Sabtu, 13 Januari 2018

NASKAH LEGENDA KARYA PENGURUS TABAB

Tahaditsu Binnikmah

Tiga Naskah terkirim tembus 
Juara 1-2-3 lomba menulis legenda yang diadakan oleh Rumah Baca Cirama-Salawu-Tasikmalaya


EMPAT PENDEKAR WANASIGRA
(Kisah Asal Usul Desa Wanasigra)
(Ditulis oleh Sinta Rosiana)

Tataran Sunda terkenal dengan daerah dengan curah hujan tinggi dan tipografi yang berkelok-kelok seperti ukiran bukit di permukaan bumi.

Suatu hari datang ke daerah sekitar Sungai Ciwulan seseorang yang bernama Eyang Abu Hasan. Abu hasan Muda memiliki ilmu kanuragan serta gagah perkasa.
Da’bissholihin (kebiasaan orang soleh) pada waktu itu dijalaninya dengan banyak melakukan perjalanan untuk memikirkan penciptaan makhluk Alloh SWT dan menyampaikan kebenaran agama.

Keadaan sekitar daerah Wanasigra berupa hutan lebat yang masih dihuni berbagai binatang buas. “Semoga Alloh SWT melindungiku dari serangan binatang buas.” Abu Musa membatin.

Seperti mendapat maunah dari Sang Yang Maha Kuasa, binatang buas menjadi tunduk dan tidak menyerang Abu Musa Muda, kecuali seekor ular sanca sebesar pohon kelapa.

“Audzu billahi minassyaitonirrojim……. Abu Musa memasang kuda-kuda dan mengeluarkan Jurus Helang Kasumat. Loncatan yang tinggi untuk kemudian bertengger di atas pohon.

Ular sanca raksasa itu mulai menyerang dengan ekornya. Dikibaskannya ekor besar itu ke arah pohon Mahoni untuk menjatuhkan Abu Musa ke tanah.

“Hai Ular Sanca, aku datang kesini bukan untuk melukaimu. Aku hanya ingin memanfaatkan karunia Alloh SWT secara sederhana dan secukupnya. Maka jangan halangi aku. Tetapi jika kamu tetap menyerangku, jangan salahkan aku kalau aku bertahan untuk menyelamatkan diri.”

“Wesh….wesh….wesh…..” Ular itu mengeluarkan suara desis yang kuat dan menakutkan.

Pertarungan makin sengit dan hampir saja Abu Musa terjatuh karena hentakan keras ekor Ular Sanca. Abu Musa segera meloncat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lain. Namun kali ini hantaman keras membuatnya terjatuh. Kibasan ekor yang membabi buta hampir saja mengenai tubuhnya.

Tiba-tiba terdengar suara dari tebing dekat sungai Ciwulan,”Wahai anak muda ambilah ranting pohon mahoni yang daunnya berwarna kuning. Pukulkan pada ujung ekor ular itu maka engkau akan mudah mengalahkannya.”

Tanpa banyak bertanya, Abu Musa mencari ranting Mahoni berdaun kuning,” Alhamdulillah aku mendapatkannya. Aku harus memukulkan ranting ini pada ujung ekornya.

Dengan ilmu hampang salira, Abu Musa meloncat ke dahan yang dekat dengan ekor Ular Sanca dan ……“Terima pukulan ini hai Ular Sanca. Bismillahi, hea……!”

Tiga kali pukulan ranting Abu Musa mendarat di ekor ular dan ular itu tiba-tiba mengecil hanya sebesar dua ibu jari Abu Musa.

Khawatir akan menyerang lagi maka dimasukkannya ular itu di wadah bamboo bertutup untuk dijauhkan dari daerah itu.

Setelah pertarungan dengan Ular Sanca Raksasa, seluruh binatang buas menjauhi tempat Abu Musa. Daerah itu dirasa aman dari binatang buas. Abu Musa berniat mengajak tiga sahabatnya yang lain, yaitu Mama Haji Yunus, Lebe Atma Jeung, dan Mama Sarhafi.

Mereka berempat memulai pekerjaan dengan membabat beberapa pohon di hutan itu, sekira-kira cukup untuk didiami empat keluarga. Dengan peralatan sederhana, yaitu bedog besar dan parang penebangan pohon dimulai pada hari Rabu pagi.

Dengan syarat, mereka berhenti menebang pohon apabila telah berkeringat.

