HALUSINASI
Sania masih menutup muka dengan telapak tangannya. Hari ini
adalah untuk pertama kalinya dia mengikuti acara lomba tumpeng di sekolah. Acara khas yang selalu diadakan diadakan di
sekolahnya tiap 17 Agustus.
Tidak banyak yang memerhatikan perubahan pada raut wajah Sania. Semua orang asik menikmati hidangan yang
dihias oleh kelompoknya masing-masing.
Keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung Sania. Sania
memberanikan diri bangkit dari tempat kelompoknya mengelilingi nampan yang berisi nasi kuning berikut lauk
pengiringnya. Teri kacang, telor iris,
suwiran daging. Berbagai hiasan buah dan
sayur berikut sambal hijau seharusnya mengundang selera makan. Berbeda dengan Sania, semua justru seperti monster
yang siap menyiksanya.
“Sania kamu mau kemana?”
Balqis yang sekelompok dengan Sania memanggil.
Sementara Sania terus menjauh tak memedulikan panggilan
Balqis.
“Hai! Aku ingin merayap masuk ke kerongkonganmu, Sania!!!! Biar aku masuk dan memakan isi perut
kamu!” Belatung yang dilihatnya di
nampan itu satu persatu bergerak-gerak. Seolah
mendekatinya dan memaksa merayapi mulut kemudian masuk kerongkongannya.
Tiba-tiba.....Sania tak kuat lagi dan isi perutnya terburai
lima langkah setelah ia meninggalkan ruangan.
Susah payah Sania berlari mencari air untuk membersihkan cairan
menjijikkan dari perutnya.
“Ya Tuhan...jangan sampai mereka terganggu dengan keadaanku
ini biarlah aku yang merasakan kesusahan ini,
Jangan sampai orang lain melihat keadaanku ini, Ya Rabb.”
Namun malangnya seorang office boy menghampirinya. Sumpah
serapah akhirnya tumpah juga menghampiri kemalangannya.
“Kalau sakit tidak usah ikut acara makan-makan. Sudah di rumah saja. Kamu sudah mengganggu semua orang. Lihat ada kepala sekolah, guru-guru,
teman-teman kamu juga wali murid! Kamu
harusnya tahan sampai ke kamar mandi baru muntah. Emangnya kamu hamil?” Kalimat-kalimat itu tidak bernada tinggi tapi
isinya sungguh menyesakkan dada Sania.
***
Gangguan ini makin lama makin menjadi. Bentuknya pun bermacam-macam. Orang-orang menyebut Sania dengan Putri
Halusinasi. Begitu mengetahui keadaan
anaknya, Ibunda Sania berkonsultasi pada seorang ulama yang mengetahui tentang
rukyah.
“Ustadz, anak saya punya masalah yang cukup serius.” Bunda Sania mengawali konsultasinya sore
itu.” Dia mengalami hal yang tidak sama
dengan apa yang dialami orang lain. Apa
yang dia lihat, apa yang dia dengar berbeda dengan orang lain. Tapi anehnya Ustadz, apa yang dialaminya ini
hanya lima sampai tujuh hari setiap bulannya.
Seperti wanita yang mengalami haid.”
“Kalau boleh tahu apakah gangguan itu bersamaan dengan waktu
menstruasinya?”
“Justru itu Ustadz, Sania belum mengalami menstruasi.”
“Baiklah saya akan mencoba merukyah putri ibu. Sudah sejak umur berapa gangguan ini,
Bu?” Ustadz Shobri mengambil sepasang
sarung tangan dan memakainya.
“Dua tahun yang lalu, waktu usianya 13 tahun.”
Ustadz Shobri mulai meruqyah dengan berbagai bacaan dan
Sania tidak memberi reaksi apa-apa kecuali pingsan. Tidak ada dialog yang bisa ikut didengar oleh
Bunda Sania. Beberapa hal dipesankan Ustadz
Shobri. Sania mengalami gangguan karena
darah kotor yang seharusnya dikeluarkan melalui haid tidak keluar. Darah kotor ini mengganggu fungsi syaraf otak
sehingga muncul halusinasi.
