PENUGASAN-PENUGASAN
1. Writing Prompt
Hari ke-1: Pikiran apakah yang terlintas pagi ini saat bangun tidur dan kenapa?
Suara merdu mendayu murotal Alquran di Pesantren kami selalu berbunyi tepat jam tiga dini hari. Ya.....petugas keamanan yang menyambungkan aplikasi otomatis dari komputer di kantor. Sahutan suara ayam jantan menggugar rasa untuk segera bangun dan memulai aktivitas.
Suasana pagi yang dingin dan sejuk langsung terasa begitu aku sadar dan membuka mata.
"Begitu cepatnya hari berlalu. Matahari selalu setia mengiringi langkah hidup manusia dalam ketaatannya. Tapi terlalu banyak hal baik yang belum sempat aku lakukan." Itulah kata hati dan lintasan pikiran yang acap kali menggangguku untuk dijawab mengapa?
Betapa tidak? Kondisi kami dan seluruh warga pesantren sedang dalam keadaan yang memprihatinkan. Daerah Rancak-Neglasari-Salawu-Tasikmalaya tempat pesantren kami berdiri merupakan daerah rawan gempa. Bahkan dapat dikatakan, terlewati urat gempa. Sehingga tidak heran bila tiap ada gempa...pesantren kami selalu merasakan getaran yang cukup mendebarkan hati penghuninya.
Catatan gempa yang aku rasakan selama 20 tahun tinggal di sini sudah tak teringat lagi berapa kali terjadi. Gempa dengan pusat pantai Cipatujah terbesar di Ramadan 2006, selanjutnya 24 April 2017 yang terakhir 16 Desember 2017. Paling akhir tanggal 23 Januari yang juga lumayan terasa, namun tidak terlalu besar karena pusatnya di Kabupaten Lebak, Banten. Untuk gempa kecil, aku tidak begitu ingat hari dan tanggal berapa.
Kerusakan besar terjadi saat gempa 24 April, yaitu runtuhnya atap kelas, empat ruang tidak terpakai. Karena ruangan saling berhubungan, ruang lab pun menjadi korban rembesan air hujan yang kerap kali deras.
Belum lagi proposan perbaikan terjawab. Hati donatur belum tergerak untuk memberi dana rehap besar dalam jumlah fantastis lebih dari 200 juta. Gempa besar kembali terjadi 8 bulan kemudian. Tanggal 16 Desember 2017. Tidak tanggung-tanggung, kini atap masjid kami runtuh, menghasilkan suara dentuman yang membangunkan warga pesantren seketika.
Gempa yang merusak, rasa aman dan nyaman yang kurang dari para penghuni pesantren membuat jumlah santri menurun cukup drastis. Dari 350 orang di tahun 2009, kini grafiknya makin turun dengan jumlah 112 saja.
Beban pikiranku dipenuhi dengan bagaimana memperbaiki bangunan. Bagaimana menambah santri. Bagaimana agar badan pengelola tetap tersejahterakan. Semuanya melintas begitu cepat. Dan sampai saat ini aku hanya baru bisa mengafirmasi harapanku dalam doa yang tak pernah putus.
Ide-ide untuk keluar dari kesulitan sebenarnya selalu terilhamkan. Keinginan membuat web untuk pesantren begitu menggebu. Atau memanfaatkan medsos sebagai ajang berbagi informasi dan tentu saja menarik simpati dan empati. Akan tetapi aktifitas mengajar, mengelola blog, parenting , memenuhi berbagai undangan telah menyita habis waktuku.
Ya Kariim....nampaknya berbagi tugas, bersinergi dengan memetakan segala masalah dan menguraikan solusinya adalah langkah yang harus diambil. Dari sinilah tugas akan terbagi dengan proporsional dan hasil baik Insya Alloh akan terwujud. Semoga.
Hari ke-2: Tuliskan sebuah adegan seorang pemuda dan perempuan yang bertengkar tentang si pemuda yang dekat dengan mantan pacarnya. Jangan menyebutkan kata 'pemuda'/'laki-laki'/'cowok' atau 'perempuan/gadis/cewek' dan jangan pula menyebutkan kata 'pertengkaran / bertengkar / berdebat'.
Suasana siang hari ini makin panas oleh adu mulut yang cukup seru antar Agis dan Susi. Dua sejoli ini lebih sering tersiksa oleh konflik daripada menikmati apa itu yang namanya cinta atau pacaran.
"Ngapain loe lama-lama ngobrol sama mantan loe di kantin?"
"Nggak kok. Gue sama sekali nggak ketemu apa Mira. Apalagi ngobrol. Lagian loe tau dari mana hoax murahan begitu?" Agis mencoba tenang dengan ekspresi wajah seolah tak ada apa-apa antara dirinya dan Mira, sang mantan pacar.
Meskipun mereka bersitegang, tetap saja mereka jalan bareng buat pulang. Sepertinya mereka menikmati rasa saling cemburu, saling curiga, saling menumpahkan kekesalan. Atau kemarahan itu hanya sebatas pura-pura?
"Loe jangan ngeles ya. Ini foto-foto ini apa nggak cukup bukti buat loe ngaku trus minta maaf sama gue?! Susi membuka wa kiriman Dika.
Agis mencoba melihat lebih jelas foto-foto kiriman Dika. Chatting antara Dika dengan Susi cukup panjang. Beberapa foto terlihat jelas seseorang mirip Agis dan Mira yang sedang berbincang akrab. Agis memperbesar zoom foto itu, dan.....
"Susi, susi....loe percaya aja foto editan begini. Lihat nih, latar ini berbeda dengan kantin sekolah kita. Loe tau sendiri Dika jago IT (baca:aiti). Udah mendingan loe simpen energi cemburu loe buat mikirin yang lain."
"Oo...jadi loe udah nggak butuh gue cemburuin? Biar loe nggak cuman ngistimewain goe doang, geto?!! Mendingan kita putus aja kalo loe ingin mengistimewakan semua temen melebihi goe di hati loe!"
Agis menggeleng-gelengkan kepalanya. Agak kebingungan juga dia pada sikap dan sifat teman terdekatnya yang satu ini. Dari awal mengenal cinta dan mencoba mengistimewakan a special girl, baru kali ini dia merasa kerepotan yang amat sangat
"Open your mind, Sus. Loe ngerasa nggak kalau Dika sedang berusaha misahin kita. Nggak sekali ini dia menjadi sebab keributan. Lagian Mira tuh sekarang udah berhijab. Ini foto udah lama. Pleas e deh. Emang loe nggak capek kita ribut begini terus?"
"Tuh kan, dari cara loe ngobrolin tentang Mira, gue bisa ngerasain getaran cinta itu masih ada di hati eloe! Itu yang nggak gue suka."
"Kayaknya sih, semua penjelasan gue nggak ada yang loe percaya deh. Gini deh Susi cantik, manis dan baik....aku bahagia loe cemburuin. Itu artinya loe bener-bener ingin jadi satu-satunya buat gue."
