langit-langit rumah.  Setelah suatu kejadian yang tak bisa kulukiskan.  Sakit yang teramat sangat namun hanya sekejab.  Inikah yang telah aku alami?  Terlepasnya aku dari jasad yang aku gunakan untuk meluluskan segala ingin.
Melihat sesosok tubuh yang aku sangat mengenalnya.  Bahkan aku yang paling mengenali sosok itu.  Jasadku terbujur.   Kaku.  Di sekelilingku ada papa, mama, Kak Rio, kakek, nenek.   Aneh! Bukankah aku mengunjungi nenek hanya bersama mama?  Ah…mungkin aku terlalu lama tidur. 
 Air mata mereka seperti menghiris hatiku.  Aku turut menangis.  Tapi sungguh aneh, tiada air mata di jasadku itu.  Hanya ada pada secercah ruh yang masih aku sebut aku.
Aku bisa mendengar riuh rendah berbagai bacaan dari mulut-mulut merea yang hadir. Yasin, Al Kahfi, Albaqarah, Tahlil, bacaan Alquran.  Semua terdengar indah.
“Sabar, ya Bu.  Insya Allah Neng Alsya husnul khatimah.  Apalagi usianya masih belia.”  Tetangga berdatangan menguatkan hati mama.
Oh, aku terlupa menyerahkan kado ulang tahun untuk nenek!  Bukankah aku ke kampung nenek untuk menyerahkan hadiah itu?  Aku mencoba mencari.  Rupanya ada di dalam tas yang kubawa.  Di dalam mobil.  Aku ingin meraihnya.  Tapi tangan dan kakiku tidak seperti saat sebelum jasad itu terbujur kaku.
Keinginan itu tercekat pada ketidak mampuan.
Aku hanya bisa memandangi kado itu.  Kini kado itu tak bertuan.  Aku hanya bisa berharap seseorang ingat pada bingkisan itu dan menyampaikannya untuk nenek.  Atau entahlah……Aku hanya bisa menahan kecewa yang dalam.

CERPEN FLP-Rintia Rahayu-WASIAT

WASIAT
By: Rintia Rahayu

Aku telah tiba dirumah nenekku.  Ya, sudah menjadi kebiasaan di negari kita untuk bertemu pada silaturahmi akbar.  Pertemuan itu bernama mudik Idul Fitri.  Itulah salah satu alasan yang membuat kita selalu merindukan lebaran.  Sudah menjadi kegiatan rutinan keluarga tiap tahu, kami berkumpul  di rumah nenekku bersama keluarga tercintaku.
Meskipun berpuluh grup whatsapp dibuat dan makin menambah berat memori gawaiku, nenurutku bertemu langsung tetap lebih asyik.  Mungin aku termasuk makhluk yang senang bersosialisasi di dunia nyata, walaupun exist di dunia maya.
Memasuki rumah besar ini selalu saja merasa sejuk.  Bangunan kuno dengan pondasi yang ditinggikan.  Batuan keras mengelilingi pondasi yang muncul itu, mengingatkanku pada bangunan Belanda.  Tentu lengkap dengan tangga pendek yang terbagi dua kanan-kiri.  Tengahnya pemisah miring yang licin karena selalu kami pakai untuk bermain perosotan. Cat rumah dominan putih, seentara daun pintu dan jendela warna hijau tua. Hmmmmm, kesegaran makin terpadu dengan berbagai macam tanaman di pekarangan depan rumah yang cukup luas.  Kupikir lebih dari sepuluh kali sepuluh meter.   Pantas tempat tinggal nenek  menjadi bangunan terunik di kampungnya..
“Assalamualaikum, Nek,”sapaku sambil mencium tangan kisutnya dalam-dalam.  Harum khas minyak sembahyang ini yang membuat rinduku makin sangat.
