TRAGIS
By: Susi
Susilawati
Pagi
Senin yang cerah, hari
dimana aktivitas kembali dilakukan seperti biasa setelah libur semester yang
lumayan panjang. Senin itu sangat sibuk. Sibuk dengan persiapan untuk kembali
sekolah dan bekerja ke kantor.
Ayah masih tak berkutik dengan persiapan presentasinya. Dari
semalam masih saja betah di depan layar monitor hingga sepagi ini. Disa
berisik, hampir setengah jam ia mengobrak-abrik
kamarnya sampai seperti kapal pecah demi mencari pasangan kaos kaki putihnya.
“Kak, liat kaus kaki Disa enggak?” teriaknya dari
kamar.
“Engga tuh, Kakak nggak
liat Disa”.
“Disa simpen di
lemari Kaka tapi kok gak ada, ya?” tanyanya.
”Kemarin pas Kakak beresin lemari enggak ada, kayaknya Disa lupa nyimpen kali?” kataku.
“Ah, masa iya sih ?” gerutunya.
Berbeda
dengan Dio, dari tadi ribut
mencari topi sekolahnya.
“Ibu topi
sekolah Dio dimana, Bu? Sekarang upacara,
kalo gak pake nanti Dio
dihukum” teriak Dio dari kamarnya.
“Topi kamu di belakang Dio, di jemuran.”
“Ah
Ibu, kenapa topi Dio ada di sana?”
“Kemaren topi
kamu ibu cuci, soalnya kotor. Kamu jorok sih udah tiga bulan kamu masih aja
pake” kata ibu sambil asyik memasak.
“Tapi masih
tetep wangi kok Bu”
katanya berjalan menuju belakang rumah.
“Heuh kamu ini ya! Topinya
wangi karena ibu cuci,”
cetus ibu.
Aku sudah bersiap siap
dengan seragam rapiku dari tadi Subuh.
Untungnya aku langsung mandi setelah salat Subuh
karena aku tau akan seribut ini di rumah. Pagi ini aku enggak perlu ikut-ikutan sibuk kayak Disa dan Dio. Ibu sedang menata
piring untuk sarapan pagi ini.
“Susunya dimana, Bu?” tanyaku.
“Di dalam kulkas Ka, baru tadi ibu
simpen”.
“Kapan Ibu beli susu baru?
Perasaaan semalem pas Kakak cari di kulkas gak ada
deh?” kataku.
”Pas kemarin Ibu pulang nganterin
baju ke Bu Sukma sekalian deh Ibu
belanja, soalnya keperluan dapur udah pada kosong. Tapi Ibu lupa, malah naro
susunya di atas
lemari. Tadi ingetnya Subuh. Kayaknya
Kakak nyari susu deh. He....He...He...”
jawab ibu sambil ketawa.
”Yah Ibu, pantes aja,” kataku sambil manyun.
Sarapan sudah siap
di atas meja. Dio sudah kaut-kuat
memegang sendok dan garpu untuk menyantap nasi goreng buatan ibu.
“Ayo makan Bu, Dio laper” katanya cecengiran.
“Iyalah, pagi-pagi kamu udah pusing
sendiri jadi aja laper, ayah mana? Kok belum turun ya? Kak, panggil ayah. Sarapan
udah siap” suruh ibu.
”Iya, Bu,” jawabku sambil bangkit dari
kursi makan.
“Udah
siap nih sarapannya?
Yuk makan!”
ajak ayah sambil meraih kursi makan dekat ibu.
“Makan yang
banyak yah biar presentasinya lancar” canda ibu. “Ah Ibu, Ayah bakal pede ko depan
klien”.”Takutnya ayah kayak presentasi bulan bulan kemaren tuh, hamper pingsan
deh gara-garanya, pagi enggah sarapan dulu. Ha...ha...ha...”
kata ibu sambil ketawa.
“Bener banget Bu, hari itu Ayah lemes banget gara
gara paginya nggak
sarapan. Mana AC-nya dingin banget jadi nggak
enak perut.
Pusing ayah, pingsan
aja pas rapat depan klien. Haduh, malu banget,” kata ayah sambil
menundukan mukanya. Lalu ibu, aku, Disa,
dan Dio ketawa. Termasuk
ayah yang paling kenceng ketawanya. Seisi ruang makan tergelak.
Semoga
kebahagiaan ini terus mewarnai keluargaku.
♥♥♥
Begitu
sibuk rasanya menjadi siswa tingkat
akhir, banyaknya persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Mulai dari
pemadatan, kursus, sampai bimbingan belajar. Tiap harinya aku harus pulang sore
karena kesibukan ini. Setelah selesai pemadatan aku langsung pulang.
“Assalamuallaikum!”
salamku setelah sampai di rumah.
“Waalaikumsalam”
jawab ibu yang sedang menyiram tanaman hias depan rumah. Aku langsung meraih
tangannya lalu menciumnya.
”Baru pulang Kak? Langsung ke kamar
mandi terus salat ya. Udah itu makan,
Ibu tadi siang masak masakan kesukaan kamu,
lho” kata ibu.
“Iya
bu. Wah enak tuh” jawabku. Aku bergegas
pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan, lalu aku salat Asar.
Di
ruang keluarga ibuku sedang menonton
TV. Disa
sedang mengerjakan tugas sekolah. Dan
Dio asyik memainkan gadgetnya.
“Kakak sekarang lagi sibuk
pesiapan ujian ya? Enggak kerasa kamu udah mau kuliah aja.” Ibu menyadarkanku,
pertanda aku harus belajar lebih sungguh-sungguh lagi.
“Iya bu, kaka
lagi pusing-pusingnya.
Mana
sibuk juga buat masuk perguruan tinggi,”
timpalku sambil memainkan pulpen.
“Oh iya ya. Kaka
pengen lanjut kemana emang?” tanya ibu serius.
“Kaka pengen ke
UNPAD, Bu” jawabku dengan
semangat.
“Wah
bagus tuh, dulu ibu pengen masuk ke UNPAD,
Kak.
Tapi karena kakek nenekmu pindah
tugas ke Semarang jadi aja ibu kuliah di sana” keluh ibu.
“Yah, gimana
dong?” tanyaku.
“Gapapa sih, Ibu ikut aja. Ibu kuliah
disana nyampe beres. Kaka mau ngambil jurusan apa?”
“Kaka mau
ngambil kedokteran Bu,
doain ya”.
“Oh iya iya,
bagus deh kalo jadi dokter.
Ibu selalu doain kamu asal kamunya rajin belajar.” Ibu
memotivasi sambil mengelus
rambutku.
“He...he.... iya Bu amin” kataku.
Tiba tiba telepon rumah berbunyi, memutuskan bincang kami.
Disa
beranjak dari tugasnya lalu meraih telepon dekat TV. Kemudian.....
“Halo... eh waalaikumsalam, Nek. Ini disa…. Ohh..
iya iya bentar ini ada ibunya ko. Bu ini nenek nelpon” teriak Disa.
Ibu langsung
bangkit dari duduknya dan menerima telepon dari genggaman Disa.
“Waalaikumsalam, Bu. Iya. Aku, anak anak,
dan Mas Dadi sehat kok.
Wah, kapan?”. Ibu asyik ngobrol
dengan nenek.
Aku
tak sabar ingin tahu ada kabar apa dari nenek.
“Nanti
hari Sabtu kita ke Bandung
ketemu nenek. Soalnya Om Yasir sama Tante Gita mau liburan di rumah nenek.
Jarang jarang Om Yasir pulang dari Amerika. Jadi, kita harus menyambutnya.
Sekalian kita jenguk nenek, Liburan lalu
kita enggak
ke Bandung. Nenek
kalian udah kangen pingin ketemu,” kata ibu
bahagia.
Disa dan Dio bersorak kegirangan.
“Yeaaahhh kita ke Bandung ketemu nenek sama om sama tante! Kira-kira apa ya
oleh-oleh paman kali ini? Mereka
bertanya polos.
“Tapi kita harus
bilang ke ayah. Kalo gak diizinin kita nggak
berangkat. Kalian kan sibuk sekolah apalagi kaka yang sibuk banget. Disa kamu
juga lagi banyak ulangan, kan?
Sedangkan ayah juga sibuk kerja. Jadi nanti aja gimana keputusan ayah”.
“Yah ibu, gapapa
cuman hari Sabtu
doang gak sekolahnya. Besoknya kan hari Minggu. Jadi libur yeee” kata
disa bahagia.
“Emm...
ya udah, tunggu malem ayah
pulang. Ibu akan ngomong sama ayah” jawab ibu bijak. Disa
dan Dio senang termasuk aku.
“Anak
anak kan harus sekolah bu, jangan niggalin kelas. Baru juga seminggu mereka
sekolah setelah libur panjang,”
jawab ayah tidak setuju.
”Tapi kasihan mereka, Yah. Mereka seneng
banget pas tau Mas
Yasir bakal ke rumah ibu” Ibu
gigih bernegosiasi.
“Tapi
ayah masih banyak kerjaan,
Bu. Ayah
belum nyelesain kerjasama perusahaan baru”.
“Ayah kan bisa
nyelesainnya sekarang sekarang. Jadi nanti cepet beres yah” ibu kata.
“Ya sudah hari Sabtu kita pergi ke rumah nenek” jawab ayah
dengan senyuman.
“Makasih,Yah. Anak-anak pasti seneng”
timpal ibu dengan riang.
♥♥♥
Hari
Sabtu yang ditunggu-tunggu pun datang. Cuaca cerah, udara pagi cukup sejuk. Seperti biasa
meski masih pagi buta. kota
Jakarta masih saja
macet. Ah, aku
malas di perjalanannya. Aku hanya ingin langsung sampai di rumah nenek tanpa harus
diam berjam jam di dalam mobil dengan udara panas dan terjebak kemacetan. Apalagi
hari Sabtu.
“Kak
awas kelupaan bawa kresek putih di
dapur. Isinya
oleh oleh buat nenek. Ibu udah siapin tinggal kamu bawa. Barang barang Kaka udah dimasukin
mobil belum?” tanya
ibu yang sibuk membereskan barang Disa
dan Dio di belakang mobil.
“Iya bu. Barang
punya Kaka udah siap tapi belum
dibawa. Bentar bawa dulu Bu, sekalin mau bawa juga
kresek putih dari
dapur” jawabku sambil
menurunkan perlengkapan ayah dan ibu.
Setelah beberapa
lama mempersiapkan barang barang dan oleh oleh yang akan dibawa ke rumah nenek
akhirnya selesai juga. Kami akan berangkat pukul 07.20. Ayah bilang kita
kesiangan. Harusnya kita berangkat tadi pas subuh biar enggak kejebak macet.
Tapi kita malah lelet dan ayah bangun kesiangan.
“Udah aman belum bu rumahnya? Periksa aja lagi
takut ada yang lupa” saran ayah pada ibu.
“Iya Yah, Ibu periksa dulu”
kemudian ibu turun lagi dari mobil dan kembali kerumah.
Aku, Disa dan Dio sudah berada dimobil bersama ayah. Kami duduk ditengah, sedangkan ibu di depan
dengan ayah. Jok
bagian belakang hanya barang bawaan dan oleh oleh. Banyak sekali, hingga
menggunung.
“Beres Yah, kita berangkat”
kata ibu menutup pintu mobil.
“Siap, Bu.
Bismillah”. Kami berangkat penuh gembira menuju rumah nenek.
Kami
terjebak macet. Macet yang luar biasa, Hampir
dua jam mobil ayah tak jalan jalan. Panas, gerah, ah aku sudah tak enak duduk. Aku
ingin segera sampai kerumah nenek. Tapi kata ayah untuk menuju Bandung memerlukan waktu
5 jam lagi dalam keadaan macet
begini. Kira
kira kami akan sampai nanti
malam. Heemmmm....
seharian berada dijalanan.
“Ayah kok lama
banget sih macetnya? Dio pengen keluar gerah banget” keluh Dio pada ayah.
“Sabar De, bentar lagi kita
jalan” ayah menenangkan.