Susi diam. Entah apa yang dipikirkannya. Tiba-tiba dia memutuskan untuk berjalan lebih cepat meninggalkan Agis dan menyetop taksi kosong yang melintas mendahului mereka.
Agis memanggil-mangil Susi dan berusaha meminta maaf. Dikejarnya taksi semampunya dengan harapan taksi itu berhenti. Untuk kemudian Susi memutuskan turun menemui dan memaafkannya. Tapi semua sia-sia belaka.
Hari ke-3: Apakah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan dalam hidup dan kenapa?
Manusia adalah tempat salah dan alpa. Dan sebaik-baik manusia bukanlah yang tak pernah berbuat kesilapan. Akan tetapi mereka yang selalu mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki diri.
Demikian pula dengan diriku. Seumur hidupku menapaki bumi ini, ada satu kesalahan yang tak mungkin kubasuh dan kuputar kembali, yaitu.....menyia-nyiakan kesempatan belajar yang Tuhan berikan untukku menggali ilmu.
Semasa SMA aku begitu menggebu untuk dapat belajar ke luar negeri. Ketika itu ada program scholarship bernama STAID (beasiswa yng dicanangkan BJ. Habibie di tahun 90-an). Aku sendiri lupa kepanjangannya apa.
Selama di SMA semua motivasi belajarku terarah ke sana. Aku sangat terobsesi dengan kakak kelas bernama NOTO SANTOSI yang berhasil mendapatkan beasiswa itu. Organisasi penyedia ikatan dinas yang kuincar adalah LIPI (Lembag Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan BPS (Badan Pusat Statistik). Untuk BPS aku tidak terlalu ciut karena salah satu pejabatnya adalah teman ayahku. Aku lebih konsentrasi memperkenalkan diri ke LIPI dengan mengikuti lomba penelitian ilmiah remaja.
Tidak tanggung-tanggung ada tiga karya ilmiah yang kukirim. Dua karya ilmiah squad bersama teman dan yang satu single idea. Aku masih ingat betul penelitian itu tentang deversifikasi pangan tempe turi, obat luka dari undur-undur dan peluang kalender pendidikan berdasar penanggalan hijriyah. Entah karena kalah bersaing dengan peserta hebat lainnya atau pengiriman yang melewati batas Dead Line? Yang jelas aku tidak menerima feedback apa-apa dari ketiga karyaku itu. Kecuali hobbi menulis yang masih hidup sampai sekarang.
Bukan itu saja usahaku, dari segi kesehatan pun aku usahakan. Makan wortel tiap hari buat mata minusku, memasang kawat perapi gigi. Dan tentu saja semangat belajar bahasa Inggris.
Sebenarnya, ayah kurang begitu setuju kalau aku sekolah jauh. Apalagi sampai ke luar negeri. Bukti ketaksetujuan ayah...Hingga saat ini aku belum pernah melihat surat edaran, pamflet ataupun brosur STAID. Suatu hari aku beranikan diri buat mengutarakan keinginanku pada ayah.
"Kamu ingin sekolah ke luar negeri? Keluarga kita sudah trauma dengan beasiswa ke luar negeri. Apa kamu mau mengikuti jejak pamanmu Om Tikno? Pergi ke Berlin, menikah dengan orang Ceko, punya anak dua, pulang hanya sekali, selebihnya tidak ada kabar berita. Ayah tahu betul bagaimana nenekmu bersedih mengharapkan kepulangan pamanmu itu. Paman yng selalu diharapkan menjadi tulang punggung keluarga akhirnya sirna begitu saja." Ayah panjang lebar mengutarakan ketaksetujuannya.
"Tapi ayah, Adek berjanji nggak akan seperti itu. Justru kejadian yng menimpa paman akan selalu Adek jadikan cerminan dan nasehat."
"Kamu tau apa tentang kehidupan di luar sana apalagi kalo sudah kecantol yang namanya cinta. Semua bisa berubah."
Aku hanya bisa tertunduk diam dengan kata-kata penuh wibawa ayah.
Sedikit-sedikit aku mulai melupakan STAID dan konsentrasi pada UMPTN. Alhamdulillah aku syukuri keberhasilku diterima USMI-IPB sebagai pilihan pertamaku. Jurusan Ilmu Tanah-Fakultas Pertanian. Namun bayang-bayang STAID masih menggodaku. Apalagi ada harapan untuk lulus seleksi setelah masa matrikulasi dan sebelum penjurusan. Aku kembali berusaha mati-matian dalam belajar. Nilai transkrip tahun pertamaku di IPB tembus angka 3.
Sekali lagi aku mencoba menyampaikan keinginanku, namun takdir belum berpihak. Rasa frustasi mulai menggoda. Bangku kuliah bukan lagi prioritas buatku. Aku lebih sibuk berorganisasi. Kursus jurnalistik, senat mahasiswa, BKM, Rohis, muhibah dari pesantren ke pesantren menyita banyak waktuku. Bisa dikatakan nilaiku sebatas asal lulus. Masuk tahun 1992 dan lulus 2000 pas. Sebuah rekor fantastis untuk pengalaman hidupku yang selalu tak mau kalah dalam prestasi dari SD, SMP, SMA.
Seandainya bisa kuputar waktu aku ingin prestasi akademikku tidak kalah dengan keorganisasianku. Aku ingin memaknai rasa syukur dengan meyakini dan memeluk takdirku. Tentu rasa bersalah menghamburkan biaya orang tua tak akan menggelayutiku, sampai sekarang.
Dan aku tak ingin mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya. Bahwa aku harus yakin delapan tahun masa kuliahku adalah bagian dari takdir yang harus peluk agar aku terbebas dari rasa kecewa dan bersalah. Menata pilihan terbaik untuk tiap detik hari-hariku adalah solusi.
Selama di SMA semua motivasi belajarku terarah ke sana. Aku sangat terobsesi dengan kakak kelas bernama NOTO SANTOSI yang berhasil mendapatkan beasiswa itu. Organisasi penyedia ikatan dinas yang kuincar adalah LIPI (Lembag Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan BPS (Badan Pusat Statistik). Untuk BPS aku tidak terlalu ciut karena salah satu pejabatnya adalah teman ayahku. Aku lebih konsentrasi memperkenalkan diri ke LIPI dengan mengikuti lomba penelitian ilmiah remaja.
Tidak tanggung-tanggung ada tiga karya ilmiah yang kukirim. Dua karya ilmiah squad bersama teman dan yang satu single idea. Aku masih ingat betul penelitian itu tentang deversifikasi pangan tempe turi, obat luka dari undur-undur dan peluang kalender pendidikan berdasar penanggalan hijriyah. Entah karena kalah bersaing dengan peserta hebat lainnya atau pengiriman yang melewati batas Dead Line? Yang jelas aku tidak menerima feedback apa-apa dari ketiga karyaku itu. Kecuali hobbi menulis yang masih hidup sampai sekarang.
