WASIAT
By: Rintia Rahayu
Aku telah tiba dirumah nenekku. Ya, sudah menjadi kebiasaan di negari kita untuk bertemu pada silaturahmi akbar. Pertemuan itu bernama mudik Idul Fitri. Itulah salah satu alasan yang membuat kita selalu merindukan lebaran. Sudah menjadi kegiatan rutinan keluarga tiap tahu, kami berkumpul di rumah nenekku bersama keluarga tercintaku.
Meskipun berpuluh grup whatsapp dibuat dan makin menambah berat memori gawaiku, nenurutku bertemu langsung tetap lebih asyik. Mungin aku termasuk makhluk yang senang bersosialisasi di dunia nyata, walaupun exist di dunia maya.
Memasuki rumah besar ini selalu saja merasa sejuk. Bangunan kuno dengan pondasi yang ditinggikan. Batuan keras mengelilingi pondasi yang muncul itu, mengingatkanku pada bangunan Belanda. Tentu lengkap dengan tangga pendek yang terbagi dua kanan-kiri. Tengahnya pemisah miring yang licin karena selalu kami pakai untuk bermain perosotan. Cat rumah dominan putih, seentara daun pintu dan jendela warna hijau tua. Hmmmmm, kesegaran makin terpadu dengan berbagai macam tanaman di pekarangan depan rumah yang cukup luas. Kupikir lebih dari sepuluh kali sepuluh meter. Pantas tempat tinggal nenek menjadi bangunan terunik di kampungnya..
“Assalamualaikum, Nek,”sapaku sambil mencium tangan kisutnya dalam-dalam. Harum khas minyak sembahyang ini yang membuat rinduku makin sangat.
“ Waalaikumsalam, eh, Cucuku,” jawab nenek setelah aku menyapanya dengan salam. Wajah itu tetap menampakkan jejak kecantikan masa mudanya. Keriput Nampak jelas di sudut bibir, mata dan keningnya. Tapi tetap memancarkan keteduhan. Bunda sering bercerita tentang keteguhan nenek dalam ibadah, terutama qiyamullail.
“Nenek apa kabar? Bagaimana kesehatan nenek sekarang? Maafkan Ais, ya, Nek. Selama satu bulan Ramadhan aku tidak ke sini. Sibuk persiapan SBMPTN, Nek.” Aku langsung mencecar nenek dengan cerita kesibukanku. Daripada eduluan protes nenek yang selalu ingin aku kunjungi.
“Tidak apa-apa, Ais. Alhamdulilah Nenek selalu sehat. Apalagi sekarang cucu-cucu dan anak-anak Nenek berkumpul bersama di rumah ini. Hilang semua nyeri, encok, pegel dan ngilu Nenek.”” jawab nenek dengan wajah berseri bahagia
Aku segera menyalami keluarga besaru satu-satu. Kakek telah tiada, kami sudah empat kali lebaran kehilangan ebersamaan dengannya . Amang Lukman sekeluarga, Bibi Lulu sekeluarga, Uwa Awang sekeluarga, Amang Saleh sekeluarga. Suasana begitu ramai. Riuh rendah dengan tebak nama dan pertanyaan basa-basi yang mengakrabkan. Lalu kami sekeluarga besar bercerita bersama dan saling memaafkan satu sama lainnya dikarenakan waktu itu adalah sedang merayakannya acara idul fitri.
Saat-saat yang mengasyikkan adalah menikmati hidangan setelah kamibermusafahah. Seperti biasa sebelum musafahah kami mendengar taushiah dari kakakku yang membanggakan. Ustadz Fariz.
“Saya mohon maaf sebagai yang muda, rasanya nggak pantas saya duduk di sini, di depan para pendahulu saya. Tapi karena yang meminta Nenek tercinta, maka saya menyerah. Dan anggaplah ini nasihat buat saya sendiri.” Kang Fariz mengawali taushiahnya.
Kemudian ia melanjutkan,” Terhadap sesama manusia pun kita diperintahkan untuk saling menghormati, menghargai dan menjaga tanpa pandang suku dan agamanya. Rasulullah berpesan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Man kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyaqul khairat au yasmut. Wa man kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyukrim jaarahu. Wa man kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyukrim dhaifahu.