Aku dan Disa berusaha menikmati perjalanan, meski memang sangat
membosankan. Kulihat Disa
sedikit murung dari tadi pagi. Tidak seperti kemarin malam. Disa dan Dio
semangat untuk kerumah nenek.
“Kamu kenapa Disa? Dari tadi pas masih
di rumah kamu kayak yang gak semangat gitu? Coba cerita ke Kakak!” kataku pada Disa yang duduk di
sebelahku.
Disa tertegun
dan terlihat pucat.
“Ayo Disa, cerita aja” desakku
padanya.
“Sebenernya Disa semalem mimpi Kak. Mimpinya serem banget”.
“Yang bener, De? Kamu mimpi apa
emangnya?” selidikku penasaran.
“Ah.....enggak, Kak. Itu cuman mimpi
biasa kok. Disa aja yang terlalu mikirin, padahal
gapapa.” kata Disa sambil menenangkan
dirinya sendiri.
“Disaaaa
kalo ada apa-apa
cerita dong ke Kakak. Biar Kakak tau” timpalku padanya.
Sebenarnya aku masih penasaran dengan mimpinya, karena dia enggak mau bicara
aku tidak memperpanjang. Toh Disa
sekarang jadi lebih baik setelah sedikit memberitahuku, tentang penyebab kemurungannya. Ya sudah aku juga tidak
ambil pusing. Mobil berjalan merayap setelah kurang lebih tiga jam mobil kami
hanya diam saja. Sekarang kembali normal dan lancar.
♥♥♥
Kira-kira dua jam lagi
sampai di rumah nenek. Ini sudah pukul delapan malam. Dan di luar hujan deras,
jalanan licin diguyur hujan.
“Wah hujannya
gede, Yah! Masih
lama enggak,
sih Yah?” tanya ibu sambil meraih
makanan di samping ayah.
“Iya Bu hujan dari tadi. Sekarang
malah jadi gede. Dingin nih, sebentar
lagi lah kita nyampe,”
timpal ayah.
“Lah ko anak
anak gak pada rebut, ya?
Eh ternyata pada tidur. Kakak kenapa masih aja melek?
Kamu gak cape? Tidurin aja Kak. Nanti ibu bangunin
pas nyampe,”
kata ibu padaku.
“Aku nggak bisa tidur, Bu. Nggak papa aku gak ngantuk, kok” sahutku.
Disa
dan Dio dari tadi tidur. Aku
hanya termangu
dengan menulis sesuatu
di kaca mobil yang berembun. Entah apa yang aku rasa. Dari tadi aku hanya
melamun dan tidak enak hati. Astagfirullah… apa yang sedang kupikirkan. Tiba tiba
terlintas fikiran buruk dibenakku. Ya Allah.. apa yang aku pikirkan.. Ah mungkin ini semua
karena efek perjalanan terlalu lama dan segera ingin sampai di rumah nenek. Aku
menenangkan diriku. Tiba tiba………
“AYAAAHHH
AWAAASSSSS!!!!!!”
teriak ibu memecahkan lamunanku.
Semua tidak
terduga. “Bruuuuuukkkk….”. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil tronton
yang mengangkut baja dari arah depan. Ayah banting setir, mobil yang dibawa
ayah tak terkendali. Hingga akhirnya terpental lima meter lalu berguling guling
hingga membuat mobil tak terbentuk dan hampir remuk.
Jalanan kacau. Tronton yang menabrak kami
menghantam warung di pinggir
jalan. Hingga akhirnya mobil ayah terseret dan menghancurkan pembatas jalan.
Ini sangat tak terduga. Ya Allah… Astagfirullah…..
Ayah,
setengah badannya keluar dari kaca mobil yang sudah bolong dengan darah
melumuri seluruh wajah dan badannya, tetapi kakinya terjepit oleh pintu mobil.
Wajah ibu hancur menghantam kaca depan mobil hingga badannya terbengkalai
keluar dari depan kaca mobil. Terkulai
lemas. Badan Disa tertimpa barang barang
bawaan hingga badannya terjepit di dalam jok mobil. Kepala Dio terbentur pintu
mobil hingga berdarah dan kakinya terkulai lemas seperti patah. Ya Allah, apa
yang terjadi pada mereka yang kusayangi? Kenapa bukan aku? Kenapa aku tak sama
berdarah dan hancur seperti mereka? Sedangkan aku, hanya berdarah di bagian
kepala dan nyeri
tulang di bagian lengan. Mereka meninggal dunia di tempat. Secepat inikah
mereka meninggalkanku.
Orang orang berlarian menembus hujan deras.
Menolong kami, menyelamatkan mayat-mayat
keluargaku. Membawa mereka menepi. Ini mengerikan, jalanan acak acakan. Macet,
bising klakson mobil-mobil
membuatku lemas dan pingsan. Aku tak sadarkan diri.
Inikah perjalanan menyenangkan menuju rumah nenek? Apakah
mimpi Disa benar sebuah
pertanda? Andai aku lebih dulu tahu mimpi itu, akankah semua ini terjadi?
♥♥♥
Setelah
peristiwa memilukan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Nenek menjengukku ke
rumah sakit. Om yasir, tante
gita, dan beny. Mereka memberi bela sungkawa
dan menyemangatiku.
“Kamu sabar ya sayang. Jangan
marah sama Allah. Ini semua sudah dituliskan oleh-
Nya. Kamu harus tabah dan
kuat. Ikhlasin ayah, ibu, Disa
dan Dio, ya?! Doain mereka biar masuk surge bersama, Nak” Nenek terus
menasihati sambil memelukku.
“Nenek… aku
sayang mereka. Kenapa mereka ninggalin aku sendiri, Nek?”
Tangisku pecah di pelukan nenek.
“Allah sayang
mereka, makannya dipanggil duluan” ucapnya sambil menyekat air mata
dari pipinya.
Aku
mencoba menghabiskan kesedihanku dengan sendirinya. Om dan tante iba
dengan keadaanku saat
ini. Mereka ikut meneteskan airmatanya. Aku tidak bisa menahan kesedihan ini.
Ya allah aku rindu mereka.
Hari
demi hari hingga akhirnya berbulan-bulan
jauh dari peristiwa yang menyakitkan itu. Sedikit
demi sedikit aku bisa mengikhlaskan
mereka. Akan tetapi trauma masih akan tetap ada. Hingga saat ini aku belum
pernah lagi naik mobil, meskipun angkot sekali pun. Tidak, aku tidak ingin naik
lagi roda empat. Itu sanagat menakutkan. Aku menjalani hidupku dengan normal,
mengabiskan waktu layaknya seorang pelajar tingkat akhir. Aku telah
mencoba melepas kenangan pahit tentang sebuah
kehilangan.
Beberapa
minggu lagi aku akan menghadapi ujian akhir nasional. Aku harus lebih giat lagi
dalam belajar. Sebab aku harus menunaikan cita-citaku dan keinginan ibu untuk masuk UNPAD, jurusan Kedokteran. Aku harus yakin bahwa
kerja keras tak akan mengkhianati
sebuah hasil. Insya Allah ibu dan ayah akan bangga ketika melihat anaknya
menjadi orang yang berguna bagi agama,
bangsa dan sesama.
♥♥♥
Alhamdulillah
tidak terasa masa masa SMA akan segera berakhir. Aku mendapatkan nilai ujian
nasional terbesar sepropinsi. Dan saat itu
aku mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik di sekolah. Aku mendapatkan beasiswa
penuh untuk kuliah jurusan kedokteran di UNPAD
tanpa biaya sepeser pun. Aku langsung
mendapat udangan dari universitas tersebut. Memang benar kerja keras tak akan
menghianati hasil, tapi aku tidak cepat puas sebab masih banyak target yang belum kutunaikan.
Hari ini tepat
enam bulan meninggalnya ayah, ibu, Disa,
dan Dio. Aku rindu mereka. Besok
aku akan pergi berziarah
ke makam. Sepulangnya
dari sana aku akan pergi ke Bandung. Ya, ke rumah nenek dengan Om Gani. Aku
ingin bertemu nenek. Mungkin nanti
setelah lulus, aku akan tinggal di Bandung dengannya. Karena aku akan kuliah disana. Dan
lokasinya lumayan dekat dengan rumah nenek. Aku hanya yakin pada Allah. Akan
ada sesuatu baik yang bisa mengubah takdir hidup. Semoga Allah senantiasa merahmati dan memudahkan
jalan hidup bagiku……….
DUKA NENEK INDIGO
By: Euis Siti Komariah
Aku sekeluarga akan
berkunjung ke rumah nenek ku yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Orang Sunda bilang, tidak boleh bepergian
hari Sabtu. Katanya sih, pamali. Tapi
aku tidak terlalu percaya sama mitos-mitos zaman dulu seperti itu.
Takutnya nanti jadi tahayul. Jadinya aku sekeluarga fixs berangkat hari
ini.
Semua kebutuhan aku,
ayah, ibu dan kedua adik ku yaitu Chiko dan Chika selama satu pekan ke depan
telah siap. Rasanya sudah tak sabar untuk bertemu dengan nenek dan keluargaku
yang ada di sana. Dan sekarang waktunya
untuk berangkat.
Aku Chinta. Mahasiswa UNPAD
semester empat. Jika kalian menulis namaku jangan lupa pakai–H, C-H-I-N-T-A
bukan Cinta. Aku suka kesal sekali sama orang yang salah jika menulis namaku. Tapi jika kalian mau
memanggil aku panggil saja Cinta. Tak perlu pakai –H. Karna jika pakai–H itu seperti mengejekku.
Umurku 20 tahun dan aku
singgle. Banyak yang bilang namaku itu alay bin lebay dan banyak aturan. Tapi
bagiku tak masalah dan aku bersyukur bisa lahir ke bumi dengan selamat karena
aku bisa menikmati indahnya panorama hidup ini.
Sebenarnya nama Chinta itu
sebuah keberuntungan bagiku. Karena jika ada yang bilang ‘aku cinta kamu’, dan
aku tidak menyukainya pasti kujawab ‘iya memang namaku Chinta’. Dan perlu
kalian ketahui, meskipun namaku Chinta tapi aku sangat sulit untuk jatuh cinta.
Kalian mau tahu? Kenapa
aku sulit jatuh hati pada seorang lelaki? Karena aku dihantui masa lalu yang
menyakitkan dan trauma berkepanjang. Mulai saat itu aku hijrah dan memutuskan
untuk tak ada lagi urusan hati dengan seorang lelaki.
Ayahku orang Jawa Timur,
ibuku orang Jakarta, dan aku lahir di Bandung.
Berhubung kantor ayah di Bandung jadi kami sekeluarga tinggal di
Bandung. Kebetulan selama satu pekan ke
depan aku dan adik ku libur. Jadi kami sekeluarga ingin menghabiskan waktu
liburan kami di rumah nenek.
Sudah lama sekali aku
tidak berkunjung ke rumah nenek. Terakhir aku berkunjung ke rumah nya ketika
aku umur 7 tahun. Dan aku sudah lupa rumah nya seperti apa. Cuman yang aku ingat
tentang rumahnya itu, MENYERAMKAN!!!
Mobil Terios silver kami
melaju dengan kecepatan maksimal. Aku
terus bermunajat dan mengingat Allah semoga kami semua selamat sampai tujuan.
Dan semoga tidak terjebak macet di jalan. Perlahan tapi pasti, kota demi kota
kami lewati. Setiap sudut kota memiliki ciri khas tersendiri. Tak ada plagiat
dan tak ada yang berkhianat karena mereka tau bagaimana cara hidup
bermasyarakat. Subhanallah Maha Suci Allah
yang telah menciptakan jagad raya dan seisinya.
“Ibu kita udah sampai
mana?” tanya Chiko.
“Cilacap, sayang...”
jawab ibu.
“Masih lama, ya Bu?”
Chiko bertanya lagi.
“Iya Sayang. Yang sabar,
ya..” terang ibu.
“Dede udah bosen ibu.
Pegel- pegel.” Chika merengek
“Nanti kita istirahat
di Masjid Agung Yogyakarta,” jawab ayah, “sekalian beli oleh- oleh.”