“ Waalaikumsalam, eh, Cucuku,” jawab nenek setelah aku menyapanya dengan salam.  Wajah itu tetap menampakkan jejak kecantikan masa mudanya.  Keriput Nampak jelas di sudut bibir, mata dan keningnya.  Tapi tetap memancarkan keteduhan.  Bunda sering bercerita tentang keteguhan nenek dalam ibadah, terutama qiyamullail.
“Nenek apa kabar?  Bagaimana kesehatan nenek sekarang?  Maafkan Ais, ya, Nek.  Selama  satu bulan Ramadhan aku tidak ke sini.  Sibuk persiapan SBMPTN, Nek.”  Aku langsung mencecar nenek dengan cerita kesibukanku.  Daripada eduluan protes nenek yang selalu ingin aku kunjungi.
“Tidak apa-apa,  Ais.  Alhamdulilah Nenek selalu sehat.  Apalagi sekarang cucu-cucu dan anak-anak Nenek berkumpul bersama di rumah ini.  Hilang semua nyeri, encok, pegel dan ngilu Nenek.”” jawab nenek dengan wajah berseri bahagia
Aku segera menyalami keluarga besaru satu-satu.  Kakek telah tiada, kami sudah empat kali lebaran kehilangan ebersamaan dengannya .  Amang Lukman sekeluarga, Bibi Lulu sekeluarga, Uwa Awang sekeluarga, Amang Saleh sekeluarga.  Suasana begitu ramai.  Riuh rendah dengan tebak nama dan pertanyaan basa-basi yang mengakrabkan.  Lalu kami sekeluarga besar bercerita bersama  dan saling memaafkan satu sama lainnya dikarenakan waktu itu adalah sedang merayakannya acara idul fitri.
Saat-saat yang mengasyikkan adalah menikmati hidangan setelah kamibermusafahah.  Seperti biasa sebelum musafahah kami mendengar taushiah dari kakakku yang membanggakan.  Ustadz Fariz.
“Saya mohon maaf sebagai yang muda, rasanya nggak pantas saya duduk di sini, di depan para pendahulu saya.  Tapi karena yang meminta Nenek tercinta, maka saya menyerah.  Dan anggaplah ini nasihat buat saya sendiri.”  Kang Fariz mengawali taushiahnya. 
Kemudian ia melanjutkan,” Terhadap sesama manusia pun kita diperintahkan untuk saling menghormati, menghargai dan menjaga tanpa pandang suku dan agamanya. Rasulullah berpesan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Man kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyaqul khairat au yasmut. Wa man kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyukrim jaarahu.  Wa man kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyukrim dhaifahu
Barang siapa yang beriman pada Allah dan hati akhir maka berkata yang baik atau diam.  Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hormatilah tetangganya.  Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya.”
Kami mendengar dengan seksama.  Ada pencerahan dari tutur katanya.  Penghormatan pada sesama manusia adalah bagian dari menjalin tali silaturahmi.  Tali yang sangat Allah cintai sehingga menjanjikan begitu banyak pahala.  Bukan hanya di akhirat, tetapi juga di dunia.  Naungan di Padang Mahsyar, dipanjangkan umur, diampuni dosa, dimurahkan rezeki, diangkatnya penyakit.  Wah, mendengar ceramah singkatnya membuat kami makin bersemangat dalam pertemuan keluarga besar ini.
Aku yakin suatu saat Kang Fariz akan menjadi dai handal di tanah air.  Pasalnya, ia sangat aktif dengan channel Youtubenya.  Aku seringkali membantunya buat mengelolachannel itu.   Aku tidak suka ngevlog tapi aku hobi otak-atik video supaya menjadi menarik dan marketable.
Selepas taushiyah, kami menikmati hidangan yang dibawa oleh masing-masing keluarga.  Kami menata dalam stan-stan, mirip resepsi pernikahan. 
Ada stan masakan khas sunda, sayur asem, ikan asin, sukri, sambel tomat terasi, ayam goreng, ikan bumbu acar , sambel goreng hati, kerupuk udang. 