Barang siapa yang beriman pada Allah dan hati akhir maka berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hormatilah tetangganya. Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya.”
Kami mendengar dengan seksama. Ada pencerahan dari tutur katanya. Penghormatan pada sesama manusia adalah bagian dari menjalin tali silaturahmi. Tali yang sangat Allah cintai sehingga menjanjikan begitu banyak pahala. Bukan hanya di akhirat, tetapi juga di dunia. Naungan di Padang Mahsyar, dipanjangkan umur, diampuni dosa, dimurahkan rezeki, diangkatnya penyakit. Wah, mendengar ceramah singkatnya membuat kami makin bersemangat dalam pertemuan keluarga besar ini.
Aku yakin suatu saat Kang Fariz akan menjadi dai handal di tanah air. Pasalnya, ia sangat aktif dengan channel Youtubenya. Aku seringkali membantunya buat mengelolachannel itu. Aku tidak suka ngevlog tapi aku hobi otak-atik video supaya menjadi menarik dan marketable.
Selepas taushiyah, kami menikmati hidangan yang dibawa oleh masing-masing keluarga. Kami menata dalam stan-stan, mirip resepsi pernikahan.
Ada stan masakan khas sunda, sayur asem, ikan asin, sukri, sambel tomat terasi, ayam goreng, ikan bumbu acar , sambel goreng hati, kerupuk udang.
Di sampingnya ada stan baso lengkap, stan ini tanggung jawabku. Aku sudah siapkan baso matangnya. Tinggal menyediakan sayur segar, sawi, toge, daun bawang dan seledri. Bumbunya aku buat tidak pakai MSG, aku racik sendiri, garam, merica, pala, gula putih, goreng bawang merah dan putih yang dihaluskan dan diaduk rata. Kata orang-orang sih, enak.
Selanjutnya stan snack. Bi Lulu yang ahli dalam hal ini. Kue salju, nastar aneka rasa, pastel kecil sebesar ibu jari, aneka kacang olahan, kacang goreng bawang, kacang polong, kacang telor, kue kacang, kue noga.
Nah, stan selanjutnyaberbagai macam kue basah. Ini bagian bunda yang ahli. Maklum bunda memang bisnis pesanan kue basah. Brownis, black forest, waffle, bolu gulung, cake sampai bibika. Hemmm, semuanya yummy banget.
Uwa Awang tinggal di Jakarta, sayur laksa khas betawi itu selalu membuatku kangen menikmatinya. Mirip Soto tapi dilengkapi santan kental atau lengko di Jawa Barat. Lengkap dengan suwiran daging, telor puyuh, kedelai goreng,
Satu lagi yang menjadi santapan kegemaranku, buah-buahan. Stan ini tanggung jawab bersama. Kami semua membawa buah dengan jenis berbeda. Jadilah stan ini dipenuhi enam macam buah dari 6 keluarga, semangka, jeruk, buah naga, pisang, melon dan apel. Stan-stan itu disusun letter-U di belakang sofa melingkar yang cukup untuk duduk enam keluarga berikut anak dan cucu.
Aduh, sorry readers, aku bukan ingin membangkitkan selera kalian. Tapi lebih pada tahaditsu binnikmah. Ukhuwah di antara kami sangat erat dan bisa menjadi inspirasi buat kalian. Boleh juga kalian hadir di acara seru lebaran di keluarga besar kami.
“Hai, Ais, kamu khusyuk bener mengunjungi stan hidangan-hidangan itu! Ayo, makan. Cicipi laksa Uwa kesukaan kamu,” sapa Uwa Awang mengagetkanku.
“Tenang, Wa. Ais pingin mengabadikan keindahan tali persaudaraan pada hidangan itu. Moment yang istimewa begini bisa menginspirasi keluarga lain, lho, Wa,” kilahku sambil memasang senyum paling manis buat Wa Awang.
Uwa Awang melempar senyum sembari mengangkat dua jempolnya tanda setuju.
“Wa, sepertinya semua makanan ini tidak akan habis untuk keluarga besar kita, ya?” tanyaku, khawatir mubazir.