“Asyik.... hore....
hore....” respon kedua adikku kegirangan.
“Alhamdulillah, Aa, Dede!”
tegasku sambil melotot.
“Alhamdulillah...”
jawab mereka serempak.
“Ayo anak- anak kita
istirahat dulu aja.” Kata ayah ku.
“Ayo ayah..yeee..
yeee..” kedua adiku teriak senang.
“Ayah tunggu Kakak mau
ke toilet dulu,” kataku sambil teriak “ jangan ninggalin yah..”
“Ayah tunggu di taman,
Kak!.” Teriak ayah.
Kita lupakan keseruan
adik-adikku. Aku ingin menyampaikan
sesuatu pada kalian. Kalian pernah
mendengar kata indigo? Kalian tau apa itu indigo? Apa kalian pernah merasakan
bagaimana rasanya jadi seorang indigo ? Dan aku adalah seorang indigo!
Sebenarnya, sulit untukku
menjelaskan bagaimana rasanya jadi seorang indigo. Aku turunan indigo dari
nenek yang sekarang akan aku kunjungi. Ketika
aku umur tujuh tahun, aku baru tau bahwa yang selama ini selalu bermain dengan
ku itu adalah arwah gentayangan anak anak jaman dulu. Aku kira mereka sahabat
sejati ku. Ternyata bukan.
Waktu itu aku di ajak
mereka ke sebuah taman yang sangat indah. Sampai aku lupa waktu untuk pulang.
Disana banyak bunga warna warni. Juga kupu - kupu cantik. Aku suka sekali.
“Chici, kamu mau ikut
kami ke dalam sana gak?” ajak Edo padaku.
“Disana tempat nya
lebih bagus dan indah sekali,” lanjut Uti.
“Iya, aku mau ikut
kalian,” balasku sambil menyusul mereka.
Mereka yang selalu
menemaniku ketika aku di Banyuwangi, Jawa Timur. Tepatnya di rumah nenekku.
Chici. Begitulah mereka memanggil ku. Edo (genderewo) itu anak laki- laki dan
Uti (kuntilanak) adalah anak perempuan.
Ketika aku masuk terus kedalam melalui lorong cantik nan
indah. Aku terus berlari dan mendapati
air terjun. Mereka bilang mereka akan turun ke bawah. Dan aku ingin ikut. Tapi tiba tiba... ada yang mencegahku dan
menarikku ke belakang. Tapi aku tak mau. Aku terus meronta tapi tak kuasa dan
akhirnya aku menangis
Ternyata itu ustadz,
bersama nenek juga ibu. Ustadz bilang aku gak boleh ikut. Tapi aku tetep ngotot
pengen ikut mereka karena mereka sahabat ku. Akhirnya ustadz berdoa dan
membacakan do’a – do’a pilihan lalu mengusapkan ke ubun-ubun dan juga wajahku
dengan jemari terbungkus sarung tangan.
Ustadz bilang, “Chinta,
sadar kamu, Nak! Lihat di sana mereka
itu bukan temanmu. Tapi mereka ingin mencelaKakakn kamu. Ingin menjadikanmu sebagai
TUMBAL!” kata Ustadz sambil menahanku agar tidak kabur. “Lihat ke bawah, itu bukan air terjun tapi
itu jurang yang ada kolam kotor buat tumbalnya. Dan apa kamu sadar? Sekarang
kamu ada di mana?’ Aku menggelengkan kepala. “Kita ada di hutan terlarang. Tadi
lorong yang kamu lewati adalah gua sempit dan taman yang kamu sukai adalah kuburan!”
Dulu waktu aku kecil, aku
diasuh oleh nenekku karena ayah dan ibu ku sibuk kerja. Dan setelah kejadian
itu, ibu berhenti kerja dan aku pun kembali tinggal di bandung.
֍֎֎֎֎
Kami sekeluarga sudah
sampai di Banyuwangi. Aku menangis karena terharu sekali banyak yang menyambut
kedatangan kami. Nenek, sodara – sodara, juga tetangga pun ikut menyambut
kadatangan kami.
“Neneeeeeeeekk.....”
panggilku, Chiko, dan Chika sambil berlari.
“ Rindu nenek....” Mereka berlarian ingin memeluk nenek. Kami semua terlarut dalam kisah nostalgia zaman
dulu.
Oiyah, aku hampir lupa,
kakekku sudah tidak ada. Dia meninggalkan kami ketika aku umur 6 tahun. Rasanya tak perlu kuceritakan kakek meninggal
karena apa. Yang jelas keluarga besar kami sangat kehilangan beliau.
Rumah nenek itu rumah
peninggalan zaman Belanda. Bangunan nya panjaang........ sekali, dan lebar. Halaman nya luas bisa di pakai parkir
lebih dari 5 mobil. Dan ada bunga warna warni di pinggirnya sebagai
penghias. Pinggir kanan rumah ada kebun
yang luas untuk sayuran. Pinggir kiri rumah ada kebun buah-buahan. Di belakang rumah ada bojong (kebun kayu/bambu)
yang luas, sejauh mata memandang. Memang rumah nenekku adalah yang paling besar
di kampung ini.
Model rumahnya kuno. Jika
kalian masuk ke dalam rumah ada ruang utama.
Sebelum menuju ke toilet, ada semacam tanah yang panjang dan lebarnya
seperti lapangan sekolah. Itu taman. Taman dalam rumah. Tanpa atap. Di belakangnya ada ruangan sekat-sekat
seperti penjara, banyak sekali. Itu untuk
hasil pertanian. Trus ke pinggir kiri ada bekas kolam ikan dan kandang ayam.
Juga kandang sapi. Dan terlihat kumuh sekali.
Ada penjara bawah tanah
juga. Disana tempat untuk menyimpan barang barang peninggalan jaman dulu atau
barang barang yang sakral. Dan harus di jaga benar-benar keadaan nya. Tempatnya gelap, lembab, dan sunyi. Mengerikan!! Membuat bulu kuduk merinding karena ada
penjaganya. Dulu waktu aku masih kecil aku sering main di sana dengan seseorang
yang membuatku merasa nyaman dan aman saat di samping nya.
Mungkin bagi kalian yang
tak pernah melihat rumah aneh seperti itu akan bingung dan tidak percaya. Jika
kalian ingin memastikannya kalian boleh datang ke rumah nenekku. Karna jika dijelaskan
oleh kata kata tak akan sejelas faktanya.
Nenek adalah orang yang di
segani oleh masyarakat. Bukan hanya karena dia kaya tapi nenek juga dermawan
dan sering membantu orang. Nenek selalu baik kepada siapapun tak pernah
memandang seseorang dari pekerjaan, agama, derajat sebagai apa. Bukannya aku
sombong atau mau pamer tapi aku hanya ingin menjelaskan dengan rinci kepada
kalian, itu saja.
“Kakakk, Kak Chinta di panggil nenek
sama ibu.” Teriak Chika sambil mengunyah makanannya.
“Iya, bentar, Dek....” Aku segera menghadap setengah berlari dari
kamar menuju ruang makan.
“Kakak, abis makan kita
jalan jalan, ya? Keliling rumah tetengga
sekalian ngasih oleh- oleh.” Kata ibu.
“Iya, Bu. Aku memang ingin keliling. Kali aja ada yang
kenal he..he...,”
“Iya nanti kamu dapet
jodoh orang sini,” lanjut nenek.
“Ha..ha nenek bisa aja.”
Aku menjawab malu malu tapi mau.
Akhirnya aku jadi pergi
keliling kampung dengan nenek dan ibu sambil bawa buah tangan.
“Kakak...., ikutttt!”
teriak Chika dan Chiko sambi lari.
“Ayo, Nak!” jawab nenek melambaikan tangannya.
Jadinya kami pergi keliling berlima.
Banyak yang menyambut kami
dengan antusias ada juga yang kaget karena tidak mengenal kami. Tapi ketika
mereka melihat nenek pasti orang itu akan hormat dan ta’zim. Lalu ada seorang
pemuda yang mendatangi kami
“Nek, Bu,” Ia menyapa sambil
menyium tangan nenek. Tapi pada ibu ia
memberi salam di depan dadanya. Salm
khas orang Sunda.
Ketika dia melihatku,
dia terkejut dan bahagia seperti mendapat harta karun.
“Chinta? Kamu Chinta, kan?”
katanya.
“He...he iya, Mas”
balasku.
“Aku Fahri, Chinta!
Kamu inget aku gak?”
“Ohhh, Mas Fahri, to!
Ha..ha aku hampir lupa, Mas. Maklum udah lama banget gak ketemu.”
֎֍֎֎֎
Dia Fahri. Seseorang yang
selalu menemaniku bermain di penjara bawah tanah nenek. Umurku dengannya beda 3 tahun. Dan aku selalu
memanggilnya dengan sebutan mas (Kakak dalam bahasa jawa). Dia bukan seorang
indigo tapi dia selalu tahu ketika aku dalam masalah yang disebabkan setan-setan
yang tidak tahu diri itu. Dan aku nyaman dekat dengannya.
Pertama kali aku kenal
dengannya ketika aku dijailin sama Si
Tajo (buta ijo). Waktu itu aku berumur lima tahun. Aku menangis
karena ketakutan. Tiba tiba dia menarikku dan menyuruhku untuk berdiri di belakangnya.
Lalu dia mengusir Sii Tajo. Tapi si Tajo
malah marah-marah gak jelas. Entah
bagaimana caranya, akhirnya Si Tajo kalah juga dan memilih pergi.
Aku pernah bertanya padanya,
“Mas, kamu itu bisa ngeliat setan juga, ya?
Sama kaya aku?”
“Mas nggak bisa ngeliat
hal-hal yang ghaib kaya kamu.” Dia
seperti narik nafas berat,” Tapi entah kenapa aku bisa liat yang ghaib ketika
kamu dalam masalah dengan mereka.”
Dari situ aku berfikir
mungkin Mas Fahri adalah ksatria yang ada di film-film perang atau pangeran
yang ada di dongeng Chinderella, yang di kirimkan tuhan untukku he...he.
Jangan heran ketika adikku
bilang Mas Fahri ganteng. Badannya six pack, tingginya atletis, wajahnya
oriental, hidung nya mancung, matanya tajam, bibirnya tipis dan senyuman nya
itu MEMATIKAN. Pantas saja setan-setan tidak
tahu diri itu pada takut kepadanya.
“Apa kabar Chinta?”
katanya setelah duduk di kursi bambu depan rumah nenek.
“Kabar baik, Mas. Mas
sendiri gimana?” tanyaku balik sambil menyimpan minuman untuknya.
“Luarbiasa sekali
ketika bertemu kamu.” Seperti bicara kepada dirinya sendiri.
“Mas kerja dimana
sekarang?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Di perusahaan minyak
pusat kota. Sebagai sekretaris. Kamu
sendiri kuliah dimana? Semester berapa?”
“Alhamdulillah Mas, aku
kuliah di UNPAD semester empat jurusan geofisika.” Jawab ku padanya sambil
mengucap syukur kepada Yang Mahakuasa.
“Berarti nanti kita
bisa kerja bareng, dong?”
“Aammiinn...” jawab ku
sambil malu-malu.
Lalu kami terlarut dalam
nostalgia masa lalu dan dipenuhi oleh tawa.
Aku rindu dengan tempat tempat main kami dulu.
Jadinya kami membuat janji untuk bertemu besok di sini. Di rumah nenekku. Aku sudah tak sabar menunggu esok tiba sampai
aku tidak bisa tidur memikirkan itu semua.
Tempat pertama yang kita
kunjungi adalah penjara bawah tanah. Karena masih ada mainan kami dulu di sana.
“Lembab sekali di sini,”
kataku “seperti tak pernah di kunjungi dan tak berpenghuni.”
“Iya. Aku pun memang
sudah lama tidak berkunjung kesini,” jawabnya sambil memerhatikan setempat.