Bukan itu saja usahaku, dari segi kesehatan pun aku usahakan. Makan wortel tiap hari buat mata minusku, memasang kawat perapi gigi. Dan tentu saja semangat belajar bahasa Inggris.
Sebenarnya, ayah kurang begitu setuju kalau aku sekolah jauh. Apalagi sampai ke luar negeri. Bukti ketaksetujuan ayah...Hingga saat ini aku belum pernah melihat surat edaran, pamflet ataupun brosur STAID. Suatu hari aku beranikan diri buat mengutarakan keinginanku pada ayah.
"Kamu ingin sekolah ke luar negeri? Keluarga kita sudah trauma dengan beasiswa ke luar negeri. Apa kamu mau mengikuti jejak pamanmu Om Tikno? Pergi ke Berlin, menikah dengan orang Ceko, punya anak dua, pulang hanya sekali, selebihnya tidak ada kabar berita. Ayah tahu betul bagaimana nenekmu bersedih mengharapkan kepulangan pamanmu itu. Paman yng selalu diharapkan menjadi tulang punggung keluarga akhirnya sirna begitu saja." Ayah panjang lebar mengutarakan ketaksetujuannya.
"Tapi ayah, Adek berjanji nggak akan seperti itu. Justru kejadian yng menimpa paman akan selalu Adek jadikan cerminan dan nasehat."
"Kamu tau apa tentang kehidupan di luar sana apalagi kalo sudah kecantol yang namanya cinta. Semua bisa berubah."
Aku hanya bisa tertunduk diam dengan kata-kata penuh wibawa ayah.
Sedikit-sedikit aku mulai melupakan STAID dan konsentrasi pada UMPTN. Alhamdulillah aku syukuri keberhasilku diterima USMI-IPB sebagai pilihan pertamaku. Jurusan Ilmu Tanah-Fakultas Pertanian. Namun bayang-bayang STAID masih menggodaku. Apalagi ada harapan untuk lulus seleksi setelah masa matrikulasi dan sebelum penjurusan. Aku kembali berusaha mati-matian dalam belajar. Nilai transkrip tahun pertamaku di IPB tembus angka 3.
Sekali lagi aku mencoba menyampaikan keinginanku, namun takdir belum berpihak. Rasa frustasi mulai menggoda. Bangku kuliah bukan lagi prioritas buatku. Aku lebih sibuk berorganisasi. Kursus jurnalistik, senat mahasiswa, BKM, Rohis, muhibah dari pesantren ke pesantren menyita banyak waktuku. Bisa dikatakan nilaiku sebatas asal lulus. Masuk tahun 1992 dan lulus 2000 pas. Sebuah rekor fantastis untuk pengalaman hidupku yang selalu tak mau kalah dalam prestasi dari SD, SMP, SMA.
Seandainya bisa kuputar waktu aku ingin prestasi akademikku tidak kalah dengan keorganisasianku. Aku ingin memaknai rasa syukur dengan meyakini dan memeluk takdirku. Tentu rasa bersalah menghamburkan biaya orang tua tak akan menggelayutiku, sampai sekarang.
Dan aku tak ingin mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya. Bahwa aku harus yakin delapan tahun masa kuliahku adalah bagian dari takdir yang harus peluk agar aku terbebas dari rasa kecewa dan bersalah. Menata pilihan terbaik untuk tiap detik hari-hariku adalah solusi.
Hari ke-4: Siapakah kamu? Tuliskan beberapa paragraf tentang dirimu sendiri dari sudut pandang orang ketiga seperti kamu adalah karakter dalam cerita.
Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dan satu-satunya perempuan, Astuti tumbuh menjadi seorang remaja yang menyukai tantangan tapi sekaligus juga manja. Dua karakter yang bertentangan ini tumbuh karena dua perlakuan berbeda yang didapatinya dari orang tua dan dari kakak-kakaknya.
Astuti terbiasa dengan berbagai permainan anak cowok diwaktu kecil. Ketepel, membuat tembak-tembakan dari ranting bambu, memancing dan ikut berburu. Beruntung banyak teman cewek yang mengajaknya permainan untuk perempuan. Bermain boneka, masak-masakan, lomba saling mendandani dan pemainan tradisional lainnya.
Sifat manja banyak terwarisi dari cara ayah dan ibunya memperlakukan kelewat protektif. Pernah suatu ketika ayah mempersiapkan senapan untuk berburu. Astuti yang belum juga masuk TK (umurnya baru 4 tahun), memaksa untuk ikut berburu. Tentu saja ayahnya tidak mengizikanan hanya dengan dua kalimat,Anak perempuan jangan ikut berburu. Kayak anak laki-laki saja."
Astuti menurut untuk tidak ikut berburu. Namun kekecewaannya dialihkan dengan bermain kompor. Dia menyangka kompor itu sudah padam dan api pun tak begitu tampak olehnya. Dia tiru pekerjaan ibu bila ingin menyalakan kompor. Lidi dimasukkan dalam tangki minyak, didekatkan pada sumbu. Begitu berulang-ulang. Hingga tiba-tiba api menyambar kain baju berbahan tetron yang dipakaianya. Rupanya lidi itu membawa api dari sumbu dan tetesan minyak di bajunya ikut terbakar bersama api.
"Tolong....tolong...ada api. Aku kebakaran. Ibu...Huuu...huuu...huuuuu." Astuti menangis sejadi-jadinya. Berharap ada yang menolong memadamkan api di baju dan tubuhnya.
"Oh Alloh....Ya Kariiim, kenapa kamu Astuti?" Ibu datang dari kamar mandi. Langsung meremas baju Astuti yang terlalap apu. Tak diperdulikannya rasa panas pun mendera telapak tangan. Hingga api itu padam. Ibu segera mengambil telor dan membalur kulit Astuti yang mengalami ruam bakar
Sejak kejadian itu, ayah dan ibu makin protektif. Keluar rumah sebentar saja sudah dicari ke ujung kampung. Bila tersilap saja bergaul dengan orang yang tidak tepat, ranting bambu sudah disiapkan di samping pintu rumah.
"Ampun Ayah...Tuti nggak akan main ke rumah Om Alam lagi......Hu...hu....hu...." Tangis Astuti tersedu sedan saat ranting itu menyapa pahanya karena ketahuan bermain di rumah brandalan kampung.
Dua karakter kuat tapi manja membuatnya sering kali ragu dalam memutuskan sesuatu. Antara mengambil beasiswa ke luar negeri atau melanjutkan kuliah di dalam negeri melalui jalur undangan, sempat menjadi dilema serius. Segala persyaratan untuk mengikuti program STAID dilaluinya dengan baik. Prestasi yang tetap dipertahankan sejak masuk bangku SMA di sekolah favorit di kota menjadi tiket pertama yang memperbesar peluangnya untuk bisa sekolah gratis di universitas unggulan di beberapa negara.
Lagi-lagi perlakuan protektif dan sifat manja yang tertanam pada dirinya membuat Astuti ragu dalam melangkah.