“Kita bisa menghangatkan teman nasi yang basah. Dan nenek selalu mengundang tetangga bergiliran selama lebaran untuk ikut menikmati hidangan kita, Ais,” imbuh Wa Awang.
Diam-diam aku kagum pada keluarga besarku. Bukan hanya ikatan antar keluarga yang kuat, dengan tetangga pun begitu peduli.
Hari kedua pertemuan tidak kalah seru, pertukaran kado. Kami akan melangsungkan kegiatan seru itu selepas salat Zuhur.
“Bunda, kado Ais di mana, ya?” Aku cemas memeriksa tas dan koper.
“Aduh, Ais…jangan diberantakin, dong! Coba ingat-ingat, ketinggalan, enggak?”
“Terakhir Ais taruh deket koper. Bunda lihat nggak? Terbawa nggak?”
“Innalillahi, iya, Bunda liat tapi nggak bunda masukkan koper.”
Jawaban bunda membuat aku lemas. Rasanya mau menangis.
“Sudah jangan sedih! Kita masih punya waktu buat beli di super market. Ada 212-Mart di kota kecamatan. Nggak jauh dari sini, kita jalan kaki aja. Paling sepuluh menit.” Tawaran bunda sungguh melegakanku.
Kami berpamitan ke nenek. Nenek hanya berpesan,” Hati-hati Ais, Nur, jangan lama-lama. Aku masih kangen sama kalian. Baru dua hari datang kok udah mau ke pasar? Makanan banyak di rumah, jangan banyak belanja.”
“Nek, kami cuman sebentar nggak sampai setengah jam juga insya Allah bakalan udah ada di rumah.” Aku menangkap sedikit keanehan pada pesan nenek. Seakan kami bakal lama tidak ketemu. Ah, aku tidak berani membayangkan yang tidak-tidak.
Kami segera menuju 212-Mart dan langsung mencari hadiah yang sekiranya bermanfaat untuk semua usia. Sederet buku islami menjadi sasaranku. Aku pilih judul tentang faraid yang praktis tapi lengkap dengan contoh kasus dan perhitungannya. Aku bubuhi tanda tangan dan sedikit kata-kata baik. Di salah satu sudut bookshelf terdapat Alquran hafalan juz 28,29,30, maktsurat dan hadits Arbain. Aku membelinya juga dan menyatukan dengan buku faraid tadi.
“Semoga kado ini menjadi tanda cinta dan pengikat pesaudaraan kita. Jangan lupa dibaca, ya. Biar manfaat dan nggak mubazir.”
Aku segera membungkusnya dengan kertas kado motif batik dominan coklat.
Benar saja, tidak sampai setengah jam kami sampai di halaman rumah. Tapi…..
“Bunda, kenapa banyak kerumunan tetangga di rumah nenek?”
“Subhanallah, ada apa, ya, Ais?” Bunda juga terheran-heran. Cemas. Tiba-tiba di sudut mata lembutnya menggenang air bening.
Kami segera menerobos kerumunan itu. Bunda langsung menuju kamar nenek tanpabanyak menyapa tetapu, ecuali hanya dengan sedikit tersenyum. Semua putra putrid nenek masuk kamar dan beberapa cucu yang sudah dewasa. Berbagai ekspresi pada wajah-wajah orang dekat aku tatap satu-satu. Inikah jawaban dari keengganan nenek buat kami tinggalkan.
Air mata tertahan pada mata yang berkaca-kaca. Kami ingat benar pesan nenek tiap saat kami berkumpul bersama. “Jangan ada air mata saat kepergianku. Air mata itu hanya menjadi penghalang perjumpaanku dengan Tuhan.”
Kami hanya bisa berpelukan sambil saling berpesan kesabaran seiring untaian doa untuk perjalanan nenek. Semoga kemudahan, kebahagiaan di rumah baru nenek, di alam yang berbeda.