Di sampingnya ada stan baso lengkap, stan ini tanggung jawabku.  Aku sudah siapkan baso matangnya.  Tinggal menyediakan sayur segar, sawi, toge, daun bawang dan seledri.  Bumbunya aku buat tidak pakai MSG, aku racik sendiri, garam, merica, pala, gula putih, goreng bawang merah dan putih yang dihaluskan dan diaduk rata.  Kata orang-orang sih, enak.   
Selanjutnya stan snack.  Bi  Lulu yang ahli dalam hal ini.  Kue salju, nastar aneka rasa, pastel kecil sebesar ibu jari, aneka kacang olahan,  kacang goreng  bawang, kacang polong, kacang telor, kue kacang, kue noga. 
Nah, stan selanjutnyaberbagai macam kue basah.  Ini bagian bunda yang ahli.  Maklum bunda memang bisnis pesanan kue basah.  Brownis, black forest, waffle, bolu gulung, cake sampai bibika.  Hemmm, semuanya yummy banget.  
Uwa Awang tinggal di Jakarta, sayur laksa khas betawi itu selalu membuatku kangen menikmatinya.  Mirip Soto tapi dilengkapi santan kental atau lengko di Jawa Barat.  Lengkap dengan suwiran daging, telor puyuh, kedelai goreng,   
Satu lagi yang  menjadi santapan kegemaranku, buah-buahan.  Stan ini tanggung jawab bersama.  Kami semua membawa buah dengan jenis berbeda.  Jadilah stan ini dipenuhi enam macam buah dari 6 keluarga, semangka, jeruk, buah naga, pisang, melon dan  apel.  Stan-stan itu disusun letter-U di belakang sofa melingkar yang cukup untuk duduk enam keluarga berikut anak dan cucu.
Aduh, sorry readers, aku bukan ingin membangkitkan selera kalian.  Tapi lebih pada tahaditsu binnikmah.  Ukhuwah di antara kami sangat erat dan bisa menjadi inspirasi buat kalian.  Boleh juga kalian hadir di acara seru lebaran di keluarga besar kami.
“Hai, Ais, kamu khusyuk bener mengunjungi stan hidangan-hidangan itu!  Ayo, makan.  Cicipi laksa Uwa kesukaan kamu,” sapa Uwa Awang mengagetkanku.
“Tenang, Wa.  Ais pingin mengabadikan keindahan tali persaudaraan pada hidangan itu.  Moment yang istimewa begini bisa menginspirasi keluarga lain, lho, Wa,” kilahku sambil memasang senyum paling manis buat Wa Awang.
Uwa Awang melempar senyum sembari mengangkat dua jempolnya tanda setuju.
“Wa, sepertinya semua makanan ini tidak akan habis untuk keluarga besar kita, ya?” tanyaku, khawatir mubazir.
“Kita bisa menghangatkan teman nasi yang basah.  Dan nenek selalu mengundang tetangga bergiliran selama lebaran untuk ikut menikmati hidangan kita, Ais,” imbuh Wa Awang.
Diam-diam aku kagum pada keluarga besarku.  Bukan hanya ikatan antar keluarga yang kuat, dengan tetangga pun begitu peduli.
***
Hari kedua pertemuan tidak kalah seru, pertukaran kado.  Kami akan melangsungkan kegiatan seru itu selepas salat Zuhur. 
“Bunda, kado Ais di mana, ya?”  Aku cemas memeriksa tas dan koper.
“Aduh, Ais…jangan diberantakin, dong! Coba ingat-ingat, ketinggalan, enggak?”
“Terakhir Ais taruh deket koper.  Bunda lihat nggak?  Terbawa nggak?”
“Innalillahi, iya, Bunda liat tapi nggak bunda masukkan koper.”
Jawaban bunda membuat aku lemas.  Rasanya mau menangis.