Kini pada usianya yang sudah tidak lagi muda lagi, dua sifat itu masih melekat. Keraguan antara dua pilihan. Tetap mengabdikan diri pada pesantren lama atau mengelola tanah wakaf yang diamanahkan ayahnya. Sungguh keberanian yang besar untuk berada dalam lingkungan baru dibutuhkannya saat ini. Resiko dari mereka yang tak sepaham, biaya perizinan, pembuatan ikrar wakaf-akte wakaf dan pendirian yayasan mensyaratkan Astuti harus berdomisili di tanah kelahirannya.
Beruntung Astuti terbimbing oleh suami yang menjadi ustadz pengasuh santri. Istikharah selalu menjadi solusi saat bimbang mendera kalbunya. "Keadaan terbaik adalah pilihan Alloh SWT. Pilihan Alloh adalah yang menjadi takdirku setelah pertanyaanku dalam istikharahku padaMu." Suara batin itu menjadi menawar kebimbangannya.
Hari ke-5: Tuliskan tentang tiga orang yang paling dekat denganmu dan apa yang kalian sukai dan benci dari dirinya? #WritingPrompt #Harike-5
Masa SMA menjadi kenangan terinah dan tak terlupakan. Benar sekali. Itu akan terakui setelah fase-fase hidupku makin lengkap dari anak-remaja-dewasa dan akhirnya tua.
Meira seorang gadis cantik. Ayahnya kontraktor sukses di kota kami. Cantik, pintar, kaya dan pemurah. Banyak yang menyukai sosok low profilenya. Rumahnya menjadi sasaran utama kegiatan kami karena fasilitas ada dan keluarganya selalu wellcome.
"Kita ikut aja deh Mier ide-ide kamu. Pasalnya kamu juga kan yang bakal jadi sponsor kegiatan kita." kataku saat kami punya rencana.
"Nggak boleh gitu juga kali Nie. Bisa jadi ide kalian yang lebih baik. Tenang aja tetap aku dukung keputusan kita." Miera selalu mengucapkan kata bijak yang tak kami duga.
"Memang teman kita yang satu ini baik banget. Udah gitu cantik dan kaya lagi." Saras mengungkap rasa hatinya tentang Miera.
"Kalian ini salah. Yang kaya bapakku. Yang punya usaha bapakku. Aku numpang doang."
Itulah sosok Miera yang membuat kami sayang sama dia.
Akan tetapi tak ada gading yang tak retak. Kesukaannya bercanda kadang membuat kami kelimpungan dikerjainnya. Miera sangat senang melihat teman-teman dekatnya ketakutan oleh phobia kami masing-masing. Ulat untuk Saras, kucing untuk Susan dan bulu lembut boneka buat aku.
Miera akan berhenti mengerjai kami kalau kami sudah mewek. Dan sebelum dia makin menjadi-jadi, kami sudah siap-siap dengan aksi akting mewek dini. Ya....pura-pura menangis untuk menghentikan ulahnya.
Teman terbaikku selanjutnya, Saras. Saras yang berarti sehat itu tak seperti kenyataan yang dialaminya. Dia mudah sekali pingsan pada kondisi kurang menguntungkan. Terlalu panas, terlalu dingin dan terlalu banyak orang. Kelebihannya dia selalu sabar dan nggak pernah mengeluh.
Sifatnya yang nggak pernah mau mengeluh inilah yang akhirnya merepotkan kami. Sekaligus nggak kami sukai. Betapa tidak? Suatu saat kami sedang mempersiapkan perlombaan pramuka. Waktu tinggal 15 menit lagi. Jemputan sudah datang. Persiapan baru 75 %. Kami semua sibuk. Dia juga membantu kami menyiapkan perlengkapan. Dia sendiri tidak termasuk dalam regu inti (karena fisiknya yang lemah padahal keterampilan pramuka yang terkait daya ingat sangat bagus).
"Eh... ini tolong-tolong.....Saras mau pingsan kayaknya!" Aku teriak minta tolong. Sementara Saras sudah tergeletak di lantai.
"Ini anak sudah dikasih tahu ngeyelnya minta ampun. Mentang-mentang nggak mau ngeluh. Malah merepotkan jadinya!" Susan yang menjadi ketua regu sewot nggak karuan." Begini saja, panggil bagian kesehatan buat menangani Saras. Kita dikejar waktu. Ini kunci UKS, bawa saras ke sana. Miera panggil Jihan buat ngasih pertolongan pertama."
Nah.... yang namanya Susan itu, anaknya tegas dan sering kali menjadi korlap buat kegiatan-kegiatan kami. Suaranya yang lantang dan galak. Terus terang banyak hal yang menguntungkan kami saat dia hadir. Saat-saat genting menjadi garapan empuknya.
"Kalian harus gerak cepat. Sepuluh menit lagi tamu datang. Yang belum beres: taplak meja kurang empat, ambil di ruang kesehatan bagian Tuti. Vas bunga dua ambil di kantor guru bagian Asma. Sertifikat lima didekat mesin ketik kantor (Jaman dulu belom ada laptop he...he....) bagian Zulfa. Bla...bla....bla...." Dia seperti mesin perekam masalah sekaligus pemecah masalah dalam hal ini. Terus terang kami merasa terbantu.
Lagi-lagi ada saja yang membuat kami tidak nyaman dalam sikapnya. Dia seperti Miss Perfect, nggak boleh kami lengah dengan instruksinya. Terlambat sedikit, cubitan semurnya akan mendarat di lengan kami.
"Ampun Susan.....aku lupa. Instruksimu terlalu cepat. Aku harus ambil apa di sebelah mana?!" Zulfa menyalak nggak kalah garang dari Susan. "Tahu nggak kamu. Yang kamu cubit ini lengaku yang lagi bisulan!!!!"
Keributan pun terjadi. Dan Susan memilih mengerjakan sendiri untuk instruksinya yang nggak berjalan dengan baik.
Ah....semua kenangan ini terlalu indah untuk hadir kembali. I thankful for every moment I shared with you.
Hari ke-6: Jika kamu diberikan kesempatan untuk kembali ke masa SMA, hal apa yang ingin kamu ubah?
#WritingPrompt #Harike-6
Menonton sepak bola dan menggandrungi pemain favotitku adalah hal paling menyiksa untuk dikenang. Sebut saja namanya Claudio Cannigia. Lahir tanggal 9 Januari 1967. Pemain asal Argentina berambut blonde tergerai, tinggi badan semampai. Dia termasuk striker andalan Club Nasional dan pemain Atalanta Italia (Saat itu Itali belum tergeser posisinya oleh Spanyol sebagai negeri kulit bundar).
Nggak tanggung-tanggung.....saking gandrungnya, setiap artikel tentang Cannigia aku kliping, aku tempel di buku khusus bahkan sebagian aku laminating.