“Nenek, bukankan nenek berjanji akan berwisata ruhani bersama akhir pekan ini? Selepas pertemuan keluarga ini? Banyak rencana yang akan kita lalui bersama. Kenapa Nenek berangkat secepat ini? Kami sudah merencanakan keberangakatan kita, Nek! Bukankah Nenek sangat ingin berziarah ke makam para wali?” Jerit hatiku hanya sampai pada dinding kesunyian. Semua lobiku pada bunda, ayah, paman, bibi, demi membahagiakan nenek buyar sudah. Tidak tersisa sedikit pun. Seperti balon yang pecah sebelum sepenuhnya aku tiup sempurna.
Jeritan dalam hatiku tak tertahankan. Akan tetapi aku tidak bisa mengkhianati nenek dengan air mata ini. Hanya hentakan dalam hati yang terasa begitu sakit. Aku hanya akan menumpahkan air mata ini dalam sujudku padaNya. Bukan sekarang.
Aku putuskan untuk mengambil Alquran dan Majmu Syarif , lalu membagikan pada yang hadir. Perlahan bacaan Yasin mulai mengalun, sebagian lagi membaca Tahlil dari kitab Majmu Syarif. Terdengar syahdu, mengantarkan kepergian nenek.
“Semoga Nenek mendapatkan tempat yang indah di sisiNya. Nek, yakinlah Dia Maha Pengasih lagi Penyayang pada hamaba-hambaNya. Juga Nenek yang selama ini telah membuktikan cinta padaNya. Aku iri padamu, Nek, meninggal dalam sujud panjang salat Dhuha yang kau dawamkan. Wajahmu cantik berseri penuh senyuman.”
Sekuat hati aku coba membuka kain penutup wajahnya. Saat terakhir yang takkan pernah aku lupakan. Kutatap lekat-lekat parasnya, kusentuh seraut wajah yang kini menghadap Rabb-nya. Begitu lembut dan rupawan. “Selamat jalan, Nek. Berbahagialah, tanda husnul khatimah itu aku saksikan.”
***
Hari ke sembilan lebaran, semua rencana bergeser waktu. Bahkan kepulangan kami menunggu sampai hari ketujuh sepeninggal nenek. Kami tidak ada yang ingat lagi acara pertukaran hadiah.
Kami bermusafahah sebelum pulang ke rumah masing-masing. Sisa-sisa duka masih menyelimuti roman muka kami. Pertemuan untuk empat puluh hari nenek menjadi rancangan kami selanjutnya.
“Astaga, ada yang lupa.” Amang Saleh bergegas memasuki kamar nenek. Kami hanya terheran-heran. Apa gerangan yang akan dilakukan Amang Saleh.
“Ini ada satu wasiat emak yang belum kita tunaikan. Emak berpesan untuk menyiapkan kado ini sebelum pergi. Saya yakin, emak sangat menginginkan acara pertukaran hadiah itu kita lakukan. Meskipun tanpa emak.”
Kami urung meninggalkan rumah besar ini. Semua berbalik ke sofa dan duduk. Tida ada keceriaan. Acara yang biasanya dipenuhi tawa canda itu tiba-tiba senyap. Semua seakan merindukan hadirnya nenek yang kami cintai. Kami mengosongkan satu kursi goyang yang biasa diduduki nenek. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. “Nenek, aku yakin kau bahagia menyaksikan kebaikan yang masih bisa kami lakukan.”
Semua kado sudah diberi nomor. Kertas undian sudah di gulung rapi satu sampai empat puluh lima. Rasa penasaran pada apa yang Allah rezekikan memberi sensasi paling seru buat yang ikut acara ini.
Satu persatu penerima gulungan kertasmengambil kada di atas meja. Bila kebetulan nomor kertas yang diterima menunjuk pada bingkisannya sendiri, gulungan kertas harus segera di tukar.
Lagi-lagi menjadi moment paling sedih saat gulungan kertas tersisa satu. Demikian pula bingkisan di atas meja itu, tinggal satu Dan aku tahu persis itu bingkisanku, bingkisan terakhir untuk nenek. Kami tak bisa menahan isak tangis.
“Kado terakhir ini milik emak, bagaimana kalau kita berikan pada yang menerima kado emak?” Amang Saleh yang memimpin acara tukar kado mengusulkan.
