Jumat, 26 Oktober 2018

Seri Kisah Denia-20

Sejak pindah ke Berlin dan tinggal di IKWK, Denia belum pernah bertemu dengan Hasna. Tiap kali ditanyakan pada Bagas, jawabannya sama, bahwa Bagas juga belum ketemu Hasna lagi belakangan ini.
Cerita Denia biasanya selalu menarik dalam email-email yang dikirimkannya padaku. Akan tapi sudah sepuluh hari sejak chating kami di pantai Sylt, dia tidak mengirim kabar. Justru aku yang duluan menghubunginya melaporkan perkembangan usahanya.
“Assalamu’alaikum, Denia, Alhamdulillah pesanan kue kering dan snack Mutiara mengalami kemajuan yang sinifikan. Rata-rata omset harian mencapai 3.752.300. Ekspor sudah merambah ke Korea dan Jepang. Aku menambah 5 pegawai, semuanya menjadi 75 orang. Untuk transfer kebutuhanmu selama sebulan di Jerman, aku akan transfer 10 juta. Kira-kira cukup tidak Denia?” Kukirim pesan wa, symbol square itu tidak juga berubah menjadi ceklis.
Agak cemas aku menunggu balasannya, khawatir Denia tidak merespon. Vedio call yang aku coba juga gagal. Entah sinyalnya yang kurang bagus, atau ada masalah dengan Hp Denia?
Aku coba menanyakan keadaan Denia dengan chat wa Bagas, kata Bagas, Denia bisa dihubungi via chat FB. Belakangan aku agak malas membuka FB. Bawaannya panas kalau membuka berita di sana. Semoga negeri ini selalu diberi keamanan dan kedamaian. Pemimpinnya bisa berbuat adil dan menuntun rakyatnya untuk makin bertakwa.
Aku coba chat via FB, Alhamdulillah berhasil. Dia sedang online.
“Assalamu’alaikum, Denia.”
“Waalaikumsalam, Kak. Maaf seandainya susah menghubungi via Hp. Hp-ku nyelip entah kemana. Aku lupa naruhnya.”
Untuk urusan bisnis aku lebih suka menghubungi Denia daripada Bagas. Biar Bagas konsentrasi dengan studinya. Aku kopi pesan laporan kemajuan usaha yang aku ketik di wa.
“Masyaallah, terimakasih banyak Kak. Usaha kita makin maju di tangan Kak Muti. Insyaallah 10 juta cukup, Kak. Berada di komunitas IKWK, membuat biaya hidup di sini makin ringan. Kak, ada yang pingin Denia tanyakan.”
“Tentang apa Denia?”
“Tentang poligami. Katanya Kak Mutia bercita-cita membentuk keluarha poligami, kan?”
“Kenapa kamu tiba-tiba nanyain poligami? Pasti ada kaitannya dengan persahabatan kalian dengan Hasna, kan?”
Denia kembali bercerita. Mungkin supaya aku bisa menjawab masalah yang sedang dialaminya kini.
***
Hari kelima sejak aku sampai di Jerman, aku ingin bertemu dengan Mbak Hasna. Selain aku rindu dengan kawan akrabku waktu kuliah di Jogja. Mbak Hasna teman satu kos denganku. Kami satu kampus tapi beda fakultas. Aku mengambil Desain Grafis sedangkan dia sastra Jerman.
“Mas, aku pingin banget ketemu Mbak Hasna. Kata Mas Bagas dia butuh bantuan kita?” tanyaku hati-hati.
“Aku rasa nggak perlu Denia. Sejak kedatanganmu, dia belum menemuiku lagi.”
“Mas, kasihan dia. Kata Mas, ada penyakit tumor di rahimnya. Barangkali dia butuh bantuan, atau sakit?”
Mas Bagas terdiam, dia malah memelukku hangat.
“Kalau dia datang, kita sambut dengan baik. Kalau tidak semoga dia sudah menemukan solusinya.”
Aku menanyakan keaktifan Mbak Hasna di IKWK. Kata Mas Bagas, Mbak Hasna aktif di mushala terdekat dengan kampusnya Humboldt. Sebenernya Humboldt dekat dengan kampus Teknik Berlin dua belas menit naik kendaraan pribadi. Kalau naik bis bisa duakali lebih lama sekitar dua puluh delapan menit . Jaraknya pun kurang dari enam kilometer. Satu kilo meter lebih jauh dari jarak Humboldt ke IKWK. Mbak Hasna hanya sesekali ke IKWK, kalau ada pengajian yang di hadiri ustaz favorit dari Indonesia.
Aku ingat Mas Bagas pernah memberikan nomor Mbak Hasna lewat Email. Karena kesibukan persiapan berangkat ke Jerman, aku lupa memasukkannya dalam kontak HP. Aku buka-buka kembali email Mas Bagas yang aku terima saat di Indonesia. Nomor itu aku cara di salah satu email, nomor itu 0049203462894813.
Kesimpan dan aku cek ternyata tersambung chat wa. Aku pikir tidak ada salahnya aku mengirim pesan duluan. Bukankah menyambungkan tali silaturahim itu besar pahalanya? Lagi pula Mas Bagas menyuruhku menghubunginya. Jadi aku pikir nggak ada salahnya aku menghubunginya tanpa izin terlebih dahulu sama Mas Bagas.
“Assalamualaikum, benarkah ini no wa Mbak Hasna?”
Aku tunggu, tanda square berubah menjadi ceklis dan double ceklis. Alhamdulillah dia online.
“Masyaallah, Denia. Kamu teman sekampusku dan pernah sekamar waktu mondok di Al hidayah?”
“Mbak Hasna masih inget aku?”
“Tentu saja. Walaupun kita cuma setahun kita bersama di Alhidayah, kau teman terbaikku di Jogja. Maaf setelah aku lulus dan melanjutkan di Jerman ini lost contact sama kamu.”
“Aku kangen sama Mbak Hasna. Boleh video call-an, Mbak?” Aku minta izin mana tahu dia keberatan.
Aku memanggil Mbak Hasna dengan video call, wajah yang muncul di layar androidku benar Mbak Hasna. Wajahnya lembut khas wanita jawa, kulitnya kuning langsat. Terbalut kerudung pasmina warna pink peach, anggun. Namun duka di wajahnya tak bisa dia sembunyikan. Senyumnya tampak sedikit terpaksa. Dia sedang ada di kamar sendirian, seperti sebuah apartemen. Aku kenal baik dengan Mbak Hasna, dia dari keluarga kaya, masih ada kekerabatan dengan kantor Surakarta. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan asing.
“Denia, kita bisa ketemuan, nggak?”
“Kapan, Mbak?”
“Secepatnya.” Mbak Hasna ingin segera ketemu, semoga aku bisa membantu menyapu mendung di wajahnya.
Aku minta izin ke Mas Bagas buat ketemu Mbak Hasna. Mas Bagas sempat curiga kalau aku yang menghubungi Mbak Hasna duluan. Pasalnya Mas Bagas merasa tidak pernah membagi nomor wa-ku ke Mbak Hasna.
“Maafin aku, Mas. Bukankah Mas Bagas mengamanahi aku buat menghubungi Mbak Hasna. Justru aku mau minta maaf lambat merespon permintaan Mas Bagas.”
Mas Bagas menarik kembali niatnya bermuka masam. “Ya, sudah kalau niatnya menyambung silaturahmi insyaallah besar pahalanya. Tapi kamu harus siap mendengar keluhannya.”
“Siap, Mas. Sepanjang perjalanan hidupku aku sudah biasa susah bahkan hidup di jalanan. Semoga silaturahim dengan Mbak Hasna bisa menambah kemanfaatan kita pada sesama. Khairunnas yanfaahum linnaas.”
Dalil yang aku pakai buat meredam kemarahan Mas Bagas, berbuah cubitan manja di daguku dan kecupan sayang di kening. Alhamdulillah Mas Bagas tidak marah.