Tiba
tiba.....BBRRUUKK... KKRREEKK... KREEEKK.... Lukisan monalisa terjatuh dan pintu. Lemari terbuka dan tertutup dengan
sendirinya. Membuat kami penasaran ada apa dan siapa yang ada di sana. Kamipun
bergegas menuju lemari yang dituju. Tapi hasil nya nihil tak ada apa apa. Dan
tak ada siapa-siapa di sana. Kami pun kecewa.
Kami puas melihat kembali
tempat itu, setelah bertahun-tahun aku tak melihatnya. Kami memutuskan untuk meninggalkan ruangan
itu. Tapi di sana di pojok bawah tangga yang akan kami naiki ada seorang perempuan berambut panjang ban berbaju lusuh
sedang menangis. Dan aku pura pura tidak melihatnya. Karena aku yakin Mas Fahri
tidak bisa melihatnya.
Aku yakin dia pasti tau bahwa
aku melihat sesuatu. Dia membalikkan wajahnya
ketika aku mau menaiki tangga pertama.
HAAH! Aku kaget bukan main. Wajahnya seram sekali. Matanya menonjol sebelah dan
mengeluarkan darah. Usus yang ada dalam perutnya keluar seperti cacing panjang
yang kepanasan. Tubuh nya penuh darah dan dia tidak berhenti menatap ku. Karena
aku tak mau tahu, aku lanjutkan langkah ku menaiki tangga.
Ketika aku sampai ditangga
ke tiga, ada yang menarikku ke belakang. Alhasil aku terbanting dan jatuh. Mas
Fahri pun kaget dan tak bisa mencegah. Kejadiannya sangat cepat sekali. Sekarang
dia tahu ada sesuatu yang melakukan itu semua. Itu berarti aku dalam
bahaya.
Dia roh jahat. Badannya
sangat besar. Matanya merah menonjol. Kulitnya hitam pekat. Mulutnya di penuhi
oleh darah. Ketika aku akan di bawa pergi olehnya, Mas Fahri lebih cepat
menghadang. Alhasil aku pun terbanting dan jatuh kembali. Aku langsung dia
amankan di belakangnya. Si Oja (roh jahat) itu marah sekali. Dia mengamuk. Mas Fahri melawannya, tapi Si Oja kuat sekali
sampai Mas Fahri pun kewalahan melawannya.
Tiba tiba terdengar suara......TTUUKK...TTUUKKK....TTUUKK. Ternyata itu adalah suara tongkat nenek. Aku
sempat bingung kenapa nenek tiba-tiba bisa ada di sini? Dan untuk apa? Nenek
mendatangiku lalu berdiri di depanku.
“Jangan ganggu cucuku!!!”
ancam nenek kepada roh jahat.
“AKU MAU DIA!” jawabnya
dengan suara yang menakutkan.
“Aku katakan padamu
sekali lagi. JANGAN GANGGU CUCU KU!! Dan sekarang kamu PERGI !!!” ancam nenek
pada Si Oja.
Si Oja terlihat marah sekali. Tapi
dia lebih memilih mengalah lalu pergi.
Rencanaku untuk
mengelilingi tempat-tempat bersejarah kami gagal. Gara-gara Si Oja. Tujuan
nenekku ke sana adalah untuk menyelamatkan aku. Baru pertama di umurku yang duapuluh ini aku
menemukan setan seperti itu.
“Nek, kenapa Si Oja itu
mau aku ?” tanyaku pada nenek .
“Karna kamu cantik
Chinta,” jawab Mas Fahri
Ibu tersenyum mendengar
celetukan nya.
“Aku bukan nanya sama
kamu, Mas. Aku nanya ke nenek!” kataku dengan kesal.
“Benar kata Fahri,
Chinta,” kata nenekku. “Hhmm.. Fahri,
tolong jagain Chinta, ya!. Mungkin dia akan lebih aman jika bersama denganmu.”
“Siap nenek...” tegas
nya.
“Kau memang calon
menantu yang baik,” kata nenekku sambil mengelus rambutnya.
Dalam hati aku hanya bisa mengamini
semuanya. Karena malu untukku berterus terang, bahwa aku mau.
֎֍֎֎֍
Waktu terus bergulir, kejadian
demi kejadian aku lewati. Banyak sekali yang menggangguku di sini. Tapi itu tak menggubris. Niatku ingin bertahan dulu di sini. Aku hanya
berfikir mereka mungkin kesepian hanya ingin bermain saja denganku. Namun
nyatanya tak semuanya seperti itu.
Setiap malam aku tidur di kamar
sendirian, yang sebenarnya aku di temani banyak setan. Kadang mereka membiarkanku
tidur dengan nyenyak, tapi mereka lebih sering membuat ku menderita dengan
gangguan mereka saat aku tidur.
Mereka hanya kesepian,
membutuhkan banyak teman yang membuat mereka nyaman.
Aku mencoba mengambil pelajaran dari
semua ini, bahwa hidup itu tidak bisa bergerak sendiri. Ada seseorang yang
membuat kita nyaman dan tidak merasa kesepian. Termasuk makhluk ghaib seperti
jin juga begitu.
Hari ini kami berencana pergi ke kebun
untuk membawa hasil panen. Kami sekeluarga akan pergi ke sana. Mas Fahri juga.
Kami terlarut dengan
kesibukan masin-masing. Banyak sekali buah-buahan dan sayuran yang akan kami
panen sekarang. Dan aku terus maju ke kebun buah yang ada di ujung sana.
Tanpa disangka-sangka
ada yang menarikku ke dalam bojong. Aku
teriak ketakutan. Refleks Mas Fahri langsung mengejarku yang di culik oleh Si
Oji. Semua bergegas ambil posisi ada juga yang lari memanggil ustadz.
“Lepasin Chinta!” bentak mas Fahri.
“HA...HA....HA,
TIDAK!!! AKAN AKU BAWA DIA KEDALAM DUNIAKU DAN AKAN KUJADIKAN PERMAISURIKU
DI KERAJAANKU!” kata Si Oji
kepada semuanya.
“Tidak bisa!! Dia
adalah permaisuriku. Jika kamu mau, kamu harus melangkahi mayatku dulu.”
Aku tertegun mendengarnya.
Lalu tanpa BA BI BU Si
Oja membanting tubuhku ke tanah. Dia melawan Mas Fahri. Susah untukku menjelaskan
kepada kalian bagaimana pertengkaran manusia dengan jin. Yang jelas hanya orang
‘bisa’ saja yang tahu bagaimana semua itu terjadi.
Meraka berdua sama
kuat, dengan licik nya roh jahat itu membawaku lagi ke atas.
Tiba tiba nenek datang.
“Hey, kamu jangan
lukai cucuku! Jika kau berani ambilah saja aku. Biarlah aku mati dari pada
cucuku kau sakiti!”
Dia terlihat kesal sekali. Lalu dia membantingku lagi. Dan berbicara
kepada nenek.“ HEY NENEK TUA BANGKA! AKAN KU JADIKAN KAU TUMBAL! MATILAH KAU
HAH!!!”
Si Oja menarik tubuh
nenek yang sudah renta lalu mencekiknya.
“ NENEEEKKKK......” teriakku sambil
menangis tergugu.
Ibu datang tergesa gesa
dengan seorang ustadz. Tapi semua sudah terlambat. Ketika ustadz tiba, nenek
sudah beradu dengan Si Ohja. Dan nenek
sudah tiada. Alhamdulillah dengan izin
allah dan kekuatan ayat suci Al-quran roh jahat itu bisa di kalahkan oleh
ustadz.
֎֍֎֎֍
Kami sedih sekali dengan
kepergian nenek yang disebabkan olehku. Tapi mereka bilang jangan menyalahkan
diriku sendiri atas kejadian ini. Karena mungkin ini sudah masuk takdir garis
hidupnya. Setelah pemakaman bubar, Mas Fahri bilang pada ayah dan keluargaku
akan melamar dan menikahiku sebulan setelah kejadian duka ini. Dan mereka
menerima menerima niat baiknya. Aku juga menerima lamarannya. Aku bersyukur doa
nenek agar aku dapat suami dari daerahnya tercapai. Keinginannya untuk Mas
Fahri menikahi dan menjagaku terkabulkan.
Namaku Chinta. Banyak orang yang jatuh
cinta padaku tapi aku tak mencintainya. Dan liburanku di Banyuwangi memberikan
jawaban atas segala pertanyaan yang selalu ku lontarkan.
SENYUM
TERAKHIR
By: Chyntia Maulida
Di bawah terik panasnya
matahari yang menyengat kuat. Merasuk ke
dalam tubuh ini. Aku berlari-lari menuju rumah sehabis pulang
dari Madrasah Aliyyah Al-Azhari. Ya, itulah
Madrasah tempat ku mencari ilmu.
Jaraknya tak jauh dari rumahku.
Kulangkahkan
kakiku cepat-cepat. Tenagaku mulai
terkuras dan tanpa terasa sudah tiba di depan gerbang rumahku yang menjulang
tinggi.
“Pak
Dudung, tolong bukakan gerbangnya!”seruku dari luar.
“Baik, Non,!” jawabnya seraya
membukakan pintu gerbang untukku.
“Assalamu’alaikum,
Pak Dudung, Bi Enah,” ucapku penuh semangat.
“Wa’alaikum
salam, Non. Mari masuk ke dalam!” ajak
Bi Enah kepadaku yang tepat berada di ambang pintu utama masuk. Ku lepaskan
sepatu, lantas menyusul Bi Enah yang telah masuk terlebih dahulu.
Aku langsung meneruskan langkahku menuju kamarku. Namun,tepat ketika ku di ambang pintu Bibi
berseru.
“Non, saat ini Bibi akan
menyiapkan makan siangnya.”
“Baiklah Bi, selepas
Shira sholat dzuhur,Shira akan makan siang” jawabku padanya sambil kubuka pintu
kamarku. Namun, dikarenakan hari itu yang cukup membuatku lelah sehingga usai sholat
dzuhurku, aku tak kuasa menahan rasa kantuk.
Akhirnya aku tertidur pulas di atas hamparan sajadah.
Tiba –tiba ...
“Shira...Shiraa...”
terdengar bisikan ghaib yang memanggil
manggil namaku.
“Nak,
gunakanlah kesempatanmu sebaik mungkin. Ini merupakan suatu anugrah dari Sang
Pencipta.”
Tak lama kemudian munculah berbagai
macam bayangan putih abstrak dari berbagai sudut. Kulihat bayangan itu seakan-akan
menghampiriku. Yang membuatku merasa terhempas sejenak di suatu tempat yang penuh kedamaian.
“Dimanakah
aku? Siapa kau? Siapakah kau..?” Aku bertanya-tanya seraya mencari-cari sumber
suara bisikan yang memanggil-manggil namaku.
“Non,Non,Non
Shira bangun, Non!!!” Begitulah suara Bibi yang berusaha membangunkanku dari
tidurku.
“Bi,Bi,Bibi...?” Jawabku yang gugup sambil terengah-engah
menghela nafas. Ketengok tiap sudut
kamar tidurku.
“Apa yang telah terjadi Non...?” tanya
bibi, mengernyitkan keningnya itu.
“Tidak
Bi,mungkin aku hanya terlalu lelah saja,” jawabku seraya menyembunyikan apa
yang sebenarnya telah terjadi, di dalam mimpi tidur siangku.
“Oh
ya, Non, ini sudah Bibi siapkan makan siangnya.
Dimakan, ya Non!” ujar bibi yang
menyuruhku untuk makan siang. Ketika aku
mengigau, Bi Enahlah yang sudah ada di sampingku. Sambil membawa makan siang untukku dan segelas
air putih dingin kesukaanku.
“Baiklah, terimakasih, ya
Bi. Pastilah aku akan memakan masakan
Bibi yang enak ini,” balasku meyakinkannya.
Selang
beberapa menit kemudian, aku telah menghabiskan makan siang di kamar. Aku langsung beranjak pergi menuju pekarangan depan rumahku.
Disana, mulai terbesit kembali pertanyaan mengenai mimpi yang penuh misteri
tadi.
Apakah makna di balik mimpiku tadi, ya Allah? Kuyakin pasti Kau selipkan teka-teki dibalik
mimpi tersebut. Kuyakin pasti kubisa
pecahkan teka-teki ini, dengan caraku sendiri. Gumamku sedikit menerawang
langit yang biru ini.