Semua yang hadir tidak ingin memberi usulan atau sanggahan apapun. Kami seakan tenggelam pada kubangan dukanya masing-masing.
“Ya, Allah mengapa bisa kami saling bertukar kado dengan cara seperti ini? Pantaslah Kau pilihkan buku faraid itu untuk kubeli. Bukan bukunya yang au sesalkan buat membelinya, tapi kepergian nenek yang tak sempat kusaksikan. Ternyata ini menjadi panduan pembagian waris yang harus kami selesaikan selepas kepergian nenek kami.”
Masing-masing telah menerima nomor undian dan kado yang sesuai. Kami menyimpan kado yang kami dapat. Sesuai perjanjian, membukanya saat keluarga kami sudah saling berpisah.
Menjelang Asar, acara selesai. Kami bermusafahah kembali. Aku dan rombongan keluargaku sepakat segera berangkat dan salat dalam perjalanan pulang.
***
Selama perjalanan aku tidak sabar membuka kado dari nenek.
“Bunda, boleh buka kadonya sekarang?” Aku minta izin pada bunda.
“Boleh, dong ,Ais. Yang penting nggak di rumah nenek, kan? Bunda juga penasaran mau ngebuka sekarang juga.”
Di usia menjelang delapan puluh tahun masih bisa membungkus bingkisan serapih ini. Sesuatu yang membuatku kagum. Aku buka dengan hati-hati kado dari nenek. Secarik kertas dan sebentuk cincin perhiasan. Aku sedikit kaget, terlalu mahal dan mewah cincin ini untukku.
Aku buka dan kubaca secarik kertas. Barisan tulisan nenek yang masih rapih. Berkali-kali kekaguman itu hadir. Seiring doa, semoga aku seperti dia.
Buat siapapun
yang menerima bingkisan ini,
Pujian bagi Allah SWT yang memberikan nikmat iman, islam dan kesehatan buat kita. Shalawat dan salam semoga tercurahkan pada kekasih kita Rasulullah SAW.
Satu pesan dari Emak. Dulu waktu Emak pergi ke rumah Nur di Ciamis, Emak ditawari tanah yang sekarang didirikan buat mushala. Itu wakaf Emak, tolong dijaga dan dipelihara.
Nenek dengar ada kerusakan genting dan atap karena usianya suadah tua. Cincin ini pakailah untuk memperbaiki dan memugarnya. Semoga menjadi bekal akhirat Emak.
Terimakasih
untuk yang menjalankan amanah Emak ini.
Aku terhenyak. Dari GR akan mendapat cincin mahal, berubah jadi kekaguman pada pengorbanan dan ketulusan nenek.
Ingatanku menyambangi mushala di kampungku. Mushala yang tampak tua. Atapnya bocor, anak-anak mengaji sore kadang terbengkalai bakda Maghrib tanpa pengajar. Aa Fariz kadang sibuk keluar tidak bisa mengajar mereka.
Aku merasa malu selama ini sering tidak memedulikan tempat ibadah itu. Padahal ada jariah nenek disana.
“Ais, gantiin Aa ngajar anak-anak di mushala, ya?” pinta Aa Fariz suatu ketika
“Ais sibuk Aa, besok ujian nasional. Ais ada acara sama temen Ais. Ais mau bantu bunda bikin kue pesenan. ” Aku sering menolak keinginan Aa Fariz dengan berbagai alasan. Rasa bersalah menggelayuti hatiku. Mestinya aku membantu nenek meraih berkah dari wakafnya. Terlebih lagi setelah beliau meninggal. Terbesit dalam hatiku, masih ada waktu untuk berbakti pada nenek dengan memakmurkan musala wakaf peninggalannya.
“Nek, tenanglah Nenek di alam sana. Aku akan memakmurkan musala Nenek. Hanya itu persembahan Ais. Juga doa-doa Ais semoga bisa menerangi barzah Nenek. Semoga Nenek ditemani oleh teman yang baik, berwajah rupawan. Semoga rumah baru Nenek di alam sana dipenuhi wewangian dan dilapangkan.” Hatiku terus berbicara seakan sosok itu tetap hadir bersamaku.
(Edited by:Khadijah Hanif)