“Jangan terlalu memaksakan diri bila kita lelah. Sebelum keringat menetes hendaklah kita berhenti,” ucap Abu Musa sebagai pimpinan pembukaan hutan.

Setelah mereka melaksanakan Sholat Isrok, mereka memulai rencana dengan membaca doa, Rabbana maa khalaqta hadza baatila faqinaa adzabannar. Berkat olah kanuragan yang mereka miliki dengan mudah pohon-pohon besar itu tertebang tanpa segera meneteskan ketingat.

Namun salah seorang diantara mereka terlupa untuk berhenti dan meneteslah keringat ke tanah. Tiba-tiba tumbuh dari tanah yang terkena tetesan keringat itu pohon yang menjalar dengan liarnya. Batang pohon areuy itu sebesar ibu jari.

“Hai, siapa yang berkeringat kita bisa terbelit pohon menjalar itu!!” Lebe Atma berteriak.
Semua sontak tersadar. Namun Haji Yunus yang paling dekat dengan pohon itu telah terlilit kaki dan tangannya.

“Tolong…..aku terbelit !!!!.”
Tiga orang lainnya berusaha menolong tapi pohon it uterus menjalar dengan cepat dan kuat, hamper saja mengenai leher Haji Yunus.

Suara dari tebing sungai kembali terdengar oleh Abu Musa namun tidak terdengar oleh yang lain. “Kalian harus berhenti bekerja maka pohon areu itu akan dengan sendirinya berhenti dan akan layu.”

“Kita berhenti semua sebelum pohon itu terus menjalar liar. Jangan mencari siapa yang berkeringat karena akan menimbulkan permusuhan dan pohon itu akan makin tumbuh liar.” Abu Musa mengomandoi seluruh rekannya untuk tidak saling menyalahkan.

Benar saja, ketika mereka berhenti pohon itupun berhenti menjalar. Perlahan-lahan terlepas pula lilitan yang menyerang Haji Yunus, “Alhamdulillah, hampir saja kita celaka. Bagaimana kalau kita bekerja bergantian dua-dua,” usul Haji Yunus.

“Saya setuju supaya pekerjaan tetap bisa berjalan lancar dan ada yang mengingatkan sekiranya ada yang terlihat lelah.” Mama Sarhafi menimpali.

“Baiklah kalau begitu. Saya dengan Haji Yunus dan Lebe Atma dengan Mama Sarhafi,” Abu Musa mengatur pembagian tugas.

“Saya rasa itu pembagian yang adil, anak muda dengan orang tua. Jangan saya sama Mama Sahaji dan Lebe Atma sama Nakmas Abu Musa. Bisa-bisa pekerjaan kita tidak selesai-selesai lantaran saya dan Mama Sahaji sudah sama-sama laletoy.”

Haji Yunus mulai ngabodor
Dalam waktu sehari mereka sudah berhasil menebang enam pohon. Mereka berempat melanjutkan pekerjaan keesokan harinya dan seterusnya. Dalam waktu satu bulan mereka telah selesai membangun empat rumah sederhana dari kayu pohon yang mereka tebang ditambah satu rumah ibadah yang mereka jadikan mushola. Berkat ilmu kanuragan dan tenaga dalam yang ada pada mereka, waktu pengerjaan rumah-rumah itu sangatlah singkat dari yang dilakukan orang-orang pada umumnya.

Rumah yang mereka bangun sangat sederhana, satu rumah disekat menjadi 6 ruangan. Dua ruang tidur, satu dapur, satu ruang keluarga, satu ruang menerima tamu dan satu ruang gudang penyimpanan padi.

Anggota keluarga kini telah sampai di tempat yang belum bernama itu. Abu Musa berdua dengan istrinya. Mama Sarhafi dengan istri dan empat anaknya, Haji Yunus dengan istri dan dua anaknya. Lebe Atma dengan Istri dua anak dan menantu serta tiga cucunya. Seluruh warga kampung kecil baru itu hanya 19.

Suatu malam setelah solat Isya di mushola, mereka melanjutkan perbincangan. Dengan ditemani secangkir kopi manis hitam, goreng cau dan rebus sampeu yang masih hangat. Istri Abu Musa yang menyiapkannya.

Mereka berempat duduk melingkar, mengelilingi minuman dan makanan yang terhidang.

“Kita sudah seminggu mendiami tempat ini, tapi kita belum punya nama untuk kampung ini,” Abu Musa memulai perbincangan.