Tanpa
kusadari, tepukan ringan diatas kedua bahuku membuatku terkejut. Putuslah lamunaku tentang mimpi itu.
“Kamu mengagetkanku saja! ”sungutku
tak suka. Lantas dia duduk di sampingku, menatapku heran karena melihat aku
duduk di sini sendiri.
“Shira, janganlah kau
marah? Kedatanganku kemari hanya ingin menjumpaimu saja dan sedikit sharing seperti
biasa denganmu..” jelasnya seraya
berusaha untuk meyakinkanku.
“Apa yang kau ingin
sharing-kan kepadaku saat ini?” Aku
bertanya pada sahabatku dengan sedikit rasa jengkelku yang tersisa.
“Tidak. Aku hanya heran saja padamu?! Tidakkah kau
merasa kesepian? Ketika kedua orangtuamu sibuk bekerja, dan kau kurang mendapat
perhatian seperti sekarang ini......” Dia berhenti sejenak,” Masihkah kau ingat
ketika nenekmu masih tinggal bersama keluargamu? Kurasa disaat itu, kau perlu mendapat
perhatian sebagaimana mestinya,Shir.” Dia melanjutkan, seraya mengalihkan
pembicaraan baru.
“Ada benarnya juga kau,
Vina!? Lagipula keluargaku sepertinya,tidak ada yang bisa meluangkan waktunya
untukku. Mungkin mereka terlalu hanyut
di dalam dunia pekerjaannya, sehingga sudah hampir melupakan keadaan anaknya
sendiri,” ujarku menyetujui ide
sahabatku. “Vin, gimana kalau besok kita siap-siap berangkat ke rumah nenek?”
Tawarku sedikit menggodanya.
“Apa? Kamu yakin hanya
kita berdua saja? Tak adakah orang yang
bisa kau andalkan untuk mendampingi kita?” jawabnya sedikit terkejut diiringi
wajah yang berbinar.
“Sudahlah Vin,kau tak perlu
mengkhawatirkan hal itu. Lagipula besok
sekolah kita akan mengadakan acara pengayaan untuk kelas duabelas. Kita memiliki waktu selama 3 hari kedepan.
Urusan ongkos, aku yang akan menanggungnya.”
“Baiklah bila seperti itu, aku
percayakan padamu.”
Tak lama dari itu, Vina langsung pamit pulang
karena waktu Asar hampir tiba. “Assalamu’alaikum!”
Ucapnya sambil melambaikan tangannya.
“Wa’alaikumsalam, hati-hati
di jalan. Jalanan saat ini sedang ramai.
Rawan kecelakaan di jalan raya. Take care of yourself!”
“OK, thank’s”
ZZZZ
Keesokan
harinya, aku sedikit mengendap-endap untuk keluar gerbang rumah. Tak kuhiraukan gendongan tas ranselku. Selagi
Pak Dudung terjaga di pos satpam.
Ternyata, Vina sudah
menungguku di depan gerbang. Dengan hati yang gelisah,ia tengok kanan-kiri
untuk sedikit berjaga-jaga. Kulihat siluet tubuh sahabatku, langsung kuraih
jemarinya itu.
“Cepat Shira, masuklah ke dalam. Mumpung belum ketahuan satpam kamu,” ajaknya
menunjuk ke sebuah angkutan umum. Dengan
kendaraan ini, kami akan menuju ke halte bis terlebih dahulu sebelum bis datang.
“Jangan lupa kasih kabar orang tuamu kalau kita ke rumah nenemu. Kasihan mereka ntar cemas.” Vina mengingatkan
“Tenang
Vina, aku sudah isi penuh pulsa Androidku.”
Setibanya di halte bis,
aku dan Vina segera mencari jurusan bis yang menuju Tangerang. Di kota itu nenekku berada. Aku dan Vina memilih tempat duduk yang
nyaman. Sepanjang perjalanan, kami tertidur pulas.
Bis berhenti di tempat
tujuan. Aku bersama Vina ikut terbangun
karena ada goncangan kecil yang mengiringi tidur kami. Kami pun turun. Dengan sedikit berjalan kaki kami menuju lokasi
rumah nenek. Halte tempat kami turun tidak
terlalu jauh dari rumah nenekku.
Selama perjalananku
dengan Vina menuju rumah nenek, terdapat sesuatu yang membuat diri ini tertegun
kembali. Ketika aku dan Vina akan melangkahkan kaki untuk menyebrangi jalan
raya yang cukup lebar dan ramai, tiba-tiba tepat kepala belakangku terasa sakit
yang sangat dahsyat. Di saat itu pula
gambaran suatu kejadian kecelakaan dapat kulihat sangat jelas. Sebuah mobil menabrak sebuah motor. Sungguh tragis semua itu. Disaat itu pula tubuhku langsung terasa menggigil
teramat sangat.
“Shira,
kau baik-baik saja?” tanya Vina padaku dengan cemas pada apa yang kualami.
“Tidak,
Vin! Aku hanya merasakan hal yang aneh
akhir-akhir ini!” jawabku pada sahabatku itu.
Dan tak lama
kemudian..... BRUUKKKKKKKKKKK!!!!!(suara yamg mengejutkan pun datang dengan
tiba-tiba)
Benar saja. Apa yang sempat tergambarkan di benak
pikiranku tadi. Kini semua itu benar-benar
terjadi. Sebuah kecelakaan. Tabrakan sebuah mobil avanza dengan vesva tepat
berada di jalan yang akan aku dan Vina lintasi.
Tak ku sangka semua ini
sungguh benar-benar terjadi. Apakah
dibalik semua ini mengandung arti yang harus kucari sendiri?
“Ayo, Vin! Kita
lanjutkan kembali, sebentar lagi kita sampai di rumah nenekku!” ajakku seraya
memegang lengan tangan kanannya.
Tidak terasa di sela pebincangan
kami sepanjang perjalanan, tidak sampai lima menit, kami sudah tiba tepat di depan pekarangan
rumah Nenek.
“Assalamu’alaikum, Nek?” ucapku dengan
penuh kasih cinta
“Wa’alaikum salam. Cucuku, bagaimana kabarmu?” jawabnya dengan
lembut
“Alhamdulillah
Nek, aku sehat wal’afiyat. Oh ya, Nek, aku kemari tidak sendiri melainkan. Ini sahabatku Vina, mumpung di sekolah
diliburkan.”
“Nenek masih ingat saya? Vina teman sepermainan Shira waktu kecil,”
jelas Vina seaya mengulurkan tangannya dan mencium tangan nenek. Takzim.
“Oh iya, Nenek ingat. Tapi kenapa kalian nggak diantar ayahmu atau
Pak Dudung, satpam rumahmu?” tanya nenek cemas.
Mungkin nenek khawatir aku kabur.
“Tenang, Nek. Ada ini.”
Aku menunjukkan iPhone yang seta menemaniku.
“Shira, Nenek rasa
meminta izin dengan hp itu kurang baik, kurang santun. Apalagi ini dengan kedua orang tuamu.”
Aku mengaku bersalah
dan tidak akan mengulangi hal ini lagi.
Kami berbincang-bincang
melepas kerinduan. Tidak terasa adzan Ahar
mengalun merdu. Menyapa kami untuk
memenuhi panggilanNya. Kami mengambil
air wudhu dan melaksanakan salat Asar berjama’ah.
Aku masih berada dalam
keadaan duduk di atas sajadahku. Aku
masih terpikirkan tentang kecelakaan yang terjadi saat perjalanan menuju
kemari. Sekilas aku sempat bertanya-tanya. Mengapa apa yang ada dalam benakku bisa
menjadi kenyataan? Seolah Alloh
memberitahuku sebelum peristiwa itu terjadi.
Aku dipenuhi rasa heran.
Vina sudah pergi
beranjak dari mushola menuju ke kamar. Sedangkan
aku masih memilih untuk merenungkan kembali kejadian yang sulit untuk
kupercaya. Ya Alloh, aku yakin semua itu terjadi atas kehendakMU. Maka dari itu, jauhkanlah dan selamatkanlah
kami dari marabahaya. Hatiku bermunajat
meminta perlindungan padaNYA.
Sore hari ini kami
kelelahan. Vina tak dapat menahan kantuknya. Sahabat baikku itu tidur terlelap. Begitu pula dengan diriku, aku pun tertidur dengan nyenyak pula. Lupa dengan pesan nenek untuk tidak tidur
selepas Asar. Tidak baik untuk kesehatan
jiwa, katanya.
Waktu makan malam tiba,
aku dan Vina segera beranjak menuju meja makan. Aku tertegun melihat masakan
istimewa kesukaanku sudah tertata rapi. Sate
daun singkong, Semur nangka muda, dadar telor petai, asin tipis renyah, lalap
mentahan dan sambal hijau. Hmmm,
mengundang selera makanku.
“Nenek, kok tidak makan malam bersama
dengan kita?” tanyaku pada Nenek.
“Untuk saat ini, Nenek masih merasa
kenyang, Shira,” jawabnya seraya meyakinkanku
“Baiklah, Shira sama Vina makan dulu ya, Nek.” jawabku
yang singkat walaupun sebenarnya aku yakin bahwa Nenek sebenarnya belum makan
malam.
Taburan
bintang-bintang di heningnya suasana malam. Ketika itu, aku ingin bercerita
kepada Nenek. Tentang sesuatu yang selama
ini membuat hati terganjal. Namun, apalah daya saat ku buka pintu kamar nenek
perlahan-lahan, kumendapati Nenek sudah tertidur pulas. Lalu kulihat dibalik
wajahnya yang sudah mulai berkeriput, rasa lelah yang terlihat olehku. Aku
beranikan mencium kening nenek penuh cinta kasih. Semoga nenek tidak terusik dari istirahatnya.
“Selamat tidur,Nek. Aku sangat menyayangi Nenek.”
ZZZZ
Pagi hari yang
sejuk......Kampung ini terselimuti dinginnya embun seci. Susu putih hangat pun telah tersaji.
”Shira ajak teman kamu untuk
segera minum susu hangat!” Bujuk Nenek kepadaku sambil tersenyum sangat
manais. Belum pernah senyum nenek
seindah ini.
“Baiklah,Nek. Aku dan Vina akan segera kesana.” Sahutku
dari dalam kamar.
Setelah kami meminum
susu hangat, aku merasakan suasana yang tak seperti biasanya. Nampak dari aura
Nenek yang memancarkan binar-binar mata ketentraman. Walaupun dalam kesendiriaannyaa di rumah
besar ini, keikhlasan telah cukup membahagiakannya. Aku tahu nenek melakukan segala sesuatunya sendiri. Akan tetapi, wanita
separubaya itu tidak mengeluh sedikit pun.
Pertanada ia telah berhasil melewati semuanya berkat pertolongan ALLAH.
Ketika aku melihat matanya yang meneduhkan
itu, aku enggan untuk bercerita tentang masalah yang menimpaku. Tidak tega rasanya bebannya yang sudah cukup
berat ditambah dengan masalah yang kuhadapi.
Hari berikutnya aku dan
Vina berencana membuatkan Nenek sesuatu yaitu kue pukis kesukaannya.
“Vina, kau tahu kan, besok
kita harus pulang kembali ke rumah. Waktu libur sekolah kita akan habis. Lusa kita harus masuk sekolah lagi.
“Benar juga kamu, Shir, ” jawabnya
sambil mengangguk-angguk kepalanya.
“Aku ingin membuatkan kue pukis buat
nenek. Kamu bisa bantu aku kan?” pintaku
pada Vina, Antar aku belanja ke pasar terdekat sini, ya Vin?”
Kami
berdua berangkat menuju pasar terdekat, dengan menggunakan angkutan kota. Di sepanjang perjalanan, kami berbincang
tentang nenek renta yang tinggal seorang diri.
Berbagai rasa menghiris kalbu. Tentang kesepian, keterkucilan, ketidakpedulian. Air mataku menetes ikut merasakan apa yang
nenek rasakan.