“Sudah jangan sedih!  Kita masih punya waktu buat beli di super market.  Ada 212-Mart di kota kecamatan.  Nggak jauh dari sini, kita jalan kaki aja.  Paling sepuluh menit.”  Tawaran bunda sungguh melegakanku.
Kami berpamitan ke nenek.  Nenek hanya berpesan,” Hati-hati Ais, Nur, jangan lama-lama.  Aku masih kangen sama kalian.  Baru dua hari datang kok udah mau ke pasar?  Makanan banyak di rumah, jangan banyak belanja.” 
“Nek, kami cuman sebentar nggak sampai setengah jam juga insya Allah bakalan udah ada di rumah.”  Aku menangkap sedikit keanehan pada pesan nenek.  Seakan kami bakal lama tidak ketemu.  Ah, aku tidak berani membayangkan yang tidak-tidak.
Kami segera menuju 212-Mart dan langsung mencari hadiah yang sekiranya bermanfaat untuk semua usia.  Sederet buku islami menjadi sasaranku.  Aku pilih judul tentang faraid yang praktis tapi lengkap dengan contoh kasus dan perhitungannya.  Aku bubuhi tanda tangan dan sedikit kata-kata baik.  Di salah satu sudut bookshelf terdapat Alquran hafalan juz 28,29,30, maktsurat dan hadits Arbain.  Aku membelinya juga dan menyatukan dengan buku faraid tadi.
“Semoga kado ini menjadi tanda cinta dan pengikat pesaudaraan kita.  Jangan lupa dibaca, ya.  Biar manfaat dan nggak mubazir.” 
Aku segera membungkusnya dengan kertas kado motif batik dominan coklat.
Benar saja, tidak sampai setengah jam kami sampai di halaman rumah.  Tapi…..
“Bunda, kenapa banyak kerumunan tetangga di rumah nenek?”
Subhanallah, ada apa, ya, Ais?”  Bunda juga terheran-heran.  Cemas. Tiba-tiba di sudut mata lembutnya menggenang air bening.
Kami segera menerobos kerumunan itu.  Bunda langsung menuju kamar nenek tanpabanyak menyapa tetapu, ecuali hanya dengan sedikit tersenyum.  Semua putra putrid nenek masuk kamar dan beberapa cucu yang sudah dewasa.  Berbagai ekspresi pada wajah-wajah orang dekat aku tatap satu-satu.  Inikah jawaban dari keengganan nenek buat kami tinggalkan. 
Air mata tertahan pada mata yang berkaca-kaca.  Kami ingat benar pesan nenek tiap saat kami berkumpul bersama. “Jangan ada air mata saat kepergianku.  Air mata itu hanya menjadi penghalang perjumpaanku dengan Tuhan.”
Kami hanya bisa berpelukan sambil saling berpesan kesabaran seiring  untaian doa untuk perjalanan nenek.  Semoga kemudahan, kebahagiaan di rumah baru nenek, di alam yang berbeda.
“Nenek, bukankan nenek berjanji akan berwisata ruhani bersama akhir pekan ini?  Selepas pertemuan keluarga ini?  Banyak rencana yang akan kita lalui bersama.  Kenapa Nenek berangkat secepat ini?  Kami sudah merencanakan keberangakatan kita, Nek!  Bukankah Nenek sangat ingin berziarah ke makam para wali?”   Jerit hatiku hanya sampai pada dinding kesunyian.  Semua lobiku pada bunda, ayah, paman, bibi, demi membahagiakan nenek buyar sudah.  Tidak tersisa sedikit pun.  Seperti balon yang pecah sebelum sepenuhnya aku tiup sempurna.
 Jeritan dalam hatiku tak tertahankan.  Akan tetapi aku tidak bisa mengkhianati nenek dengan air mata ini.  Hanya hentakan dalam hati yang terasa begitu sakit.  Aku hanya akan menumpahkan air mata ini dalam sujudku padaNya.  Bukan sekarang.