“Banyak keanehan dan sekaligus keindahan yang kita temui di daerah hutan ini. Hutan dalam bahasa halusnya wana. Bagaimana kalau kata ini kita gunakan?” Lebe Atma menyampaikan usulnya.

“Saya ada nama Wanasanget yang bermakna hutan angker. Bukankah ada keanehan yang hampir membuat kita celaka,” Haji Yunus yang terlilit pohon areuy.

Perbincangan berhenti sejenak. Mereka sibuk memikirkan nama yang akan mereka ajukan untuk kebaikan dan keberkahan semua penghuni kampong.

“Nama sebaiknya mengandungi doa dan membawa kesan baik bagi yang mendengarnya.” Mama Sarhafi bijaksana,” Bagaimana kalau Wanasigra?”

“Wanasigra bermakna hutan yang indah.
Saya rasa itu nama yang cocok dan bagus. Saya setuju,” Haji Yunus menerima ide Mama Sarhafi dengan penuh kelapangan dada.

Semua menyetujui nama yang terakhir muncul itu. Jadilah sampai sekarang kampung itu bernama Desa Wanasigra. Kampung yang tadinya hanya dihuni 4 keluarga dengan empat rumah sederhana, telah berkembang menjadi 100 rumah di tahun 1935. Sangat disayangkan, ditahun 1953, kampung itu didatangi Jemaat Ahmadiyah dari Lahore India dengan dukungan dana dari kerajaan Inggris.

Glosarium:
1. Areuy: menjalar
2. Laletoy: lemah-lemah/lemas-lemas, tidak kuat
3. Ngabodor: bercanda
4. Cau: pisang
5. Sampeu: ketela pohon
6. Nakmas: panggilan hormat untuk orang yang lebih muda
7. Rabbana maa khalaqta hadza baatila fa qinaa adzabannar:
Ya Tuhan tidaklah engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia maka hindarkan kami dari siksa api neraka




NENEK RENTA DAN SI BUCITREUK

(Legenda Asal Mula Danau Sanghyang)
Ditulis oleh Saddam M. Alfiansyah (Siswa kelas XI IPA SMAIT NURUL AMANAH)

Situ Sanghyang merupakan salah satu obyek wisata unggulan Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya berada di Desa Sanghyang-Kecamatan Tanjung Jaya. Keindahan Situ Sanghyang makin memesona dengan fasilitas yang terus diperbaiki oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya.

Berdekatan dengan pintu masuk tempat wisata ini terdapat Museum Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Meskipun berukuran kecil tapi cukup memberikan informasi tentang berbagai budaya dan tempat wisata Kabupaten Tasikmalaya. Fasilitas lain dari Situ Sanghyang adalah taman dan mushola. Tentu fasilitas ini menambah kenyamanan bagi pengunjung.

Di balik kecantikan Situ Sanghyang yang begitu asri dengan hutan menghijau di sekeliling danau, tersimpan sebuah kisah penuh hikmah yang dipercaya turun temurun yang tentunya mengandungi hikmah luar biasa. Yuk kita simak kisah asal mula Situ Sanghyang……..

***

Di sebuah lembah, terdapat sebuah kampung yang terkenal dengan masyarakatnya yang sangat individualis dan materialis. Segala sesuatu kebaikan harus dinilai dengan uang dan takaran materi yang dianggap seimbang. Tidak ada nilai kebersamaan, saling tolong bantu apalagi bersedekah.

Suatu ketika seorang bocah dengan penampilan ‘caludih’, berwajah polos, berkulit hitam, tanpa alas kaki mendatangi kampung itu. Sekian lama si bocah tidak menemukan makanan untuk mengisi perutnya. Perut buncitnya tersembul karena pakaian yang dikenakannya sudah tak berkancing lagi. Semestinya belas kasihan muncul dari manusia yang masih memiliki hati nurani.

Akan tetapi jangankan belas kasihan, pandangan iba pun tak didapatinya. Dengan penuh harap si bocah mengetuk pintu salah seorang warga berumah mewah.

“Sampurasuun…..” Diketuknya pintu dengan santun.

Pemilik rumah hanya sedikit menyingkap kerai jendela sambil mencibir,”Iyeuh……. budak caludih Bucitreuk. Paling juga mau minta-minta. Ngarugelkeun wae, moal diwaro siah ku aing!” gumam pemilik rumah.