“Menurutku yang paling
membuat nenekmu bahagia, menemani dia di hari tuanya Shira....” Perkataan Vina seperti pukulan palu godam di
dadaku.
“Ayah-Ibuku tidak akan
mengizinkan, Vina. Kecuali ada peristiwa
khusus.
Oh....kepalaku
tiba-tiba sakit lagi seperti sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi. Kini bayangan yang muncul berbeda
cerita. Nenek terjatuh, lunglai di kamar
mandi. Senyuman paling manisnya saat
menghidangkan susu untukku hadir lagi.
Aku cemas. Apa yang terjadi
padamu Nek....
“Vina, kita harus
balik. Sesuatu terjadi pada nenek. Kita harus berbalik arah, pulang ke rumah
nenek. Sekarang juga!” Keinginanku sudah tak dapat kutahan. Aku tak peduli Vina menggelengkan kepala keheranan,
tak mengerti dengan keputusanku yang tiba-tiba berubah.
Setengah jam kemudian
kami sudah berada di rumah nenek.
Sepi. Aku langsung menuju kamar
mandi. Kudapati nenek persis seperti
yang melintas dalam benakku. Aku segera
menolong nenek. Dia lunglai, tak
berdaya. Matanya masih bisa berkedip,
namun seluruh anggota badannya tak dapat digerakkan.
Aku segera menelpon via
wa. Meminta ayah dan ibu kemari. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kecuali memanggil tetangga terdekat.
Alhamdulillah. Pak RT segera membawa nenek ke RSUD. Dalam hatiku aku berjanji. Aku harus berkorban menemani nenek. Biarlah aku yang menjaganya sebagai pengganti
kesibukan putranya yang juga ayahku.
Semoga dosa ayahku yang membiarkannya tinggal sendiri dapat diampuni.
Tiga bulan kemudian,
keadaan nenek jauh lebih baik. Sudah
bisa berjalan meskipun tertatih. Hanya
satu yang tidak bisa pulih, nenekku tidak bisa bicara dengan jelas dan tidak
ada senyum yang bisa dihadirkan di bibir keriputnya. Nampaknya senyum manisnya waktu itu senyuman
terakhir. Namun satu hal yang
membahagiakanku. Binar bahagia menghiasi
mata sayunya, karena kini nenek tidak
sendiri. Ada aku yang mau menemaninya.
JANJI UNTUK NENEK
By: Sinta Rosiana
Rembulan muncul tepat
ketika aku menyibak gorden dibalik kaca jendela rumahku yang sederhana ini. Dia
mulai memancarkan sinarnya di tengah kegelapan malam yang begitu pekat dan
terasa menyeramkan. Dari kejauhan lolong
srigala hutan meremangkan bulu kudukku.
Angin semilir menyeruak
menebaskan tangannya yang membuat ngilu tulangku. “Oh...di..di..ngin sekali,” hanya kata itu yang mampu kuucapkan saat
menggigil kedinginan. Kuseret kakiku menuju kamarku. Aku melangkah menuju menuju tempat tidur dan
merebahkan tubuhku keatas kasur untuk beristirahat sejenak. Selimut tebal aku tarik, begitu nyaman
berselimut saat suasana dingin begini.
“Bismikaallohumma ahya
wabismika aamuutu. Ya Rabb dengan menyebut
asmaMu aku hidup dan dengan asmaMu aku mati.”
Doa tulus seorang hamba yang pasrah atas kehidupannya coba kulantunkan
dengan khusyuk. Seolah persiapan
berangkat menemui Sang Maha Segalanya.
Aku segera terlelap,
seiring harapan bisa berjumpa esok hari yang cerah. Esok hari yang ku tunggu-tunggu akan hadir
dengan cerita yang berbeda. Seolah tak sabarkan diri aku menunggu kisah dariNya
yang lebih baik dan lebih indah. Kisah yang mengembalikan kenangan indahku di
masa kecil bersama nenek. Kami berencana
mengunjungi beliau untuk beberapa hari ke depan.
“Allohuakbar,
Allohuakbar.” Alunan suara adzan Subuh
begitu merdu melebihi alunan kidung mana pun yang pernah ku dengar. Selesai suara adzan berkumandang aku mulai
melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Lalu bergegas untuk mandi dan berwudhu. Aku melaksanakan sembahyang shubuh berjama’ah
di mesjid samping rumahku.
***
“Alhamdulillah, akhirnya
beres juga”. Aku berguman setelah selesai mengemasi pakaian dan barang-barang
yang akan dibawa ke rumah nenek. Kemudian
aku membantu Abangku untuk memasukan koper kami ke dalam bagasi mobil. Aku
duduk di bangku kedua bersama kakak perempuanku.
“Risa, kamu sudah
menyiapkan hadiah untuk nenek?” Pertanyaan dari kakak perempuanku membuatku
sedikit agak kaget. Aku baru sadar
terlupa menyiapkan hadiah ulang tahun nenek. ‘Uugh.....kenapa aku jadi pelupa
untuk hal sepenting ini?’ Aku membatin.
“Enggak dong!” kataku
berbohong,” Masak Risa sampai lupa hal terpenting buat nenek, Kak?!”
Mobilpun terus melaju
meninggalkan gerasi rumah yang pagarnya mulai ditutup oleh pak satpam di
rumahku. Kami terus melaju melintasi jalan perumahan di tempat ku tinggal
menuju arah jalan raya dimana nenekku tinggal.
Hari ini kami
sekeluarga berlibur ke rumah nenek. Liburan kali ini menjadi seru karena
bertepatan dengan ulang tahun nenekku yang ke-70 tahun. Aku sendiri sedang liburan akhir semester
ganjil. Kami berniat untuk berlibur di rumah nenek sekaligus membuat kejutan
untuknya.
Sepanjang perjalanan,
kami sibuk dengan percakapan kesana-kemari.
Tak terasa perjalanan
yang begitu panjang membuatku tertidur pulas di dalam mobil. Tanpa aku sadari ternyata kami sudah tiba di
halaman rumah nenek. Kami segera berhambur keluar mobil menuju pintu utama yang
menghadap langsung ke ruang tamu. Ayah datang setelah ia selesai memarkirkan
mobil di halaman rumah nenek yang luas.
“Assalamu’alaikum.....”
ucap kami serentak. Tak lupa kami sekeluarga membawa serta hadiah kami
masing-masing yang akan diberikan kepada nenek dan sudah kami siapkan di hari
sebelum-sebelumnya. Untuk perencanaan kejutan ini, serta acara yang akan kami
gelar untuk perayaan ulang tahun nenek kali ini, kami sudah menyiapkan sematang
mungkin dan semaksimal mungkin demi membuat nenek bahagia.
“Risa hadiah dari kamu
mana?” tanya ibuku yang kebingungan mendapatiku tak membawa bungkusan hadiah
untuk nenek.
“He...he... lupa, Bu.
Risa nggak nyiapin hadiah untuk nenek. Karena saking gak sabarnya pengen
cepet-cepet kesini,” jawabku sambil
cengengesan.
“Aduh! Aduh!” Aku mengaduh ketika rasa sakit makin terasa
oleh cubitan kakak yang makin keras. Aku
langsung diam seribu bahasa setelah mengerti isyarat kakakku agar aku diam. Kudapati
Abangku tengah menutup mulut menahan tawa hingga membuat matanya yang sipit
kian terlihat seperti orang sedang tidur.
Setelah tiga kali kami
mengucapkan salam dan mengetuk-ngetuk pintu, akhirnya pintupun terbuka.
“KEJUTAN” suara kami menggelegar bersamaan dengan terbukanya pintu. Namun,
tiba-tiba suasana menjadi sedikit agak canggung karena yang membuka pintu ternyata
bukan nenek, melainkan bi ijah, pembantu di rumah nenek. Tawa kami lepas sudah tak terbendungkan.
“Masya
Alloh Nyonya, Tuan, Non, dan Aden silahkan masuk!” ucap bibi dengan sopan
sekaligus meredakan gelak tawa kami di depan rumah.
Kami masuk dan duduk
merebahkan tubuh di kursi, lalu lalu berbincang sebentar dengan bibi.
“Ngomong-ngomong mana
Ibu, Bi?” tanya ayah menyadari
kejanggalan. Biasanya nenek langsung
menemui kami kalau kami datang. Saking
rindunya, nenek biasa duduk menanti kami di teras rumah.
“Maaf Tuan Muda. Nyonya sedang sakit sejah beberapa hari yang
lalu.” Kebahagiaan kami seakan hilang
dalam sekejap mata. Semua terdiam.
“
Bi, nenek sakit apa?” tanya kakak perempuanku dengan cemas.
“
Nggak tahu, Non. Bibi belum membawa beliau ke dokter”.
“
Lalu sekarang bagaimana, Bi?” kali ini abangku sedikit antusias bertanya
walaupun sebenanya pertanyaannya itu kurang bermutu.
“Bibi
juga bingung Den. Anak Bibi, sekarang
sedang memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Nyonya”.
“Ya udah, sekarang Bibi kembali aja
kerja. Biar kami yang nemenin Ibu
disini”. Ucap ibuku yang akhirnya berbicara.
Kulihat dia seolah-olah sedang menanggung beban berat dalam lamunannya.
Kami
segera menuju kamar tempat nenek beristirahat.
Sesosok wanita penyayang.
Gurat-gurat wajahnya memahat segala cerita panjang yang dialaminya di
dunia ini. Binar wajahnya menandakan
bekas ibadahnya yang istimewa. Kami tak
berani mengusik istirahatnya yang lelap.
Kami berharap sakit nenek tidak terlalu parah.
Tak lama kemudian
dokter datang dan langsung memeriksa nenek yang terlihat tak bertenaga. Nenek terlihat
lunglai di tempat tidur. Aku merasa sedih melihat nenekku dengan keadaan
seperti itu. Aku lirik abangku, dia
memiliki firasat lebih dari yang kami rasakan.
Berkali-kali dia menyeka air mata.
Dia tak ingin kesedihannya diketahui orang lain, terutama aku, adiknya.
Beberapa
menit dokter memeriksa nenek. Tak begitu
lama, akhirnya dokter keluar dari kamar nenek.
Dokter langsung di banjiri pertanyaan oleh ibuku yang kelihatan cemas
memikirkan kesehatan nenek.
“Bagaimana
keadaan ibu saya, Dok?”
“Keadaannya
baik-baik saja, Bu”
“Alhamdulillah”
“Beliau hanya kecapean
dan butuh istirahat total”
Liburan kali ini kami
habiskan untuk merawat nenek. Apalagi
ibuku, tak ada kegiatan lain selain merawat nenek. Menyuapi, mengambilkan segala yang nenek
butuhkan, menuntun ke kamar mandi, memandikan dengan air hangat. Aku kagum dengan ketelatenan ibu.
Rencana berkunjung ke
beberapa tempat wisata kami tunda demi nenek tercinta. Disela waktu luang aku besama abangku mencoba
bertanam di pekarangan rumah, Sesekali
kami memancing di kolam ikan belakang rumah nenek.
Seiring berjalannya
waktu, nenekpun akhirnya sembuh. Kami langsung memberikan hadiah untuk nenek yang
kami bawa, kecuali aku. Tak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari pelupuk
mataku. Air mata kecewa karena tidak
memberikan apa-apa pada nenek, juga air mata haru melihat kebahagiaan di wajah
keriputnya. Nenekku yang awalnya lemah
tak berdaya, kini nampak berbinar bahagia.
Seulas senyumnya memacarkan aura kebahagiaan yang luar biasa di bibir
kusamnya.
Kami tidak pernah
menyangka hadiah ini adalah hadiah terakhir untuk nenek. Alloh sangat sayang padanya, memanggilnya
saat puncak kebahagiaannya menerima pengabdian tulus kami.
“Risa, nenek ingin
sekali punya cucu yang menjadi penjaga Al-qur’an. Penjaga kalam Alloh yang suci akan memberikan
mahkota pada orang tuanya dan bisa meringankan duapuluh orang terdekatnya di
akhirat kelak.” Nenek menasihatiku penuh
harap, saat aku menyuapinya.