"Astuti, buat apa kamu laminating segala idola kamu tuh? Kupikir main bolanya nggak bagus-bagus amat. Ntar kalo sinarnya pudar, kamu bakal ngebuangnya di tong sampah." Komentar nyelekit teman aku yang belum sempat ku balas waktu itu. Tapi aku maklum kok. Soalnya dia ngejagoin Jerman sebagai club favoritnya. Jadi kupikir kalau kujawab nggak ada gunanya. Debat kusir doang.
Yang bikin seru, kalau Piala Dunia FIFA, Piala UEFA, Piala Champions, atau Piala Eropa mulai berlaga, aku sudah siap bergadang khusus untuk melihat bagaimana pemain favoritku berlaga. Pada musim kompetisi itu aku biasanya bergadang dua malam sekali atau empat hari sekali atau bahkan tiap malam.
Sebenarnya sensasi rasa yang ada lebih cenderung ketakutan daripada menikmati keterampilan mengelola si kulit bundar. Harapanku seolah memaksa club bintangku harus menang. Saking mengharapkan kemenangannya, aku rela panas dingin sendirian tengah malam. Bayangkan jam satu pagi seorang diri menggigil kedinginan sambil komat-kamit mendoakan kemenangannya.
Suatu ketika saat sibuk-sibuknya nonton bola, aku banyak kehilangan waktu belajar.
"Mbak, kalau ranking kamu nggak turun tahun ini, bahkan naik, Ibu bakalan kasih hadiah kejutan." Kata ibuku suatu saat. Ibu memang memanggil aku dengan sebutan kesayangan 'Mbak'.
"Ibu bikin penasaran aja. Please, bilangin sekarang aja apa hadiahnya?" Aku merajuk. "Biar aku makin semangat belajarnya.
Ibu menjanjikan kamera canggih saat itu. Kamera manual dengan moncong zoom 12 cm seharga 900.000 rupiah. Ibuku tahu betul aku hobi nulis. Kumpulan tulisanku aku simpan rapi dalam file dan ibu sering kali memeriksa tulisan-tulisanku sambil memberi masukan.
Sebenarnya aku tergiur sekali. Tapi semua terlibas oleh napsuku menonton bola. Alih-alih aku makin rajin, pekerjaan rumah pun sekali dua kali aku kerjakan di sekolah. Walaupun tidak sampai kena hukuman guru, prestasiku akhirnya tergeser juga. Dua step dari posisi awal.
Seandainya aku bisa mengatur waktu mungkin kamera itu sangat membantu kegitan-kegiatanku selanjutnya.
Kekecewaan itu makin terasa ketika aku aktif mengikuti kursus menulis dan jurnalistik di bangku kuliah.
"Yang punya kamera Sony Mavica atau Canon RR-250 Xapshot atau....................." Tutor kursus jurnalistik kami menyebut merek-merek kamera canggih tahun 80-90 an.
Aku hanya bisa menyesal. Jika saja aku lebih memenuhi harapan ibu daripada kecanduan nonton bola. Mungkin keadaannya akan lain.
Saat aku menjadi bagian Otonomi Pers Senat Mahasiswa, bias-bias kekecewaan itu masih saja membuntutiku. Seandainya waktu bisa diputar kembali...........
Hari ke-7: Tuliskan tentang tokoh kartun/anime/animasi siapa yang kamu inginkan hidup di dunia nyata dan apa alasannya. #WritingPrompt #Harike-7
Seandainya Aladin dan lampu wasiatnya ada di dunia nyata, mungkin kita bisa numpang berkah dari gosokan lampu wasiat itu. Apalagi karakternya yang baik hati dan suka ngasih kemudahan buat orang lain.....Tentu sangat dibutuhkan di zaman serba susah dan kesenjangan yang makin menggila saat ini.
BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIMI
Di perbukitan tandus, sebuah keluarga kecil tinggal di rumah sangat sederhana bahkan terkesan miskin. Bukan karena nggak bisa kaya, tapi memang itulah pilihan hidup mereka.
Sengaja Pak Murrah membuat halamannya cukup luas karena tiap bulan ia selalu mengadakan syukuran. Seluruh warga kampung diundang. Mereka duduk bersama di halaman luas itu sambil menyantap hidangan aneka rasa yang disediakan keluarga Pak Murrah.
"Pak Murrah, aku datang dari jauh. Berjalan dua hari di bawah terik matahari dan dinginnya malam. Aku mendapat kabar bahwa di kampung Bantar Gunung ini ada seorang yang baik hati dan sangat pemurah." Seseorang dari jauh yang memperkenalkan dirinya dengan nama Pak Gelar itu menyampaikan maksud hatinya.
"Ah....saya tak sebaik yang Bapak kira. Saya hanya memberikan sebatas apa yang Alloh amanahkan pada saya untuk diberikan pada yang membutuhkan." Pak Murrah selalu merendahkan diri. "Apa kesulitan yang Bapak alami?"
Pak Gelar menceritakan tentang usahanya yang selalu merugi. Ada saja penyebab bangkrut usahanya. Saat membuka restoran padang, binatang aneh acap kali muncul tiba-tiba. Anehnya lagi binatang itu hanya mengganggu para pelanggan. Pak Gelar sendiri tidak menemukan apapun di restorannya.
Kali ini Pak Gelar membuka toko kain. Anehnya tiap kali ada yang menanyakan alamat tokonya, dan dikirimkannya alamat lengkap pada pelanggan, mereka tak bisa menemukan toko Pak Gelar.
Setelah Pak Gelar panjang lebar mengutarakan kesulitannya, Pak Murrah berpamitan ke dalam kamar suluknya untuk beberapa saat. Seperti biasa ia sholat Sunnah dua rakaat. Ia mengambil beberapa keping emas dari lemarinya untuk membantu Pak Gelar memulai usaha.
"Pak Gelar, rupanya ada yang tidak suka dengan usaha Bapak. Untuk menghindari gangguannya, ikhlaskan semua yang Bapak alami. Jangan pula penasaran ingin mencari tahu siapa yang mencelakai Bapak, apalagi balas dendam. Yakinkan semua ujian dari Alloh SWT. Semua hanya perantaraan sebab saja."
"Insya Alloh nasihat Pak Murrah akan saya lakukan."
Pak Murrah memberikan selembar kertas berisi amalan harian. Mulai dari Tahajud, wirit setelah sholat fardhu di masjid berjamaah, Sholat Isrok, Dhuha lengkap dengan doa-doanya serta sedekah. Selain itu juga lima keping logam emas untuk Pak Gelar memulai usahanya.
Itulah yang dilakukan Pak Murrah terhadap siapapun yang datang. Hartanya tak habis-habis untuk di bagikan. Dari manakah harta itu? Apakah Pak Murrah memiliki lampu wasiat seperti Aladin?
Beberapa tahun kemudian, Pak Gelar datang dengan penampilan yang sangat jauh berbeda. Mobil mewah, baju keren dan bedasi di kerah.