Sekian kali mengetuk tanpa jawaban, si bocah mengalihkan harapan pada rumah selanjutnya. Begitulah berkali-kali harapannya kandas tanpa hasil hingga ia berhenti pada seorang pemilik warung. “Semoga pemilik warung ini berbaik hati mau berbagi makanan dari warungnya yang besar ini,” pikir si bocah.

Pemilik warung dengan dagangan lengkap mulai dari makanan ringan, gorengan, sayur mayur, berbagai kebutuhan pokok itu tidak memedulikan kehadiran Si Bucitreuk.

“Sampurasuun…maaf bu, apakah ibu sudi memberi saya sedikit makanan? Sudah berhari-hari saya tidak menemukan makanan barang sesuap dan minuman barang seteguk.” Si Buncireang memelas sambil memegangi perutnya.

“Eh, bocah berperut buncit, di daerah ini tidak ada istilah gratis dan cuma-cuma. Kalau kamu ada uang aku beri kalau tidak ada jangan harap kau dapat makan dari penduduk kampung ini. Kalau mau juga kamu harus mau berkorban tenaga dua tiga hari untuk mendapat sepiring nasi.” Emak-emak pemilik warung terus berbicara ketus pada Si Bucitreuk.

“Bagaimana saya bisa memberikan tenaga saya Bu, saya sudah lemas karena berhari-hari tidak makan. Bagaimana kalau Ibu bagi saya makanan setelah itu saya ganti dengan tenaga saya?”

“Tidak bisa! Lebih baik kamu pergi dari sini atau aku teriak maling?! Pemilik warung itu menghardik dan mengancam tanpa belas kasih sedikitpun.

Si Bucitreuk segera menjauhi tempat itu sebelum teriakan pemilik warung mengumpulkan warga dan menghakiminya.

Dengan hati yang masygul atas sifat buruk masyarakat kampung itu, Si Bucitreuk berjalan lunglai menuju sebuah rumah gubuk yang sangat sederhana. Ia pun mengetuk pintu bambu rumah itu.

“Sampurasun…”

“Rampes….” Terdengar sahutan ramah dari pemilik rumah gubuk itu.

Seorang nenek tua dengan baju kebaya batik lusuh dan sehelai kain menutupi kepalanya.

“Ada apa, Cu….” Nenek tua itu menyapa penuh kasih sayang.

Di luar dugaan seorang nenek tua yang tinggal di rumah bilik kecil tak lebih dari 5 tumbak, beratap daun rumbia usang, dan berlantai tanah itu jauh lebih pandai tersenyum daripada orang-orang kaya di kampung tadi.

“Nek, saya sudah berhari-hari tidak makan, mohon kiranya nenek mau memberikan sedikit makanan untuk saya?”

“Oh tentu saja Cu, silahkan masuk dan makan apa saja yang terhidang di atas meja. Nampaknya kamu terlalu lelah dan lapar. Tapi maaf Nenek hanya punya umbi-umbian. Hanya itu yang nenek tanam di halaman rumah sempit ini. Penduduk kampung ini tak sedikitpun peduli pada Nenek. Padahal mereka kerabat Nenek juga.”

Nenek tua itu mempersilahkan Si Bucitreuk untuk makan. Dituangkannya air dari kendi ke cangkir dari batok kelapa. Si Bucitreuk makan dengan lahap umbi-umbian, lalap daun sampeu, sambal terasi dari Si Nenek. Semua makanan habis tanpa sisa.
Nenek tua tersenyum melihat Si Bucitreuk yang menghabiskan semua hidangan sangat sederhana itu.

“Kalau Nenek boleh tahu, Cucu dari mana dan mau pergi kemana? Nenek tinggal sendirian di sini sebatang kara. Kalau Cucu tidak keberatan, tinggallah bersama Nenek.”

“Terimakasih banyak Nek. Nenek baik sekali pada saya. Seseorang yang dalam pandangan orang pikageuleuheun. Hati Nenek sungguh mulia. Nenek tidak perlu tahu siapa saya, yang jelas saya mendapat perintah dari Tuhan (Sanghyang Widi) untuk menjatuhkan hukuman bagi mereka yang telah melampaui batas.”

Nenek itu terperangah mendengarkan pengakuan dari Si Bucitreuk.