“Wah hebat sekali para
penghafal Al-qur’an itu ya, Nek?”
“Tentu Risa, para
penghafal itu menjadi menyangga Al-quran dari mereka yang suka mengubah-ubah
ayat suci.”
Di ulang tahun nenek
kali ini beliau memberi hadiah paling berharga untukku. Sekaligus nasihat terakhir yang mengharu
biru. Nasihat yang membuatku terobsesi
memakaikan mahkota untuk ayah dan ibu di hari terberat penghitungan amal.
Alangkah indahnya.
Suasana kelam dan sedih
mewarnai liburan kami tahun ini. Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun. Nasihat terakhirmu adalah wasiat
untukku. Selamat jalan nenek. Semoga perjumpaan abadi di akhirat menjadi
pengobat kerinduan kita kelak.
*
* *
Seperti biasa, selepas liburan di
hari pertama di sekolah, kami harus berbagi kisah tentang pengalaman berlibur
kami. Tidak hanya dalam bentuk tulisan
namun juga harus kami ceritakan di depan kelas.
Kini giliranku.
Aku baru berhenti
bercerita tentang liburanku yang paling mengesankan di depan kelas. Air mataku tak terbendung. Beberapa teman dekatku ikut meneteskan air
mata. bergemuruh dengan suara tepuk tangan dari teman-temanku yang terbawa
hanyut kedalam cerita yang baru saja ku ceritakan. Mereka semua masuk ke dalam ilusi ceritaku
yang membuat hati mereka terkoyak akan kesedihan mendalam kami. Juga kebahagiaan dan harapan nenek untuk
memiliki cucu yang dapat penjaga Al-qur’an.
Aku masih ingat jelas setiap aku
bertandang kerumah nenekku, beliau pasti selalu membeiku motivasi, orongan,serta
menyemangatiku untuk tak pernah putus asa meraih cita-citaku. Sampai di hari itu, kepergian nenekku,
beliau bewasiat untukku untuk menjadikan Al-qur’an sebagai teman setiaku.
Akupun berjanji kepada nenek untuk menjadi hafidzoh sejati, seorang penghafal Al-qur’an
yang akan mempersembahkan jubah penghargaan dan mahkota kehormatan untuk
orangtuaku kelak.
Kini
aku duduk di bangku SMA kelas I. Janjiku
belum sepenuhnya tertunaikan. Aku masih
tertatih, menambah satu demi satu hafalan tiap harinya. Dan tiap hari pula aku harus mempertahankan
hafalanku agar tak terlupa. Meskipun
tidak mudah, aku menikmati janjiku ini.
Karena wasiat kebaikan harus ditunaikan.
Semoga tiap huruf yang
kueja mengalir berkahnya pada nenekku.
Bukankah Rasulullah bersabda, ”Barang siapa mengajak seseorang beramal
saleh, maka baginya pahala semisal yang tidak mengurangi pahala pengamalnya?”
Nek, segala perjuangan
ini menjadi bukti baktiku padamu, sebagai pengganti hadiah ulang tahun yang tak
sempat kubingkiskan untukmu.
WARISAN
TERAKHIR
By: Rintia
Rahayu
Aku telah
tiba dirumah nenekku. Ya, sudah menjadi
kebiasaan di negari kita untuk bertemu pada silaturahmi akbar. Pertemuan itu bernama mudik Idul Fitri. Itulah salah satu alasan yang membuat kita
selalu merindukan lebaran. Sudah menjadi
kegiatan rutinan keluarga tiap tahu, kami berkumpul di rumah nenekku bersama keluarga tercintaku.
Meskipun
berpuluh grup whatsapp dibuat dan makin menambah berat memori gawaiku,
nenurutku bertemu langsung tetap lebih asyik.
Mungin aku termasuk makhluk yang senang bersosialisasi di dunia nyata,
walaupun exist di dunia maya.
Memasuki
rumah besar ini selalu saja merasa sejuk.
Bangunan kuno dengan pondasi yang ditinggikan. Batuan keras mengelilingi pondasi yang muncul
itu, mengingatkanku pada bangunan Belanda.
Tentu lengkap dengan tangga pendek yang terbagi dua kanan-kiri. Tengahnya pemisah miring yang licin karena
selalu kami pakai untuk bermain perosotan. Cat rumah dominan putih,
seentara daun pintu dan jendela warna hijau tua. Hmmmmm, kesegaran makin
terpadu dengan berbagai macam tanaman di pekarangan depan rumah yang cukup
luas. Kupikir lebih dari sepuluh kali
sepuluh meter. Pantas tempat tinggal
nenek menjadi bangunan terunik di kampungnya..
“Assalamualaikum,
Nek,”sapaku sambil mencium tangan kisutnya dalam-dalam. Harum khas minyak sembahyang ini yang membuat
rinduku makin sangat.
“
Waalaikumsalam, eh, Cucuku,” jawab nenek setelah aku menyapanya dengan salam. Wajah itu tetap menampakkan jejak kecantikan
masa mudanya. Keriput Nampak jelas di
sudut bibir, mata dan keningnya. Tapi
tetap memancarkan keteduhan. Bunda
sering bercerita tentang keteguhan nenek dalam ibadah, terutama qiyamullail.
“Nenek
apa kabar? Bagaimana kesehatan nenek
sekarang? Maafkan Ais, ya, Nek. Selama
satu bulan Ramadhan aku tidak ke sini.
Sibuk persiapan SBMPTN, Nek.” Aku
langsung mencecar nenek dengan cerita kesibukanku. Daripada eduluan protes nenek yang selalu
ingin aku kunjungi.
“Tidak
apa-apa, Ais. Alhamdulilah Nenek selalu sehat. Apalagi sekarang cucu-cucu dan anak-anak Nenek
berkumpul bersama di rumah ini. Hilang
semua nyeri, encok, pegel dan ngilu Nenek.”” jawab nenek dengan wajah berseri
bahagia
Aku
segera menyalami keluarga besaru satu-satu.
Kakek telah tiada, kami sudah empat kali lebaran kehilangan ebersamaan
dengannya . Amang Lukman sekeluarga,
Bibi Lulu sekeluarga, Uwa Awang sekeluarga, Amang Saleh sekeluarga. Suasana begitu ramai. Riuh rendah dengan tebak nama dan pertanyaan
basa-basi yang mengakrabkan. Lalu kami
sekeluarga besar bercerita bersama dan
saling memaafkan satu sama lainnya dikarenakan waktu itu adalah sedang
merayakannya acara idul fitri.
Saat-saat
yang mengasyikkan adalah menikmati hidangan setelah kami bermusafahah. Seperti biasa sebelum musafahah kami
mendengar taushiah dari kakakku yang membanggakan. Ustadz Fariz.
“Saya
mohon maaf sebagai yang muda, rasanya nggak pantas saya duduk di sini, di depan
para pendahulu saya. Tapi karena yang
meminta Nenek tercinta, maka saya menyerah.
Dan anggaplah ini nasihat buat saya sendiri.” Kang Fariz mengawali taushiahnya.
Kemudian
ia melanjutkan,” Terhadap sesama manusia pun kita diperintahkan untuk saling
menghormati, menghargai dan menjaga tanpa pandang suku dan agamanya. Rasulullah
berpesan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Man
kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyaqul khairat au yasmut. Wa man
kaana yu/minu billaahi wal yaumil aakhiri falyukrim jaarahu. Wa man kaana yu/minu billaahi wal yaumil
aakhiri falyukrim dhaifahu.
Barang
siapa yang beriman pada Allah dan hati akhir maka berkata yang baik atau
diam. Barang siapa yang beriman pada
Allah dan hari akhir maka hormatilah tetangganya. Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari
akhir maka hormatilah tamunya.”
Kami
mendengar dengan seksama. Ada pencerahan
dari tutur katanya. Penghormatan pada
sesama manusia adalah bagian dari menjalin tali silaturahmi. Tali yang sangat Allah cintai sehingga
menjanjikan begitu banyak pahala. Bukan
hanya di akhirat, tetapi juga di dunia.
Naungan di Padang Mahsyar, dipanjangkan umur, diampuni dosa, dimurahkan
rezeki, diangkatnya penyakit. Wah,
mendengar ceramah singkatnya membuat kami makin bersemangat dalam pertemuan
keluarga besar ini.
Aku
yakin suatu saat Kang Fariz akan menjadi dai handal di tanah air. Pasalnya, ia sangat aktif dengan channel
Youtubenya. Aku seringkali
membantunya buat mengelola channel itu.
Aku tidak suka ngevlog tapi aku hobi otak-atik video supaya
menjadi menarik dan marketable.
Selepas
taushiyah, kami menikmati hidangan yang dibawa oleh masing-masing
keluarga. Kami menata dalam stan-stan,
mirip resepsi pernikahan.
Ada
stan masakan khas sunda, sayur asem, ikan asin, sukri, sambel tomat terasi,
ayam goreng, ikan bumbu acar , sambel goreng hati, kerupuk udang.
Di
sampingnya ada stan baso lengkap, stan ini tanggung jawabku. Aku sudah siapkan baso matangnya. Tinggal menyediakan sayur segar, sawi, toge,
daun bawang dan seledri. Bumbunya aku
buat tidak pakai MSG, aku racik sendiri, garam, merica, pala, gula putih, goreng
bawang merah dan putih yang dihaluskan dan diaduk rata. Kata orang-orang sih, enak.
Selanjutnya
stan snack. Bi Lulu yang ahli dalam hal ini. Kue salju, nastar aneka rasa, pastel kecil
sebesar ibu jari, aneka kacang olahan, kacang goreng bawang, kacang polong, kacang telor, kue
kacang, kue noga.
Nah,
stan selanjutnyaberbagai macam kue basah.
Ini bagian bunda yang ahli.
Maklum bunda memang bisnis pesanan kue basah. Brownis, black forest, waffle, bolu
gulung, cake sampai bibika. Hemmm,
semuanya yummy banget.
Uwa
Awang tinggal di Jakarta, sayur laksa khas betawi itu selalu membuatku kangen
menikmatinya. Mirip Soto tapi dilengkapi
santan kental atau lengko di Jawa Barat.
Lengkap dengan suwiran daging, telor puyuh, kedelai goreng,
Satu
lagi yang menjadi santapan kegemaranku,
buah-buahan. Stan ini tanggung jawab
bersama. Kami semua membawa buah dengan
jenis berbeda. Jadilah stan ini dipenuhi
enam macam buah dari 6 keluarga, semangka, jeruk, buah naga, pisang, melon
dan apel. Stan-stan itu disusun letter-U di
belakang sofa melingkar yang cukup untuk duduk enam keluarga berikut anak dan
cucu.
Aduh,
sorry readers, aku bukan ingin membangkitkan selera kalian. Tapi lebih pada tahaditsu binnikmah. Ukhuwah di antara kami sangat erat dan
bisa menjadi inspirasi buat kalian.
Boleh juga kalian hadir di acara seru lebaran di keluarga besar kami.
“Hai,
Ais, kamu khusyuk bener mengunjungi stan hidangan-hidangan itu! Ayo, makan.
Cicipi laksa Uwa kesukaan kamu,” sapa Uwa Awang mengagetkanku.
“Tenang,
Wa. Ais pingin mengabadikan keindahan
tali persaudaraan pada hidangan itu. Moment
yang istimewa begini bisa menginspirasi keluarga lain, lho, Wa,” kilahku sambil
memasang senyum paling manis buat Wa Awang.
Uwa
Awang melempar senyum sembari mengangkat dua jempolnya tanda setuju.
“Wa,
sepertinya semua makanan ini tidak akan habis untuk keluarga besar kita, ya?”
tanyaku, khawatir mubazir.
“Kita
bisa menghangatkan teman nasi yang basah.
Dan nenek selalu mengundang tetangga bergiliran selama lebaran untuk
ikut menikmati hidangan kita, Ais,” imbuh Wa Awang.
Diam-diam
aku kagum pada keluarga besarku. Bukan
hanya ikatan antar keluarga yang kuat, dengan tetangga pun begitu peduli.
