Sabtu, 24 Maret 2018

HALUSINASI (CERPEN MANUSIA ANOMALI)


HALUSINASI

Sania masih menutup muka dengan telapak tangannya. Hari ini adalah untuk pertama kalinya dia mengikuti acara lomba tumpeng di sekolah.  Acara khas yang selalu diadakan diadakan di sekolahnya tiap 17 Agustus.

Tidak banyak yang memerhatikan perubahan pada raut wajah Sania.  Semua orang asik menikmati hidangan yang dihias oleh kelompoknya masing-masing. 

Keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung Sania. Sania memberanikan diri bangkit dari tempat kelompoknya mengelilingi nampan yang  berisi nasi kuning berikut lauk pengiringnya.  Teri kacang, telor iris, suwiran daging.  Berbagai hiasan buah dan sayur berikut sambal hijau seharusnya mengundang selera makan.  Berbeda dengan Sania, semua justru seperti monster yang siap menyiksanya.

“Sania kamu mau kemana?”  Balqis yang sekelompok dengan Sania memanggil.

Sementara Sania terus menjauh tak memedulikan panggilan Balqis.

“Hai! Aku ingin merayap masuk ke kerongkonganmu, Sania!!!!  Biar aku masuk dan memakan isi perut kamu!”  Belatung yang dilihatnya di nampan itu satu persatu bergerak-gerak.  Seolah mendekatinya dan memaksa merayapi mulut kemudian masuk kerongkongannya.

Tiba-tiba.....Sania tak kuat lagi dan isi perutnya terburai lima langkah setelah ia meninggalkan ruangan.  Susah payah Sania berlari mencari air untuk membersihkan cairan menjijikkan dari perutnya.

“Ya Tuhan...jangan sampai mereka terganggu dengan keadaanku ini biarlah aku yang merasakan kesusahan ini,  Jangan sampai orang lain melihat keadaanku ini, Ya Rabb.”

Namun malangnya seorang office boy menghampirinya. Sumpah serapah akhirnya tumpah juga menghampiri kemalangannya.

“Kalau sakit tidak usah ikut acara makan-makan.  Sudah di rumah saja.  Kamu sudah mengganggu semua orang.  Lihat ada kepala sekolah, guru-guru, teman-teman kamu juga wali murid!  Kamu harusnya tahan sampai ke kamar mandi baru muntah.  Emangnya kamu hamil?”  Kalimat-kalimat itu tidak bernada tinggi tapi isinya sungguh menyesakkan dada Sania.

***
Gangguan ini makin lama makin menjadi.  Bentuknya pun bermacam-macam.  Orang-orang menyebut Sania dengan Putri Halusinasi.  Begitu mengetahui keadaan anaknya, Ibunda Sania berkonsultasi pada seorang ulama yang mengetahui tentang rukyah. 

“Ustadz, anak saya punya masalah yang cukup serius.”  Bunda Sania mengawali konsultasinya sore itu.”  Dia mengalami hal yang tidak sama dengan apa yang dialami orang lain.  Apa yang dia lihat, apa yang dia dengar berbeda dengan orang lain.  Tapi anehnya Ustadz, apa yang dialaminya ini hanya lima sampai tujuh hari setiap bulannya.  Seperti wanita yang mengalami haid.”

“Kalau boleh tahu apakah gangguan itu bersamaan dengan waktu menstruasinya?”

“Justru itu Ustadz, Sania belum mengalami menstruasi.”

“Baiklah saya akan mencoba merukyah putri ibu.  Sudah sejak umur berapa gangguan ini, Bu?”  Ustadz Shobri mengambil sepasang sarung tangan dan memakainya.

“Dua tahun yang lalu, waktu usianya 13 tahun.”

Ustadz Shobri mulai meruqyah dengan berbagai bacaan dan Sania tidak memberi reaksi apa-apa kecuali pingsan.  Tidak ada dialog yang bisa ikut didengar oleh Bunda Sania.  Beberapa hal dipesankan Ustadz Shobri.  Sania mengalami gangguan karena darah kotor yang seharusnya dikeluarkan melalui haid tidak keluar.  Darah kotor ini mengganggu fungsi syaraf otak sehingga muncul halusinasi.