“Nenek harus segera meninggalkan kampung di lembah ini, karena sebentar lagi akan ada air bah yang menenggelamkan kampung dan semua yang ada di dalamnya. Semua itu adalah balasan dari dosa yang telah mereka lakukan. Mereka pelit dan kikir serta tidak peduli dengan mereka yang miskin dan menderita. Nenek akan mendapatkan kedudukan tinggi di Kahyangan karena kebaikan hati Nenek mendapat ridho dari Tuhan”

Nenek renta bersiap untuk meninggalkan kampung itu hingga penduduk kampung heran dengan apa yang dilakukan nenek itu. Tak ayal lagi penduduk kampung menyambangi Si Nenek Renta.

“Apa yang kau lakukan, Nek. Apakah Si Bucitreuk telah menghasutmu dan mengatakan satu kebohongan?”

“Bocah itu tidak bohong bahkan ia mendapat perintah dari Sanghyang Widi untuk memberi pelajaran berharga pada warga kampung ini.” Jawab Nenek Renta

“Apa yang kau katakan pada nenek itu, Hai Si Bucitreuk?” Pemuka kampung menentang bocah itu

“Aku diperintahkan mencabut lidi ini dan dari lubang bekas lidi ini akan keluar air bah yang sangat besar apabila kalian tidak bertaubat dari kesalahan kalian. Kalian terlalu pelit dengan harta yang dikaruniakan Tuhan pada kalian. Sungguh kalian melampaui batas.”

“Ha…ha..ha….pandai sekali kau berbohong Si Bucitreuk!!! Mana bisa kami percaya kalau ancamanmu itu benar. Paling ini akal-akalanmu saja ingin mengambil apa yang tertinggal dari harta kami. Lagi pula lidi sekecil itu berbah jadi air bah? Tidak mungkin…” Teriakan penduduk kampung bersahut-sahutan memekakkan telinga.

“Kalian boleh tidak percaya. Nenek cepat tinggalkan kampung ini, dan aku akan mencabut lidi ini.”

Nenek itu jauh meninggalkan kampung, sedangkan warga kampung pun kembali kerumah mereka masing masing sambil bergumam, ”Huh….budak leutik ngabobodo ka kolot. Bagaimana bisa dari lidi sekecil itu keluar air bah yang menenggelamkan kampung kita. Mimpi apa mabok? Ha…ha…ha….ha….!!! Cemoohan memenuhi rongga hati dan membuncah hingga ke langit kampung itu.

Si Bucitreuk mencabut lidi dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Air keluar begitu derasnya dari tanah itu. Makin deras dan makin deras, tak terbendung dan berubah menjadi air bah hingga menggenangi seluruh kampung. Orang-orang tak sempat menyelamatkan harta dan bahkan nyawanya dari luapan air adzab bagi mereka yang melampaui batas.

***
Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari kisah ini:
1. Janganlah memandang rendah sesama karena penampilan lahiriahnya. Namun pandanglah sesama dengan kasih sayang siapapun mereka dan bagaimanapun keadaannya.
2. Semua yang kita miliki adalah karunia Alloh SWT, bukan karena usaha dan ikhtiar kita. Pada sebagiannya ada hak orang lain yang membutuhkan pertolongan.
3. Janganlah menyia-nyiakan orang lemah karena kehadiran mereka menjadi ujian buat kita, siapakah yang memiliki rasa kasih sayang pada sesama.
4. Terlena dalam dosa sangat berbahaya karena dapat menjadi sebab datangnya azab Alloh SWT.
5. Selalu ada hikmah di balik cerita ataupun dongeng, pandai-pandailah kita menarik hikmahnya karena yang terpenting adalah bagaimana suatu kisah menjadi sumber inspirasi untuk berbuat lebih baik dan makin baik dari waktu ke waktu, terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut.

Glosarium:
Bucitreuk =Buncit
Caludih =Kusam
Huh…. budak leutik ngabobodo ka kolot = Huh…anak kecil membohongi orang tua
Iyeuh……. budak caludih Bucitreuk. Paling juga mau minta-minta. Ngarugelkeun wae, moal diwaro siah ku aing!” =Ini…..anak kusam buncit. Paling juga mau minta-minta. Merugikan saja, tidak akan aku pedulikan kamu.”
Kahyangan =Syurga
Pikageuleuheun =menjijikkan
Sampeu =ketela pohon
Sanghyang Widi Wase =Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa




SEJARAH BERDIRINYA KAMPUNG NAGA
(SEMEDI SANG WALI MEMBANGUN MASYARAKAT ISLAMI)
(Ditulis oleh Arya Mustafa Kelas XII IPA SMAIT NURUL AMANAH)

Pada masa pemerintahan Kesultanan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil), dakwah Islam menjadi agenda utama dari kesultanan. Para pendakwah diutus keberbagai pelosok Jawa Barat. Salah satunya Sunan Singaparna yang dikenal Sembah Dalem Singaparna.