Aku putuskan untuk mengambil Alquran dan Majmu Syarif , lalu membagikan pada yang hadir.  Perlahan bacaan Yasin mulai mengalun, sebagian lagi membaca Tahlil dari kitab Majmu Syarif.  Terdengar syahdu, mengantarkan kepergian nenek.
“Semoga Nenek mendapatkan tempat yang indah di sisiNya.  Nek, yakinlah Dia Maha Pengasih lagi Penyayang pada hamaba-hambaNya.  Juga Nenek yang selama ini telah membuktikan cinta padaNya.  Aku iri padamu, Nek, meninggal dalam sujud panjang salat Dhuha yang kau dawamkan.  Wajahmu cantik berseri penuh senyuman.”
Sekuat hati aku coba membuka kain penutup wajahnya.  Saat terakhir yang takkan pernah aku lupakan.  Kutatap lekat-lekat parasnya, kusentuh seraut  wajah yang kini menghadap Rabb-nya.  Begitu lembut dan rupawan. “Selamat jalan, Nek.  Berbahagialah, tanda husnul khatimah itu aku saksikan.”
***
Hari ke sembilan lebaran, semua rencana bergeser waktu.   Bahkan kepulangan kami menunggu sampai hari ketujuh sepeninggal nenek.  Kami tidak ada yang ingat lagi acara pertukaran hadiah.
Kami bermusafahah sebelum  pulang ke rumah masing-masing.  Sisa-sisa duka masih menyelimuti roman muka kami.  Pertemuan untuk empat puluh hari nenek menjadi rancangan kami selanjutnya.
“Astaga, ada yang lupa.” Amang Saleh bergegas memasuki kamar nenek.  Kami hanya terheran-heran.  Apa gerangan yang akan dilakukan Amang Saleh.
“Ini ada satu wasiat emak yang belum kita tunaikan.  Emak berpesan untuk menyiapkan kado ini sebelum pergi.  Saya yakin, emak sangat menginginkan acara pertukaran hadiah itu kita lakukan.  Meskipun tanpa emak.”
Kami urung meninggalkan rumah besar ini.  Semua berbalik ke sofa dan duduk. Tida ada keceriaan.  Acara yang biasanya dipenuhi tawa canda itu tiba-tiba senyap.  Semua seakan merindukan hadirnya nenek yang kami cintai.  Kami mengosongkan satu kursi goyang yang biasa diduduki nenek.  Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. “Nenek, aku yakin kau bahagia menyaksikan kebaikan yang masih bisa kami lakukan.”
Semua kado sudah diberi nomor.  Kertas undian sudah di gulung rapi satu sampai empat puluh lima.  Rasa penasaran pada apa yang Allah rezekikan memberi sensasi paling seru buat yang ikut acara ini.
Satu persatu penerima gulungan kertasmengambil kada di atas meja.  Bila kebetulan nomor kertas yang diterima menunjuk pada bingkisannya sendiri, gulungan kertas harus segera di tukar. 
 Lagi-lagi menjadi moment paling sedih saat  gulungan kertas tersisa satu.  Demikian pula bingkisan di atas meja itu, tinggal satu   Dan aku tahu persis itu bingkisanku, bingkisan terakhir untuk nenek.  Kami tak bisa menahan isak tangis.
“Kado terakhir ini milik emak, bagaimana kalau kita berikan pada yang menerima kado emak?”  Amang Saleh yang memimpin acara tukar kado mengusulkan.
Semua yang hadir tidak ingin memberi usulan atau sanggahan apapun. Kami seakan tenggelam pada kubangan dukanya masing-masing.
“Ya, Allah mengapa bisa kami saling bertukar kado dengan cara seperti ini?  Pantaslah Kau pilihkan buku faraid itu untuk kubeli.  Bukan bukunya yang au sesalkan buat membelinya, tapi kepergian nenek yang tak sempat kusaksikan.  Ternyata ini menjadi panduan pembagian waris yang harus kami selesaikan selepas kepergian nenek kami.” 