“Ibu, untuk lebih jelasnya, Ibu bisa berkonsultasi pada dokter kandungan.  Apakah organ reproduksi putri Ibu normal atau tidak.  Untuk gangguan jin, saya agak kesulitan mendeteksinya karena pasien pingsan.”

Sejak terapi ruqyah, Sania berulangkali ke dokter untuk menjalani pengobatan halusinasinya.  Namun keadaannya tidak juga membaik.  Bisikan-bisikan buruk makin menjadi-jadi.  Untuk kesekian kalinya pada setiap bulannya Bunda Sania tidak pernah lupa melingkari massa haidnya.

Penjagaan ekstra Bunda selalu mengiringi Sania dalam keadaan apapun.  Berlembar-lembar memori mengerikan itu tersimpan rapi dalam kisah pengasuhan Bunda.

Pernah di sebuah rumah sakit, saat menjaga ayah yang sedang diopname, Sania tiba-tiba ketakutan.  Gorden di kamar itu tiba-tiba bergerak tertiup angin.  Bergerak sendiri ke kanan ke kiri tanpa ada seorang pun yang menggerakkannya.

“Ah.....Ibu Sania takut ada yang memainkan gorden itu. Lihat ibu orang itu menatap Sania.  Sania takut, Ibu!!!!!.”

Saat kondisi sulit ini, Bunda tak pernah mengizinkan Sania bersama orang lain tanpa bunda di sampingnya.  Kata-kata bijak, lembut dan menenangkan selalu Sania dengar di telinganya.  Yang Bunda khawatirkan justru bila Sania mendapat cap ‘gila’ dari orang lain pasti ini akan memperburuk keadaannya.

Bunda selalu berpesan agar Sania tidak menceritakan keanehan yang dialaminya pada orang lain.  Bunda ingin hanya bunda saja yang tahu.  Biar bundanya yang membantu Sania lepas dari halusinasi itu.

“Sania sabar, Nak.  Tenang ada Bunda di sini.  Sania tidak sendiri. Coba kamu lihat lagi gorden itu.  Tetap di tempatnya bukan.”  Bunda membisikkan bacaan Fatihah dan Ayat Kursi sambil terus mengelus kepala Sania lembut.

“Alhamdulillah.  Orang itu sudah tidak mengganggu Sania lagi.”  Degup kencang jantung Sania kembali normal.

Dari sekian kali halusinasi yang menghampiri, satu dua kali Sania hadapi sendiri.  Saat-saat yang amat berat, seperti mimpi buruk yang siap menjerat jiwa.

Bunda sedang sibuk dengan orderan onlinenya.  Kalender di dinding kamar bunda belum terlingkari sebagai pengingat tanda waktu haid tiap 20 hari berselang.  Mestinya angka-angka di kalender itu terlingkari di tanggal 5 April tahun ini.

Pagi itu Sania hendak pergi ke sekolah.  Gunting bekas memotong lakban tergeletak begitu saja.  Sania merasakan kepalanya makin berat.  Kini bukan pengelihatannya yang terganggu.  Tetapi bisikan yang mendekati telinganya.  Awalnya pelan kemudian makin nyata.

Sania tertegun tidak mampu melangkahkan kakinya.  Suara itu terlalu memnaksanya untuk berhenti dari tujuan semula, sekolah.

“Ayo ambil gunting itu.  Tidak ada gunanya kamu meneruskan hidup dengan siksaan.  Ketakutan kamu yang selalu menghantui itu bisa membuatmu gila.  Cepat atau lambat orang akan tahu masalahmu dan mereka akan mengatakan ‘kamu gila’.”  Sania tidak mampu menjawab semua bisikan itu.  Dibiarkannya monolog itu berbicara sepuasnya.

“Ambil gunting itu.  Lukai urat nadi kamu.  Darah segar akan keluar dan kamu akan terbebas selamanya.  Tidak akan ada lagi yang mengganggumu.”

Sania melangkah satu-satu.  Mendekati gunting yang tergeletak di lantai.  Diraihnya gunting tajam itu. Dan....