Mbak Hasna menghubungi aku lagi hari Sabtu, sehari sebelum pertemuan kami di kafe Al Reda. Tempat favorit Mbak Hasna kalau mau mengundang dinner Mas Bagas. Sungguh mengherankan, kenapa Mbak Hasna yang begitu bergelimang harta dan kemewahan mendekati Mas Bagas, mahasiswa S2 yang tidak ada apa-apanya kalau dibanding Mbak Hasna. Belum lagi Mas Bagas sudah berkeluarga. Kadang cinta memang aneh menghampiri siapa saja dan tertuju pada siapa saja.
Mbak Hasna menjemputku di tempat kos IKWK dengan mobilnya, Porsche biru metalik. Aku mengajak Albiruni sementara Mas Bagas ada meeting dengan organisasi kampusnya.
Mobil mewah Mbak Hasna begitu nyaman dan empuk. Sebuah gaya hidup high class jauh dari kebiasaan yang dibekalkan ustazah di Al Hidayah.
Aku dan Biru menaiki mobil mewah itu hati-hati, dan menutupnya kembali.
Kami berjalan menyusuri rute tercepat melalui Turmstraße dan Perleberger Str. Yang aku baca melalui Google Maps di Androidku. Aku ingin tahu banyak tentang jerman dan ingin cepat memahami rute-rute jalannya.
“Kamu pernah ke El Reda, Denia?”
“Belum, Mbak. Ini restoran terdekat yang menyajikan makanan halal. Pemiliknya orang Lebanon.”
“Kata Mas Bagas, di Berlin relatif mudah mencari makanan halal. Karena ada lebih empat ratus ribu muslim di kota ini. Berkah kerjasama Jerman dan Turki yang terjalin sejak lama.”
“Benar, tapi bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan demografi muslim, penolakan mereka juga makin kuat. Apalagi di Jerman ini muslim kurang diakomodasi dalam politik. Tidak seperti di Inggris. Perkembangannya lebih positif karena ada yang bisa tembus menjadi walikota. Walaupun tentu saja masih harus banyak teloransi terhadap masalah sensitif di barat dan harus mengalahkan idealisme sebagai muslim.”
“Misalnya apa, Mbak?”
“Sikap terhadap undang-undang pekawinan sejenis misalnya. Tidak bisa frontal.”
“Berat juga, ya…..”
“Tapi dalam Islam Allah memberikan hiburan, laayukalifullahu nafsan illa wusaha.
“Iya, Mbak, jadi ingat kuliah Ustazah Naira di Al Hidayah. Bahwa manusia tidak dibebani kewajiban melebihi kemampuannya. Juga mahfuzat yang masih aku ingat, maa layudraka kulluhu walaa yudraka kulluhu.”
“Wah, materi itu pasti bukan dari Al Hidayah. Aku nggak tahu soalnya.”
“Itu kaidah Ushul Fikih, Mbak. Aku dapat dari Darul Akhirah masa SMA dulu. Maksudnya kalau kita tidak bisa melakukan semuanya, jangan pula ditinggalkan semuanya. Jadi sebisa mungkin semampu kita”
“Aku jadi merasa beruntung pernah jadi santri. Dalam kondisi apapun kita bisa bicara dengan dasar ilmu.”
“Bukan pernah jadi santri Mbak, tapi dimanapun, sampai kapanpun, jiwa kita tetap jiwa santri.” Kami akhiri diskusi ringan ini dengan tawa renyah indah kenangan masa lalu.
Al Reda ini ternyata ada di jalan Huttenstraße 69. Rute yang kami lalui, 100 m ke timur Huttenstraße menuju Beusselstraße, terus ke  1,1 km Belok kiri ke Lübecker Str. Belok kanan di perempatan ke-1 ke Perleberger Str. El Reda ada di sebelah kanan. Semua terbaca di GPS. Benar-benar teknologi yang memudahkan.
Turun dari mobil aku tuntun Biru yang sedang lincah-lincahnya berjalan. Dia tidak pernah mau digendong lagi. Sesekali Biru memerhatikan sekitarnya dan memilih langkah kakinya sendiri. Mbak Hasna tertawa melihat kelucuan Biru.
“Ummi, mau naik mobil itu.” Biru menunjuk mobil hitam Volkswagen Polo warna hitam bertulis Snappcar.
“Lho itu mobil orang, nggak boleh.” Aku belum tahu kalau di Jerman ada mobil sewa elektrik. Semua terdeteksi dengan system digital internet, termasuk cara daftar, pembayaran dan deteksi pemakaian. Masyaallah, kalau di Indonesia baru grab, di sini aplikasi jejaring rental lepas sopir pun sudah terorganisir dengan baik. Mbak Hasna menjelaskan panjang lebar kemudian tentang car sharing ini.
“Nggak kok, itu mereka naiknya bergantian.” Biru memperhatikan rombongan keluarga dengan bebas berganti mobil.
“Biru, lain kali Bude ajak naik turun mobil seperti itu. Banyak di sini. Tapi kalau kita nggak bawa mobil, ya?” Mbak Hasna membujuk Biru dan menggendongnya. Ternyata Biru tidak menolak. Sikap Mbak Hasna yang selalu baik dan menyukai anak kecil. Mungkin kerinduannya berkeluarga dan memiliki momongan menjadi penyebabnya. “Biru bakal jadi anak pinter, Denia. Dia kritis dengan keadaan sekitarnya. Berapa umurnya, Denia?”
“Dua tahun setengah, Mbak?” jawabku
“Wah, sebentar lagi Biru bakal punya adik, Biru harus sayang adik, ya?”
Kami memasuki pelataran El Reda.
“Restoran ini berkembang pesat dengan makanan khas Persia dan Libanon. Insyaallah aman dan halal. Dulu hanya satu lokasi di Huttenstraße 69, sekarang sudah meluas ke no. 70.”
Bagian depan restoran, tersedia tempat duduk di luar. Mbak Hasna memilih di luar supaya Biru leluasa bergerak. Kalau di dalam bisa-bisa mengganggu pelanggan lain. Belum juga kami pesan, makanan sudah segera dihidangkan.
“Cepat sekali penyajiannya, Mbak?” Aku keheranan.
“Aku sudah calling ke 490303911119 untuk memesan semua. Kasihan Biru kalau kita menunggu lama. Anak seusia dia biasanya nggak akan betah duduk.”
“Sepertinya Mbak sudah sangat sering kemari, ya?”
Mbak Hasna tersenyum. Tiba-tiba air matanya mengalir tak tertahan. Aku segera mengambilkan tissue. ” Kenapa Mbak, ada yang salah sari pertanyaanku?”
“Aku mau minta maaf sama kamu, entah apa yang harus kulakukan untuk beban yang berat ini, kecuali bicara dan bercerita.”
“Mbak, kita bersaudara dalam iman. Ikatan yang lebih kuat dari apapun. Berceritalah. Tangan Denia akan selalu terbuka buat Mbak Hasna.  Di negeri asing ini kita harus saling bantu dan menguatkan. Hold my band, Mbak. Jangan biarkan beban itu Mbak bawa sendiri. Kita akan hadapi bersama. Asal Mbak percaya sama Denia. Semua akan berlalu. Fa inna ma’al 'usri yusra. Inna ma’al 'usri yusra. Itu janji Allah.”
“Denia, kamu nggak pernah berubah sejak kita bersahabat di Al Hidayah. Bahkan makin salehah.” Mbak Hasna menghapus air matanya dengan tissue lembut yang selalu kubawa.
“Pujian hanya milik Allah, Mbak, Dzat yang mengizinkan segala peristiwa terjadi.”
***
Denia menghentikan ceritanya, Bagas memanggil. Denia yang salehah tidak pernah menolak apapun perintah suaminya. Adikku yang membanggakan.
Sebaliknya, aku menunggu, penasaran. Di depan laptop. Bekerja untuk perusahaan Denia, menulis dan berselancar di dunia maya.  Entah kapan Denia akan sempat bercerita lagi.