Masing-masing  telah menerima nomor undian dan kado yang sesuai.  Kami menyimpan kado yang kami dapat.  Sesuai perjanjian, membukanya saat keluarga kami sudah saling berpisah.
Menjelang Asar, acara selesai.  Kami bermusafahah kembali.  Aku dan rombongan keluargaku sepakat segera berangkat dan salat dalam perjalanan pulang.
***
Selama perjalanan aku tidak sabar membuka kado dari nenek. 
“Bunda, boleh buka kadonya sekarang?”  Aku minta izin pada bunda.
“Boleh, dong ,Ais.  Yang penting nggak di rumah nenek, kan?  Bunda juga penasaran mau ngebuka sekarang juga.”
Di  usia menjelang delapan puluh tahun masih bisa membungkus bingkisan serapih ini.  Sesuatu yang membuatku kagum.  Aku buka dengan hati-hati kado dari nenek.  Secarik kertas dan sebentuk cincin perhiasan.  Aku sedikit kaget, terlalu mahal dan mewah cincin ini untukku.
Aku buka dan kubaca secarik  kertas.  Barisan tulisan nenek yang masih rapih.  Berkali-kali kekaguman itu hadir.  Seiring doa, semoga aku seperti dia.

Buat siapapun
yang menerima bingkisan ini,
Pujian bagi Allah SWT yang memberikan nikmat iman, islam dan kesehatan buat kita. Shalawat dan salam semoga tercurahkan pada kekasih kita Rasulullah SAW.
Satu pesan dari Emak.  Dulu waktu Emak pergi ke rumah Nur di Ciamis, Emak ditawari tanah yang sekarang didirikan buat mushala.  Itu wakaf Emak, tolong dijaga dan dipelihara.
Nenek dengar ada kerusakan genting dan atap karena usianya suadah tua.  Cincin ini pakailah untuk memperbaiki dan memugarnya.  Semoga menjadi bekal akhirat Emak.
           
Terimakasih
 untuk yang menjalankan amanah Emak ini.
                                                                                               
Aku terhenyak.  Dari GR akan mendapat cincin mahal, berubah jadi kekaguman pada pengorbanan dan ketulusan nenek.
Ingatanku menyambangi mushala di kampungku.  Mushala yang tampak tua.  Atapnya bocor, anak-anak mengaji sore kadang terbengkalai bakda Maghrib tanpa pengajar.  Aa Fariz kadang sibuk keluar tidak bisa mengajar mereka.
Aku merasa malu selama ini sering tidak memedulikan tempat ibadah itu.  Padahal ada jariah nenek disana. 
“Ais, gantiin Aa ngajar anak-anak di mushala, ya?”  pinta Aa Fariz suatu ketika
“Ais sibuk Aa, besok ujian nasional.  Ais ada acara sama temen Ais. Ais mau bantu bunda bikin kue pesenan. ”  Aku sering menolak keinginan Aa Fariz dengan berbagai alasan.  Rasa bersalah menggelayuti hatiku.  Mestinya aku membantu nenek meraih berkah dari wakafnya.  Terlebih lagi setelah beliau meninggal.  Terbesit dalam hatiku, masih ada waktu untuk berbakti pada nenek dengan memakmurkan musala wakaf peninggalannya.
“Nek, tenanglah Nenek di alam sana.  Aku akan memakmurkan musala Nenek.  Hanya itu persembahan Ais.  Juga doa-doa Ais semoga bisa menerangi barzah Nenek.  Semoga Nenek ditemani oleh teman yang baik, berwajah rupawan.  Semoga rumah baru Nenek di alam sana dipenuhi wewangian dan dilapangkan.”  Hatiku terus berbicara seakan sosok itu tetap hadir bersamaku.

(Edited by:Khadijah Hanif)

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...