"Pak Murrah, terimakasih atas bantuan Bapak tiga tahun yang lalu. Semua nasihat Bapak saya amalkan hingga kini. Juga lima keping logam emas yang Bapak berikan sangat berkah dan manfaat. Usaha saya sudah maju dan banyak cabang." Pak Gelar bercerita panjang lebar tentang usahanya. pak Murrah mendengarkan dengan senyuman tulus tersungging di wajahnya yang teduh.
"Alhamdulillah saya ikut senang. Semoga Pak Gelar bisa menafkahkannya di jalan Alloh."
"Sebagai ucapan terimakasih saya, ini keuntungan yang menjadi hak Bapak." Pak Gelar mengeluarkan 50 keping emas untuk Pak Murrah.
"Ini terlalu banyak Pak Gelar..... Saya hanya memberikan 5 keping dan Pak Gelar mengembalikan 50 keping. Saya takut ini riba."
"Tolong terima Pak.....ini belum seberapa dibanding keberhasilan yang saya raih. Saya sendiri sudah kesulitan memanfaatkan harta yang banyak ini. Di tangan Bapak pasti harta ini makin berkah dan dapat menolong sesama. Saya menjadi saksi bahwa saya ikhlas memberikan harta saya ini dan saya bersaksi ini bukan riba"
Ternyata harta Pak Murrah dari orang-orang yang pernah ditolongnya. Pak Murrah makin sibuk membagikan hartanya yang makin banyak itu.
ALHAMDULILLAHIRRABBIL'ALAMIIN
Masya Alloh....seandainya banyak Aladin Zaman Now tentulah kehidupan di bumi ini menjadi makin indah.
2. TESTIMONI WONDERLAND CREATIVE TEENLIT
Oleh : Yeti Nurmayati
28 Januari pukul 8:08
Selamat pagi....mamak2 yang penuh semangat!
Bagaimana materi semalam?
Daging semua kan?
Jika kita rajin dan mau belajar, lalu mengirimkan karya ke media bisa balik modal bahkan lebih lho mak hayu kirim!
Bagaimana materi semalam?
Daging semua kan?
Jika kita rajin dan mau belajar, lalu mengirimkan karya ke media bisa balik modal bahkan lebih lho mak hayu kirim!
Yuk terus berlatih dan jangan lupa pahami materinya. Jika ada yang kurang paham, silakan komentar dg ngetag kak Handi ya.
Hari ini masuk pada #WritingPrompt #Harike-3 ya. Silakan posting prompt ke 3 dikomentar bawah ini.
Oh ya teman2 boleh minta testimoninya hari ini utk kelas cerpen teenlit wonderland Creative.
Tulis testimoninya di wall fb masing2 dengan tagar :
#KelasCerpenTeenlit
#WondelandCreative
Tag kak Wulan Mulya Pratiwi ya
Tulis testimoninya di wall fb masing2 dengan tagar :
#KelasCerpenTeenlit
#WondelandCreative
Tag kak Wulan Mulya Pratiwi ya
Terima kasih sebelumnya
Happy weekend!
TUGAS TESTIMONI
Happy weekend!
TUGAS TESTIMONI
#KelasCerpenTeenlit
#WondelandCreative
Awalnya bingung juga bagaimana membuat cerpen Teenlit. Terutama karena bagaimanapun unsur ekstrinsik seperti view penulis yang harus menyesuaikan dengan jiwa remaja. Tapi justru inilah yang menjadi tantangan buat saya mencerna materi demi materi dari Mbak-Mbak Instruktur.
Dua hari awal sempat manteng di depan FB. Tanggal 25 dan 26, materi langsung dicopi ke file buat diprint. Maklum Emak-Emak lebih konsentrasi mencerna hardcopy daripada softcopy. Tentang menggali ide dan penggunaan bahasa gaul tercerna juga.
Tanggal 27 sampai 30 blank banget materi apa yang disampaikan. Pasalnya ada perjalanan ke luar yang membuat kehilangan wifi sementara kuota nggak pernah diisi. Xi..Xi....Xi.....
Setelah perjalanan beberapa hari dan kembali berjumpa dengan wifi. Kaget bukan main, hutangku makin bertumpuk 7 tulisan writing prompt untuk latihan menulis panjang dan mengikat ide. Akupun pasrah dengan rela melalap semua materi hingga larut malam. Seperti biasa kukopi satu satu dan kuprint.
Alhamdulillah satu per satu pertanyaan dalam penugasan writing prompt aku jawab semampuku meskipun dari segi bahasa nggak ngeTeen banget, kecuali yang tentang pertengkaran dua remaja.
Terimakasih buat seluruh tim Wonderland Kreatif: (Mbak Handi Namire yang banyak memberi materi. Ilmu adalah priceless thing yang akan terus mengalir jariahnya pada pemberi dan pengamalnya. Mbak Wulan yang selalu memberi kesempatan dan menciptakan kesempatan. Jazakillah. Mbak Yeti Nurmayanti yang sabar mengrisan kekurangan tulisan kami. Mbak Efa Refnita sebagai PJ. Dan semua yang mungkin tak bisa disebut satu persatu).
Kelas ini telah memaksaku untuk berusaha memahami materi dan menjadi bahan review Teenlit di blog saya (mohon izin tulisan Mbak-Mbak dipublish melalui blog pribadi saya). Kelas ini juga melatih saya buat menulis dan terus menulis. Semoga latihan di kelas ini membantu mematangkan tulisan saya sehingga bisa dihidangkan pada pembaca (Sedihnya menurut saya, tulisan saya nggak mateng-mateng, sehingga entah bisa dinikmati pembaca atau tidak...hiks....hiks....)
Tapi aku berjanji pada diri sendiri untuk terus mencoba walaupun 1001 kali harus mencoba dan jatuh. Maka aku akan menambah satu step untuk bangkit. Semoga pada saatnya Alloh karuniai apa yang saya cita-citakan. Menjadi penulis best seller. Aamiin (Mimpi yang masih jauuuuuh.........)
#WondelandCreative
Awalnya bingung juga bagaimana membuat cerpen Teenlit. Terutama karena bagaimanapun unsur ekstrinsik seperti view penulis yang harus menyesuaikan dengan jiwa remaja. Tapi justru inilah yang menjadi tantangan buat saya mencerna materi demi materi dari Mbak-Mbak Instruktur.
Dua hari awal sempat manteng di depan FB. Tanggal 25 dan 26, materi langsung dicopi ke file buat diprint. Maklum Emak-Emak lebih konsentrasi mencerna hardcopy daripada softcopy. Tentang menggali ide dan penggunaan bahasa gaul tercerna juga.
Tanggal 27 sampai 30 blank banget materi apa yang disampaikan. Pasalnya ada perjalanan ke luar yang membuat kehilangan wifi sementara kuota nggak pernah diisi. Xi..Xi....Xi.....