Glosarium:
1. Fainna ma'al 'usri yusra, inna ma'al 'usri yusra=maka bersama kesulitan pasti ada kemudahan.  Bersama kesulitan ada kemudahan
2. On line=tersambung jaringan internet
3. Video Call=memanggilan telepon disertai rekaman video dalam aplikasi wa
4. Chat wa=fitur aplikasi whatsapp untuk obrolan
5. Calling=memanggil
6. Meeting=pertemuan
7. Huttenstraße,  Beusselstraße,  Lübecker Str. Perleberger Str. = Nama Jalan di Berlin dari IKWK-El Reda
8. Volkswagen, Porsche=Merek mobil Jerman
9. Snappcar=nama mobil sharing
10. Sharing car=mobil sewa melalui aplikasi di Jerman
11. Maa layudro kulluhu walaayudraakulluhu=Kaidah ushul fikih, barang siapa yang tidak bisa melakukan semuannya jangan meninggalkan semua
12. Ushul Fikih=Ilmu yang mempelajari kaidah penentuan hukum dalam Islam
13. Khairunnas yanfaahum linnas=Sebaik-baik manuia yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.

Kamis, 25 Oktober 2018

Seri Kisah Denia-18


Kisah Ke-18
SELAMAT JALAN BANG GOFAT II
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#PengenBeken_ProjectPop