Dalam menjalankan dakwahnya Sunan Singaparna terbiasa untuk masuk kampung keluar kampung, masuk hutan keluar hutan. Beliau mendirikan perkampungan dan masyarakat dengan sistem Islam. Salah satu wilayah dakwah beliau adalah daerah lembah di bawah tebing Neglasari Salawu Tasikmalaya.

Ketika itu agama Hindu masih mendominasi keyakinan warga Tatar Sunda. Dalam perjalanan itu sampailah Sunan Singaparna di sebuah perbukitan nan asri yang kini menjadi Desa Neglasari.

“Alangkah indahnya tempat ini. Hutan lebat di perbukitan. Lembah dan sungai mengalir deras lagi jernih. Rabbanaa maa khalaqta hadza batilaa subhanaka faqina ‘adzabannar. Aku putuskan untuk berkhalwat di tempat ini. Rasanya aku harus bermunajat pada Alloh untuk langkah dakwahku selanjutnya. Setelah sekian lama aku berjalan, sulit aku temukan perkampungan. Aku ingin mengetahui kampung terdekat di sekitar daerah ini. Tunjuki hamba ya Alloh,” Sunan Singaparna membatin.

Di sebuah tajuk panggung terbuat dari bilik bambu berukuran secukup tidur orang dewasa. Atap injuk dan bambunya masih baru, menandakan bahwa gubuk ini baru saja dibuat. Sunan Gunung Jati melepas alas kaki, menaiki tangga panggung dan menghamparkan sajadah setelah meletakkan bekal seikat baju dan perlengkapan sederhana. Mata batinnya begitu mudah menentukan arah kiblat, tepat sejajar di samping kiri sungai jernih itu.

Dalam khalwatnya, petunjuk Alloh SWT menghampiri melalui bisikan batinnya,” Di tempat ini ada kaum yang membutuhkan bantuanmu untuk mengenal Tuhan yang berhak untuk disembah. Sampaikanlah kepada mereka agama tauhid.”

Bersamaan dengan itu tiba-tiba datang sekelebatan bayangan. Sosok lelaki muda tak dikenal yang memata-matai Sunan Singaparna. Pemuda itu berambut panjang, berbaju loreng coklat hitam. Meskipun tenggelam dalam kekhusyuan, ketajaman indra dan olah rasa membuat Sunan Singaparna segera menangkap gerakan halus di sekitarnya.

Tanpa memberi banyak kesempatan menangkis serangan, pemuda itu menyiapkan jurus melumpuhkan lawan. Sekali loncat dari belakang Sunan, pemuda itu sudah berada di atas panggung, mendarat tanpa suara. Ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dianggap enteng. Kepalan tangannya siap memukul tengkuk Sunan dan…..

Sunan Singaparna berdiri cepat sesaat sebelum tengkuknya terkena pukulan pemuda itu. Tangan kirinya mencengkeram kepalan tangan pemuda berambut panjang. “Apa salah saya kisanak, sehingga saya diserang?”

Meskipun serangan awalnya kali ini mentah Si Pemuda tidak putus asa. Ditangkisnya cengkeraman tangan Sunan Singaparna dan ia memasang kuda-kuda untuk mengeluarkan jurus demi jurus yang dimilikinya.

Tak ingin gubuk baru entah milik siapa itu rusak, Sunan Gunung Jati meloncat menjauhi gubuk.

“Hai, jangan lari, layani dulu jurus-jurusku!” teriak Si Pemuda

“Aku bukannya lari kisanak tapi tak baik bila pertarungan kita merusak hak milik orang lain. Gubuk yang Nampak baru dibangun ini bisa berantakan karena perbuatan kita.”
Pemuda itu memasang kuda-kuda dan bergerak menyerupai burung gagak yang siap mencengkeram lawan. Sementara Sunan Singaparna melafadzkan dua kalimah syahadah dan merapatkan dua telapak tangan di depan dadanya. Tiba-tiba…..