Setelah perjalanan beberapa hari dan kembali berjumpa dengan wifi. Kaget bukan main, hutangku makin bertumpuk 7 tulisan writing prompt untuk latihan menulis panjang dan mengikat ide. Akupun pasrah dengan rela melalap semua materi hingga larut malam. Seperti biasa kukopi satu satu dan kuprint.
Alhamdulillah satu per satu pertanyaan dalam penugasan writing prompt aku jawab semampuku meskipun dari segi bahasa nggak ngeTeen banget, kecuali yang tentang pertengkaran dua remaja.
Terimakasih buat seluruh tim Wonderland Kreatif: (Mbak Handi Namire yang banyak memberi materi. Ilmu adalah priceless thing yang akan terus mengalir jariahnya pada pemberi dan pengamalnya. Mbak Wulan yang selalu memberi kesempatan dan menciptakan kesempatan. Jazakillah. Mbak Yeti Nurmayanti yang sabar mengrisan kekurangan tulisan kami. Mbak Efa Refnita sebagai PJ. Dan semua yang mungkin tak bisa disebut satu persatu).
Kelas ini telah memaksaku untuk berusaha memahami materi dan menjadi bahan review Teenlit di blog saya (mohon izin tulisan Mbak-Mbak dipublish melalui blog pribadi saya). Kelas ini juga melatih saya buat menulis dan terus menulis. Semoga latihan di kelas ini membantu mematangkan tulisan saya sehingga bisa dihidangkan pada pembaca (Sedihnya menurut saya, tulisan saya nggak mateng-mateng, sehingga entah bisa dinikmati pembaca atau tidak...hiks....hiks....)
Tapi aku berjanji pada diri sendiri untuk terus mencoba walaupun 1001 kali harus mencoba dan jatuh. Maka aku akan menambah satu step untuk bangkit. Semoga pada saatnya Alloh karuniai apa yang saya cita-citakan. Menjadi penulis best seller. Aamiin (Mimpi yang masih jauuuuuh.........)
4. MENULIS CERITA PENDEK TEENLIIT
Oleh Wulan Mulya Pratiwi
1 Januari 2018 DL 15 Januari 2017
Bismillahirrahmaanirrahiim
RETAK
Aku nggak menyangka, takdir ini menghampiri Sinta.
Gadis yang begitu cantik, penurut, pintar bahkan cerdas. Senyuman selalu menghiasi wajah hitam manisnya. Rasanya tak akan habis aku menceritakan segala kebaikan lahir batin dari sosok Sinta, teman terbaikku.
Terakhir aku melihatnya, sebulan yang lalu saat Ibu Maruti (nama ibu Sinta) menjemputnya di sekolah dengan wajah yang semrawut. Sinta hanya sempat melambaikan tangan padaku dengan wajah ketakutan.
Sepulang sekolah notifikasi whatsap-ku berdencing. Aku segera memeriksa pesan yang masuk. Dan....
"Nabila.....maaf ibu minta tolong. Sinta depresi berat."
Jantungku hampir copot. Ada rasa nggak rela. Gimana mungkin gadis sebaik, semanis dan sesabar dia bisa depresi? Ataukah ada masalah yang mencoba dia tanggung dan itu di luar batas kemampuan nya? Entahlah.....
"Maaf Bu, apa yang bisa aku bantu?"
"Dalam buku hariannya juga banyak tertulis nama Yudi Nugraha. Barangkali Nabila kenal nama itu? Nabila teman terdekat Sinta kan?"
Tentu saja aku kenal Yudi Nugraha. Kakak kebanggaanku. Aktifis mahasiswa yang selalu kritis dengan keadaan. Prestasi akademik dan nonakademiknya selalu membuatku teriri-iri sekaligus terinspirasi. Dan aku tahu Sinta sering mengekspresikan kekagumannya pada Mas Yudi. Selama kami berteman akrab, Sinta beberapa kali datang ke rumahku dan mengenal Masku semata wayang itu.
“Dia kakak aku. Terus apa yang Sinta inginkan dari Mas Yudi, Bu?”
“Datanglah ke rumah, mungkin kehadiran Yudi akan sedikit membantu Sinta mengeluarkan beban batinnya.”
Tapi aku nggak yakin Mas Yudi mau. Dia termasuk pemuda kolot menurutku. Kerjaannya selain kuliah, ikut kajian melulu.
Sebelum aku melibatkan Mas Yudi aku ingin mengorek penyebab depresi Sinta. Beberapa hari aku chattingan terus sama Tante Maruti. Akhirnya aku tahu penyebab depresi Sinta.
Orang tua Sinta menumpahkan segala masalah rumah tangga, bisnis, hingga keretakan hubungan keduanya pada Sinta. Mereka menganggap Sinta anak yang perfect. Mereka beranggapan, Sinta gadis yang dewasa karena sifatnya yang penyabar. Ia senang mendengarkan keluhan orang lain bahkan memberi nasihat-nasihat bijak.
Terakhir Sinta memilih untuk berhenti sekolah dan minta menikah. Sosok yang didambakannya adalah kakak idealku, Mas Yudi.
Terakhir Sinta memilih untuk berhenti sekolah dan minta menikah. Sosok yang didambakannya adalah kakak idealku, Mas Yudi.
Alih-alih mendapat restu orang tuanya Sinta justru dipukul ayahnya. Permintaan Sinta dianggap tidak wajar, sangat mengecewakan dan harus dibuang jauh-jauh dari benaknya. Anak sepintar dan seberprestasi Sinta seharusnya belajar dan terus belajar. Pernikahan tentu dianggap gunting pemotong tajam segala cita-cita keluarganya.
Aku mencoba berani menyimpulkan. Pantaslah Sinta minta menikah. Sebenarnya beban masalah orang dewasa telah terlalu berjibun di kepalanya dan ia mendambakan seseorang yang mau meringankan bebannya. Salah satu jalannya yaitu….. mendapat bbf (best friend forever).
Ah….mampukah aku membantu Sinta keluar dari masalahnya ini? Akan aku coba.
***
Dering hpku menghentikan kegiatan bacaku sore ini. Tante Maruti…..layar berpendar bertuliskan nama itu. Aku mulai berdebar-debar menerima apapun dari beliau. Dari hari kehari kabar buruk makin membuatku tertuntut buat ngebantu Sinta.
“Nabila, Sinta mulai menyakiti diri. Mohon bantuanmu, Nak? Dia makin nggak bisa diajak bicara. Tidak ada sepatah kata pun yang bisa” Suara dari seberang sana parau diiringi isak tangis.
“Iya Bu…. Akan aku usahakan segera.” Aku ngejawab sekenanya. Yang penting Tante Maruti dan Sinta membaik.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk seseorang dari luar. Mungkin papa atau mama…..
“Masuk aja nggak dikunci, Pah …Mah.”
“Masuk aja nggak dikunci, Pah …Mah.”
“Asalamu’alaikum ukhti cantik?”
Aku kaget bukan main ternyata Mas Yudi. Tumben dia nyempetin pulang dari kosannya. Rumah kami cukup jauh dari kampusnya. Makanya dia milih kos untuk memperlancar aktivitasnya yang berjibun.