            Kubiarkan denia tergugu, mengenang seseorang yang pertama kali bertengger di hatinya.  Cinta yang tumbuh karena budi dan kebaikan sikap.  Rasanya perasaan Denia perlahan menyusup dalam relung kalbuku.
            Perlahan Denia mampu mengendalikan emosi yang sempat melimbungkan raganya.  Terlunglai di pangkuanku, aku usap kepalanya yang selalu terbalut hijab. Dia mengusap air matanya, seolah mengumpulkan tenaga buat bercerita kembali.
            “Bang Gofat, dipanggil Tuhan dua bulan setelah hijrah dari sikap buruknya.  Semoga taubat Bang Gofar diterima, ya, Kak Mutia.”
            “Insyaallah, Denia. Allah sayang sama Bang Gofat makanya Dia memanggilnya di saat-saat terbaik.  Dia tak ingin Bang Gofat pulang dalam keadaan kotor dan berlumur dosa kembali.  Karena kita tidak tahu kapan hidayah datang dan kapan dia pergi karena kelalaia atau godaan sekitar kita.”
            “Yang paling memilukan kami, Bang Gofat meninggal dengan cara tragis, jasadnya dilempar pembunuhnya, di depan kami saat kami berlatih band entah untuk yang keberapa kali.”
***
            Belakangan sejak kami punya Debiduband, ada saja teror yang menghampiri kami.  Lewat bbm Kifli, Nindi dan Biandra.  Dari kami berenam hanya mereka yang punya bbm.  Memang mereka gabung dengan kami bukan karena terpaksa alias miskin tapi lebih karena keluarganya broken.  Mereka mencari komunitas yang dianggap bisa melampiaskan rasa ketidak pedulian keluarga.
            “Wah, gawat ada yang nggak suka kita punya grup band.  Dia nge-bb gue dengan nama Dimon.”  Biandra menunjukkan bbmnya pada kami.
            “Coba bacain Biandra, apa isi lengkapnya.”
            “Gue, Dimon.  Gue lebih berhak buat punya grup band daripada elo.  Gue adik Bank Dekky.  Asal lo pada tahu, gue punya impian buat beken.  Abang gue beken jadi artis dan punya grup band.  Kakak perempuan gue juga bintang iklan ternama.  Tinggal gue yang dianggap sampah.   Kalau alat-alat music dari abang gue nggak kalian balikin, jangan salahkan kalau ada peristiwa.”  Biandra mencoba mengeja keras tulisan tipo itu supaya kami semua bisa paham.
            “Gue juga dapat nih, Bian.  Gile pengirimnya sama, Dimon.  Siapa dia, ya?”
            “Lo Nindi, ya?  Asal kamu tahu gue pingin beken sampe sekarang nggak kesampean, gue sampe pergi ke dukun buat obsesi gue.  Gue malah diledekin sama itu dukun.  Emang gue ngerasa muka gue pucet, gigi gue jarang-jarang dan kuku tangan kue hitem gara-gara bekas kemo waktu masih kecil, kebanyakan obat.  Penyakitan. Gue dari keluarga kaya.  Bisa bayar preman buat ngabisin kalian. Jadi buat nyingkirin Debiduband menurut gue kelewat mudah.  Berhati-hatilah kalian.  Band kalian bakal gue bikin layu sebelum berkembang.”  Gantian Nindi mengeja ancaman kedua
            “Kayaknya yang ngaku Dimon tuh nggak main-main, ya? “  kak Arul terlihat mulai cemas. 
            “Kalau bisa di simpulkan, dia ngaku adik Bang Dekky.  Dia pingin bisa beken, tapi nggak kesampaian.  Dia ngiri Bang Dekky ngasih kita alat musik buat bikin grup band, padahal dia pingin juga dan ngerasa lebih berhak.  Sepertinya dia akan melakukan apa saja asal bisa beken.  Bahkan pergi ke dukun pun dia lakuin.”  Aku menyimpulkan dua BBM berisi ancaman itu.
            “Lo ini Denia, bicaranya sudah macam komentator atau analis di tivi aja.”  Biangka nyinyir.
            “Gue pikir, bener kata Denia, kita harus menanyakan ini pada Bang Dekky.”  Bondan yang tertua diantara kami sering mengarahkan kami kalau Bang Gofat sedang tidak ada.
            “Biandra, coba kamu telpon Bang Dekky.”  Kak Arul memberi usulan.  Suasana menjadi mencekam apa kiranya yang akan kami alami. 
            “Kamu juga Nindi, telpon Bang Gofat.  Di mana dia sekarang.  Aku agak cemas dengan keadaannya.”  Bondan ikut memutar otak, mencari solusi.
            “Rasanya kita harus menyebar.  Memeriksa keadaan di sekitar bekas mall ini. Kita berpencar dua-dua supaya kalau ada apa-apa bisa saling bantu.  Terus buat memudahkan komunikasi, harus ada HP di masing-masing kelompok.  Gue sama Denia pinjam HP Kifli, Arul sama Biandra dan Kifli sama Nindi.”  Bondan berpikir cepat.
            “Lo nih, Bondan, dalam keadaan tegang begini masih juga ngembat Denia.”  Biandra protes.
            “Lo juga, keadaan runyem masih juga nyemburuin Denia.  Kapan sih, kalian akurnya?  Adil, kan, Denia paling muda dan gue paling tua.  Sudah kita mulai tugas kita.”
            Ada ketidak nyamanan, khawatir memikirkan keselamatan Bang Gofat.  Detak jantungku makin kencang membayangkan hal yang tidak baik akan menimpa kami. 
            “Mas Bondan, kunci dulu ruang band kita.  Siapa tahu Dimon ingin mencuri alat-alat kita.”  Aku mengingatkan Mas Bondan.
            “Oh, Iya, betul juga Denia.”  Kami batal latihan minggu ini.  Disamping Bang Gofat dan Bang Dekky belum datang, kami juga ingin memastikan keadaan baik-baik saja.  Terutama keadaan Bang Gofat.