“Ibu, untuk lebih jelasnya, Ibu bisa berkonsultasi pada
dokter kandungan. Apakah organ
reproduksi putri Ibu normal atau tidak.
Untuk gangguan jin, saya agak kesulitan mendeteksinya karena pasien
pingsan.”
Sejak terapi ruqyah, Sania berulangkali ke dokter untuk
menjalani pengobatan halusinasinya.
Namun keadaannya tidak juga membaik.
Bisikan-bisikan buruk makin menjadi-jadi. Untuk kesekian kalinya pada setiap bulannya
Bunda Sania tidak pernah lupa melingkari massa haidnya.
Penjagaan ekstra Bunda selalu mengiringi Sania dalam keadaan
apapun. Berlembar-lembar memori
mengerikan itu tersimpan rapi dalam kisah pengasuhan Bunda.
Pernah di sebuah rumah sakit, saat menjaga ayah yang sedang
diopname, Sania tiba-tiba ketakutan.
Gorden di kamar itu tiba-tiba bergerak tertiup angin. Bergerak sendiri ke kanan ke kiri tanpa ada
seorang pun yang menggerakkannya.
“Ah.....Ibu Sania takut ada yang memainkan gorden itu. Lihat
ibu orang itu menatap Sania. Sania takut,
Ibu!!!!!.”
Saat kondisi sulit ini, Bunda tak pernah mengizinkan Sania
bersama orang lain tanpa bunda di sampingnya.
Kata-kata bijak, lembut dan menenangkan selalu Sania dengar di
telinganya. Yang Bunda khawatirkan
justru bila Sania mendapat cap ‘gila’ dari orang lain pasti ini akan
memperburuk keadaannya.
Bunda selalu berpesan agar Sania tidak menceritakan keanehan
yang dialaminya pada orang lain. Bunda
ingin hanya bunda saja yang tahu. Biar
bundanya yang membantu Sania lepas dari halusinasi itu.
“Sania sabar, Nak.
Tenang ada Bunda di sini. Sania
tidak sendiri. Coba kamu lihat lagi gorden itu.
Tetap di tempatnya bukan.” Bunda
membisikkan bacaan Fatihah dan Ayat Kursi sambil terus mengelus kepala Sania
lembut.
“Alhamdulillah. Orang
itu sudah tidak mengganggu Sania lagi.”
Degup kencang jantung Sania kembali normal.
Dari sekian kali halusinasi yang menghampiri, satu dua kali
Sania hadapi sendiri. Saat-saat yang
amat berat, seperti mimpi buruk yang siap menjerat jiwa.
Bunda sedang sibuk dengan orderan onlinenya. Kalender di dinding kamar bunda belum
terlingkari sebagai pengingat tanda waktu haid tiap 20 hari berselang. Mestinya angka-angka di kalender itu terlingkari
di tanggal 5 April tahun ini.
Pagi itu Sania hendak pergi ke sekolah. Gunting bekas memotong lakban tergeletak
begitu saja. Sania merasakan kepalanya
makin berat. Kini bukan pengelihatannya
yang terganggu. Tetapi bisikan yang
mendekati telinganya. Awalnya pelan
kemudian makin nyata.
Sania tertegun tidak mampu melangkahkan kakinya. Suara itu terlalu memnaksanya untuk berhenti
dari tujuan semula, sekolah.
“Ayo ambil gunting itu.
Tidak ada gunanya kamu meneruskan hidup dengan siksaan. Ketakutan kamu yang selalu menghantui itu
bisa membuatmu gila. Cepat atau lambat
orang akan tahu masalahmu dan mereka akan mengatakan ‘kamu gila’.” Sania tidak mampu menjawab semua bisikan
itu. Dibiarkannya monolog itu berbicara
sepuasnya.
“Ambil gunting itu. Lukai
urat nadi kamu. Darah segar akan keluar
dan kamu akan terbebas selamanya. Tidak
akan ada lagi yang mengganggumu.”
Sania melangkah satu-satu.