“Alhamdulillah........ ini bener Mas Yudi?” Aku langsung peluk Masku yang sudah empat bulan nggak nongol-nongol.
“Memang kamu punya kakak kembar? Atau ada kloninganku gitu?” Mas Yudi bercanda sambil mencubit pipiku.
Aku segera menumpahkan segala beban yang menggelayuti pikiranku. Mas Yudi mendengarkan satu-satu dengan sabar. Harap-harap cemas aku menunggu ekspresi yang bakal keluar dari ucapannya. Mas Yudi baru masuk semester tiga. Tantangan menikah untuk membantu Sinta mungkinkah? Sementara Sinta baru kelas XII. Seumuran dengan aku 17 tahun.
“Sebenernya aku maksain pulang juga karena beberapa hari ini aku mimpiin kamu terus, Bila…. Ternyata kamu sedang punya masalah. Sudah berapa lama kamu kontak dengan Tante Maruti?”
“Seminggu, Mas.”
“Kenapa kamu nggak langsung kontak ke Mas? Kalau makin cepat kamu cerita tentu kamu nggak ikut-ikutan depresi kan?”
Mas Yudi selalu saja humoris. Padahal aku udah cemas bukan main. Takut dia marah karena datang-datang udah ditawari problem. Tapi lagi-lagi kalimat bijak yang aku terima. Dia bilang kalau memang jodoh pasti manusia takkan pernah bisa mengelak. Semua tergantung hasil istikharah Mas Yudi. Apalagi disertai niatan tulus membantu kesembuhan Sinta. Semoga keputusan terbaik selalu ada.
Aku segera mengabari progress PDKTku ke Tante Maruti.
“Tante, banyak berdoa ya Tan….soalnya Mas Yudi sedang istikharah buat memutuskan jodohnya sebenarnya siapa. Sinta atau bukan.” Chat Fb-ku sama Tante Maruti suatu hari. Aku hanya bisa komunikasi dengan Tante Maruti karena Sinta sudah tidak bisa merespon komunikasi dengan baik.
***
“Bila, temenin Mas Yudi ke rumah Sinta ya?” Mas Yudi mengagetkanku. Hampir-hampir aku tersedak seblak, jajan favoritku.
“Bila, temenin Mas Yudi ke rumah Sinta ya?” Mas Yudi mengagetkanku. Hampir-hampir aku tersedak seblak, jajan favoritku.
“Secepat ini Mas?”
“Kan kamu pingin Sinta cepet baik lagi?”
“Nggak sama mama-papa?”
“Waduh memang Mas mau ngelamar Sinta?”
“Maksudku, Mas Yudi mau jadian sama Sinta?”
“Ya ampun Bila…..kamu pikir ada kamus pacaran buat Masmu ini?”
“Ntar kalo ada aku, Mas nggak bakalan keganggu?! Barangkali ada perbincangan rahasia….” Aku mengedipkan mata kiriku. Maksudku buat nggodain Mas Yudi.
“Ini anak, makanya ngajilah calon ukhti…. Berdua-duaan itu yang ketiganya setan.” Kepalan tangan Mas Yudi menjenggung kepalaku pelan.
Sampai saat ini aku belum bisa mengerti jalan pikiran Mas Yudi. Bagaimanapun aku memandangnya aneh, kolot, tertutup sama cewek. Pokoknya nggak nyambung ngobrol sama beliau. Aku banyak nggak ngertinya.
Aku makin penasaran kira-kira apa yang bakalan dilakukan Mas Yudi ke Sinta. Tapi aku yakin Mas Yudi pasti bakalan ngasih solusi brillian yang tak terduga. Aku menurut saja apa maunya Mas Yudi.
Menaiki motor gedhe Mas Yudi, aku dibonceng di belakang. Melintasi jalan tikus yang aku sendiri nggak kenal jalan itu. Soal rute kota kami Mas Yudi memang jagoan. Maklumlah aktivis mahasiswa.
Sepuluh menit kami sampai. Tante Maruti menerima kami dengan senyum lebar. Kami segera dipersilahkan masuk ke rumah besar Sinta. Rumah tingkat bercat krem. Frame jendela merah marun. Ruang tamu dua kali ruang tamu rumahku yang cukup dua set sofa dan buffet besar koleksi buku ayah Sinta
Tak lama kemudian Tante Maruti dan Sinta menemui kami, disusul bibi yang membawa minuman sirup strowberi dingin.
Aku langsung memeluk Sinta. Kangen, kasihan, sedih bercampur aduk di dadaku. Tapi aku menahan segala air mata agar tak tumpah ruah. Kata Mas Yudi jangan menampakkan kesedihan.
Sederetan kata-kata yang harus kukatakan sudah aku hafal berikut kalimat yang nggak boleh aku ucapin. Aku menurut saja sama calon psikater yang tentu banyak tahu bagaimana memperlakukan penderita depresi.
Sinta tidak bicara sepatah kata pun. Aku mengucapkan kata-kata yang diajarin Mas Yudi di telinganya. Ekspresi positif dapat kurasakan dari tarikan nafas panjang dan hembusannya yang kuat. Seolah tanda Sinta sedang berusaha melepas beban beratnya.
Kami duduk berempat. Senyuman Sinta begitu lepas saat menatap wajah Mas Yudi. Entah apa yang dipikirkannya.
“Sinta, kamu sangat penting untuk aku juga Nabila. Hidupmu penting bagi kami. Saat kamu merasa ingin menyerah, katakan pada dirimu sendiri bahwa kamu akan bertahan untuk satu hari lagi, satu jam lagi, satu menit lagi, berapa lama yang kamu mampu. Aku dan Nabila akan selalu ada dan hadir untukmu.” Kalimat yang diucapkan Masku lebih seperti terapi daripada kalimat yang benar-benar dari hatinya yang terdalam. Atau........Ah aku mencoba berhenti menduga-duga.
Sinta tersenyum dan berusaha mengucap sepatah dua patah kata yang terdengar lirih, ”Terimakasih, Mas Yudi.” Kata-kata yang hampir sebulan terpendam dalam hatinya.
Hari ini, kehadiran kami seolah merajut kembali jiwa Sinta yang hampir saja retak dan pecah terburai. Tante Maruti tersenyum bahagia dan memeluk erat Sinta.
“Maafin Ibu, Sinta….Ayah dan Ibu baik-baik saja. Everything is OK and will be OK”
Alhamdulillahirabil'alamiin
Syarat penulisan:
1. panjang 4-5 halaman berikut profil singkat penulis
2. Font Times New Roman 12, Spasi 1.5
3. Ukuran Kertas A4
4. 15 pertama dikrisan Kak Handi selebihnya Kak Yeti, kirim ke Grup
5. Setelah dikrisan harus direvisi kirim ke email kak Yeti
6. Subject: cerpen Teenlit Wonderland, nama file cerpen teenlit_titin harti hastuti