            “Apa tidak sebaiknya kita telpon Bang Gofat dan Bang Dekky.  Sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan. 
            “Gue akan menghubungi mereka sambil jalan. Lo yang ngawasin sekitar, ya, Denia!”
            Kami menyusuri lantai dua, sementara Kak Arul dan Biandra memeriksa lantai tiga.  Kifli dan Nindi di lantai satu.  Ruang latihan kami ada di lantai dua ini.
            Aku memeriksa dengan waspada tiap sudut bekas petak pertokoan yang sudah mulai mengelupas dinding-dindingnya.  Tidak ada yang mencurigakan kecuali besar  tulisan di dinding “Debiduband Fuck” dengan cat merah tak beraturan.
            “Mas Bondan lihat tulisan itu.  Mereka ada di sekitar sini dan tahu tempat berlatih kita.”
            “Gawat, berarti kita dalam bahaya. Nada dering tersambung ke Bang Gofat tapi tak diangkatnya juga.  Aku akan coba ke Bang Dekky.”
            Detak jantungku makin kencang saat terlihat ada sosok berkelebat dari koridor mall ujung utara sana. 
            “Mas, ada yang berlari di sana.”  Mas Bondan mengeluarkan belatinya.  Aku sendiri selalu membawa ketepel dan beberapa kerikil untuk bela diri.  Jalanan terlampau menindas kita tanpa alat-alat itu.
            “Bang tolong ke tempat latihan kita Bang, sekarang juga.  Kami dalam bahaya.  Ada teror dan ancaman buat Debiduband.”
            Alhamdulillah, Bang Dekky bersedia datang, beliau akan mengajak dua orang temannya yang bertugas di kepolisian.
            Aku minta izin mengarahkan ketepelku pada sosok yang bersembunyi di balik teralis toko.  Aku mengendap-endap supaya tidak ketahuan.  Dan, sasaranku kena, tepat di pelipis.  Sosok iti bengerang kesakitan, darah yang mengujur berusaha ditutup dengan tangannya. 
“Kurang ngajar ternyata kalian nggak bisa dianggap enteng, ya?”  Aku segera lari menuju Mas Bondan.  Kami lebih menguasai medan.  Dari informasi yang coba saling kami tukar ada lima orang yang menyatroni tempat latihan kami.  Mereka di lantai dua dan tiga.   Kami ingin memancing mereka supaya semua turun ke lantai bawah dan mengepung semua pintu masuk kea rah gedung bekas mall itu.  Sebentar lagi Bang Dekky akan sampai ke lokasi.
Kami berkumpul di lantai bawah dan tiba-tiba……
“Awas ada yang melempar ke bawah.”  Mas Bondan memberi isyarat supaya kami jangan berada di tempat terbuka, senjata seperti bintang enam di lempar ke arah kami.  Hampir saja Biandra kena.
Baru saja kami berlindung, sesosok tubuh dilempar dari lantai tiga.
“Bang Gofat!” Aku berteriak mau menghambur ke tubuh tak berdaya itu, tapi Mas Bondan mencegah.  Bahaya Denia.  Jangan ada yang mendekati Bang Gofat.  Kalian akan jadi sasaran senjata bintang itu.
Dari jarak empat meter sosok itu menghembuskan napas terakhir
“La illaha….. illallah……. Muham……mad rasul……ullah.”  Kalimat tauhid terucap dengan berat, menahan rasa sakit yang begitu dalam.  Yang cewek semua menangis, tapi ada yang lebih penting.  Mencegah kawanan itu lari dan terusmengganggu kami.  Dengan segala perasaan tercabik kami menjaga tiga pintu masuk ke gedung itu.
Bersamaan dengan itu seorang polisi menembakkan peluru ke udara bersama asap yang keluar dari moncong pistolnya.  Suasana mencekam begitu kental. 
Aku mencoba menggunakan ketepelku ke arah lantai tiga, seseorang berkaos hitam dan berpenutup muka terkena bidikanku.   Dendam membara atas meninggalnya Bang Gofat.  Seseorang yang paling menyayangi aku lebih dari siapapun saat itu.
 Begitu tahu ada tembakan, mereka mengangkat tangannya dan turun satu-satu. Begitu keadaan terkendali, kami semua berkumpul di tempat Bang Gofat menghembuskan napas terakhir.
Polisi memborgol tangan mereka dan membuka penutup wajah itu satu-satu.
Kami menghambur ke jenasah Bang Gofat.  Seseorang yang kami kenal jahat pada awal pertemuan kami.  Hijrah menjadi sosok penyayang.  Dalam waktu kurang dari tiga bulan, harus kembali dengan kondisi yang menyedihkan.  Tusukan di bagian dada itu masih meneteskan darah segar. Memerahkan baju takwa putih yang dipakainya.
Wajahnya tidak tergores luka, bahkan bercahaya dan tersenyum.  Aku belum pernah melihat raut wajah sebersih itu dan senyuman sebahagia itu sebelumnya selain senyum jenazah ibu.  Semoga dua orang yang sangat aku sayangi itu syahid.
***
Air mata Denia kembali berlinang.  Aku menghapusnya dengan tissue.
“Lalu yang memakai topeng itu siapa, Denia?”tanyaku penasaran
“Seseorang yang mengaku Dimon itu ternyata adik Bang Dekky.  Mahasiswa tingkat dua yang terobsesi ingin terkenal dengan segala cara apapun.  Berdukun, hingga memosisikan dirinya sebagai aktor laga dalam dunia nyata.  Bang Gofat yang belum lama menyita kekagumanku. Menjadi  korban obsesinya.”
“Dan korban sesungguhnya justru dirinya sendiri dan teman bayarannya itu.”
Akhirnya Dimon memang beken tapi hanya sesaat dengan menghiasi berita kriminal yang akan mengabadikan keburukannya.  Kerugian abadi, dia telah menghilangkan nyawa tak berdosa.  Bila tidak bertobat, siksa Allah yang pedih di hari pembalasan.