***
Hari
kedua pertemuan tidak kalah seru, pertukaran kado. Kami akan melangsungkan kegiatan seru itu
selepas salat Zuhur.
“Bunda,
kado Ais di mana, ya?” Aku cemas
memeriksa tas dan koper.
“Aduh,
Ais…jangan diberantakin, dong! Coba ingat-ingat, ketinggalan, enggak?”
“Terakhir
Ais taruh deket koper. Bunda lihat nggak? Terbawa nggak?”
“Innalillahi,
iya, Bunda liat tapi nggak bunda masukkan koper.”
Jawaban
bunda membuat aku lemas. Rasanya mau
menangis.
“Sudah
jangan sedih! Kita masih punya waktu
buat beli di super market. Ada 212-Mart
di kota kecamatan. Nggak jauh dari sini,
kita jalan kaki aja. Paling sepuluh
menit.” Tawaran bunda sungguh
melegakanku.
Kami
berpamitan ke nenek. Nenek hanya
berpesan,” Hati-hati Ais, Nur, jangan lama-lama. Aku masih kangen sama kalian. Baru dua hari datang kok udah mau ke pasar? Makanan banyak di rumah, jangan banyak
belanja.”
“Nek,
kami cuman sebentar nggak sampai setengah jam juga insya Allah bakalan udah ada
di rumah.” Aku menangkap sedikit
keanehan pada pesan nenek. Seakan kami
bakal lama tidak ketemu. Ah, aku tidak
berani membayangkan yang tidak-tidak.
Kami
segera menuju 212-Mart dan langsung mencari hadiah yang sekiranya bermanfaat
untuk semua usia. Sederet buku islami
menjadi sasaranku. Aku pilih judul
tentang faraid yang praktis tapi lengkap dengan contoh kasus dan perhitungannya. Aku bubuhi tanda tangan dan sedikit kata-kata
baik. Di salah satu sudut bookshelf terdapat
Alquran hafalan juz 28,29,30, maktsurat dan hadits Arbain. Aku membelinya juga dan menyatukan dengan
buku faraid tadi.
“Semoga
kado ini menjadi tanda cinta dan pengikat pesaudaraan kita. Jangan lupa dibaca, ya. Biar manfaat dan nggak mubazir.”
Aku
segera membungkusnya dengan kertas kado motif batik dominan coklat.
Benar
saja, tidak sampai setengah jam kami sampai di halaman rumah. Tapi…..
“Bunda,
kenapa banyak kerumunan tetangga di rumah nenek?”
“Subhanallah,
ada apa, ya, Ais?” Bunda juga
terheran-heran. Cemas. Tiba-tiba di
sudut mata lembutnya menggenang air bening.
Kami
segera menerobos kerumunan itu. Bunda
langsung menuju kamar nenek tanpabanyak menyapa tetapu, ecuali hanya dengan
sedikit tersenyum. Semua putra putrid
nenek masuk kamar dan beberapa cucu yang sudah dewasa. Berbagai ekspresi pada wajah-wajah orang dekat
aku tatap satu-satu. Inikah jawaban dari
keengganan nenek buat kami tinggalkan.
Air
mata tertahan pada mata yang berkaca-kaca.
Kami ingat benar pesan nenek tiap saat kami berkumpul bersama. “Jangan
ada air mata saat kepergianku. Air mata
itu hanya menjadi penghalang perjumpaanku dengan Tuhan.”
Kami
hanya bisa berpelukan sambil saling berpesan kesabaran seiring untaian doa untuk perjalanan nenek. Semoga kemudahan, kebahagiaan di rumah baru
nenek, di alam yang berbeda.
“Nenek,
bukankan nenek berjanji akan berwisata ruhani bersama akhir pekan ini? Selepas pertemuan keluarga ini? Banyak rencana yang akan kita lalui
bersama. Kenapa Nenek berangkat secepat
ini? Kami sudah merencanakan
keberangakatan kita, Nek! Bukankah Nenek
sangat ingin berziarah ke makam para wali?”
Jerit hatiku hanya sampai pada dinding kesunyian. Semua lobiku pada bunda, ayah, paman, bibi,
demi membahagiakan nenek buyar sudah.
Tidak tersisa sedikit pun.
Seperti balon yang pecah sebelum sepenuhnya aku tiup sempurna.
Jeritan dalam hatiku tak tertahankan. Akan tetapi aku tidak bisa mengkhianati nenek
dengan air mata ini. Hanya hentakan
dalam hati yang terasa begitu sakit. Aku
hanya akan menumpahkan air mata ini dalam sujudku padaNya. Bukan sekarang.
Aku
putuskan untuk mengambil Alquran dan Majmu Syarif , lalu membagikan pada yang
hadir. Perlahan bacaan Yasin mulai
mengalun, sebagian lagi membaca Tahlil dari kitab Majmu Syarif. Terdengar syahdu, mengantarkan kepergian
nenek.
“Semoga
Nenek mendapatkan tempat yang indah di sisiNya.
Nek, yakinlah Dia Maha Pengasih lagi Penyayang pada
hamaba-hambaNya. Juga Nenek yang selama
ini telah membuktikan cinta padaNya. Aku
iri padamu, Nek, meninggal dalam sujud panjang salat Dhuha yang kau dawamkan. Wajahmu cantik berseri penuh senyuman.”
Sekuat
hati aku coba membuka kain penutup wajahnya.
Saat terakhir yang takkan pernah aku lupakan. Kutatap lekat-lekat parasnya, kusentuh
seraut wajah yang kini menghadap
Rabb-nya. Begitu lembut dan rupawan.
“Selamat jalan, Nek. Berbahagialah,
tanda husnul khatimah itu aku saksikan.”
***
Hari
ke sembilan lebaran, semua rencana bergeser waktu. Bahkan kepulangan kami menunggu sampai hari
ketujuh sepeninggal nenek. Kami tidak
ada yang ingat lagi acara pertukaran hadiah.
Kami
bermusafahah sebelum pulang ke
rumah masing-masing. Sisa-sisa duka
masih menyelimuti roman muka kami. Pertemuan untuk empat puluh hari nenek menjadi
rancangan kami selanjutnya.
“Astaga,
ada yang lupa.” Amang Saleh bergegas memasuki kamar nenek. Kami hanya terheran-heran. Apa gerangan yang akan dilakukan Amang Saleh.
“Ini
ada satu wasiat emak yang belum kita tunaikan.
Emak berpesan untuk menyiapkan kado ini sebelum pergi. Saya yakin, emak sangat menginginkan acara
pertukaran hadiah itu kita lakukan.
Meskipun tanpa emak.”
Kami
urung meninggalkan rumah besar ini.
Semua berbalik ke sofa dan duduk. Tida ada keceriaan. Acara yang biasanya dipenuhi tawa canda itu
tiba-tiba senyap. Semua seakan
merindukan hadirnya nenek yang kami cintai.
Kami mengosongkan satu kursi goyang yang biasa diduduki nenek. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. “Nenek, aku
yakin kau bahagia menyaksikan kebaikan yang masih bisa kami lakukan.”
Semua
kado sudah diberi nomor. Kertas undian
sudah di gulung rapi satu sampai empat puluh lima. Rasa penasaran pada apa yang Allah rezekikan
memberi sensasi paling seru buat yang ikut acara ini.
Satu
persatu penerima gulungan kertasmengambil kada di atas meja. Bila kebetulan nomor kertas yang diterima
menunjuk pada bingkisannya sendiri, gulungan kertas harus segera di tukar.
Lagi-lagi menjadi moment paling sedih
saat gulungan kertas tersisa satu. Demikian pula bingkisan di atas meja itu,
tinggal satu Dan aku tahu persis itu
bingkisanku, bingkisan terakhir untuk nenek.
Kami tak bisa menahan isak tangis.
“Kado
terakhir ini milik emak, bagaimana kalau kita berikan pada yang menerima kado
emak?” Amang Saleh yang memimpin acara
tukar kado mengusulkan.
Semua
yang hadir tidak ingin memberi usulan atau sanggahan apapun. Kami seakan
tenggelam pada kubangan dukanya masing-masing.
“Ya,
Allah mengapa bisa kami saling bertukar kado dengan cara seperti ini? Pantaslah Kau pilihkan buku faraid itu
untuk kubeli. Bukan bukunya yang au
sesalkan buat membelinya, tapi kepergian nenek yang tak sempat kusaksikan. Ternyata ini menjadi panduan pembagian waris yang
harus kami selesaikan selepas kepergian nenek kami.”
Masing-masing telah menerima nomor undian dan kado yang
sesuai. Kami menyimpan kado yang kami
dapat. Sesuai perjanjian, membukanya
saat keluarga kami sudah saling berpisah.
Menjelang
Asar, acara selesai. Kami bermusafahah
kembali. Aku dan rombongan keluargaku
sepakat segera berangkat dan salat dalam perjalanan pulang.
***
Selama
perjalanan aku tidak sabar membuka kado dari nenek.
“Bunda, boleh
buka kadonya sekarang?” Aku minta izin
pada bunda.
“Boleh, dong ,Ais. Yang penting nggak di rumah nenek, kan? Bunda juga penasaran mau ngebuka sekarang
juga.”
Di usia menjelang delapan puluh tahun masih bisa membungkus
bingkisan serapih ini. Sesuatu yang
membuatku kagum. Aku buka dengan
hati-hati kado dari nenek. Secarik
kertas dan sebentuk cincin perhiasan.
Aku sedikit kaget, terlalu mahal dan mewah cincin ini untukku.
Aku buka dan kubaca
secarik kertas. Barisan tulisan nenek yang masih rapih. Berkali-kali kekaguman itu hadir. Seiring doa, semoga aku seperti dia.
Buat siapapun
yang menerima bingkisan ini,
Pujian bagi
Allah SWT yang memberikan nikmat iman, islam dan kesehatan buat kita. Shalawat
dan salam semoga tercurahkan pada kekasih kita Rasulullah SAW.
Satu pesan dari
Emak. Dulu waktu Emak pergi ke rumah Nur
di Ciamis, Emak ditawari tanah yang sekarang didirikan buat mushala. Itu wakaf Emak, tolong dijaga dan dipelihara.
Nenek dengar
ada kerusakan genting dan atap karena usianya suadah tua. Cincin ini pakailah untuk memperbaiki dan
memugarnya. Semoga menjadi bekal akhirat
Emak.
Terimakasih
untuk yang menjalankan
amanah Emak ini.
Aku
terhenyak. Dari GR akan mendapat cincin
mahal, berubah jadi kekaguman pada pengorbanan dan ketulusan nenek.
Ingatanku
menyambangi mushala di kampungku.
Mushala yang tampak tua. Atapnya
bocor, anak-anak mengaji sore kadang terbengkalai bakda Maghrib tanpa pengajar.
Aa Fariz kadang sibuk keluar tidak bisa
mengajar mereka.
Aku merasa malu
selama ini sering tidak memedulikan tempat ibadah itu. Padahal ada jariah nenek disana.
“Ais, gantiin
Aa ngajar anak-anak di mushala, ya?”
pinta Aa Fariz suatu ketika
“Ais sibuk Aa,
besok ujian nasional. Ais ada acara sama
temen Ais. Ais mau bantu bunda bikin kue pesenan. ” Aku sering menolak keinginan Aa Fariz dengan
berbagai alasan. Rasa bersalah
menggelayuti hatiku. Mestinya aku
membantu nenek meraih berkah dari wakafnya.
Terlebih lagi setelah beliau meninggal.
Terbesit dalam hatiku, masih ada waktu untuk berbakti pada nenek dengan
memakmurkan musala wakaf peninggalannya.
“Nek, tenanglah
Nenek di alam sana. Aku akan memakmurkan
musala Nenek. Hanya itu
persembahan Ais. Juga doa-doa Ais semoga
bisa menerangi barzah Nenek.
Semoga Nenek ditemani oleh teman yang baik, berwajah rupawan. Semoga rumah baru Nenek di alam sana dipenuhi
wewangian dan dilapangkan.” Hatiku terus
berbicara seakan sosok itu tetap hadir bersamaku.
(Edited by:Khadijah Hanif)