Mendekati gunting yang tergeletak di lantai. Diraihnya gunting tajam itu. Dan....
“Sania, apa yang kamu lakukan,Nak?!” Malaikat tak bersayap
bernama bunda segera merebut gunting dari tangan Sania. Bunda memeluk erat Sania sambil menangis. ”Sania maafin Bunda. Bunda lalai menjagamu, Nak.” Bunda menatap
angka pada kalender tanpa tanda lingkaran itu.
Lima.
***
Sania diterima SMNPTN, disebuah institut ternama. Halusinasi-halusinasi itu mulai
diakrabinya. Tidak ada rasa takut, sebaliknya
penuh percaya diri.
Semua tidak lepas dari jasa bunda Sania. Bunda mencatat semua yang dialami Sania,
semua terapi menenangkan keadaan Sania.
Sania pun mulai mengenali dirinya.
Tiap siklus haid yang berbeda itu sangat dipahaminya.
Semua pengorbanan bunda berbuah manis dan sesuai
harapan. Bahkan Sania mampu
mempertahankan prestasinya di sepuluh besar kelas unggulan di sekolahnya.
Hari ini hari pertama tanda melingkar di bulan Desember.
Sania duduk di bangku terdepan mendengarkan kuliah dari
dosen favoritnya. Dosen yang masih
single, muda, berprestasi dan bergelar doktor di usia tiga puluh tiga.
“Saya akan menghadiahkan sesuatu untuk yang berulang tahun
hari ini. Mahasiswi dengan kehadiran
full dan selalu tepat waktu. Hadir
selalu terdepan dan meraih nilai terbaik di mata kuliah saya.”
Dosen itu menghampiri Sania selangkah dua langkah. Sania sangat paham bila halusinasi itu datang
pasti ada sesuatu yang aneh dan luar biasa.
Dia justru takut halusinasi yang menyenangkan ini. Halusinasi yang siap membuatnya jatuh dan
kecewa.
“Maaf Prof, saya permisi ke kamar kecil.” Sania meninggalkan ruang kuliah untuk
mengambil wudhu dan sholat dua rekaat.
Sholat yang menjadi self-theraphy tiap halusinasi itu datang. Selepas salam, degup kencang jantungnya
kembali tenang. Sania bergegas menuju
ruang kuliah.
“Baiklah saya akan menyerahkan hadiah ini sebagai apresiasi
saya sekaligus motivasi bagi mereka yang ingin mendapat apresiasi serupa. Atau dorongan untuk makin disiplin dalam
mengikuti proses pendidikan.” Halusinasi
kali ini bukan sembarang halusinasi.
Tidak pernah Sania mengalami halusinasi yang sama untuk setelah
self-therapynya selama ini.
Ada satu cara lain untuk memastikan apakah apa yang dialaminya
halusinasi atau buka.
“Mia, Pak Junaedi mau memberi hadiah ke mahasiswa yang
paling disiplin dan meraih nilai tertinggikah?”
tanya Sania pada kawan yang duduk di sebelah kanannya.
“Bener, Nia. Tadi
beliau ngobrolin kamu di depan kita-kita.”
Dosen itu mendekati Sania dan memberikan bingkisan yang
membuat Sania berdebar dan berbunga-bunga.
Dalam pengelihatan Sania, bingkisan itu sebuah seperti sebuah buku yang
terbungkus kertas kado rapih dan setangkai bunga mawar. Diterimanya bingkisan penuh
rasa terima kasih.
Sania tak ingin buru-buru meyakini apa yang dilihatnya. Mana mungkin dosen memberinya bunga di depan
semua teman mahasiswanya?
“Mia, bingkisan ini apa?”
Mia satu-satunya teman yang tahu problem Sania, menjawab semua keraguan
Sania.
“Sepertinya bungkusan buku dan gulungan surat.”
‘Halusinasi, kamu jahat sekali mempermainkanku sejahat
ini. Tak tahukah kamu hatiku
berbunga-bunga karena ulahmu. Dan aku
harus menelan kecewa.’ Batin Sania
mengakrabi halusinasinya sendiri.