Seri Kisah Denia-19


Kisah Ke-19
KEHORMATAN NEGERIKU (II)
#TantanganMenulisDariLagu
#SahabatKabolMenulis
#SeriKisahDenia
#Usah Kau Lara Sendiri_Katon ft Ruth Sahanaya

Ehren Derry merasa mendapat pelajaran berharga dari para pegiat IKWK.  Ada tatap mata harapan dalam dirinya untuk ikut merasakan kehangatan, keluhuran budaya dan kebijaksanaan Indonesia yang Islami.  Ia berjanji akan datang lagi, berdialog dan diskusi.

Alhamdulillah, Derry mengunjungi IKWK lagi. Kali ini dia tidak sendiri tapi bersama kekasihnya Helma Merlisa Aldana.  Wanita tinggi semampai, kulit putih kemerahan, rambut pirang keemasan.  Pakaiannya tidak seterbuka gadis jerman.  Mungkin Derry mengingatkannya untuk berpakaian cukup sopan saat mengunjungi IKWK.
Warum haben laden Sie mich hier, meine Liebe? Sieht so aus, als wären wir in einer Höhle von Terroristen. Sehen Sie sich an, wie Sie sich anziehen. Sie sicherlich Muslime.Helma membicarakan komunitas muslim Indonesia sebagai teroris. Pegiat IKWK sudah biasa dengan anggapan seperti itu.  Justru kalau ada yang menganggap mereka teroris, mereka akan makin bersemangat buat menyadarkan bahwa anggapan itu salah.
Bitte trinken Sie dawet Eis und gebratenes Essen.  Denia membawakan makanan dan minuman khas Indonesia.   Es dawet ayu khas Banyumas dan gorengan  bala-bala yang dicampur dengan daging cincang itu merebut perhatian Dekky dan Helma.
Sebelum menghidangkannya bahkan sejak memasaknya, Denia terus memohon, Ya, Allah, jadikan apa yang kami hidangkan ini jalan hidayahMu bagi sesama.  Rabb, Engkau yang mewajibkan kami menjadi cahaya hidayah bagi sesame.  Mohon ampunan atas kelemahan daya upaya kami.  Hanya sebatas ini yang kami mampu.  Rabb terimalah usaha ikhtiar kami.  Hanya padamu kami serahkan segala hasil, karena kami tidak pernah berkuasa kecuali saat kami memilih jalan ikhtiar.
Mereka memperlakukan kita dengan baik ya Derry,  mereka orang Indonesia yang terkenal sangat ramah itukah?
Betul, sayang.  Itulah mengapa aku bawa kamu ke sini.
Mereka menikmati dawet ayu dengan tak henti-hentinya memuji minuman yang belum pernah melewati kerongkongan mereka sejak mereka lahir.  Ditambah lagi siang itu cuaca lebih panas disbanding musim panas sebelumnya.  Juga gorengan bala-bala khas Jawa Barat yang adonannya dibiarkan dalam kulkas satu malam.  Empuk dan tidak berminyak.  Mereka bilang rasanya seperti pizza tapi beda.  Akhirnya mereka menamainya pizza Indonesia.
Denia menemani mereka berbincang-bincang.  Pegiat IKWK sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan sebagian sedang keluar.
Masih banyak menu makanan khas Indonesia dari tiap daerah.  Kami memiliki 13.466 pulau yang diakui PBB sebelum sebagian pulau kecil hilang kami mencatat jumlah pulaunya mencapai 17.000 dan Timor Leste belum memisahkan diri dari kami.  Jumlah suku mencapai 714, masing-masing dengan budaya dan bahasa khasnya. Bahkan kami memiliki 6 agama besar yang saling hidup rukun dan damai.  Belum lagi mereka yang memilih aliran kepercayaan yang lahir dari budaya kami yang berbedaDenia menjelaskan Indonesia dengan bangga meskipun dengan bahasa Jerman yang masih terkesan sangat lambat.  Lumayan hasil kursus bahasa Jerman dengan Ukhti Gita tidak sia-sia selama tiga minggu Denia di Jerman.  Semangat dan kecerdasannya cukup membantu.
Wow, Amazing, dan kalian bisa bersatu dalam keberagaman itu.  Pasti ada yang hal ajaib yang kalian punya.Derry dan Helma hampir bersamaan mengungkap
Tentu saja, kami punya falsafah Pancasila dan dasar KeTuhanan Yang Maha Esa dalam menata keragaman ini.  Untuk bahasa, kami disatukan dengan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi.  Juga semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai semangat pemersatunya.
Ada enam agama besar di Negara kamu.  Apa saja itu?Helma makin antusias
Islam hampir 90%,  10% selebihnya Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu dan berbagai aliran kepercayaan.
Tadi ada kata-kata Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.  Emm......bahasa apa itu?  Aku ingin tahu dalam bahasa Jerman.Pertanyaan Derry makin menantang pengetahuan Denia.
Denia memohon pada Allah dalam hati, semoga penjelasannya tidak salah.  Berbekal ceramah tentang Pancasila yang didengarnya dari ustaz-ustaz berwawasan kebangsaan di youtube.Pancasila itu, falsafah kehidupan bangsa Indonesia, digali dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.  Perumusnya adalah para ulama dan nasionalis.  Karena mayoritas penduduk kami muslim dan orang-orang yang beragama, maka nilai-nilai itu terwarnai oleh keyakinan kami sebagai bangsa.  Jadi Pancasila sangat bersesuaian dengan agama yang kami anut, yaitu Islam.  Sedang Bhineka Tunggal Ika itu semboyan yang menjadi semangat pemersatu, bahwa meskipun beragam namun kami harus tetap bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Derry dan Helma mengangguk-angguk tanda mengerti. Tadi kamu menyebut Islam menjadi penyumbang terbesar dalam falsafah Pancasila, tapi yang kita tahu hingga hari ini, Islam begitu menakutkan buat kami.  Islamfobia merebak dimana-mana.  WTC hancur, pemboman merata-rata, Timur Tengah porak-poranda, maksudku sebagian.  Isis menampakkan wajah Islam yang sangat kejam.  Rasanya seperti dua hal yang sangat membingungkan dan sangat bertentangan satu sama lain.  Islam yang kami dengar, yang kami lihat adalah agama kejam , tanpa kemanusiaan, tanpa teloransi dan penuh terror.
Pertanyaan yang menohok ini harus dijawab dengan cerdas dan panjang.  Denia merasa harus mengeluarkan argument dengan analisis dan data.
Nampaknya diskusi kita makin serius.  Oya. Tadi aku ingin menawarkan dua makanan khas Indonesia.  Kalian bisa memilih dua macam untuk makan siang dan dua untuk hidangan penutupnya.  Maksud nya supaya kafe bisa menyediakan dengan waktu yang cukup.  Denia menyodorkan buku menu masakan Nusantara, dari Sabang sampai Meuroke.  Yang ditawari justru bingung membolak-balik buku menu yang menut mereka terlalu banyak, membingungkan dan bikin penasaran.  Pilihan mereka jatuh pada soto Lamongan untuk makan siang dan sop buah sebagai penutupnya sementara Helma ingin mencoba es doger.  Bersyukur bahan-bahan itu sudah kafe siapkan.  Menu yang disodorkan memang disesuaikan dengan bahan yang ada.
Sambil menunggu hidangan siap, mereka bertiga melanjutkan diskusi. Saat ini memang Islam dalam posisi terpojok.  Bermula dari kepentingan kekuasaan dan kebutuhan mendesak menghadapi krisis bahan bakar dan energy, timur tengah menjadi incaran utama.  Tentu kalian tahu negara-negara produsen minyak bumi. Timur tengah.  Maka dibuat segala macam cara dan rekayasa yang memungkinkan invasi ke sana.  Rekayasa dan konspirasi sangat jelas dalam banyak temuan di WTC.  WTC lebih mirip gedung yang diruntuhkan dengan bom nuklir dari pada runtuh oleh ledakan pesawat.  Saya melihat video terbaru, nggak ada bayangan pesawat di kaca gedung dan ledakan pesawat penumpang apa yang bisa menembus beton super tegar seperti WTC?