“Aduh dadaku sesak dan panas, ilmu apa yang kau miliki wahai orang asing.”

“Aku tidak memiliki ilmu apa-apa kecuali perlindungan Alloh SWT.”

“Siapa seseorang dengan nama yang kau sebutkan itu?”

Sunan Singaparna menyampaikan bahwa Alloh SWT adalah penguasa segala sesuatu yang ada, yang lahir dan yang batin, yang ghaib dan yang nyata. Tidak ada Pangeran yang berhak disembah kecuali Dia. Dan tidak ada siapapun yang serupa dengaNya.

“Ada maksud engkau berada di sini? Penampilanmu yang sangat berbeda dari kami membuat kami curiga dan pimpinan kelompok kami memerintahkanku menangkapmu.”

“Kalian tidak perlu menangkapku, justru aku yang berkeinginan menemui kalian.” Sunan Singaparna teringat bisikan suara hati yang mengatakan bahwa di dekat tempat semedinya ada orang-orang yang berhak mendapat tuntunan mengenal Tuhan. “Kisanak…..saya hanya ingin bertemu dengan sebanyak mungkin manusia. Berbicara dengan mereka sesuai tugas yang diberikan kesultanan Cirebon. Saya murid langsung dari Sultan Syarif Hidayatulloh, Sultan Cirebon. Sudah satu bulan aku berjalan dan tidak berjumpa dengan satu orang pun. Kisanak adalah orang pertama yang saya temui. Tolong izinkan saya bertemu dengan pimpinan kelompok kalian.”

“Iya…akan saya antarkan engkau pada pimpinan kami. Tapi to…tolong lepaskan bebaskan aku dari…….sesak dan panas di dadaku ini. Aku tidak tahan….. Pemuda itu tebatuk-batuk dan suaranya terbata-bata.

Sunan Singaparna mengikhlaskan ikhlaskan perbuatan pemuda itu dan melafadzkan doa nabi yunus tiga kali,” Laa illaha illa anta subhanaka ini kuntu minadzdzolimiin.”

Pemuda itu menarik napas panjang dan berkali-kali mengucapkan terima kasihnya. Keduanya berjalan beriringan untuk menemui pimpinan kelompok di lembah dekat gawir itu.

Setengah jam mereka berjalan dan sampaih pada hutan lebat dan gelap. Tak berapa lama dari tepi hutan, Sunan Singaparna diperlihatkan pada pemandangan yang menakjubkan. Ada rumah-rumah kecil diatas pohon besar. Tangga-tangga bertali menjulur hingga permukaan tanah.

“Kami tinggal diatas pohon-pohon ini, untuk menghindar dari serangan binatang buas. Semua ada 10 rumah, 8 rumah ditempati mereka yang sudah berkeluarga dan 2 rumah ditempati pemuda yang masih sendiri termasuk saya.”

“Subhanalloh, Alhamdulillah akhirnya Alloh SWT mengizinkan saya bertemu kisanak. Bolehkah saya menemui pimpinan kalian?”

“Tunggu sebentar tuan, saya belum tahu nama kisanak. Biar saya sampaikan siapa kisanak dan apa maksud tuan mendatangi kami.”

“Sampaikan saja saya murid Sunan Gunung Jati, diutus oleh Kesultanan Cirebon untuk berjumpa dengan sebanyak mungkin manusia, agar dengan saling mengenal itu akan terjalin kasih sayang yang menguatkan Kesultanan kita. Dan tidak ada ikatan kasih sayang yang lebih erat dari kesamaan iman dan keyakinan. Nama saya Singaparna”

Demikianlah dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Sunan Singaparna menyebarkan Islam pada kelompok manusia berumah di atas pohon. Hingga suatu saat mereka bersepakat mendirikan rumah-rumah panggung yang sehadap dan serba sama untuk menerapkan sifat kesederhanaan yang ada dalam ajaran Islam.

Mereka juga membuat tatanan pemerintahan yang terdiri dari pimpinan adat terkait hari-hari besar Islam (kuncen), penyelenggara urusan agama (lebe) dan pengurus kegiatan kemasyarakatan harian(punduh).

Dalam sebuah pertemuan setelah rumah panggung selesai mereka bangun, mereka bersepakat memberi nama kampung itu Kampung Naga. Naga sebagai singkatan dari Na Gawir (kampung yang berada di tebing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...