“Sania, apa yang kamu lakukan,Nak?!” Malaikat tak bersayap bernama bunda segera merebut gunting dari tangan Sania.  Bunda memeluk erat Sania sambil menangis.  ”Sania maafin Bunda.  Bunda lalai menjagamu, Nak.” Bunda menatap angka pada kalender tanpa tanda lingkaran itu.  Lima.

***
Sania diterima SMNPTN, disebuah institut ternama.  Halusinasi-halusinasi itu mulai diakrabinya.  Tidak ada rasa takut, sebaliknya penuh percaya diri.

Semua tidak lepas dari jasa bunda Sania.  Bunda mencatat semua yang dialami Sania, semua terapi menenangkan keadaan Sania.  Sania pun mulai mengenali dirinya.  Tiap siklus haid yang berbeda itu sangat dipahaminya.

Semua pengorbanan bunda berbuah manis dan sesuai harapan.  Bahkan Sania mampu mempertahankan prestasinya di sepuluh besar kelas unggulan di sekolahnya.

Hari ini hari pertama tanda melingkar di bulan Desember.

Sania duduk di bangku terdepan mendengarkan kuliah dari dosen favoritnya.  Dosen yang masih single, muda, berprestasi dan bergelar doktor di usia tiga puluh tiga.

“Saya akan menghadiahkan sesuatu untuk yang berulang tahun hari ini.  Mahasiswi dengan kehadiran full dan selalu tepat waktu.  Hadir selalu terdepan dan meraih nilai terbaik di mata kuliah saya.”

Dosen itu menghampiri Sania selangkah dua langkah.  Sania sangat paham bila halusinasi itu datang pasti ada sesuatu yang aneh dan luar biasa.  Dia justru takut halusinasi yang menyenangkan ini.  Halusinasi yang siap membuatnya jatuh dan kecewa.

“Maaf Prof, saya permisi ke kamar kecil.”  Sania meninggalkan ruang kuliah untuk mengambil wudhu dan sholat dua rekaat.  Sholat yang menjadi self-theraphy tiap halusinasi itu datang.  Selepas salam, degup kencang jantungnya kembali tenang.  Sania bergegas menuju ruang kuliah.

“Baiklah saya akan menyerahkan hadiah ini sebagai apresiasi saya sekaligus motivasi bagi mereka yang ingin mendapat apresiasi serupa.  Atau dorongan untuk makin disiplin dalam mengikuti proses pendidikan.”  Halusinasi kali ini bukan sembarang halusinasi.  Tidak pernah Sania mengalami halusinasi yang sama untuk setelah self-therapynya selama ini.

Ada satu cara lain untuk memastikan apakah apa yang dialaminya halusinasi atau buka.

“Mia, Pak Junaedi mau memberi hadiah ke mahasiswa yang paling disiplin dan meraih nilai tertinggikah?”  tanya Sania pada kawan yang duduk di sebelah kanannya.

“Bener, Nia.  Tadi beliau ngobrolin kamu di depan kita-kita.”

Dosen itu mendekati Sania dan memberikan bingkisan yang membuat Sania berdebar dan berbunga-bunga.  Dalam pengelihatan Sania, bingkisan itu sebuah seperti sebuah buku yang terbungkus kertas kado rapih dan setangkai bunga mawar. Diterimanya bingkisan penuh rasa terima kasih.

Sania tak ingin buru-buru meyakini apa yang dilihatnya.  Mana mungkin dosen memberinya bunga di depan semua teman mahasiswanya?

“Mia, bingkisan ini apa?”  Mia satu-satunya teman yang tahu problem Sania, menjawab semua keraguan Sania.

“Sepertinya bungkusan buku dan gulungan surat.”

‘Halusinasi, kamu jahat sekali mempermainkanku sejahat ini.  Tak tahukah kamu hatiku berbunga-bunga karena ulahmu.  Dan aku harus menelan kecewa.’  Batin Sania mengakrabi halusinasinya sendiri.





IMPIAN PENUH KENANGAN

IMPIAN PENUH KENANGAN  Oleh: Farel Kemenangan Tim Bulutangkis SMPN III di tingkat provinsi tahun lalu memberikan semangat yang tak perna...