Saya juga sering browsing youtube.  Meledaknya WTC adalah lawakan terhebat abad canggih ini.Derry setuju dengan analisa Denia.
Lalu apa kaitannya dengan ISIS, mengapa ISIS begitu kejam dan kalian tidak bisa menyangkal bahwa ISIS adalah bagian dari Islam.  Helma memaklumi konspirasi WTC tapi tetap heran dengan munculnya ISIS.
Peristiwa WTC, melegalisasi serangan Amerika terhadap Taliban dan Alqaida.  Dalam pandangan Amerika Serikat, Taliban dan Alqaida adalah saudara yang saling mendukung dan membesarkan.  Dengan alasan Alqaida sebagai pelaku pemboman WTC, Amerika ingin membubarkan pemerintahan sah Taliban yang dipandang sebagai pelindung Alqaida bahkan mungkin bisa memunculkan Alqaida sebagai organisasi besar dan makin berbahaya.  Kalau menurutku, Amerika memandang bahaya Negara yang menggunakan system Islam bila mereka membesar akan merugikan berbagai kepentingan Amerika dan barat.  Di samping itu juga memang ada kelompok Islam yang menunjukkan anti terhadap barat.
Nah, itu dia.  Kenapa kalian anti dengan kami?
Sebenarnya mereka tidak anti terhadap barat tapi lebih pada menangkis nilai-nilai yang kami anggap tidak sesuai.  Islam penuh dengan aturan sedangkan dunia barat penuh dengan kebebasan penuh individu.  Coba kalian bayangkan bagaimana dua hal yang saling berbeda ini bisa menyatu?  Bukti mereka tidak benar-benar anti barat, bukankan kita masih bekerja sama, mengonsumsi teknologi yang kalian miliki?
Jadi pertentangan timur barat tetap akan abadi?
Pertentangan nilai tentu ada dalam hati kami.  Jangankan timur barat, kita sebagai individu, satu sama lain punya nilai-nilai dan prinsip yang kita meredeka untuk menentukan pilihan.  Itu adalah hokum alam yang tidak bisa dihindari.  Yang penting bagaimana kita bisa saling mengendalikan diri untuk tidak menjadi pemaksa nilai dan prinsip kita masing-masing tapi lebih pada penghormatan.  Misalnya Helma tidak minum alcohol tapi Derry minum.  Apakah harus berakhir dengan konflik fisik?  Saling caci dan hina?
Tentu tidak.
Itulah yang kami lakukan di IKWK ini, saling mengenalakan nilai dan budaya tanpa harus menyakiti.  Semua akan berjalan dengan baik.  Tanpa kepentingan apapun kecuali kasih sayang pada sesame, untuk saling menyelamatkan dan membahagiakan.
Kembali pada kekerasan yang dilakukan ummat Islam, atau lebih tepatnya dituduhkan pada muslim.  Apakah sepenuhnya rekayasa atau ada juga yang benar dari muslim.
Menurutku ada yang rekayasa seperti WTC ada juga yang dilakukan umat Islam.  Tapi tidak ada asap bila tak ada api.  Munculnya ISIS misalnya diakui oleh Partai Demokrat di Amerika sebagai sesuatu yang dilahirkan, dipersenjatai, didanai.  Maksudnya untuk membantu Amerika mendapatkan lading minyak.  Tapi manusia tidak selalu memiliki kepala yang sama dan isi kepala pun sangat sulit dideteksi.  ISIS akhirnya tidak sepenuhnya memenuhi komitmennya berbagi lahan minyak.  Yang merugikan ummat Islam dan agama ini justru doktrin yang tadinya bertujuan mendukung kepentingan Amerika itu menjadi kanker dalam tubuh umat dan agama Islam.  Sesuatu yang sangat menyedihkan.
Du denkst also, ISIS ist Krebs im Körper der Muslime?
Rasulullah Muhammad pernah bersabda bahwa diakhir zaman akan muncul tiga tentara dari Irak, Yaman dan Syam.  Seburuk buruk pasukan dari Irak, sebaik-baiknya dari Syam (Palestiana dan Suriah).  Bukankah ISIS berasal dari Irak.  Kabar itu telah disampaikan 1400 tahun yang lalu bahkan lebih.
Dann, welches Vertrauen benutzen sie.  Bukankan mereka juga menggunakan Alquran sebagai dasar sikap dan perilaku mereka?
Mereka mengambil sebagian dalil dan dalil itu tidak dikaitkan dengan konteks munculnya ayat.  Misalnya dalil saat perang, memerintahkan pembunuhan orang kafir dimanapun mereka berada, tidak bisa dipakai dalam suasana damai.  Tapi mereka mengambil sembarang tanpa ilmu.  Juga anggapan bahwa yang tak sependapat dan sepandangan dengan mereka halal darah meskipun muslim.  Ist es nicht eine Art von Krebs, der sich überall schädigt und ausbreitet?
Besar juga ujian buat umat dan agama Islam ini, ya?  Tergerogoti oleh mereka yang mengaku muslim.  Kalau begitu tidak semua muslim kejam, kasar dan melegalkan aksi terror?Pertanyaan retoris yang Derry tak perlu Denia  jawab.  Itu bagian dari kesimpulan tepat  hasil Dialog mereka bertiga.
Kesimpulan yang sangat tepat.  Mereka yang mengebom itu, sudah kebingungan menggunakan akal dan hatinya dalam berdakwah.  Mengajak pada Islam dengan cara yang salah.  Memerangi kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya.  Kehilangan rasionalitas dan akhirnya merugikan ummat dan agamanya.  Sementara tindakannya bertentangan dengan kesempurnaan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam.
Wenn wir wissen wollen, zu welchen islamischen Werten die Repräsentanten gehen müssen?tanya Helma
Kalian bisa berkunjung ke komunitas muslim di Indonesia.  Atau dimanapun tempat tapi mereka berada dalam komunitas yang didasari ilmu, belajar islam dengan sungguh-sungguh dan menyeluruh.  Bukan hanya sebagian dan menerapkan dengan cara yang salah.
Menurutku bukan hanya muslim, siapapun kalau belajar dengan cara yang salah akan melahirkan kekacauan dan terror dimana-mana. Helma cerdas menyimpulkan.  Tampaknya mereka puas dengan penjelasan Denia.
Apakah komunitas IKWK cukup representative buat kami belajar Islam dengan baik?tanya Derry
Wah, aku tidak bisa menyimpulkan sendiri.  Kami hanya berusaha menampilkan wajah Islam tapi kami tidak bisa mengatakan kami sudah baik.  Penilaian kami kembalikan pada kalian.Denia merendahkan hati, yang  justru makin menampakkan kesyumulan Islam di hadapan Helma dan Derry.
Kalau kami tertarik pada Islam, apakah kamiharus  masuk Islam atau sebaiknya belajar dulu?tanya Helma
Untuk masuk Islam, kalian harus yakin benar-benar, tanpa paksaan dan maksud lain selain karena kalian yakin Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad sebagai utusan yang kalian benarkan.
Also sollten wir zuerst lernen?  Derry menyimpulkan sendiri apa yang harus diperbuatnya setelah ini
Ja, also, wenn Sie sicher sind, werden Sie Luft-Islam sein richtig.
Perbincangan itu ditutup dengan hidangan soto Lamongan dan es tape ketan hijau campur sirup cocopandan.  Helma dan Derry disuguhi sesuatu yang unik sepanjang hidup mereka.  Seindah nikmat hidayah yang mulai mengalir di dada mereka.  Kekaguman pada negeri bernama Indonesia dengan orang-orang yang merefleksikan Islam, warga Negara Indonesia di IKWK.

***
Kunjungan Helma dan Derry berikutnya untuk belajar Islam, lima pertemuan, mereka memutuskan untuk masuk Islam.  Wajah mereka berseri-seri penuh bahagia.  Tangisan haru dari dua mualaf itu membuat kami turut menangis.  Mereka bersyahadah dengan bimbingan Ust. Hanif Hidayat, kakak kita yang kita banggakan.  Datang dari Indonesia untuk mengisi pengajian kami.  Prosesi yang sangat mengharu-biru.
Seminggu kemudian mereka datang.  Membawa koper besar penuh dengan pakaian.  Wajah mereka murung tetapi kebahagiaan iman tetap terpancar.
Ternyata mereka mengalami pengusiran dari keluarganya yang belum bisa menerima Islam.  Bahkan menganggap Islam sebagai ancaman peradaban barat.  Salah satu anggota keluarganya, sebagaimana Derry sebelum ini adalah aktifis PEGIDA.
Komunitas IKWK menerima mereka dengan tangan terbuka.  Tinggal dalam satu komunitas penuh cinta dan kasih sayang.  Mereka menjadi tetangga Denia di tempat kos yang dikelola IKWK.
Sebuah puisi, Denia persembahkan untuk Helma dan Derry.

HOLD MY HAND

Saputan kabut memudarkan senyumanmu
Takkan kubiarkan kau bergeming dalam lara
Kucoba mengeja jerit suara hatimu yang sunyi
Cerita yang kau tuturkan hanya sekelumit rasa
kubentangkan tangan kubuka hati meniti asa
Disini aku ada untuk kita
Mengais kasih dari Pemilik Segala

Genggam tanganku dan kita melangkah bersama
Meretas segala onak duri haling melintang
Lihatlah di sini cahaya suci petunjuk ilahi
Selama nurani hidup bestari
Pemandu membawa arah tak pernah meragu
Bersama ‘kan kita pungkas segala kesah resah gelisah

Saat semua jalinan terputus menjauh
Kita adalah sahabat dalam kesamaan iman
Tuntas sudah segala lirih rintihan duka
Bersama, kita rengkuh samudra asa dan cita

Genggam tanganku dan kita melangkah bersama
Tiada kata tertatih sendiri meniti lara
Atas nama cinta-Nya di jalan-Nya, bersama-Nya, karena-Nya

Genggam tanganku dan kita melangkah bersama

            Kekaguman, cinta, kerinduan  terpancar pada sorot mata Helma dan Derry, tentang Negeri Indonesia dan keramahan orang-orangnya.
            “Denia, suatu saat kami akan mengunjungi Indonesia.  Terimakasih untuk keluhuran budaya yang dicahayai oleh nilai Islam dari negerimu itu, khususnya komunitas muslim IKWK.”  Derry mengakui dengan tulus. 
            Sebaliknya Denia bahagia telah turut menjaga kehormatan negeri dan juga agama ini.

Glosarium:
1. Warum haben laden Sie mich hier, meine Liebe? Sieht so aus, als wären wir in einer Höhle von Terroristen. Sehen Sie sich an, wie Sie sich anziehen. Sie sicherlich Muslime.= Kenapa kamu mengajak aku ke sini, sayang?  Sepertinya kita berada dalam sarang teroris. Lihatlah cara berpakaiannya.  Pasti mereka muslim.
2.  Also sollten wir zuerst lernen? =Jadi sebaiknya kami belajar terlebih dulu?
3. Ja, also, wenn Sie sicher sind, werden Sie Luft-Islam sein richtig =Iya, supaya ketika sudah yakin, kalian akan ber-Islam dengan benar
4.  Wenn wir wissen wollen, zu welchen islamischen Werten die Repräsentanten gehen müssen?=Kalau kita ingin mengetahui nilai-nilai islam yang representative harus kemana?
5.  Dann, welches Vertrauen benutzen sie= Lalu keyakinan apa yang mereka pakai?
6.  Du denkst also, ISIS ist Krebs im Körper der Muslime =Jadi menurutmu ISIS itu kanker dalam tubuh umat Islam
7.  Ist es nicht eine Art von Krebs, der sich überall schädigt und ausbreitet?= Bukankah semacam kanker, merusak dan menjalar kemana-mana
8.  Bitte trinken Sie dawet Eis und gebratenes Essen= Silakan diminum es dawet dan gorengannya

IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...